Prinsip-Prinsip dalam Perlindungan Konsumen

BAB III BENTUK PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UU NO. 21

TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN DAN UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Prinsip-Prinsip dalam Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen merupakan bagian yang penting dalam pengaturan hukum di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari eksistensi konsumen dalam peraturan perundang-undangan Indonesia mengenai perlindungan konsumen melalui perlindungan hukum preventif dan represif. Preventif adalah segala usaha Universitas Sumatera Utara tindakan yang dimaksud untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Represif adalah segala usahatindakan yang harus dilakukan oleh aparat negara tertentu sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum acara yang berlaku bila telah terjadi suatu pelanggaran hukum. Secara preventif, perlindungan hukum dalam ketentuan perlindungan konsumen dapat mencegah tindakan yang dapat merugikan konsumen dan secara represif, dapat memberikan upaya penyelesaian terhadap pemasalahan yang dialami konsumen. Perlindungan hukum preventif terhadap konsumen dinyatakan melalui ketentuan hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, ketentuan klausula bakuperjanjian baku, ketentuan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, ketentuan tanggung jawab pelaku usaha, melalui pembinaan dan pengawasan pemerintah dan melalui tindakan pencegahan kerugian oleh OJK. Perlindungan hukum represif terhadap konsumen yaitu melalui ketentuan sengketa, gugatan, penyidikan dan sanksi. Dua bentuk perlindungan konsumen tersebut tidak terlepas dari adanya prinsip-prinsip dalam perlindungan konsumen. Prinsip-prinsip ini berkembang melalui doktrin dan peraturan perundang-undangan. Prinsip yang sering digunakan yaitu prinsip tanggung jawab yaitu sebagai berikut: 54 1. Kesalahan liability based on faut Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan fault liability atau liability based on fault menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan 54 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm. 92. Universitas Sumatera Utara yang dilakukannya. Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. 2. Praduga selalu bertanggung jawab presumption of liability Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab presumption of liability principle, sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Beban pembuktian ada pada si tergugat dan ini erat kaitannya dengan beban pembuktian terbalik. 55 3. Praduga selalu tidak bertanggung jawab presumption of nonliability Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Artinya konsumen tetap bertanggung jawab secara pribadi selama konsumen belum bisa membuktikan bahwa pelaku usaha bersalah. 4. Tanggung jawab mutlak stict liability Menurut R. C. Hoeber et.al., biasanya prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan karena 1 konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks; 2 diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya; 3 asas ini dapat memaksa produsen lebih hati-hati. 5. Pembatasan tanggung jawab limitation of liability Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan limitation of liability principle yaitu prinsip yang memberikan kedudukan kepada pelaku usaha, yang 55 Shidarta, Op.Cit., hlm. 94-95. Universitas Sumatera Utara dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuat untuk mengurangi tanggung jawab pelaku usaha dalam kegiatan sektor jasa keuangan. Prinsip lain yang berkembang dalam perlindungan konsumen, yaitu: 1. Prinsip Perlindungan Kesehatan Harta Konsumen Perlindungan kesehatan dan harta konsumen yang dimaksud adalah perlindungan terhadap manusia agar kesehatannya tidak menurunhartanya tidak berkurang sebagai akibat penggunaan produk. Ketentuan dalam perjanjian internasional yang menghendaki perlindungan kesehatan manusia didasarkan pada bukti ilmiah, agar suatu negara anggota tidak memperlakukan secara berlebihan terhadap produk negara lain dengan dalih tindakan perlindungan kesehatan manusia. 56 2. Prinsip Perlindungan atas Barang dan Harga Perlindungan atas barang dan harga ini dimaksudkan sebagai perlindungan konsumen dari penggunaan barang dengan kualitas yang di bawah standar atau kualitas yang lebih rendah daripada nilai harga yang dibayar. Sehingga konsumen tidak akan diberikan barang dengan kualitas yang lebih rendah daripada harga yang dibayarnya. 57 3. Prinsip Penyelesaian Sengketa secara Patut Penyelesaian sengketa secara patut merupakan harapan setiap orang yang menghadapi sengketa dengan pihak lain, termasuk penyelesaian sengketa secara 56 Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2011, hlm. 184. 57 Ibid., hlm.196-197. Universitas Sumatera Utara patut atas sengketa yang timbul antara konsumen dengan pelaku usaha. Penyelesaian sengketa secara patut bagi konsumen yang mengalami sengketa dengan pelaku usaha dapat terlaksana manakala para pihak konsumen dan pelaku usaha mematuhi setiap ketentuan yang ada. Prinsip-prinsip dalam perlindungan konsumen diatur secara khusus terhadap konsumen sektor jasa keuangan. Prinsip-prinsip tersebut, yaitu: 1. Transparansi adalah pemberian informasi mengenai produk danatau layanan kepada konsumen, secara jelas, lengkap, dengan bahasa yang mudah dimengerti. 2. Perlakuan yang adil adalah perlakuan konsumen secara adil dan tidak diskriminatif diskriminatif adalah memperlakukan pihak lain secara berbeda berdasarkan suku, agama dan ras. 3. Keandalan adalah segala sesuatu yang dapat memberikan layanan yang akurat melalui sistem, prosedur, infrastuktur, dan sumber daya manusia yang andal. 4. Kerahasiaan dan keamanan datainformasi konsumen adalah tindakan yang memberikan perlindungan, menjaga kerahasiaan dan keamanan data danatau informasi konsumen, serta hanya menggunakannya sesuai dengan kepentingan dan tujuan yang disetujui oleh konsumen, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang- undangan yang berlaku. 5. Penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat dan biaya terjangkau Universitas Sumatera Utara Penanganan pengaduan yaitu pelayanan danatau penyelesaian pengaduan. Penyelesaian sengketa yaitu melaksanakan kesepakatan mediasi atau putusan ajudikasi. B. Perlindungan Hukum Preventif 1. Adanya Ketentuan mengenai Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha Pengaturan hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha dalam UU Perlindungan Konsumen dan UU OJK merupakan bentuk perlindungan hukum preventif. Keberadaan hak dan kewajiban ini sebagai aturan untuk memastikan bahwa hak-hak dan kewajibannya konsumen dan pelaku usaha terjamin sebelum, pada saat, maupun setelah melakukan transaksi barang danatau jasa. Melalui ketentuan ini, dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan atau penyelewengan antara konsumen dan pelaku usaha. Pengaturan hak-hak dan kewajiban konsumen terdapat dalam Pasal 4 dan 5 UU Perlindungan Konsumen. Pengaturan hak konsumen sektor jasa keuangan terdapat dalam Pasal 12 POJK Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, tetapi pengaturan kewajiban konsumen sektor jasa keuangan tidak ada diatur dalam UU OJK dan POJK Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Hak-hak konsumen, yaitu: 58 a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang danatau jasa; 58 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab III, Pasal 4. Universitas Sumatera Utara b. Hak untuk memilih barang danatau jasa serta mendapatkan barang danatau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang danatau jasa; d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang danatau jasa yang digunakan; e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani untuk benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti kerugian danatau penggantian apabila barang danatau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Kewajiban konsumen yaitu: 59 a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang danatau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang danatau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; dan d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hak konsumen sektor jasa keuangan yaitu untuk memutuskan produk danatau layanan tanpa dikenakan ganti rugi apapun dalam hal konsumen tidak menyetujui perubahan terhadap persyaratan produk danatau layanan yang ditetapkan. 