Kedudukan Undang-Undang dalam Sistem Hukum Nasional di

pidana denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 lima belas miliar rupiah. 135 Apabila pelanggaran dilakukan oleh korporasi, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp15.000.000.000,00 lima belas miliar rupiah atau paling banyak Rp45.000.000.000,00 empat puluh lima miliar rupiah. 136

A. Kedudukan Undang-Undang dalam Sistem Hukum Nasional di

Indonesia BAB IV KEDUDUKAN UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP UU NO. 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN TERKAIT PERLINDUNGAN KONSUMEN 1. Pemberlakuan Undang-Undang Undang-undang yang dimaksud dalam bahasan ini adalah undang-undang yang disebutkan dalam Hukum Tata Negara Indonesia. Undang-undang ini merupakan produk legislatif presiden pemerintah bersama-sama DPR, seperti ditetapkan Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 20 UUD 1945 yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa Negara. 137 Keberadaan undang-undang sebagai peraturan di Indonesia terdapat dalam sistem dan tata urutan perundangan Republik Indonesia yang telah diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 135 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Bab XII, Pasal 54 Ayat 1. 136 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Bab XII, Pasal 54 Ayat 2. 137 Philipus M. Hadjon dalam Titik Triwulan dan H. Ismu Gunadi Widodo, Op.Cit., hlm. 37. Universitas Sumatera Utara ini menentukan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, yang meliputi: 138 a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 139 c. Undang-UndangPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; ; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Propinsi 140 g. Peraturan Daerah KabupatenKota ; dan 141 Undang-undang mulai sah berlaku apabila telah diundangkan dalam lembaran negara oleh Sekretaris Negara, dan tanggal berlakunya suatu undang- undang menurut tanggal ditentukan dalam undang-undang itu. Jika tidak disebutkan maka berlaku 30 tiga puluh hari setelah diundangkan untuk Jawa dan Madura dan 100 seratus hari untuk daerah lain. . Undang-undang tidak berlaku lagi apabila: 142 a. Jangka waktu berlaku yang telah ditentukan oleh undang-undang yang bersangkutan sudah habis; b. Keadaan atau ha di mana undang-undang itu dibuat sudah tidak ada lagi; 138 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Bab III, Pasal 7. 139 Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: IMPR2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003, Penjelasan Pasal 7 ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Ibid. 140 Termasuk dalam Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Provinsi Aceh dan Peraturan Daerah Khusus Perdasus serta Peraturan Daerah Provinsi Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, Penjelasan Pasal 7 ayat 1 huruf f, Ibid. 141 Termasuk dalam Peraturan Daerah KabupatenKota adalah Qanun yang berlaku di KabupatenKota di Provinsi Aceh. Penjelasan Pasal 7 ayat 1 huruf g, Ibid. 142 Titik Triwulan dan H. Ismu Gunadi Widodo, Ibid. Universitas Sumatera Utara c. Undang-undang itu dicabut oleh instansi yang membuat atau instansi yang lebih tinggi; dan d. Telah ada undang-undang yang baru yang isinya bertentangan atau berlainan dengan undang-undang yang dahulu berlaku. 2. Kekuatan Berlakunya Undang-Undang Undang-undang mempunyai kekuatan mengikat setelah diumumkan dalam lembaran negara dan penjelasan undang-undang itu dalam tambahan lembaran negara. Kekuatan mengikat ini berbeda dengan masa berlakunya undang-undang. Kekuatan mengikat menghendaki semua orang mengakui keberadaan undang- undang itu sebagai hukum positif dan bagian dari sistem hukum nasional. 143 Undang-undang dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 7 ayat 2 UU Pembentukan Peraturan Perundang- undangan menempati posisi yang ketiga setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapa Majelis Permusyawaratan Rakyat. Peraturan-peraturan yang ada dalam hierarki disusun secara berjenjang, dimana Kekuatan berlakunya undang-undang juga dapat dilihat dari susunan hierarkinya dan kekuatan berlakunya secara filosofis, sosiologis, jurudis, bahkan jika perlu secara ekonomi dan ekologi landasan ekonomi dan ekologi bersifat fakultatif. Ia baru ada apabila peraturan tersebut mengatur tentang yang berkaitan dengan ekonomi dan ekologi. 