Dampak Kebijakan Loan To Value Terhadap Permintaan Properti Di Kota Pematangsiantar
SKRIPSI
DAMPAK KEBIJAKAN LOAN TO VALUE TERHADAP
PERMINTAAN PROPERTI DI KOTA PEMATANGSIANTAR
OLEH
ERWIN SYAH PUTRA D 090501072
PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
ABSTRAK
Semakin meningkatnya pertumbuhan kredit pemilikan rumah dan kredit kendaraan bermotor dikhawatirkan akan menimbulkan masalah bagi perekonomian. Oleh karena itu, Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan Loan to Value yang memberikan batasan yang jelas mengenai jumlah uang minimum yang harus dimiliki oleh konsumen untuk membeli suatu perumahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak dari kebijakan Loan to Value terhadap permintaan properti di kota Pematangsiantar. Objek dari penelitian ini adalah pengembang yang berada di kota Pematangsiantar yang memiliki perumahan dengan tipe rumah diatas 70 m2.
Jenis Penelitian ini adalah penelitian komparatif dengan 4 jumlah sampel yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling dengan kriteria pengembang yang memiliki perumahan dengan tipe 70 + dan aktif melakukan penjualan selama tahun 2012. Tehnik analisis data menggunakan analisis deskriptif dan uji beda atau komparatif.
Setelah melakukan pengumpulan dan pengolahan data, hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan Loan to Value berdampak negatif terhadap permintaan properti di kota Pematangsiantar. Hal ini dikarenakan semakin sedikitnya minat konsumen membeli rumah tipe 70 + yang dikenakan kebijakan Loan to Value karena harus menyediakan uang yang jauh lebih besar dari sebelumnya.
(3)
ABSTRACT
The increasing growth of mortgage and vehicle loans could cause significant problems for the economy. Therefore, Bank Indonesia issued a Loan to Value policies that establish certain guidelines regarding the minimum amount that must be owned by the consumer to buy a housing. This study aims to determine the impact of Loan to Value policy for properties demand in the Pematangsiantar city. The object of this study is that the developer was in town Pematangsiantar who has a house on the type of housing with 70 m2.
This type of research is a comparative study with 4 number of samples that meet predetermined criteria. Sampling was done by purposive sampling method with criteria that developers have the type of housing 70 + and have active sales during 2012. Technical analysis of the data using descriptive analysis and a different test or comparative test.
After the collection and processing of data, the results of this study indicate that the Loan to Value policy has a negative impact on the property demand in the Pematangsiantar city. This is because the least interest of consumers buying a house type 70 + imposed Loan to Value, It’s because the consumer should provide much money.
Keywords: Loan to Value, Property demand, Pematangsiantar
(4)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala
berkat, kasih dan pertolonganNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat
pada waktunya.Skripsi yang berjudul Dampak Kebijakan Loan to Value Terhadap
Permintaan Properti di Kota Pematangsiantar ini ditujukan sebagai salah satu
syarat dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Ekonomi dari Program S-1
Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
Penulisan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya dukungan, bimbingan
dan kerja sama semua pihak yang telah turut membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini. Oleh Karena itu, penulis ingin mengucapkan
terimakasih kepada beberapa pihak antara lain:
1. Bapak Prof. Dr. Azhar Makmum, M.Ec.Ac,Ak, selaku Dekan Fakultas
Ekonomi Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec, selaku Ketua Departemen
Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara
sekaligus sebagai dosen pembaca.
3. Bapak Syahrir Hakim Nasution, SE, M.Si.selaku Sekretaris Departemen
Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Univesitas Sumatera Utara
4. Bapak Irsyad Lubis, SE, MSoc, Sc, Ph.D, selaku Ketua Program Studi S1
Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Paidi Hidayat, SE,M.Si, Selaku Sekretaris Program Studi S1
(5)
6. Bapak Kasyful Mahalli, SE, M.Si sebagai dosen pembimbing yang
senantiasa mau membantu penulis dalam memberikan ide dan masukan
masukan berharga bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik.
7. Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si. Selaku dosen wali penulis selama mengikuti
perkuliahan di Universitas Sumatera Utara
8. Kedua orangtua yang penulis cintai Pangaloan Doloksaribu,A.Md dan
Lusti Dermawati Simanjuntak, S.Pd yang senantiasa mendukung dan
medoakan penulis hingga saat ini. Juga kepada adik adik penulis Dian
Eriyanti Doloksaribu, Dedi Ardiansyah Doloksaribu dan Indra Armansyah
Doloksaribu semoga ini bisa jadi inspirasi dan teladan kalian dalam
memperjuangkan cita cita dan nama baik keluarga kita kedepan.