60 Ketentuan hak-hak dan kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 6 dan 7 UU Perlindungan Konsumen. Ketentuan hak-hak dan kewajiban pelaku usaha jasa keuangan tersebar dalam Pasal 3 sampai Pasal 16, Pasal 20 sampai Pasal 38, Pasal 59 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab III, Pasal 5. 60 Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Nomor 1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Bab II, Pasal 12. Universitas Sumatera Utara 48 sampai Pasal 50, dan Pasal 56 POJK Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Hak-hak pelaku usaha yaitu: 61 a. Hak untuk menerima pembayaran sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang danatau jasa yang diperdagangkan; b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang tidak beritikad baik; c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang danatau jasa yang diperdagangkan; dan e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Kewajiban pelaku usaha yaitu: 62 a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang danatau jasa serta member penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan; c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. Menjamin mutu barang danatau jasa yang diproduksi danatau diperdagangkan sesuai dengan ketentuan standar mutu barang danatau jasa yang berlaku; e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji danatau mencoba barang danatau jasa tertentu serta memberi jaminan danatau garansi atas barang danatau jasa yang dibuat danatau yang diperdagangkan; f. Memberi kompensasi, ganti kerugian danatau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang danatau jasa yang diperdagangkan; g. Memberi kompensasi, ganti kerugian danatau penggantian apabila barang danatau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian; 61 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab III, Pasal 6. 62 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab III, Pasal 7. Universitas Sumatera Utara Pelaku usaha dalam memperlakukan atau melayani konsumen, dilarang membeda-bedakan konsumen. Pelaku usaha juga dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen. 63 Barang danatau jasa tertentu yang dimaksud untuk diuji danatau diuji konsumen adalah barang yang dapat diuji atau dicoba tanpa mengakibatkan kerusakan atau kerugian. 64 Hak pelaku usaha jasa keuangan, yaitu untuk memastikan adanya itikad baik konsumen dan mendapatkan informasi danatau dokumen mengenai konsumen yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan. 65 a. Informasi kepada konsumen Pasal 4 ayat 1, Pasal 4 ayat 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 ayat 1, Pasal 8, Pasal 10 ayat 1, Pasal 12, Pasal 23, Pasal 31 ayat 3, Pasal 32 Kewajiban pelaku usaha jasa keuangan yaitu mengenai: b. Penggunaan dan pemberian penjelasan terhadap istilah, frasa, kalimat, huruf, tulisan, simbol, diagram dan tanda dalam dokumen kepada konsumen Pasal 7 ayat 1, ayat 3, dan ayat 4 c. Pemberian pemahaman kepada konsumen terkait hak dan kewajiban konsumen Pasal 9 d. Penyelenggaraan edukasi kepada konsumen Pasal 14 e. Penyampaian dokumen terkait produk danatau layanan kepada konsumen Pasal 11 ayat 1 63 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab III, Penjelasan Pasal 7 huruf c. 64 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab III, Penjelasan Pasal 7 huruf e. 65 Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Nomor 1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Bab II, Pasal 3. Universitas Sumatera Utara f. Penyusunan pedoman penetapan biaya atau harga produk danatau layanan jasa keuangan Pasal 13 g. Pemberian akses yang setara kepada konsumen Pasal 15 h. Perhatian dalam rangka kesesuaian antara kebutuhan dan kemampuan konsumen dengan produk danatau layanan ditawarkan kepada konsumen Pasal 16 i. Pencantuman danatau penyebutan nama danatau logo pelaku usaha jasa keuangan dan pernyataan bahwa pelaku usaha jasa keuangan terdaftar dan diawasi oleh OJK dalam setiap penawaran atau promosi produk danatau layanan Pasal 20 j. Pemenuhan keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan konsumen Pasal 21, Pasal 22 ayat 1 k. Penghindaran benturan kepentingan antara pelaku usaha jasa keuangan dengan konsumen Pasal 23 l. Penyediaan layanan khusus kepada Konsumen dengan kebutuhan khusus Pasal 24 m. Penjagaan keamanan simpanan, dana, atau aset konsumen Pasal 25 n. Pemberian tanda bukti kepemilikan produk danatau pemanfaatan layanan kepada konsumen Pasal 26 o. Pemberian laporan kepada konsumen tentang posisi saldo dan mutasi simpanan, dana, aset, atau kewajiban konsumen Pasal 27 p. Pelaksanaan instruksi konsumen Pasal 28 q. Pertanggungjawaban pelaku usaha atas kerugian konsumen Pasal 29 Universitas Sumatera Utara r. Pencegahan pengurus, pengawas, dan pegawainya dari perilaku yang bertentangan dengan aturan hukum dan kode etik Pasal 30 s. Pelaksanaan mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan bagi konsumen Pasal 32, Pasal 34 ayat 1, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38 t. Sistem pengawasan bagi direksi atau pengurus Pasal 48 u. Penerapan kebijakan dan prosedur tertulis perlindungan konsumen Pasal 49 v. Sistem pengendalian internal terkait dengan perlindungan konsumen Pasal 50 ayat 1 w. Kelengkapan internal untuk melaksanakan POJK Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan yang paling lama 1 satu tahun terhitung sejak POJK ini diundangkan Pasal 56 2. Adanya Ketentuan mengenai Klausula BakuPerjanjian Baku Klausula baku atau perjanjian baku adalah istilah yang lazim digunakan dalam suatu kontrak atau perjanjian. UU Perlindungan Konsumen dan UU OJK mengatur ketentuan klausula baku atau perjanjian baku dalam rangka memberikan perlindungan hukum secara preventif kepada konsumen. Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan perjanjian baku atau klausula baku oleh pelaku usaha terhadap konsumen dalam dokumen. Klausula baku menurut UU Perlindungan Konsumen, yaitu: 66 66 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab I, Pasal 1 Angka 10. Universitas Sumatera Utara “Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen danatau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”. Perjanjian baku menurut POJK Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, yaitu: 67 Ketentuan klausula baku dalam UU Perlindungan Konsumen mengatur bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang danatau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen danatau perjanjian apabila: “Perjanjian tertulis yang ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha jasa keuangan dan memuat klausula baku tentang isi, bentuk, maupun cara pembuatan, dan digunakan untuk menawarkan produk danatau layanan kepada konsumen secara massal”. 68 a. Menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha; b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang danatau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; 67 Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Nomor 1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Bab II, Penjelasan Pasal 22 ayat 1. 68 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab V, Pasal 18 Ayat 1. Universitas Sumatera Utara f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa; g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan danatau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Pelaku usaha juga dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. 69 Pelaku usaha juga wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan UU Perlindungan Konsumen. 