143 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 79. Universitas Sumatera Utara setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 144 Undang-undang mempunyai kekuatan berlaku secara yuridis apabila persyaratan formal terbentuknya undang-undang itu telah terpenuhi. Kemudian, dikatakan mempunyai kekuatan berlaku sosiologis jika undang-undang itu diterima oleh masyarakat, terlepas apakah keberlakuannya sudah memenuhi persyaratan formal atau belum. Dikatakan undang-undang itu mempunyai Dengan ini, kekuatan berlakunya undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 dan Ketetapan MPR. Sebaliknya peraturan yang berada di bawah undang-undang, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Propinsi, dan Peraturan Daerah KabupatenKota juga tidak boleh bertentangan dengan undang- undang. Undang-undang akan menjadi rujukan bagi peraturan perundang- undangan yang berada di bawah undang-undang dalam hal pengaturannya. Kekuatan hukum suatu undang-undang, baik secara filosofis, sosiologis, dan yuridis biasanya dicantumkan dalam bagian menimbangkonsideran. Konsideran berisikan gejalafenomena yang menjadi latar belakang maksud pembentukan undang-undang. Dalam konsiderans ini tersirat hal-hal atau pokok- pokok pikiran yang merupakan konstatasi fakta-fakta yang menggerakkan dan mendorong pembentuk undang-undang itu untuk membuat sebuah aturan yang dinamakan undang-undang. 144 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Bab III, Penjelasan Pasal 7 ayat 2. Universitas Sumatera Utara kekuatan berlaku filosofis bila undang-undangnya telah sesuai dengan cita hukum yang dianut masyarakat. 145 3. Proses Pembentukan Undang-Undang Semua pihak, baik dalam struktur kenegaraan maupun di luar struktur kenegaraan dan pemerintahan dapat memprakarsai gagasan pembentukan peraturan perundang-undangan. Prinsip ini berlaku di semua negara demokrasi, seperti dikemukakan oleh Cornelius M. Kerwin: 146 Khusus untuk pembentukan undang-undang, inisiatif yang bersifat resmi harus datang dari Presiden, DPR sendiri, atau dari DPD. DPD dapat mengajukan kepada DPR, rancangan undang-undang RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Inisiatif dari lembaga lain atau pihak lain tetap harus diajukan melalui salah satu dari ketiga pintu DPR, Presiden, atau DPD. Bahkan pintu yang benar-benar efektif pada akhirnya hanya ada 2 dua, yaitu DPR dan Presiden. Ini berdasarkan Pasal 5 ayat 1 yang menyatakan bahwa, ”Presiden berhak mengajukan rancangan undang- “Rules can be initiated in a variety of ways. Statutory mandates, judicial orders, petitions from the public, and agency determinations of need can all cause a rule-making to begin. A requirement that those about to begin writing rules must secure permission to do so from senior agency officials or simply must inform higher authorities that a rule making is being initiated, serves a number of purposes.” 145 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op.Cit., hlm. 80. 146 Kerwin dalam Jimly Asshidiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hlm. 315. Universitas Sumatera Utara undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. 147 Dan juga ketentuan Pasal 20 ayat 1 yang menyatakan bahwa, ”Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Dengan demikian DPR disebut sebagai legislator atau lembaga pembentuk undang-undang, sedangkan Presiden adalah co- legislator. DPR merupakan legislator utama atau ”primary legislator”, ”principal legislator”, atau ”main legislator”. 148 Ketentuan proses pembuatan peraturan perundang-undangan dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diatur dalam Pasal 16 sd Pasal 23, Pasal 43 sd Pasal 51, dan Pasal 65 sd Pasal 74. Sedangkan, dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, pembentukan undang-undang diatur dalam Pasal 142 s.d. 163. Secara rinci, hal ini diatur dalam Tata Tertib DPR mengenai Tata Cara Pembentukan Undang-undang. Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Apabila ada 2 dua RUU yang diajukan mengenai hal yang sama dalam satu masa sidang, yang dibicarakan adalah RUU dari DPR, sedangkan RUU yang disampaikan oleh Presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan. RUU yang sudah disetujui bersama antara DPR dengan Presiden, paling lambat 7 tujuh hari kerja disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang. Apabila setelah 15 lima belas hari kerja, RUU yang sudah disampaikan kepada Presiden belum disahkan menjadi undang-undang, Pimpinan DPR mengirim surat kepada Presiden untuk meminta penjelasan. 