9. Rekan rekan Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Stambuk 2009 yang juga
ikut mewarnai perjalanan penulis dalam menyelesaikan studi di ekonomi
pembangunan Universitas Sumatera Utara.
Akhir kata penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari kata sempurna
sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
perbaikan skripsi ini kedepan.
Penulis,
(6)
DAFTAR ISI
ABSTRAK……… i
ABSTRACT……….. ii
KATA PENGANTAR……….. iii
DAFTAR ISI………. v
DAFTAR TABEL………. vii
DAFTAR GAMBAR……… viii
DAFTAR LAMPIRAN……… ix
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ……….... 1
1.2 Perumusan Masalah ………...………. 11
1.2. Batasan Masalah……….………. 11
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….……….. 12
1.3.1. Tujuan Penelitian ……….……….….…. 12
1.3.2. Manfaat Penelitian………..………….…… 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teoritis ……….. 13
2.1.1. Ekonomi Makro ………... 13
2.1.1.1. Pengertian dan Sejarah Berkembangnya Ekonomi Makro………... 13
2.1.1.2. Masalah Dalam Ekonomi Makro…..………. 14
2.1.1.3. Tujuan Kebijakan Ekonomi Makro……….…….. 16
2.1.1.4. Kebijakan Ekonomi Makro………... 18
2.1.2. Loan to Value……….…... 23
2.1.2.1. Defenisi Loan to Value…….………... 23
2.1.2.2. Perbandingan Penerapan LTV di Berbagai Negara………..…………. 25
2.1.2.3. Hasil yang Diharapkan dari Kebijakan LTV….... 27
2.1.3. Properti …...………. 28
2.1.3.1. Pengertian Properti………... 28
2.1.3.1. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Nilai Properti………. 29
2.1.4. Hubungan Loan to Value dengan Permintaan Properti.……….……….. 31
2.2. Kerangka Konseptual………... 32
2.3. Penelitian Terdahulu………. 33
(7)
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian ……….……… 35
3.2. Jenis dan Sumber Data………. 35
3.2.1. Jenis Data……….……… 35
3.2.2. Sumber Data……… 36
3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian ………... 36
3.4. Populasi dan Sampel ………. 36
3.5. Metode Pengumpulan Data ……….. 39
3.6. Tehnik Analisis Data ……… 40
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Perkembangan Ekonomi Kota Pematangsiantar … 42 4.2. Gambaran Umum Perkembangan Properti di Kota Pematangsiantar………..….. 45
4.3. Analisis Hasil Penelitian ……...……….. 46
4.3.1. Analisis Deskriptif …….……….. 46
4.3.2. Uji Beda (Uji Komparatif) …………...………... 48
4.4. Gambaran dan Pendapat Para Pengembang Mengenai Kebijakan LTV……….…. 51
4.4.1. Ditinjau dari Kondisi Perekonomian Masyarakat Kota Pematangsiantar …………...……….... 52
4.4.2. Ditinjau dari Perkembangan Politik di Kota Pematangsiantar……….…….. 53
4.4.3. Kebijakan dari Pengembang dan Konsumen Pasca Kebijakan Loan to Value …….………. 54
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ………. 58
5.2. Saran ………... 58
DAFTAR PUSTAKA ………. 60
(8)
DAFTAR TABEL
No. Tabel Judul Halaman
1.1 Perbandingan Persentase Konsumen Menggunakan Fasilitas Kredit, Tunai Lunak, dan Tunai Untuk
Membeli Berbagai Tipe Rumah………. 8
2.1 Perbandingan Penerapan Loan to Value di Berbagai Negara ………....………… 26
3.1 Populasi dan Sampel Perumahan di Kota Pematangsiantar……….. 38
4.1 PDRB Kota Pematangsiantar ……… … 42
4.2 PDRB Menurut Sektor Usaha di Kota Pematangsiantar………...………... 43
4.3 Inflasi Kota Pematangsiantar ……….… 44
4.4 Penjualan Rumah Tipe 70+ Sebelum Kebijakan Loan to Value Tahun 2012 ……… 46
4.5 Penjualan Rumah Tipe 70+ Setelah Kebijakan Loan to Value Tahun 2012 .………... 47
4.6 Perbandingan Penjualan Rumah tipe 70+ Sebelum dan Sesudah Kebijakan Loan to Value………..… 48
4.7 Hasil Uji Beda I ……… 49
4.8 Hasil Uji Beda II ……….. 49
4.9 Hasil Uji Beda III ……… 50
4.10 Contoh Perhitungan KPR di Salah Satu Pengembang di Kota Pematangsiantar ………. 55
4.11 Contoh Perbandingan Perhitungan Membeli Rumah yang Dikenakan Kebijakan Loan To Value dengan yang Tidak Dikenakan Kebijakan Loan to Value ……….……….. 56
(9)
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar Judul Halaman
2.1 Masalah dalam Ekonomi Makro…………. 15
(10)
DAFTAR LAMPIRAN
No. Lampiran Judul Halaman