70 Ketentuan mengenai perjanjian baku dalam POJK Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan melarang pelaku usaha jasa keuangan untuk: 71 d. Mengatur tentang kewajiban pembuktian oleh konsumen, jika pelaku usaha jasa keuangan menyatakan bahwa hilangnya kegunaan produk a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban pelaku usaha jasa keuangan kepada konsumen; b. Menyatakan bahwa pelaku usaha jasa keuangan berhak menolak pengembalian uang yang telah dibayar oleh konsumen atas produk danatau layanan yang dibeli; c. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha jasa keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak atas barang yang diagunkan oleh konsumen, kecuali tindakan sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan; 69 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab V, Pasal 18 Ayat 2. 70 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab V, Pasal 18 Ayat 4. 71 Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Nomor 1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Bab II, Pasal 22 Ayat 3. Universitas Sumatera Utara danatau layanan yang dibeli oleh konsumen, bukan merupakan tanggung jawab pelaku usaha jasa keuangan; e. Memberi hak kepada pelaku usaha jasa keuangan untuk mengurangi kegunaan produk danatau layanan atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek perjanjian produk dan layanan; f. Menyatakan bahwa konsumen tunduk pada peraturan baru, tambahan, lanjutan danatau perubahan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha jasa keuangan dalam masa konsumen memanfaatkan produk danatau layanan yang dibelinya; g. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha jasa keuangan untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan atas produk danatau layanan yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Ketentuan dalam POJK Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan juga mengatur bahwa pelaku usaha jasa keuangan yang menggunakan perjanjian baku, perjanjian baku tersebut wajib disusun sesuai dengan peraturan perundang- undangan. 72 Perjanjian baku tersebut dapat berbentuk digital atau elektronik untuk ditawarkan oleh pelaku usaha jasa keuangan melalui media elektronik. 73 Selain itu, perjanjian baku yang telah dibuat oleh pelaku usaha jasa keuangan sebelum berlakunya POJK Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan wajib disesuaikan dengan POJK ini paling lambat pada tanggal 6 Agustus 2014. 74 3. Adanya Ketentuan mengenai Perbuatan yang Dilarang bagi Pelaku Usaha Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang terdapat dalam UU OJK dan UU Perlindungan Konsumen, merupakan bentuk perlindungan hukum secara preventif karena mencegah terjadinya penyalahgunaan perbuatan-perbuatan pelaku usaha terhadap konsumen yang 72 Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Nomor 1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Bab II, Pasal 22 ayat 1. 73 Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Nomor 1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Bab II, Pasal 22 ayat 2. 74 Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Nomor 1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Bab II, Pasal 54. Universitas Sumatera Utara dapat merugikan konsumen. Sehingga melalui ketentuan ini, pelaku usaha melakukan tindakan-tindakan yang wajar terhadap konsumen. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha terdapat dalam Pasal 8 sampai Pasal 17 UU Perlindungan Konsumen. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha jasa keuangan terdapat dalam Pasal 10, Pasal 17 sampai 19, Pasal 22, Pasal 31, dan Pasal 33 POJK Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Larangan-larangan tentang memproduksi dan memperdagangkan barang danatau jasa terdapat dalam Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen sebagai berikut: 75 i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, beratisi bersih atau netto, 1 Pelaku usaha dilarang memproduksi danatau memperdagangkan barang danatau jasa yang: a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan; b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang danatau jasa tersebut e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang danatau jasa tersebut; f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang danatau jasa tersebut; g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label; 75 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab IV, Pasal 8. Universitas Sumatera Utara komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang dibuat; j. tidak mencantumkan informasi danatau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku. 2 Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. 3 Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. 4 Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan ayat 2 dilarang memperdagangkan barang danatau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran. Larangan-larangan dalam menawarkanmempromosikanmengiklankan terdapat dalam Pasal 9 sampai Pasal 10 dan Pasal 12 sampai Pasal 17 UU Perlindungan Konsumen. Bunyi Pasal 9 yaitu: 76 76 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab IV, Pasal 9. 1 Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang danatau jasa secara tidak benar, danatau seolah-olah: a. barang tersebut telah memenuhi danatau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu; b. barang tersebut dalam keadaan baik danatau baru; c. barang danatau jasa tersebut telah mendapatkan danatau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, cirri-ciri kerja atau aksesori tertentu; d. barang danatau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi; e. barang danatau jasa tersebut tersedia; f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi; g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu; h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu; i. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang danatau jasa lain; Universitas Sumatera Utara j. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tampak keterangan yang lengkap; k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti. 2 Barang danatau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilarang untuk diperdagangkan. 3 Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat 1 dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang danatau jasa tersebut. Bunyi Pasal 10 yaitu: 77 Bunyi Pasal 12 yaitu: Pelaku usaha dalam menawarkan barang danatau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai: a. harga atau tarif suatu barang danatau jasa; b. kegunaan suatu barang danatau jasa; c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang danatau jasa; d. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; e. bahaya penggunaan barang danatau jasa. 78 Bunyi Pasal 13 yaitu: “Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barangdanatau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan”. 79 2 Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat 1 Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang danjasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang danatau jasa lain secara cumacuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya. 77 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab IV, Pasal 10. 78 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab IV, Pasal 12. 79 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab IV, Pasal 13. Universitas Sumatera Utara kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang danatau jasa lain. Bunyi Pasal 14, yaitu: 80 Bunyi Pasal 15 yaitu: Pelaku usaha dalam menawarkan barang danatau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk: a. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan; b. mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa; c. memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan; d. mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan. 81 Bunyi Pasal 16, yaitu: “Pelaku usaha dalam menawarkan barang danatau jasa yang dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen”. 