Keberpihakan Hukum Terhadap Kaum Perempuan

BAB III HAK PEREMPUAN DALAM PERKAWINAN MENURUT UNDANG-

UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

A. Keberpihakan Hukum Terhadap Kaum Perempuan

Selama abad ke-19 sejarah hukum cenderung merupakan pencatatan peningkatan pengakuan hak-hak pribadi yang seringkali dianggap hakiki dan mutlak. Untuk abad ke-20 sejarah itu dirombak dengan cara menetapkan kerangka dasar lain yang memperhatikan pengakuan yang lebih luas terhadap kebutuhan, permintaan, maupun kepentingan-kepentingan sosial. 43 Kepentingan merupakan suatu keinginan atau permintaan yang ingin dipenuhi manusia, baik secara pribadi maupun melalui hubungan antar-pribadi, atau melalui kelompok. Menurut Roscoe Pound seseorang ahli hukum dari Amerika dan mantan dekan Harvard Law School, pound beranggapan keadilan dapat dilaksanakan menurut maupun tanpa hukum. Keadilan menurut hukum bersifat yudisial, sedangkan keadilan tanpa hukum mempunyai ciri administratif. Di satu sisi hukum memang bisa digunakan sebagai acuan yang paling adil dan paling mengayomi, namun pihak lain, janganlah diabaikan bahwa hukum juga bisa digunakan sebagai alat untuk mendefinisikan kekuasaan 43 Soejono, Soekanto, Prespektif Sosiologis Studi Hukum dan Masyarakat, Jakarta: Rajawali, 1985, h. 30. dan kepentingan, dan tentunya akan ada pihak menjadi korban dari hukum yang tidak adil. 44 Sifat hakiki dari hukum adalah kepastian dan formal keadilan menuntut bahwa hukum berlaku umum, dalam arti materi hukum dituntut agar sesuai dengan mungkin dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat. Bagaimana menentukan apakah hukum itu adil atau tidak, perlu kita perhatikan bahwa kita bergerak di tingkat faktual Oleh karena itu, tuntutan keadilan dapat diterjemahkan bahwa hukum harus sesuai mungkin dengan cita-cita keadilan masyarakat yang bersangkutan. Jika keadilan dapat dilaksanakan dengan maupun tanpa hukum asalkan ada keseimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi. Salah satu bentuk ketidakadilan yang menimpa laki-laki dan perempuan adalah ketiadakadilan jender. 45 Uraian di atas dapat memberi sedikit gambaran bahwa masalah keadilan tidak mudah untuk dirumuskan apalagi kalau dikaitkan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Dalam lapangan hukum yang berbeda atau dalam kondisi tempat atau waktu yang berlainan, dalam hubungan laki-laki dan perempuan justru mengakibatkan ketidakadilan bagi perempuan. Rumusan keadilan ulpianus seorang pakar hukum klasik berpendapat lebih sesuai untuk diterapkan pada hubungan antara laki-laki dan perempuan karena harus 44 Sulistyowati, Irianto, Perempuan dan Hukum Menuju Hukum Yang Berprespektif Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta: Universitas Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, 2008, h. 45 Agnes Widanti, Hukum Berkeadilan Jender, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2005, Cet. 1. h. 59. memenuhi tiga unsur yaitu; 1 sikap batin dan perilaku yang sesuai dengan kesusilaan, 2 tidak merugikan orang lain secara sewenang-wenang, 3 memberikan pada semua orang bagiannya. 46 Indonesia mendukung Undang-undang atau pun peraturan-peratuan yang berpihak pada kaum perempuan, baik di tingkat nasional maupun internasional. “Undang-undang tersebut sangat penting untuk meningkatkan harkat dan martabat kaum perempuan, serta melindungi mereka dari kekerasan”, adanya Undang-undang anti kekerasan dalam rumah tangga tersebut merupakan upaya memberi perlindungan bagi kaum perempuan dan anak-anak hingga dalam urusan domestik suatu keluarga, Namun Perlindungan hukum terhadap wanita dalam sistem hukum nasional belum begitu menggembirakan. Kita masih dapat melihat adanya peraturan perundang-undangan yang menempatkan wanita sebagai subordinasi dari pria. Salah satunya adalah peraturan perundang- undangan di bidang perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Sebuah kebijakan termasuk di dalamnya hukum dan peraturan perundang-undangan dikeluarkan adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat, bukan untuk kepentingan golongan tertentu. 