i Daftar Nama Sampel Perumahan……….. 62
ii Profil Perumahan Karya Propertindo…... 63
iii Data Hasil Penjualan Rumah Tipe 70 + di
Perumahan Karya Tahun 2012... 64
iv Profil Perumahan Meranti……….….. 65
v Data Hasil Penjualan Rumah Tipe 70 + di
Perumahan Meranti Permai Tahun 2012…... 66
vi Profil Perumahan Sumber Jaya Indah………….. 67
vii Data Hasil Penjualan Rumah Tipe 70 + di
Perumahan Sumber Jaya Indah Tahun 2012…….. 68
viii Profil Perumahan Taman Setia Negara Indah……. 69
ix Data Hasil Penjualan Rumah Tipe 70 + di
Perumahan Taman Setia Negara Indah 2010... 70
(11)
ABSTRAK
Semakin meningkatnya pertumbuhan kredit pemilikan rumah dan kredit kendaraan bermotor dikhawatirkan akan menimbulkan masalah bagi perekonomian. Oleh karena itu, Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan Loan to Value yang memberikan batasan yang jelas mengenai jumlah uang minimum yang harus dimiliki oleh konsumen untuk membeli suatu perumahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak dari kebijakan Loan to Value terhadap permintaan properti di kota Pematangsiantar. Objek dari penelitian ini adalah pengembang yang berada di kota Pematangsiantar yang memiliki perumahan dengan tipe rumah diatas 70 m2.
Jenis Penelitian ini adalah penelitian komparatif dengan 4 jumlah sampel yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling dengan kriteria pengembang yang memiliki perumahan dengan tipe 70 + dan aktif melakukan penjualan selama tahun 2012. Tehnik analisis data menggunakan analisis deskriptif dan uji beda atau komparatif.
Setelah melakukan pengumpulan dan pengolahan data, hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan Loan to Value berdampak negatif terhadap permintaan properti di kota Pematangsiantar. Hal ini dikarenakan semakin sedikitnya minat konsumen membeli rumah tipe 70 + yang dikenakan kebijakan Loan to Value karena harus menyediakan uang yang jauh lebih besar dari sebelumnya.
(12)
ABSTRACT
The increasing growth of mortgage and vehicle loans could cause significant problems for the economy. Therefore, Bank Indonesia issued a Loan to Value policies that establish certain guidelines regarding the minimum amount that must be owned by the consumer to buy a housing. This study aims to determine the impact of Loan to Value policy for properties demand in the Pematangsiantar city. The object of this study is that the developer was in town Pematangsiantar who has a house on the type of housing with 70 m2.
This type of research is a comparative study with 4 number of samples that meet predetermined criteria. Sampling was done by purposive sampling method with criteria that developers have the type of housing 70 + and have active sales during 2012. Technical analysis of the data using descriptive analysis and a different test or comparative test.
After the collection and processing of data, the results of this study indicate that the Loan to Value policy has a negative impact on the property demand in the Pematangsiantar city. This is because the least interest of consumers buying a house type 70 + imposed Loan to Value, It’s because the consumer should provide much money.
Keywords: Loan to Value, Property demand, Pematangsiantar
(13)
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Ilmu ekonomi adalah ilmu yang mengajarkan bagaimana manusia dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya yang tidak terbatas dengan alat pemuas kebutuhan
yang terbatas sehingga tercipta kepuasaan yang maksimal. Sehingga biasanya
manusia membuat pengelompokan berdasarkan skala prioritas terhadap alat alat
pemuas kebutuhan yang tidak terbatas tersebut. Yang menjadi kebutuhan paling
esensial bagi kehidupan manusia atau yang dikenal sebagai kebutuhan pokok
adalah seperti kebutuhan makanan dan minuman (pangan), pakaian (sandang), dan
tempat tinggal (papan) wajib didahulukan kepentingannya dibandingkan dengan
kebutuhan lainnya.