82 Bunyi Pasal 17, yaitu: Pelaku usaha dalam menawarkan barang danatau jasa melalui pesanan dilarang untuk: a. tidak menepati pesanan danatau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan; b. tidak menepati janji atas suatu pelayanan danatau prestasi. 83 80 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab IV, Pasal 15. 81 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab IV, Pasal 15. 82 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab IV, Pasal 16. 83 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab IV, Pasal 17. 1 Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang: a. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang danatau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang danatau jasa; Universitas Sumatera Utara b. mengelabui jaminangaransi terhadap barang danatau jasa; c. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang danatau jasa; d. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang danatau jasa; e. mengeksploitasi kejadian danatau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan; f. melanggar etika danatau ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai periklanan. 2 Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat 1. Khusus larangan dalam penjualan secara obrallelang, diatur dalam Pasal 11 sebagai berikut: 84 a. menyatakan barang danatau jasa tersebut seolaholah telah memenuhi standar mutu tertentu; Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui menyesatkan konsumen dengan; b. menyatakan barang danatau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi; c. tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain; d. tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu danatau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain; e. tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain; f. menaikkan harga atau tarif barang danatau jasa sebelum melakukan obral. Perbuatan yang dilarang untuk dilakukan pelaku usaha jasa keuangan terdiri dari 8 delapan poin berikut, yaitu: a. Pelaku usaha jasa keuangan dilarang memberikan fasilitas secara otomatis yang mengakibatkan tambahan biaya tanpa persetujuan tertulis dari konsumen Pasal 10 84 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab IV, Pasal 11. Universitas Sumatera Utara b. Pelaku usaha jasa keuangan dilarang menggunakan strategi pemasaran produk danatau layanan yang merugikan konsumen dengan memanfaatkan kondisi konsumen yang tidak memiliki pilihan lain dalam mengambil keputusan Pasal 17 c. Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang memaksa Konsumen untuk membeli produk danatau layanan lain dalam paket produk danatau layanan Pasal 18 ayat 2 d. Pelaku usaha jasa keuangan dilarang melakukan penawaran produk danatau layanan kepada konsumen danatau masyarakat melalui sarana komunikasi pribadi tanpa persetujuan konsumen Pasal 19 e. Larangan-larangan dalam pembuatan perjanjian baku. Pasal 22 ayat 3 f. Pelaku usaha jasa keuangan dilarang dengan cara apapun, memberikan data danatau informasi mengenai konsumennya kepada pihak ketiga, kecuali konsumen memberikan persetujuan tertulis danatau diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan Pasal 31 ayat 3 g. Pelaku usaha jasa keuangan dilarang mengenakan biaya apapun kepada konsumen atas pengajuan pengaduan Pasal 33. 4. Adanya Ketentuan mengenai Tanggungjawab Pelaku Usaha Tanggung jawab pelaku usaha merupakan bentuk perlindungan hukum secara preventif yang diberikan untuk melindungi konsumen dalam kegiatan perdagangan barang danatau jasa. Dikatakan preventif karena ketentuan ini Universitas Sumatera Utara bertujuan untuk mengantisipasi adanya pengalihan tanggung jawab dari pelaku usaha kepada konsumen, yang seharusnya merupakan tanggung jawab pelaku usaha, sehingga tidak merugikan konsumen. Ketentuan tanggung jawab ini terdapat dalam Pasal 19 sampai Pasal 28 UU Perlindungan Konsumen. Tanggung jawab tersebut meliputi tanggung jawab ganti rugi atas kerusakan atau cacat barang danatau jasa Pasal 19, tanggung jawab atas iklan Pasal 20, tanggung jawab atas barang impor Pasal 21, tanggung jawab pembuktian dalam kasus pidana Pasal 22, tanggung jawab atas gugatan konsumen di BPSK dan badan peradilan Pasal 23, tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan gugatan konsumen Pasal 24, tanggung jawab atas pengadaan suku cadang danatau fasilitas purna jual disertai dengan garansi Pasal 25, tanggung jawab untuk memberikan jaminangaransi sesuai kesepakatan di bidang jasa Pasal 26, pembebasan tanggung jawab pelaku usaha dari kerugian konsumen Pasal 27, tanggung jawab pembuktian dalam gugatan ganti rugi Pasal 28. Bunyi Pasal 19 yaitu: 85 4 Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana 1 Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. 2 Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang danatau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan danatau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3 Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 tujuh hari setelah tanggal transaksi. 85 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab VI, Pasal 19. Universitas Sumatera Utara berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. 5 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat 1 dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha, meliputi tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan, tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran, dan tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen. Bunyi Pasal 20 yaitu: 86 Bunyi Pasal 21 yaitu: “Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut”. 87 Konstruksi hukum yang dikemukakan di atas, menjadikan kerugian yang diderita importir akibat cacat produksi barang danatau jasa impor menjadi urusan pribadi importir yang bersangkutan. Importir dapat menuntut produsen luar negeri, tetapi bukan mewakili konsumen Indonesia dan tidak pula berdasarkan 1 Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri. 2 Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing. 86 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab VI, Pasal 20.. 87 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab VI, Pasal 21. Universitas Sumatera Utara UU Perlindungan Konsumen melainkan berdasarkan ketentuan dalam kontrak dagang internasional. 88 Bunyi Pasal 24 yaitu: Bunyi Pasal 22 yaitu mengenai tanggungjawab pelaku usaha terkait pembuktian ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menerapkan sistem beban pembuktian terbalik. Bunyi Pasal 23 mengenai tanggung jawab pelaku usaha di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK dan badan peradilan atas gugatan konsumen terkait terkait dengan ganti kerugian atas tuntutan konsumen, dalam hal ditolak, tidak dipenuhi oleh pelaku usaha atau tidak diberikan tanggapan. 89 Pengaturan Pasal 24 ayat 1 tersebut menempatkan pelaku usaha yang menjual barang danatau jasa kepada pelaku usaha lain akan tetap bertanggung 1 Pelaku usaha yang menjual barang dan atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen apabila: a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang danatau jasa tersebut; b. pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang danatau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi. 2 Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi danatau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang danatau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang danatau jasa tersebut. 88 Ahmadi Miru, Op.Cit., hlm. 153. 89 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab VI, Pasal 24. Universitas Sumatera Utara jawab atas tuntutan ganti kerugian danatau gugatan konsumen, sekalipun tidak memiliki hubungan kontraktual dengan konsumen yang bersangkutan. 90 Bunyi Pasal 25 yaitu: 91 Ketentuan pasal ini jika dikaitkan dengan kontrak memperlihatkan bahwa suatu kontrak tidak hanya mengikat dalam tahapan pelaksanaan kontrak, tetapi juga mengikat dalam tahapan pasca pelaksanaan kontrak. 