Kedudukan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

i. Asas ketertiban dan kepastian hukum Asas ini menyatakan bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. j. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan Asas ini menyatakan bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.

B. Kedudukan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

terhadap UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terkait Perlindungan Konsumen 1. Menurut asas lex specialis derogate lex generalis Asas lex specialis derogate lex generalis secara umum dapat diartikan sebagai undang-undang yang bersifat khusus mengenyampingkan undang-undang yang bersifat umum, jika pembuatnya sama. Maksud dari asas ini adalah bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat pula diperlakukan undang-undang-undang yang menyebut peristiwa yang lebih luas atau lebih umum yang dapat juga mencakup peristiwa khusus tersebut. 150 Menurut asas lex specialis derogate lex generalis, UU Perlindungan Konsumen sebagai lex generalis dan UU OJK sebagai lex specialis dalam hal 150 C.S.T. Kansil, Op.Cit., hlm. 81. Universitas Sumatera Utara pengaturan perlindungan konsumen. Kedudukan UU Perlindungan Konsumen terhadap UU OJK terkait perlindungan konsumen ditinjau dari asas lex specialis derogate lex generalis menempatkan UU Perlindungan Konsumen sebagai landasan, acuan, dan dasar dalam pengaturan perlindungan konsumen terhadap peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia kecuali UUD 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dengan demikian, UU OJK harus merujuk ketentuan dalam UU Perlindungan Konsumen jika mengatur ketentuan mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. Rumusan ini diperkuat dengan ketentuan yang dipertegas dalam Penjelasan Umum UU Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa: 151 Asas ini menempatkan kedudukan UU OJK yang kuat dalam pengaturan dalam perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. Namun, antara UU Perlindungan Konsumen dan UU OJK masih terdapat kontradiksi makna terkait batasan konsumen, dimana UU Perlindungan hanya mengenal konsumen akhir dan menegaskan bahwa konsumen yang dimaksud adalah orang yang “tidak memperdagangkan kembali” barang danatau jasa yang diperolehnya. Sedangkan UU OJK tidak hanya mengenal konsumen akhir, tetapi juga konsumen antara, yaitu dengan dimasukkannya Pemodal di Pasar Modal, dimana konsumen ini Di kemudian hari masih terbuka kemungkinan terbentuknya undang- undang baru yang pada dasarnya memuat ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen. Dengan demikian, undang-undang tentang perlindungan konsumen ini merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen”. 151 Ibid. Universitas Sumatera Utara sangat erat kaitannya dengan komersialisasijual beli barang danjasa yang diperolehnya. Pertentangan batasan konsumen dalam dua undang-undang ini menimbulkan kontradiksi jika menggunakan asas lex specialis derogate lex generalis. Artinya kekhususan UU OJK jika dilihat dari kacamata asas ini kurang kuat. UU Perlindungan Konsumen sebagai undang-undang yang umum mengatur perlindungan konsumen seharusnya menjadi acuan UU OJK sebagai undang- undang yang khusus mengatur perlindungan konsumen di bidang sektor jasa keuangan. Kedudukan UU Perlindungan Konsumen terhadap UU OJK terkait perlindungan konsumen seharusnya menjadi landasan, acuan atau dasar pengaturan, yang mana hal ini juga ditegaskan dalam Penjelasan UU Perlindungan Konsumen yang menyatakan UU Perlindungan Konsumen sebagai umbrella act dalam pengaturan perlindungan konsumen. 2. Menurut asas lex posterior derogate lex priori Undang-undang dalam konteks ilmu perundang-undangan merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Di Indonesia, undang-undang ini menempati jenjang tersendiri, yang tidak mengenal adanya pembagian lagi. Artinya, tidak ada undang-undang yang lebih tinggi daripada undang-undang lain. Memang ada undang-undang tertentu yang menjadi umbrella act, yang secara salah kaprah lazim disebut dengan “undang-undang pokok”. Kedudukan umbrella act tersebut tidaklah lebih tinggi daripada undang-undang yang memuat materi yang lebih khusus, yang biasanya disebut undang-undang sektoral. Namun, tidak Universitas Sumatera Utara menutup kemungkinan terjadinya kontradiksi antara undang-undang pokok dengan undang-undang sektoralnya. Prof. Darji Darmodiharjo, S.H., dan Shidarta S.H., M.Hum., mengemukakan bahwa apabila terjadi kontradiksi antara umbrella act dengan undang-undang yang lebih sektoral, maka berlakulah asas hukum lex posterior derogate lex priori undang-undang yang lebih belakangan akan mengenyampingkan undang-undang yang lebih terdahulu. 