Dalam realita yang terjadi di masyarakat, walaupun kebutuhan akan perumahan
(papan) adalah termasuk kebutuhan yang wajib dipenuhi dan didahulukan
kepentingannya namun tidak semua orang mampu merealisasikannya dengan
mudah. Ada kelompok masyarakat tertentu yang tidak memiliki cukup dana untuk
mendapatkan tempat tinggal yang sehat dan nyaman. Di lain pihak ada juga
kelompok yang memiliki dana yang besar untuk dapat memiliki fasilitas
perumahan yang mewah dan jumlahnya pun lebih dari satu. Ini jelas
menggambarkan ketimpangan yang terjadi di tengah tengah masyarakat. Untuk
mengatasi hal inilah pada awalnya pemerintah harus ikut campur tangan. Tugas
pemerintah dalam hal ini bukan hanya untuk mendirikan bangunan atau
(14)
pembangunan perumahan yang dilakukan oleh pihak swasta ataupun individu
yang punya dana cukup untuk mendirikan bangunan.
Setiap orang atau individu bebas untuk menentukan dimana lokasi yang
disukainya untuk membangun rumah atau tempat tinggal sendiri. Namun tentu
pembangunan ini tidak dapat dibiarkan begitu saja karena pembangunan yang
dilakukan secara sembarangan akan menimbulkan dampak negatif seperti tidak
teraturnya tata ruang atau ancaman kerusakan lingkungan akibat tidak dapat
dikendalikannya pembangunan tersebut. Perlu adanya pengawasan yang serius
dari pemerintah untuk mengawasi hal ini. Pengawasan yang dimaksud adalah
dengan lebih berhati hati dalam mengeluarkan Surat Izin Mendirikan Bangunan
kepada setiap individu atau kelompok yang hendak mendirikan bangunan. Tentu
saja izin yang diberikan dengan pertimbangan yang matang dan memperhatikan
aspek aspek penting seperti aspek lingkungan dan tata ruang.
Seiiring perkembangan zaman dan sebagai negara yang terus berkembang,
Indonesia tentunya membutuhkan fasilitas perumahan yang jauh lebih nyaman
bagi setiap penggunanya. Jumlah penduduk yang terus bertambah dari tahun ke
tahun akan meningkatkan pula permintaan akan perumahan yang lebih baik dan
nyaman. Untuk mengatasi masalah perumahan di Indonesia, maka pemerintah
ikut ambil bagian dengan upayanya memenuhi kebutuhan dasar berupa
perumahan terutama bagi masyarakat golongan tidak mampu. Pada mulanya di
negara Indonesia perencanaan dan kebijakan pembangunan perumahan diserahkan
dibawah kendali Departemen Pekerjaan Umum, namun saat ini kebijakan
(15)
diubah menjadi Menteri Negara Perumahan dan Permukiman. Program yang telah
ditempuh oleh pemerintah adalah dengan melakukan pembangunan RS (Rumah
sederhana) dan RSS (Rumah sangat sederhana) dengan ukuran dibawah 36 meter
persegi. Hal ini ditujukan supaya mampu memenuhi kebutuhan papan masyarakat
golongan bawah. Hal ini dipermudah lagi dengan pemberian Kredit Perumahan
Rakyat (KPR) kepada para konsumen yang ingin memiliki perumahan tersebut.
Namun permintaan properti yang akan terus meningkat akan membuat peran
pemerintah saja tidak akan mampu untuk memenuhinya. Peran swasta lewat para
pengembang diharapkan mampu menyediakan fasilitas perumahaan yang nyaman
bagi para penggunanya. Peran swasta dalam hal ini bukan hanya sebagai mitra
pemerintah dalam penyediaan kebutuhan papan bagi masyarakat, namun diyakini
pembangunan di sektor perumahan ini juga sangat membantu perekonomian suatu
negara.
Pengembang juga telah menjadi mitra pemerintah dalam hal pembangunan
“kota baru” di setiap wilayah yang dikembangkannya. Kota baru merupakan suatu
kawasan baru yang direncanakan dan dikembangkan diwilayah yang belum
terdapat konsentrasi penduduknya yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah
daerah kota sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Adapun tujuan
pengembangan kota baru adalah untuk mengatasi masalah yang biasa terjadi di
daerah perkotaan seperti adanya pemukiman kumuh. Seperti contoh pengembang
yang ada di kota Pematangsiantar yang membangun perumahan di daerah yang
dulunya dianggap sebagian besar masyarakat tidak layak untuk ditempati. Namun,
(16)
dan layak untuk ditempati. Menciptakan sarana jalan baru menuju perumahan,
tersedianya aliran listrik dan air bersih ke lokasi perumahan setidaknya sudah
menggambarkan peran serta pengembang dalam mengembangkan suatu wilayah.