1 Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurangkurangnya 1 satu tahun wajib menyediakan suku cadang danatau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan. 2 Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi danatau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut: a. tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang danatau fasilitas perbaikan; b. tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan. 92 Satu hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan subtansi pasal ini, bahwa kewajiban menyediakan suku cadang atau fasilitas purna jual yang dimaksud tidak tergantung ada atau tidaknya ditentukan dalam perjanjian. Hal ini memberikan konsekuensi bahwa walaupun perjanjian para pihak tidak menentukan, konsumen tetap memiliki hak menuntut ganti rugi kepada pelaku usaha yang bersangkutan berdasarkan perbuatan melanggar hukum, apabila kewajiban menyediakan suku cadang atau fasilitas purna jual tersebut diabaikan pelaku usaha. 93 90 Ahmadi Miru, Op.Cit., hlm. 156. 91 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab VI, Pasal 25.. 92 Ahmadi Miru, Op.Cit., hlm. 157. 93 Ibid., hlm. 157-158. Universitas Sumatera Utara Bunyi Pasal 26 yaitu: 94 Bunyi Pasal 27 yaitu: “Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan danatau garansi yang disepakati danatau yang diperjanjikan”. Tanggung jawab pelaku usaha pada pasal ini terkait dengan memenuhi jaminan danatau garansi atas jasa yang diperdagangkan oleh pelaku usaha yang digantungkan syarat pada isi perjanjian. Hal ini memberikan konsekuensi bahwa apabila dalam perjanjian tidak ditentukan kewajiban pelaku usaha tersebut, maka dengan sendirinya konsumen tidak dapat menuntut pemenuhan itu dari pelaku usaha. 95 5. Pembinaan dan Pengawasan oleh Pemerintah Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila: a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan; b. cacat barang timbul pada kemudian hari; c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen; e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 empat tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan. Bunyi Pasal 28 yaitu mengenai tanggung jawab pelaku usaha terkait pembuktian ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi. Keterlibatan pemerintah dalam pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sesuai dengan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara 94 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab VI, Pasal 26. 95 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab VI, Pasal 27. Universitas Sumatera Utara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut UUD 1945, yaitu untuk mensejahterakan rakyatnya. Pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah merupakan bentuk perlindungan hukum secara preventif karena ketentuannya bertujuan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan antara konsumen dan pelaku usaha. Hal ini karena kedudukan konsumen lebih lemah dibandingkan kedudukan pelaku usaha. Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran akan haknya masih rendah, yang terutama disebabkan oleh pendidikan yang masih rendah. Oleh karena itu, UU Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah untuk melakukan pemberdayaan konsumen melalui pembinaan konsumen. 96 Bunyi Pasal 29 yaitu: Ketentuan mengenai pembinaan dan pengawasan pemerintah ini terdapat dalam Pasal 29 UU Perlindungan Konsumen. 97 96 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab VII, Penjelasan Pasal 29. 97 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab VII, Pasal 29. 1 Pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. 2 Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan oleh Menteri danatau menteri teknis terkait. 3 Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat 2 melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen. 4 Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat 2 meliputi upaya untuk: a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen; b. berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; Universitas Sumatera Utara c. meningkatnya kualitas sumberdaya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen. 5 Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ketiga tugas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan dilaksanakan oleh Menteri danatau menteri teknis terkait sebagaimana ditentukan dalam Pasal 29 tersebut yang telah dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen. 6. Tindakan Pencegahan Kerugian oleh Otoritas Jasa Keuangan Tindakan pencegahan kerugian oleh OJK merupakan bentuk perlindungan hukum secara preventif yang bertujuan untuk menghindari penyalahgunaan yang dapat merugikan konsumen. Bunyi Pasal 28, yaitu: 98 a. Memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya; b. Meminta lembaga jasa keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat; c. Tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. C. Perlindungan Hukum Represif 1. Adanya Ketentuan mengenai Sengketa Sengketa dalam bahasan ini identik dengan penyelesaian sengketa sebagai upaya perlindungan hukum secara represif yang diberikan terhadap konsumen. Dikatakan upaya represif karena merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat 98 Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Nomor 1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Bab II, Pasal 28. Universitas Sumatera Utara digunakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan hukum akibat terjadinya suatu pelanggaran hukum. Penyelesaian sengketa menurut UU Perlindungan Konsumen terdiri atas ada dua pilihan, yaitu melalui jalur di luar pengadilan dan melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Begitu juga dengan UU OJK dan POJK Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Menurut UU Perlindungan Konsumen, penyelesaian sengketa melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku 99 yang hanya dimungkinkan apabila: 100 a. Para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan; b. Upaya penyelesaian sengeta konsumen di luar pengadilan, dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Pengadilan baru berwenang mengadili perkara jika penyelesaian melalui BPSK tidak berhasil, dalam arti BPSK yang tidak berhasil memberi putusan dalam cara arbitrase, atau BPSK sebagai mediator atau konsiliator tidak berhasil mengantar para pihak mencapai kesepakatan dalam hal cara mediasi atau konsiliasi. Pernyataan ketidakberhasilan ini dinyatakan oleh BPSK, bukan oleh pihaksalah satu pihak yang bersengketa. 101 Upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat ditempuh melalui BPSK dan lembaga penyelesaian sengketa lainnya. Badan ini bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen 102 99 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab X, Pasal 45. 100 Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen Op.Cit., hlm. 234. 101 Ahmadi Miru, Ibid., hlm. 228 102 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab I Pasal 1 Angka 11. dengan efisien, Universitas Sumatera Utara cepat, murah dan profesional. Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi danatau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. 103 Menurut UU OJK dan POJK Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, penyelesaian sengketa untuk konsumen sektor jasa keuangan dapat dilakukan melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan dilakukan dalam lingkungan peradilan umum, yaitu dapat diajukan oleh konsumen sendiri atau melalui OJK. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilakukan melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa. 104 Dalam hal penyelesaian sengketa tidak dilakukan melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa, konsumen dapat menyelesaikannya melalui OJK, yaitu dengan menyampaikan permohonan kepada OJK untuk memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha jasa keuangan. 105 Penyelesaian sengketa melalui OJK merupakan bentuk penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Konsumen dapat menyampaikan pengaduan yang berindikasi sengketa antara pelaku usaha jasa keuangan dengan konsumen kepada OJK. 106 103 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab X, Pasal 47. 