47 Dalam masyarakat di mana terdapat nilai-nilai kultural perempuan mencerminkan ketidakadilan jender akan sangat berpengaruh hukum. Substansi 46 Agnes Widanti, Hukum Berkeadilan Jender, h. 56. 47 “Perlindungan Hukum Bagi Perempuan dalam Perkawinan”, artikel ini diakses pada 17 Juli 2009 dari http:wap.fajar.co.idindex.php. hukum di indonesia juga mendukung dan memperkuat jender. Acuan pertama untuk menyatakan bahwa indonesia telah menganut dan menerapkan asas persamaan antara laki-laki dan perempuan adalah pasal 27 Undang-undang dasar 1945 tentang amandemen ayat 1 yang meletakkan hak-hak dasar bahwa: “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada kecualinya”. Atas dasar pasal tersebut indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi internasional yang bertujuan untuk menghapus diskriminasi dan meningkatkan status perempuan. 48 Terutama mengingat bahwa isi Konvensi Wanita memuat hak-hak Perempuan yang harus dipenuhi agar tindak diskriminasi terhadap perempuan disemua bidang kehidupan dapat dihapus, seperti dalam pasal 16 konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan tentang kesetaraan dalam perkawinan dan hubungan keluarga pasal 15 ayat 1 Negara-negara pihak wajib memberikan kepada perempuan persamaan hak dengan laki-laki di muka hukum. 2 Negara-negara pihak wajib memberikan kepada perempuan, dalam hal sipil, kecakapan hukum yang sama dengan laki-laki dan kesempatan yang sama untuk menggunakan kecakapan tersebut. Secara khusus, negara harus memberikan kepada perempuan persamaan hak untuk mengikat kontrak dan untuk mengelola kepemilikan dan wajib memberi perlakuan yang sama 48 Agnes Widanti, Hukum berkeadilan Jender, h. 18. kepada laki-laki dan perempuan di semua tingkat prosedur di muka hakim dan peradilan. Sesuai Dalam pasal 16 ayat 1 dan ayat 2 yaitu; 1. Negara-negara pihak harus mengambil semua langkah tindakan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam segala hal yang berkaitan dengan perkawinan dan hubungan dalam keluarga dan khususnya harus menjamin, berdasarkan kesetaraan laki-laki dan perempuan; a Hak yang sama untuk memasuki jenjang perkawinan b Hak yang sama untuk bebas memilih pasangan dan memasuki jenjang perkawinan hanya dengan persetujuan yang bebas dan penuh darinya. c Hak dan tanggung jawab yang sama selama pernikahan dan pada pemutusan perkawinan. d Hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orang tua, terlepas dari status perkawinan mereka, dalam urusan yang berhubungan dengan anak-anak mereka dalam semua hal kepentingan anak-anak harus diutamakan. e Hak yang sama untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah dan jarak kelahiran anak-anak mereka dan untuk memperoleh akses, pada informasi, pendidikan dan sarana agar mereka dapat menggunakan hak tersebut. f Hak dan tanggung jawab yang sama dalam hal pemeliharaan, perwalian, pengasuhan dan pengangkatan anak, atau lembaga-lembaga sejenis di mana konsep-konsep ini ada dalam perundang-undangan nasional dalam semua hal kepentingaan anak wajib diutamakan. 