Sehingga pembangunan tidak lagi hanya diarahkan ke daerah perkotaaan saja.
Selain itu menurut Suparmoko (2001:122) pembangunan perumahan mempunyai
kaitan kebelakang (backward linkages) dan kaitan kedepan (forward linkages)
yang sangat panjang. Untuk membangun suatu perumahan dengan kualitas
permanen tentu membutuhkan tenaga kerja, membutuhkan alat alat bangunan, dan
lain sebagainya. Sehingga pembangunan perumahan akan dapat mendorong
berkembangnya kegiatan lain yang mendukung kegiatan pembangunan
perumahan tersebut. Sehingga terbukti bahwa pembangunan sektor perumahan
sangat penting dalam menggerakkan perekonomian suatu negara
Pada tanggal 18 Januari 2012 Lembaga pemeringkat Moodys mengumumkan
bahwa Indonesia telah digolongkan ke dalam negara yang layak investasi. Atau
dengan kata lain untuk berinvestasi di Indonesia kondisinya sudah dianggap
nyaman. Hal ini tentu saja mendorong suku bunga di masa yang akan datang
semakin menurun sementara permintaan kredit akan semakin meningkat. Kondisi
seperti ini tentu akan menjadi keuntungan tersendiri bagi pihak pihak yang hendak
memanfaatkan situasi dengan melakukan spekulasi. Para spekulan tidak lagi
membeli rumah dengan tujuan menempatinya (tempat berlindung sebagai tujuan
utama) namun sengaja dibeli dan dikosongkan sebagai sarana spekulasi apabila
dikemudian hari terjadi peningkatan harga perumahan tersebut. Properti ini sangat
(17)
dua jenis aset yang nilainya cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Dan
permintaan akan perumahan dan tanah juga akan selalu mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun.
Menurut Suparmoko (2001:123) rumah merupakan produk unik yang
menunjukkan 6 sifat yang berbeda dengan produk lainnya antara lain:
a. Rumah merupakan produk yang heterogen baik ditinjau dari ukuran,
lokasi, umur, interior dan lain sebagainya
b. Rumah tidak mobile sifatnya artinya tidak mudah bagi seseorang untuk memutuskan pindah dan meninggalkan tempat tinggalnya
c. Rumah bersifat tahan lama dan dapat digunakan selama puluhan tahun
d. Biaya untuk pindah rumah sangat mahal, bukan hanya menyangkut biaya
secara finansial tetapi juga biaya sosialnya (tetangga, tempat sekolah,
pusat pelayanan, dan sebagainya)
e. Rumah pada umumnya cukup mahal, sehingga hampir setiap orang
membutuhkan fasilitas kredit untuk melakukan pembelian rumah.
f. Kondisi georafis dan lingkungan perumahan yang selalu menjadi
pertimbangan pertimbangan bagi pemakainya. Sebagai contoh
mempertimbangkan latar belakang ras ataupun suku dimana penggunanya
akan tinggal.
Berkembangnya usaha dibidang properti (perumahan) ini mendorong sektor
swasta ikut ambil bagian dalam investasi ini. Permintaan akan properti (tanah dan
bangunan) yang terus meningkat tentu akan menjadi keuntungan besar bagi para
(18)
Suparmoko tentang karakteristik rumah diatas, bahwa harga rumah sangat mahal,
sehingga hampir setiap orang yang hendak memiliki rumah setidaknya
membutuhkan fasilitas kredit. Sehingga dengan demikian semakin meningkatnya
permintaan akan perumahan tentu saja turut meningkatkan permintaan Kredit
terkhusus Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Hal tersebut tentu saja membuat bisnis
properti ini menjadi perhatian serius Bank Indonesia sebagai penguasa moneter di
Indonesia. Menurut Bank Indonesia permintaan atas Kredit Pemilikan Rumah
(KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) akhir akhir ini terlalu tinggi
sehingga berpotensi menimbulkan berbagai resiko. Menurut survei yang
dilakukan oleh Bank Indonesia besarnya Kredit Pemilikan Rumah pada tahun
2011 cukup tinggi yakni sebesar 33.12% jauh diatas pertumbuhan kredit secara
aggregat yang hanya sebesar 24.4% (Kajian Stabilitas Keuangan, No. 19, edisi
September 2012). Selanjutnya berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh
Bank Indonesia periode 2001-2010, terlihat bahwa ada keterkaitan yang
berbanding lurus antara kredit yang tersedia di sektor properti dengan indeks
harga properti. Dengan kata lain bahwa pertumbuhan KPR yang tinggi akan
mendorong kenaikan harga properti tersebut. Pada umumnya kenaikan harga yang
tinggi terdapat pada tipe rumah menengah dan besar yaitu tipe diatas 70 m2. Hal
ini juga dikhawatirkan akan berdampak pada tipe rumah yang lebih kecil.