104 Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Nomor 1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Bab II, Pasal 39 ayat 2. 105 Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Nomor 1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Bab II, Pasal 39 ayat 3. 106 Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Nomor 1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Bab II, Pasal 40 ayat 1. Universitas Sumatera Utara Pemberian fasilitas penyelesaian pengaduan Konsumen oleh OJK dilakukan terhadap pengaduan yang berindikasi sengketa di sektor jasa keuangan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 107 Fasilitas yang diberikan oleh OJK setelah Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan sepakat untuk difasilitasi oleh OJK yang dituangkan dalam perjanjian fasilitasi yang memuat: 1 Konsumen mengalami kerugian finansial yang ditimbulkan oleh: a. Pelaku usaha jasa keuangan di bidang perbankan, pasar modal, dana pensiun, asuransi jiwa, pembiayaan, perusahaan gadai, atau penjaminan, paling banyak sebesar Rp 500.000.000,00 lima ratus juta rupiah; b. Pelaku usaha jasa keuangan di bidang asuransi umum paling banyak sebesar Rp 750.000.000,00 tujuh ratus lima puluh juta rupiah; 2 Konsumen mengajukan permohonan secara tertulis disertai dengan dokumen pendukung yang berkaitan dengan pengaduan; 3 Pelaku usaha jasa keuangan telah melakukan upaya penyelesaian pengaduan namun Konsumen tidak dapat menerima penyelesaian tersebut atau telah melewati batas waktu sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan OJK ini; 4 Pengaduan yang diajukan bukan merupakan sengketa sedang dalam proses atau pernah diputus oleh lembaga arbritrase atau peradilan, atau lembaga mediasi lainnya; 5 Pengaduan yang diajukan bersifat keperdataan; 6 Pengaduan yang diajukan belum pernah difasilitasi oleh OJK; dan 7 Pengajuan penyelesaian pengaduan tidak melebihi 60 enam puluh hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan yang disampaikan pelaku usaha jasa keuangan kepada konsumen. 108 b. Persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan fasilitasi yang ditetapkan oleh OJK. a. Kesepakatan untuk memilih penyelesaian pengaduan yang difasilitasi oleh OJK 107 Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Nomor 1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Bab II, Pasal 41. 108 Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Nomor 1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Bab II, Pasal 44. Universitas Sumatera Utara Pelaksanaan proses fasilitasi sampai dengan ditandatanganinya akta kesepakatan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 tiga puluh hari kerja sejak konsumen dan pelaku usaha jasa keuangan menandatangani perjanjian fasilitasi dan dapat diperpanjang sampai dengan 30 tiga puluh hari kerja berikutnya berdasarkan akta kesepakatan konsumen dan pelaku usaha jasa keuangan. 109 Kesepakatan antara konsumen dan pelaku usaha jasa keuangan yang dihasilkan dari proses fasilitasi dituangkan dalam akta kesepakatan yang ditandatangani oleh konsumen dan pelaku usaha jasa keuangan dan dalam hal tidak terjadi kesepakatan antara konsumen dengan pelaku usaha jasa keuangan, maka ketidaksepakatan tersebut dituangkan dalam berita acara hasil fasilitasi OJK yang ditandatangani oleh konsumen dan pelaku usaha jasa keuangan. 110 2. Adanya Ketentuan mengenai Gugatan Ketentuan gugatan dalam UU OJK dan UU Perlindungan Konsumen merupakan bentuk perlindungan hukum represif yang diberikan kepada konsumen dalam rangka upaya menyelesaikan permasalahan yang terjadi akibat pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha kepada konsumen. Ketentuan gugatan ini memberikan kesempatan pada konsumen untuk memperjuangkan haknya yang dirugikan akibat tindakan atau perilaku pelaku usaha. Ketentuan gugatan dalam UU Perlindungan Konsumen dapat diajukan oleh 4 empat pihak, sedangkan ketentuan gugatan dalam UU OJK diajukan oleh 2 dua pihak. 109 Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Nomor 1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Bab II, Pasal 45. 110 Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Nomor 1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Bab II, Pasal 46. Universitas Sumatera Utara Menurut Pasal 45 ayat 1 UU Perlindungan Konsumen, gugatan dapat diajukan oleh konsumen terhadap pelaku usaha kepada BPSK dan Peradilan Umum. Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan gugatan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 46 UU Perlindungan Konsumen, yaitu: 111 Menurut UU OJK, gugatan dapat diajukan oleh konsumen dan OJK kepada pengadilan. Konsumen dapat mengajukan gugatan terhadap pelaku usaha sektor jasa keuangan melalui pengadilan setelah penyelesaian pengaduan tidak menghasilkan kesepakatan. a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b. Kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya; d. Pemerintah danatau instansi terkait apabila barang danatau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar danatau korban yang tidak sedikit. Undang-undang ini mengakui adanya 4 empat jenis gugatan, yaitu gugatan perseorangan, gugatan kelompok atau class action, legal standing dan gugatan oleh pemerintah atau instansi terkait dapat juga dikatakan legal standing. Ketiga pihak yang disebut terakhir hanya dimungkinkan untuk mengajukan gugatannya melalui peradilan umum. 112 111 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab X, Pasal 46 Ayat 1. 112 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Bab X, Pasal 39 ayat 1. Sedangkan OJK dapat mengajukan gugatan untuk mewakili konsumen selama perkara belum pernah diputus oleh lembaga manapun danatau tidak sedang dalam proses penyelesaian dengan lembaga lain. Universitas Sumatera Utara 3. Adanya Ketentuan mengenai Penyidikan Ketentuan penyidikan dalam UU OJK dan UU Perlindungan Konsumen merupakan bentuk perlindungan hukum represif terhadap konsumen, karena penyidikan tergolong tindakan hukum atau juridis yang tujuannya untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul, akibat pelanggaran hukum oleh pelaku usaha terhadap konsumen. Melalui ketentuan ini, penyidik dapat melakukan penyidikan perkara dalam rangka memberikan kepastian hukum terkait perlindungan konsumen. Ketentuan penyidikan terdapat dalam Pasal 54 UU Perlindungan Konsumen. Wewenang penyidik menurut UU Perlindungan Konsumen, yaitu: 113 Penyidikan terdapat dalam Pasal 54 UU Perlindungan Konsumen. Menurut undang-undang ini, wewenang khusus sebagai penyidik tidak saja diberikan kepada Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tetapi juga kepada Pejabat a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen; b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang lain atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana dibidang perlindungan konsumen; c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana dibidang perlindungan konsumen; d. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen; e. Melakukan pemeriksaan ditempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti serta melakukan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan konsumen. f. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen. 113 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab XII, Pasal 59. Universitas Sumatera Utara Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan konsumen. 114 Penyidikan khusus untuk perkara terkait industri jasa keuangan diberikan kepada OJK. Ketentuan mengenai penyidikan OJK ini terdapat dalam Pasal 49 sampai dengan Pasal 51 UU OJK. Lembaga ini mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang penyidikan dalam rangka melaksanakan tugas pengawasan lembaga jasa keuangan. Dalam hal penyidikan, OJK dapat melakukan kerja sama dengan otoritas pengawas Lembaga Jasa Keuangan di negara lain serta organisasi internasional dan lembaga internasional lainnya berdasarkan prinsip timbal balik yang seimbang. Dalam penyidikan, ada pelaksanaan tugas atau wewenang Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil, didasarkan pada laporan BPSK berkenaan dengan adanya dugaan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen, baik yang diperolehnya dari hasil pengawasan danatau penelitian yang dilakukannya sendiri, pengaduan konsumen danatau hasil pemeriksaan dalam rangka penyelesaian sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. 