147 Ibid., hlm. 316. 148 Ibid., hlm. 316. Universitas Sumatera Utara Apabila RUU yang dibahas berasal dari Pemerintah, RUU beserta penjelasanketerangan, danatau naskah akademis yang berasal dari Presiden disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR dengan Surat Pengantar Presiden yang menyebut juga Menteri yang mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan RUU tersebut. Dalam Rapat Paripurna berikutnya, setelah RUU diterima oleh Pimpinan DPR, kemudian Pimpinan DPR memberitahukan kepada Anggota masuknya RUU tersebut, kemudian membagikannya kepada seluruh anggota. Terhadap RUU yang terkait dengan DPD disampaikan kepada Pimpinan DPD. Penyebarluasan RUU ini dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa. Kemudian RUU dibahas dalam dua tingkat pembicaraan di DPR bersama dengan Menteri yang mewakili Presiden. Apabila RUU yang dibahas berasal dari DPD, RUU beserta penjelasanketerangan, dan atau naskah akademis yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh Pimpinan DPD kepada Pimpinan DPR, kemudian dalam Rapat Paripurna berikutnya, setelah RUU diterima oleh DPR, Pimpinan DPR memberitahukan kepada anggota masuknya RUU tersebut, kemudian membagikannya kepada seluruh anggota. Selanjutnya Pimpinan DPR menyampaikan surat pemberitahuan kepada Pimpinan DPD mengenai tanggal pengumuman RUU yang berasal dari DPD tersebut kepada Anggota dalam Rapat Paripurna. Badan musyawarah selanjutnya menunjuk Komisi atau Badan legislasi untuk membahas RUU tersebut, dan mengagendakan pembahasannya. Dalam waktu 30 tiga puluh hari kerja, Komisi atau Badan Legislasi mengundang anggota alat kelengkapan DPD sebanyak banyaknya 13 sepertiga dari jumlah Universitas Sumatera Utara anggota alat kelengkapan DPR, untuk membahas RUU hasil pembahasannya dilaporkan dalam Rapat Paripurna. RUU yang telah dibahas kemudian disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang akan mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan RUU tersebut bersama DPR dan kepada Pimpinan DPD untuk ikut membahas RUU tersebut. Dalam waktu 60 enam puluh hari sejak diterimanya surat tentang penyampaian RUU dari DPR, Presiden menunjuk Menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam pembahasan RUU bersama DPR. Kemudian RUU dibahas dalam dua tingkat pembicaraan di DPR. Berdasarkan Pasal 10 ayat 1 UU Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, materi muatan yang harus diatur melalui undang-undang adalah: a. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; c. Pengesahan perjanjian internasional tertentu; d. Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; danatau e. Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Berdasarkan ketentuan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Tata Tertib DPR mengenai Tata Cara Pembentukan Undang-Undang, proses pembentukan undang-undang dapat disarikan sebagai berikut: 149 149 Ilman Hadi, “Proses Pembentukan Undang-Undang”, a. RUU dapat berasal dari DPR atau Presiden; b. RUU dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi atau Dewan Perwakilan Daerah DPD; http:www.hukumonline.comklinikdetail lt506c3ff06682eproses-pembentukan-undang-undang diakses tanggal 15 Maret 2014 Universitas Sumatera Utara c. RUU yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya; d. RUU tersebut kemudian disusun dalam Program Legislasi Nasional prolegnas oleh Badan Legislasi DPR untuk jangka waktu 5 tahun serta dibuat pula dalam jangka waktu tahunan yang berisi RUU yang telah diurutkan prioritas pembahasannya; e. Setiap RUU yang diajukan harus dilengkapi dengan Naskah Akademik kecuali untuk RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN, RUU penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu menjadi UU, serta RUU pencabutan UU atau pencabutan Perpu; f. Pimpinan DPR memberitahukan adanya RUU dan membagikan RUU kepada seluruh anggota DPR dalam rapat paripurna; g. DPR dalam rapat paripurna berikutnya memutuskan RUU tersebut berupa persetujuan, persetujuan dengan perubahan, atau