Sehingga pada tanggal 15 Maret 2012 bank Indonesia mengeluarkan
kebijakan Loan to Value dalam rangka meningkatkan kehatihatian bagi bank yang memberikan jasa pembayaran atau jasa pemberian Kredit Pemilikan Rumah dan
(19)
oleh Bank sebesar 70% dari nilai Properti tersebut sehingga, penerima KPR harus
membayarkan setidaknya 30% dari nilai KPR tersebut.Namun pembatasan nilai
atau Rasio Loan to Value ini tidak diperuntukkan bagi semua jenis dan tipe perumahan yang ada. Dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/ 10/DPNP
perihal penerapan manajemen resiko pada bank jelas diterangkan bahwa kebijakan
loan to value diperuntukkan bagi konsumsi kepemilikan rumah tinggal, rumah susun, atau apartemen dengan tipe tujuh puluh meter persegi (70 m2) ke atas. Dan
kebijakan ini juga tidak diperuntukkkan bagi rumah kantor dan rumah toko. Ada
beberapa pertimbangan yang membuat Bank Indonesia melakukan pembatasan
terhadap rumah yang ukurannya lebih besar dari 70m2 , pertimbangan yang
dimaksudkan didasarkan pada riset yang telah dilakukan Bank Indonesia sebelum
memutuskan mengeluarkan kebijakan loan to value ini.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia tahun 2006 diperoleh
Informasi bahwa ternyata dari seluruh pembelian perumahan 77,23 %
menggunakan Kredit Pemilikan Rumah (KPR), kemudian 14,13% dilakukan
dengan tunai bertahap dan sisanya sebesar 8,64% dilakukan dengan pembayaran
tunai. Hal ini membuktikan pendapat Suparmoko sebelumnya mengenai
karakteristik unik rumah yang harganya sangat mahal sehingga didominasi oleh
pembelian secara kredit. Kemudian data yang didapat BI dari hasil survei juga
menunjukkan bahwa semakin besar tipe rumah yang ditawarkan maka semakin
kecil kemungkinan konsumen melakukan pembayaran melalui fasilitas kredit
perumahan. Hal ini menunjukkan bahwa ternyata perumahan yang dibangun
(20)
contoh untuk rumah tipe diatas 70 m2 merupakan jenis rumah besar yang biasanya
diperuntukkan bagi masyarakat golongan atas. Tentu golongan ini sebagian besar
mempunyai cukup dana untuk dapat melakukan pembayaran secara tunai,
sehingga peluang untuk melakukan pembayaran lewat kredit semakin kecil.
Demikian sebaliknya, tipe rumah sederhana yang diperuntukkan bagi masyarakat
golongan bawah yang mungkin saja tidak mempunyai dana yang besar akan lebih
memanfaatkan fasilitas kredit pemilikan rumah. Untuk lebih jelas dapat dilihat
dari gambar di bawah ini:
Tabel 1.1. Perbandingan Persentase Konsumen Menggunakan Fasilitas Kredit, Tunai Lunak, dan Tunai Untuk Membeli Berbagai Tipe Rumah
Sumber: Bank Indonesia, 2006
Dari tabel diatas dijelaskan persentase jumlah konsumen menggunakan
fasilitas kredit, tunai lunak dan tunai dalam membeli berbagai tipe rumah. Pada
tipe rumah kecil dari keseluruhan jumlah konsumen yang hendak membeli rumah
tipe ini, 70 % lebih memilih untuk menggunakan fasilitas kredit, 9 %
menggunakan tunai lunak dan sisanya 21 % membayar secara tunai. Apabila
diperhatikan, semakin besar tipe rumah yang ditawarkan semakin besar pula
persentase jumlah konsumen yang membayar secara tunai. Dari tabel diatas jelas
terlihat bahwa pada rumah tipe besar, konsumen yang hendak membeli rumah Skema
Pembayaran
Tipe Rumah Tipe kecil
(non subsidi)
Tipe kecil (subsidi)
Tipe
Menengah Tipe Besar
KREDIT 70% 66% 60% 51% TUNAI LUNAK 9 % 17% 17% 21% TUNAI 21 % 17% 23% 29%
(21)
tersebut sudah mencapai 29 % jumlahnya membayar secara tunai. Itu artinya
bahwa sebenarnya pembangunan perumahan telah tepat sasaran, dimana tipe
rumah besar diperuntukkan bagi masyarakat golongan atas yang memungkinkan
masyarakat tersebut mempunyai cukup dana untuk melakukan pembayaran secara
tunai.
