BAB II TEORI PEMBUKTIAN DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
A. TEORI PEMBUKTIAN MENURUT HUKUM POSITIF
1. Pengertian Pembuktian
Dalam rambu-rambu hukum, pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting hukum
acara, sebab pengadilan dalam penegakan hukum dan keadilan tidak lain berdasarkan pembuktian yang ada, dalam hal ini hak asasi manusia di pertaruhkan. Bagaimana
akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal
tidak benar. Untuk inilah maka hakim harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hukum pembuktian.
Pembuktian berasal dari kata bukti, bukti menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa, sedang
pembuktian itu sendiri adalah prosesnya, artinya guna membuktikan atau usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan.
22
Beberapa ahli hukum memberikan komentar berbeda-beda tentang arti pembuktian, sesuai dengan pandangan mereka, di antaranya :
22
Tim Penyusun Kamus Pustaka dan Pengembangan Bahasa, kamus besar bahasa Indonesia,
Jakarta: balai pustaka, 1988, cet. Ke-1, h.133
a. Menurut R, Subekti, bahwa yang dimaksud dengan membuktikan adalah
meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.
23
b. Menurut TM, Hasbi Ash-Shiddieqy, bahwa pembuktian adalah segala yang
dapat menampakkan kebenaran, baik dia merupakan saksi atau yang lain.
24
c. Menurut A, Mukti Arto, bahwa yang dimaksud dengan membuktikan artinya
mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta atau peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang
berlaku.
25
2. Beban Pembuktian
Dalam hukum acara, pembagian pembuktian merupakan bagian dari dasar hukum, pembuktian yang diatur oleh undang-undang, akan tetapi dalam pengaturan
undang-undang tidak banyak memberikan penjelasan secara mendetail, Namun persoalan ini sangatlah penting untuk dipahami, karena menyangkut soal hukum di
pengadilan yang mengakibatkan batalnya putusan pengadilan, pembuktian dilakukan para pihak dan bukan oleh hakim, hakimlah yang memerintahkan kepada para pihak
untuk mengajukan alat-alat buktinya. Hakimlah yang membebani para pihak dengan pembuktian bewijslast, burden of proof
26
23
Subekti, Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradnya Paramita, 1987, cet, ke-VIII,h.7
24
Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam,Jakarta: bulan bintang, 1975, h.139
25
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Puataka Pelajar, 1998, Cet. Ke-II, h. 135
26
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 2006, Cet,Pertama, h.141
Beban pembuktian dalam hukum perdata, seperti dalam pasal 163 HIR ps. 283 Rbg, 1865 KUHPer dapat disingkat sebagai berikut: ”Siapa yang mengemukakan
sesuatu, mesti membuktikan”. Dengan dasar ini saja, tidak berbuat apa-apa. Pasal ini mengatakan siapa yang mengatakan mempunyai hak, mesti membuktikan haknya itu.
dan siapa yang mengemukakan suatu peristiwa untuk menguatkan haknya atau untuk membantah hak orang lain, mesti membuktikan adanya peristiwa itu..
Nampaknya. Penjelasan yang terdapat pada pasal 1865 tidak berbeda dengan pasal 163 HIR yang mengatakan bahwa: “Barang siapa yang mengatakan
mempunyai barang sesuatu hak, atau menyebutkan sesuatu kejadian untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus
membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu”.
27
Atau pasal 1865 bahwa ”Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah
suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang di kemukakan itu”.
28
Dari pasal-pasal di atas adanya suatu variable yang terkait yang menggaris bawahi “Apabila ada suatu hak, atau apabila ada suatu peristiwa. Maka para pihak
harus membuktikan akan adanya semua itu di persidangan”. Berbeda dengan beban pembuktian yang terdapat dalam hukum acara pidana
positif, yang harus diingat adalah adanya azas presumption innocence dalam hukum acara pidana positif, yang secara tegas azas tersebut tercantum dalam Undang-
Undang Kekuasaan Kehakiman No 4 Tahun 2004, pasal 8 :”Setiap orang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap
27
R.Tresna, komentar HIR.Jakarta : Pradnya Paramita, 1996, cet. Ke-XV,h.139
28
Soedharyo Soimin. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta : Sinar Grafika. 2007,cet. Ke- VI.h.463
tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
29
Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, pasal 66: ”Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”.
30
Hanyalah merupakan penjelmaan azas “Praduga tak bersalah”.
Dengan demikian berarti bahwa beban pembuktian ini diletakkan di pundak jaksa penuntut umum selaku pihak yang mendakwa. Jadi, pihak penuntut umumlah
yang mempunyai beban pembuktian, artinya ia harus membuktikan kebenaran tentang apa yang tersusun dalam surat dakwaannya. Adapun yang harus dibuktikan adalah
semua unsur-unsur tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepada terdakwa.
31
3. Macam-Macam Teori Pembuktian