115 Berdasarkan UU OJK, penyidikan seluruh kejahatan di bidang keuangan dilakukan oleh Penyidik OJK yang merupakan Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Sedangkan kejahatan di sektor keuangan lainnya merupakan kewenangan 114 Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, Op.Cit., hlm. 270. 115 Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Nomor 1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Bab II, Pasal 47 huruf c. Universitas Sumatera Utara kepolisian. 116 Wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yaitu sebagai berikut: 117 Pasal 49 ini menuai kritikan dari Zulkarnaen Sitompul. Menurutnya, pasal ini menyebabkan OJK tidak leluasa mengangkat penyidik OJK karena pegawai a. Menerima laporan, pemberitahuan, atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di sektor jasa keuangan; b. Melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan; c. Melakukan penelitian terhadap Setiap Orang yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan; d. Memanggil, memeriksa, serta meminta keterangan dan barang bukti dari Setiap Orang yang disangka melakukan, atau sebagai saksi dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan; e. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan; f. Melakukan penggeledahan di setiap tempat tertentu yang diduga terdapat setiap barang bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap barang yang dapat dijadikan bahan bukti dalam perkara tindak pidana di sektor jasa keuangan; g. Meminta data, dokumen, atau alat bukti lain, baik cetak maupun elektronik kepada penyelenggara jasa telekomunikasi; h. Dalam keadaan tertentu meminta kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan pencegahan terhadap orang yang diduga telah melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; i. Meminta bantuan aparat penegak hukum lain; j. Meminta keterangan dari bank tentang keadaan keuangan pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; k. Memblokir rekening pada bank atau lembaga keuangan lain dari pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan; l. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan; dan m. Menyatakan saat dimulai dan dihentikannya penyidikan. 116 Zulkarnain Sitompul, “Peralihan Fungsi Tugas Wewenang Pengawasan Bank dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan”, Medan: Sosialisasi Peralihan Fungsi Pengawasan Industri Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan, 29 November 2013, hlm. 14. 117 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Bab XI, Pasal 49 Ayat 3. Universitas Sumatera Utara OJK bukan pegawai negeri sipil. Dengan demikian, penyidik OJK harus tenaga yang dipekerjakan dari instansi pemerintah lain, misalnya PPNS yang berasal dari Kementerian Keuangan atau kementerian lainnya. 118 Koordinasi Penyidik Pegawai Negeri Sipil OJK dan jaksa dalam penyidikan juga dibutuhkan. Penyidik Pegawai Negeri Sipil OJK harus menyampaikan hasil penyidikan kepada Jaksa untuk dilakukan penuntutan dan jaksa wajib menindaklanjuti dan memutuskan tindak lanjut hasil penyidikan sesuai kewenangannya paling lama 90 sembilan puluh hari sejak diterimanya hasil penyidikan. 119 Lebih lanjut, Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang dipekerjakan di OJK hanya dapat ditarik dengan pemberitahuan paling singkat 6 enam bulan sebelum penarikan dan tidak sedang menangani perkara dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil diharuskan bekerja sama dengan instansi terkait. 120 Menurut Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, ada beberapa masalah mendasar pada struktur yang ada yang berpotensi mempengaruhi level implementasi penyidikan, yaitu: 121 Pertama, tidak ada standar dan hukum acara yang spesifik menyangkut tingkat penyidikan di OJK. Tidak terintegrasinya fungsi penyidik dalam lembaga 118 Zulkarnain Sitompul, Op.Cit. 119 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Bab XI, Pasal 50. 120 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Bab XI, Pasal 51. 121 Bismar Nasution, “Fungsi dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam Mengawasi Industri Jasa Keuangan”, Medan: Sosialisasi Peralihan Fungsi Pengawasan Industri Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan, 29 November 2013, hlm. 11-13. Universitas Sumatera Utara OJK berpotensi menimbulkan perbedaan interpretasi yang pada gilirannya dapat menimbulkan inkonsistensi dalam penerapan kebijakan. Kedua, adanya potensi multi interpretasi pada Pasal 49 Angka 1 UU OJK. Masalah interpretasi ini haruslah diperjelas karena perbedaan pandangan akan berpotensi mempengaruhi independensi penyidikan oleh OJK dan penegakan hukum di bidang keuangan secara umum. Idealnya, penyidikan di bidang keuangan harus dilakukan oleh satu institusi untuk menjaga konsistensi dari kebijakan yang ada. Ketiga, dalam hal struktur organisasi penyidikan, masih adanya kekosongan mengenai sejauh mana OJK dapat tetap independen dalam proses penyidikan. Dalam melakukan penyidikan, OJK masih harus meminjam bantuan dari pemerintah, baik institusi polisi maupun institusi lainnya. 4. Adanya Ketentuan mengenai Sanksi Ketentuan mengenai sanksi yang ada pada UU OJK dan UU Perlindungan Konsumen merupakan bentuk perlindungan hukum secara represif. Hal ini karena ketentuan sanksi merupakan suatu aturan yang berisi hukuman berupa tindakan hukum, baik itu pidana maupun administrasi yang diberikan kepada pihak-pihak yang melanggar ketentuan yang terdapat dalam peraturan yang ada, sehingga dapat memberikan kepastian hukum kepada konsumen dan pelaku usaha. Sanksi administratif dan sanksi pidana yang ada pada UU Perlindungan Konsumen ditujukan untuk pelaku usaha, sedangkan sanksi administratif dan sanksi pidana yang ada dalam UU OJK dan POJK Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan ditujukan bukan hanya untuk pelaku usaha pada sektor jasa Universitas Sumatera Utara keuangan, tetapi juga pihak-pihak yang memiliki hubungan dengan OJK. Ketentuan sanksi administratif dalam UU Perlindungan Konsumen terdapat dalam Pasal 60 ayat 2 dan Pasal 63. Ketentuan sanksi administrative dalam POJK Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan terdapat dalam Pasal 53. Ketentuan sanksi pidana dalam UU Perlindungan Konsumen terdapat dalam Pasal 62. Ketentuan sanksi dalam UU OJK terdapat dalam Pasal 52 sampai Pasal 54. a. Sanksi Administratif Sanksi administratif dalam UU Perlindungan Konsumen dijatuhkan oleh BPSK. Badan yang dipilih dari unsur pelaku usaha, konsumen dan pemerintah ini dibentuk untuk menyelesaikan sengketa konsumen yang ada di luar pengadilan, melalui mediasi, arbitrase maupun konsiliasi dengan cara membentuk suatu majelis yang putusannya bersifat final dan mengikat. Sanksi administratif menurut UU Perlindungan Konsumen berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah. 122 Selain itu, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa: 123 Sanksi administratif dalam aturan OJK dijatuhkan oleh OJK. Sanksi ini diberikan kepada pelaku usaha jasa keuangan danatau pihak yang 1 perampasan barang tertentu; 2 pengumuman keputusan hakim; 3 pembayaran ganti rugi; 4 perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; 5 kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau 6 pencabutan izin usaha. 122 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, BabXIII, Pasal 60 Ayat 2. 123 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, BabXIII, Pasal 63. Universitas Sumatera Utara melanggar ketentuan dalam POJK Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, yaitu berupa: 124 Jenis sanksi administratif peringatan tertulis merupakan jenis sanksi yang dapat dikenakan oleh OJK terhadap pelanggaran Peraturan OJK ini, dengan memperhatikan aspek pembinaan terhadap pihak yang akan dikenakan sanksi dimaksud. 