Berdasarkan hasil riset dari Bank Indonesia sekaligus mempertimbangkan
bahwa Indonesia masih kekurangan pasokan rumah, terutama dalam
menyukseskan program pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan papan bagi
masyarakat umum maka Bank Indonesia memutuskan untuk tidak
memberlakukan kebijakan Loan to value ini terhadap rumah dibawah tipe 70 m2. Ada beberapa alasan mengapa kebijakan Loan to value ini hanya diberlakukan untuk rumah tipe diatas 70 m2 antara lain konsumen tipe rumah besar ini
tergolong masyarakat yang sejahtera serta lebih fleksibel dalam menentukan
pilihan rumah yang akan dibeli. Kemudian konsumen di segmen ini seperti yang
ditunjukkan hasil survei, rata rata mempunyai kemampuan untuk melakukan
pembelian secara tunai sehingga diyakini tidak terlalu berpengaruh apabila
kebijakan loan to value ini diberlakukan. Kalaupun berpengaruh konsumen tipe ini sudah lebih fleksibel dalam menentukan tipe rumah yang diinginkannya
dengan disesuaikan ke kemampuan finansialnya. Atau setidaknya mempunyai
kemampuan untuk mengumpulkan dana hingga mencapai batas uang muka yang
telah ditentukan. Alasan terakhir mengapa kebijakan ini lebih diarahkan ke tipe
diatas 70m2 adalah karena ternyata tipe rumah ini lebih sering digunakan para
(22)
bahwa kebijakan loan to value ini tidak diberlakukan untuk bangunan bangunan yang produktif seperti rumah toko dan rumah kantor. Hal ini dimaksudkan untuk
melindungi sektor sektor produktif masyarakat pada umumnya.
Saat ini para praktisi di bidang properti dan juga para ahli ekonomi sedang
memperdebatkan kebijakan yang baru efektif juni 2012 ini. Banyak kalangan
menilai bahwa kebijakan ini merupakan kebijakan yang salah karena akan
mematikan secara perlahan bisnis properti. Kalangan tersebut menilai kemampuan
masyarakat dalam membayar uang muka sebesar 30 % dari harga properti masih
belum memadai. Namun disisi lainnya beberapa kalangan menilai kebijakan ini
sudah sangat baik karena tidak begitu berpengaruh pada permintaan masyarakat.
Bagaimanapun juga kebijakan ini tidak diberlakukan untuk semua jenis tipe
properti (perumahaan) namun hanya untuk tipe diatas 70 meter persegi saja.
Disamping itu kebijakan ini juga tidak diberlakukan untuk bangunan bangunan
yang produktif sehingga dinilai tidak akan menambah masalah yang terjadi
masyarakat. Kalangan ini menilai bahwa sebenarnya kebijakan ini diberlakukan
hanya untuk golongan atas saja yang tentu mempunyai cukup dana untuk
melakukan pembelian properti tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis merasa tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “ Dampak Kebijakan Loan to Value terhadap Permintaan Properti di Kota Pematangsiantar”.
Adapun penelitian ini memilih beberapa perusahaan yang bergerak di bidang
(23)
Perusahaan perusahaan yang dipilih merupakan perusahaan ataupun pengembang
perumahan yang mengembangkan tipe rumah besar di kota Pematangsiantar.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan diatas, maka
yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada dampak
kebijakan loan to value terhadap jumlah permintaan properti di kota Pematangsiantar.
1.3. Batasan Masalah
Penelitian ini akan dibatasi terhadap beberapa hal tertentu yang gunanya
memudahkan kinerja ataupun proses penelitian ini. Adapun yang menjadi batasan
yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah:
a. Materi Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui dampak kebijakan loan to value terhadap permintaan properti di kota Pematangsiantar. Dilihat dari sisi permintaan sebelum dan sesudah diberlakukannya kebijakan.
Adapun Properti yang dimaksudkan disini dibatasi hanya bicara mengenai
kepemilikan Rumah tipe 70 m2 keatas saja.
b. Objek Penelitian
Adapun objek penelitian yang diamaksud adalah perusahaan atau
pengembang yang berada di kawasan kota Pematangsiantar.