penolakan; h. Selanjutnya RUU ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan; i. Pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus; j. Kegiatan dalam pembicaraan tingkat I dilakukan dengan pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini fraksi; k. Pembicaraan tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna. Dalam rapat paripurna berisi: 1. Penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat I; 2. Pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan 3. Pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya. l. Bila tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah mufakat, keputusan diambil dengan suara terbanyak; m. RUU yang membahas tentang otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan wilayah; pengelolaan sumber daya alam atau sumber daya lainnya; dan perimbangan keuangan pusat dan daerah, dilakukan dengan melibatkan DPD tetapi hanya pada pembicaraan tingkat I saja; m. Dalam penyiapan dan pembahasan RUU, termasuk pembahasan RUU tentang APBN, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan danatau tertulis kepada DPR melalui pimpinan DPR danatau alat kelengkapan DPR lainnya; dan n. RUU yang telah mendapat persetujuan bersama DPR dengan Presiden diserahkan kepada Presiden untuk dibubuhkan tanda tangan, Universitas Sumatera Utara ditambahkan kalimat pengesahan, serta diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 4. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik menurut UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Asas materiil pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang diatur dalam Penjelasan Pasal 6 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu: a. Asas pengayoman Asas ini menyatakan bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat. b. Asas kemanusiaan Asas ini menyatakan bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. c. Asas kebangsaan Asas ini menyatakan bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. d. Asas kekeluargaan Universitas Sumatera Utara Asas ini menyatakan bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. e. Asas kenusantaraan Asas ini menyatakan bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. f. Asas Bhinneka Tunggal Ika Asas ini menyatakan bahwa materi muatan peraturan perundang- undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. g. Asas keadilan Asas ini menyatakan bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara. h. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan Asas ini menyatakan bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Universitas Sumatera Utara i. Asas ketertiban dan kepastian hukum Asas ini menyatakan bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. j. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan Asas ini menyatakan bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.

B. Kedudukan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Dokumen yang terkait

Prosedur Mutasi Jabatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Ditinjau Dari Persektif Hukum Administrasi Negara (Studi Kasus Dinas Pekerjaan Umum)

10 119 83

Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

1 86 105

Perlindungan Nasabah Kartu Kredit Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

3 72 93

Peranan Badan Amil Zakat Berdasarkan Undang - Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Sumatera Utara (Studi Pada Badan Amil Zakat Daerah Sumatera Utara)

0 37 186

Pengoplosan Beras Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

11 144 123

Perlindungan Konsumen Terhadap Jasa Pelayanan Tukang Gigi Ditinjau Dari Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

12 99 88

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PENGGUNA JASA PENITIPAN HEWAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

1 9 50

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP IKLAN BARANG DAN JASA YANG TIDAK SESUAI DENGAN YANG DIJANJIKAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

0 1 1

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PENUMPANG JASA ANGKUTAN UMUM KERETA API DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

4 32 119

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM ATAS PANGAN (DITINJAU DARI UNDANG – UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN).

0 0 11