152 Pengertian mengenai asas ini jika dikaitkan dengan pandangan Prof. Darji Darmodiharjo, S.H., dan Shidarta S.H., M.Hum., memperlihatkan bahwa pengenyampingan atau pembatalan undang-undang yang lama oleh undang- undang yang baru jika makna atau tujuannya bertentangan. Secara umum, asas ini berarti undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu. Maksudnya, undang- undang lain yang lebih dahulu berlaku dimana diatur suatu hal tertentu tidak berlaku lagi jika ada undang-undang baru yang berlakunya belakangan yang mengatur pula hal tertentu tersebut, akan tetapi makna atau tujuannya berlainan atau berlawanan dengan undang-undang lama tersebut. 153 Merujuk pendapat di atas, maka UU Perlindungan Konsumen tidak berlaku atau dikesampingkan oleh UU OJK terkait perlindungan konsumen sektor jasa keuangan karena UU Perlindungan Konsumen sebagai umbrella act bertentangan dengan undang-undang sektoralnya. Dengan demikian, permasalahan batasan 152 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op.Cit., hlm. 78. 153 C.S.T. Kansil, Op.Cit., hlm. 81-82. Universitas Sumatera Utara konsumen antara UU Perlindungan Konsumen dengan UU OJK lebih tepat diselesaikan dengan asas lex posterior derogate lex priori. Kedudukan UU Perlindungan Konsumen terhadap UU OJK terkait perlindungan konsumen ditinjau dari asas lex posterior derogate lex priori menempatkan UU Perlindungan Konsumen bukan sebagai landasan, dasar, dan acuan terhadap UU OJK terkait perlindungan konsumen sektor jasa keuangan, meskipun ditegaskan dalam Penjelasan UU Perlindungan Konsumen, bahwa UU Perlindungan Konsumen sebagai umbrella act. Batasan konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen menjadi aturan yang tidak berlaku terhadap konsumen pada sektor jasa keuangan karena telah dikesampingkan dan dibatalkan oleh UU OJK menurut asas lex posterior derogate lex priori. Dengan demikian, permasalahan batasan konsumen terkait “tidak untuk diperdagangkan kembali” dalam UU Perlindungan Konsumen dan “pemodal di pasar modal” dalam UU OJK dapat diselesaikan dengan asas lex posterior derogate lex priori dan pemodal di pasar modal tetap diakui keberadaannya dan mendapatkan perlindungan hukum yang kuat.

C. Hubungan Kedudukan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Dokumen yang terkait

Prosedur Mutasi Jabatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Ditinjau Dari Persektif Hukum Administrasi Negara (Studi Kasus Dinas Pekerjaan Umum)

10 119 83

Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

1 86 105

Perlindungan Nasabah Kartu Kredit Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

3 72 93

Peranan Badan Amil Zakat Berdasarkan Undang - Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Sumatera Utara (Studi Pada Badan Amil Zakat Daerah Sumatera Utara)

0 37 186

Pengoplosan Beras Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

11 144 123

Perlindungan Konsumen Terhadap Jasa Pelayanan Tukang Gigi Ditinjau Dari Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

12 99 88

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PENGGUNA JASA PENITIPAN HEWAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

1 9 50

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP IKLAN BARANG DAN JASA YANG TIDAK SESUAI DENGAN YANG DIJANJIKAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

0 1 1

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PENUMPANG JASA ANGKUTAN UMUM KERETA API DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

4 32 119

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM ATAS PANGAN (DITINJAU DARI UNDANG – UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN).

0 0 11