tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
29
Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, pasal 66: ”Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”.
30
Hanyalah merupakan penjelmaan azas “Praduga tak bersalah”.
Dengan demikian berarti bahwa beban pembuktian ini diletakkan di pundak jaksa penuntut umum selaku pihak yang mendakwa. Jadi, pihak penuntut umumlah
yang mempunyai beban pembuktian, artinya ia harus membuktikan kebenaran tentang apa yang tersusun dalam surat dakwaannya. Adapun yang harus dibuktikan adalah
semua unsur-unsur tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepada terdakwa.
31
3. Macam-Macam Teori Pembuktian
Dari peristiwa yang harus dibuktikan adalah kebenaranya. Sering dikatakan, bahwa dalam acara perdata, kebenaran yang harus dicari oleh hakim adalah
kebenaran formil, berlainan dengan dalam acara pidana, di mana hakim mencari kebenaran materil, ini tidak berarti bahwa dalam perdata hakim mencari kebenaran
yang setengah-setengah atau palsu. Mencari kebenaran formil berarti bahwa hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh yang berperkara. Jadi tidak
melihat bobot isi, akan tetapi kepada luas dari pada pemerikasaan oleh hakim
32
. Pasal
29
Undang-Undang Republik Indonesia No 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman .Jakarta
: CV. Eko Jaya, 2004, cet ke-1, h.5
30
KUHP dan KUHAP,Jakarta : Sinar Grafika. 2006, cet ke-VI.h.226
31
Ansori Sabuan,Hukum Acara Pidana,Bandung : Angkasa, 1990,Edisi ke-1,h.191
32
Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia.Yogyakarta: Liberty Yogyakarta. 1998,cet.ke-1.edisi ke-5.h.138
178 ayat 3 HIR atau pasal 183 ayat 3 Rbg. Adapun pasal 178 ayat 3, HIR
33
adalah : “Ia hakim tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat,
atau memberikan lebih dari pada yang digugat”. Sedang bagi hakim pidana dalam mencari kebenaran materil peristiwanya harus terbukti.
Dalam sistem pembuktian yang ada di Indonesia dalam setiap peradilanya, setidaknya mempunyai teori-teori tersendiri dalam penamaannya. Atas berbagai teori
tersebut hingga para pakar sarjana hukum menyepakati bahwa ada beberapa sistem dalam peradilan yang ada di Indonesia dan menjadi acuan prakteknya. Di antara dari
teori-teori tersebut adalah : a.
Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Keberadaan dari sistem atau teori ini berasal dari pemikiran bahwa alat bukti
berupa pengakuan terdakwa sendiripun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah
melakukan perbuatan yang didakawakan. Oleh Karen aitu, bagaimanapun juga diperlukan keyakinan hakim sendiri. Maka teori ini disebut juga conviction intime,
yaitu pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang.
34
b Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis
Dalam sistem ini pun dapat dikatakan “Keyakinan hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam
sistem ini faktor keyakinan hakim dibatasi, yaitu keyakinan hakim harus didukung
33
R.Soesilo, RIBHIR Dengan Penjelasannya,Bogor: politie,h.131.
34
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sinar Grfika. 2002, cet. Ke-II,h. 248
dengan “Alasan-alasan yang jelas”. Maka sistem ini disebut juga sebagai sistem conviction raisonee
, hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinan nya atas kesalahan terdakwa.
35
c Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif
Pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang di sebut undang-undang, disebut juga sistem atau teori pembuktian berdasarkan
undang-undang secara positif. Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai
dengan alat-alat bukti yang disebutkan oleh Undang-undang, maka keyakinan hakim dalam sistem ini tidak diperlukan lagi. Dalam sistem ini disebut juga teori
pembuktian formal.
36
d. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Negatif
Teori ini merupakan keseimbangan antara dua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstream. Dari keseimbangan tersebut sistem pembuktian menurut
undang-undang secara negatif “Menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-
undang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem itu, terwujudlah suatu “Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif”. Rumusan berbunyi :
salah tidaknya seseorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang”.
37
35
M. Yahya Harahap, Pembaharuan Permasalahan Dan Penerapan KUHP,Jakarta : sinar grafika, 2000, cet. Ke-I, h.256
36
Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,h.247
37
Ibid.,h.250
4. Sistem Pembuktian