49 Sejalan dengan peratifikasian konvensi-konvensi internasional tersebut, kebebasan pemerintah indonesia pada tahun 1974 tentang perkawinan melakukan reformasi hukum keluarga Undang-undang Perkawian No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Tetapi, dalam pasal 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dikatakan: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu”. Ini berarti dalam soal perkawinan perempuan harus tunduk pada hukum agamanya, sedangkan kawasan hukum agama menyentuh mengenai hak-hak kewarisan, hak atas kekayaan, pemeliharaan anak, perceraian, pengangkatan anak, perwalian anak, dan poligami. Jadi, negara memberi persamaan kepada perempuan, tetapi kalau agama menentukan lain, negara tidak ikut campur. 50 Terdapat peraturan perundang-undangan yang tidak responsif dan terdapat peraturan perundang-undangan yang menjamin kesetaraan dan keadilan bagi perempuan dan laki-laki, tetapi tidak sedikit peraturan perundang- undangan, termasuk kebijakan, dan rancangan undang-undang sekalipun, yang tidak responsif terhadap kepentingan perempuan, malahan berimplikasi terhadap terjadinya diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan. Hal ini 49 Kelompok Kerja convetion Watch, Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan GenderPusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas Indonesia; edisi III. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2007, h. 65. 50 Agnes Widanti, Hukum berkeadilan Jender, h. 19. menunjukkan bahwa terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan satu sama lain, baik secara vertikal maupun horizontal. Mengenai hierarki peraturan perundang-undangan yang sangat dikenal sarjana hukum, sebenarnya keadaan ini tidak boleh terjadi. Peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi, apalagi undang-undang dasar. Namun, inilah yang terjadi di indonesia. 51 Padahal Undang-undang dasar 45 Pasal 27 b menyebutkan telah menyatakan kesamaan di muka hukum bagi setiap warga negara, tetapi terdapat banyak undang-undang sampai peraturan daerah, yang mengandung rumusan yang berstandar ganda. Contohnya dalam pasal 34 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengenai perkawinan memberikan status kepada suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga, dengan berbagai implikasinya, terutama bagi perempuan bekerja karena tidak dianggap sebagai pencari nafkah utama. Kondisi diatas menunjukkan bahwa hukum sesungguhnya tidak netral tidak berpihak dan objektif secara tepat. Perbedaan jender sebetulnya tidak menjadi masalah selama tidak melahirkan ketidakadilan jender. Namun ternyata perbedaan jender baik melalui mitos-mitos, sosialisasi, kultur, dan kebijakan pemerintah telah 51 Sulistyowati, Irianto, Perempuan dan Hukum Menuju Hukum Yang Berprespektif Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta: Universitas Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, 2008, h. 33. melahirkan hukum yang tidak adil bagi perempuan. Sedangkan hukum adalah pencerminan dari standar nilai yang dianut oleh masyarakat. 52 Bias jender dari pemahaman keagamaan ini menyebabkan terjadinya ketimpangan peran sosial wanita dalam posisi dan interaksinya di masyarakat. Karena itulah dengan adanya justifikasi teologis tersebut banyak kaum hawa yang merasa dirinya tidak bisa disejajarkan dengan kaum pria. Kaum pria dianggap lebih pintar, lebih hebat, dan lebih segalanya. Kalau kaum wanita meminta sekedar untuk “disejajarkan” kaum pria tidak akan keberatan, namun akan keberatan bila “didominasi” oleh kaum hawa sebagaimana dalam sistem matriarchal. Keberatan tersebut kembali didasarkan pada tafsir teologis agama, bahwa pria adalah pemimpin wanita. Tuntutan kaum hawa untuk mensejajarkan diri dengan kaum pria bukan berarti ingin “mendominasi” pria sebagaimana dalam sistem matriachal, melainkan untuk menuntut hak agar bisa diberikan peran dan kesempatan yang sama dengan pria untuk berkiprah dalam bidang kemasyarakatan dan pemerintahan. 53

B. Hak Perempuan Menurut Undang-Undang Perkawinan