1 Peringatan tertulis; 2 Denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; 3 Pembatasan kegiatan usaha; 4 Pembekuan kegiatan usaha; dan 5 Pencabutan izin kegiatan usaha. 125 Sanksi tersebut dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi peringatan tertulis. 126 Khusus sanksi denda dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaaan sanksi pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan pencabutan izin kegiatan usaha. 127 Besaran sanksi denda ditetapkan OJK berdasarkan ketentuan tentang sanksi administratif berupa denda yang berlaku untuk setiap sektor jasa keuangan 128 dan OJK dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif kepada masyarakat. 129 b. Sanksi Pidana 124 Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Nomor 1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Bab VI, Pasal 53 ayat 1. 125 Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Nomor 1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Bab VI, Penjelasan Pasal 53 ayat 1. 126 Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Nomor 1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Bab VI, Pasal 53 ayat 2. 127 Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Nomor 1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Bab VI, Pasal 53 ayat 3. 128 Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Nomor 1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Bab VI, Pasal 53 ayat 4. 129 Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Nomor 1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Bab VI, Pasal 53 ayat 5. Universitas Sumatera Utara Ketentuan pidana dalam UU Perlindungan Konsumen ditujukan kepada pelaku usaha. Adapun bunyinya yaitu sebagai berikut. 130 Ketentuan sanksi dalam Pasal 52 UU OJK terkait dengan penyalahgunaan informasi, Pasal 53 terkait dengan pelanggaran terhadap 1 Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat 2, Pasal 15, Pasal 17 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat 2 dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 dua milyar rupiah. 2 Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat 1, Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat 1 huruf d dan huruf f dipidana penjara paling lama 2 dua tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 lima ratus juta rupiah. 3 Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku. Sanksi pidana yang dikenal dalam UU Perlindungan Konsumen ada dua tingkatan, yaitu sanksi pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 dua miliar rupiah dan sanksi pidana penjara paling lama dua tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 lima ratus juta rupiah.Ketentuan Pasal 62 ini memberlakukan dua aturan hukum sesuai tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian diberlakukan ketentuan hukum pidana sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, sementara di luar dari tingkat pelanggaran tersebut berlaku ketentuan pidana tersebut dalam UU Perlindungan Konsumen. 130 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, BabXIII, Pasal 62. Universitas Sumatera Utara pelaksanaan kewenangan OJK, dan Pasal 54 mengenai perintah tertulis atau tugas pengelola statute. Bunyi Pasal 52, yaitu setiap orang perseorangan yang menggunakan atau mengungkapkan informasi apa pun yang bersifat rahasia kepada pihak lain, kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya berdasarkan keputusan OJK atau diwajibkan oleh undang-undang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 enam tahun dan pidana denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 lima belas miliar rupiah. Setiap orang perseorangan yang dimaksud yaitu orang yang menjabat atau pernah menjabat sebagai anggota Dewan Komisioner, pejabat atau pegawai OJK, orang yang bertindak untuk dan atas nama OJK, yang dipekerjakan di OJK, atau sebagai staf ahli di OJK, dan orang yang mengetahui informasi yang bersifat rahasia, baik karena kedudukannya, profesinya, sebagai pihak yang diawasi, maupun hubungan apa pun dengan OJK. 131 Apabila pelanggaran terhadap ketentuan ini dilakukan oleh korporasi, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp45.000.000.000,00 empat puluh lima miliar rupiah danatau sebesar jumlah kerugian yang ditimbulkan akibat pelanggaran tersebut. 132 Bunyi Pasal 53, yaitu setiap orang yang dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, atau menghambat pelaksanaan kewenangan OJK dalam hal: 131 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Bab XII, Pasal 52 Ayat 1. 132 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Bab XII, Pasal 52 Ayat 2. Universitas Sumatera Utara 1 melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, danatau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; 2 memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan danatau pihak tertentu; 3 melakukan penunjukan pengelola statuter; 4 menetapkan penggunaan pengelola statuter; 5 menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan 6 kewenangan OJK untuk melakukan pembelaan hukum, yaitu memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada Lembaga Jasa Keuangan untuk menyelesaikan pengaduan Konsumen yang dirugikan Lembaga Jasa Keuangan dimaksud, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 dua tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 lima miliar rupiah atau pidana penjara paling lama 6 enam tahun dan pidana denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 lima belas miliar rupiah. 133 Apabila pelanggaran dilakukan oleh korporasi, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp15.000.000.000,00 lima belas miliar rupiah atau paling banyak Rp45.000.000.000,00 empat puluh lima miliar rupiah. 134 Bunyi Pasal 54, yaitu setiap orang yang dengan sengaja mengabaikan danatau tidak melaksanakan perintah tertulis atau tugas untuk menggunakan pengelola statuter, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 dua tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 lima miliar rupiah atau pidana penjara paling lama 6 enam tahun dan 133 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Bab XII, Pasal 53 Ayat 1. 134 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Bab XII, Pasal 53 Ayat 2. Universitas Sumatera Utara pidana denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 lima belas miliar rupiah. 135 Apabila pelanggaran dilakukan oleh korporasi, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp15.000.000.000,00 lima belas miliar rupiah atau paling banyak Rp45.000.000.000,00 empat puluh lima miliar rupiah. 136

A. Kedudukan Undang-Undang dalam Sistem Hukum Nasional di

Dokumen yang terkait

Prosedur Mutasi Jabatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Ditinjau Dari Persektif Hukum Administrasi Negara (Studi Kasus Dinas Pekerjaan Umum)

10 119 83

Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

1 86 105

Perlindungan Nasabah Kartu Kredit Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

3 72 93

Peranan Badan Amil Zakat Berdasarkan Undang - Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Sumatera Utara (Studi Pada Badan Amil Zakat Daerah Sumatera Utara)

0 37 186

Pengoplosan Beras Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

11 144 123

Perlindungan Konsumen Terhadap Jasa Pelayanan Tukang Gigi Ditinjau Dari Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

12 99 88

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PENGGUNA JASA PENITIPAN HEWAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

1 9 50

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP IKLAN BARANG DAN JASA YANG TIDAK SESUAI DENGAN YANG DIJANJIKAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

0 1 1

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PENUMPANG JASA ANGKUTAN UMUM KERETA API DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

4 32 119

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM ATAS PANGAN (DITINJAU DARI UNDANG – UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN).

0 0 11