(24)
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya dampak dari
kebijakan dari Bank Indonesia berupa pembatasan rasio Loan to value terhadap permintaan properti di kota Pematangsiantar. Dampak yang dimaksud diukur
dengan memperbandingkan perimintaan konsumen sebelum dan sesudah
diberlakukannya kebijakan Loan to value tersebut.
1.4.2. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagi berikut:
a. Untuk memperkaya wawasan dan pengetahuan penulis dalam disiplin
ilmu yang penulis tekuni terutama dapat mengaplikasikannya secara
kontekstual dan tekstual
b. Dengan Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak
akademisi dalam menambah referensi ataupun tambahan ilmu
pengetahuan yang berkaitan terutama dapat dijadikan referensi dalam
melakukan penelitian selanjutnya.
c. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi yang jelas
terutama mengenai kebijakan Loan to Value bagi kepentingan Masyarakat yang ingin mengetahuinya.
d. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan studi dan tambahan ilmu
(25)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori
2.1.1 Ekonomi Makro
2.1.1.1 Pengertian dan Sejarah berkembangnya Ekonomi Makro
Makro ekonomi adalah salah satu cabang ilmu ekonomi yang membahas
perilaku perekonomian secara agregat, misalnya kemakmuran dan resesi, output
barang dan jasa, total perekonomian, laju pertumbuhan output, laju inflasi dan
pengangguran, neraca pembayaran dan juga nilai kurs ( Dornbusch, Stanley, dan
Mulyadi, 1996:3)
Ekonomi makro terbentuk dari adanya kemerosotan ekonomi dunia yang
berawal dari adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat tahun 1932. Pada saat itu
hampir 25 % masyarakat Amerika kehilangan pekerjaannya dan berakibat pada
merosotnya angka pendapatan nasional negara tersebut. Tentu saja hal ini
menjalar dan meluas ke seluruh dunia. Pada saat itu tidak ada satu teori atau
ajaran ekonomi yang mampu memecahkan masalah depresi ekonomi tersebut. Hal
ini semakin menyadarkan para ahli ekonomi saat itu bahwa ekonomi tidak dapat
hanya tergantung pada mekanisme pasar saja, karena mekanisme pasar tidak
mampu menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang baik dan stabil. Seorang ahli
ekonomi yang sekaligus pada saat itu bertugas sebagai Presiden World Bank
(26)
itu. Dalam buku yang berjudul The General Theory of Employment, Interest, and Money, John Maynard Keynes mengatakan bahwa pada saat itu untuk memecahkan masalah ekonomi suatu perekonomian tidak boleh hanya tergantung
pada mekanisme pasar saja tetapi membutuhkan juga campur tangan pemerintah
didalamnya. Pandangan John Maynard Keynes dalam bukunya tersebut menjadi
awal ataupun landasan lahirnya teori ekonomi makro modern.
2.1.1.2 Masalah dalam Ekonomi Makro
Di setiap negara di dunia ini tentu kegiatan perekonomiannya tidak selalu
stabil, apalagi dengan ruang lingkup yang sangat luas setiap negara pasti
mempunyai kendala ataupun masalah tersendiri. Namun bila diklasifikasikan lagi
masalah masalah yang dihadapi oleh tiap negara di dunia dapat dikelompokkan
menjadi 3 masalah pokok. Menurut Bakti, Rakhmat, dan Syahrir (2010:12)
kebijakan makro ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah sebagai keiikutsertaan
pemerintah dalam memacu kehidupan ekonomi selalu dihadapkan kepada masalah
pertumbuhan, inflasi, dan pengangguran sebagai central issues macroeconomic. Dengan kata lain bahwa yang menjadi masalah pokok dalam ekonomi makro dan
mencakup keseluruhan variabel variabel dalam ekonomi makro adalah masalah
pertumbuhan, inflasi dan pengangguran.
Selain masalah pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan masalah inflasi,
masalah yang sering dihadapi oleh setiap negara di dunia adalah masalah
ketidakstabilan kegiatan ekonomi dan masalah neraca perdagangan dan neraca
(27)
Untuk lebih jelas mengenai masalah masalah yang akan dihadapi oleh
perekonomian suatu negara dapat terlihat jelas dari gambar berikut ini:
Gambar 2.1. Masalah dalam Ekonomi Makro
Sumber: Bakti, Rakhmat, dan Syahrir (2010:13) Investasi
Pengangguran
Interest rate Money supply Inflasi
a. GNP b. Konsumsi
Masyarakat c. Konsumsi
pemerintah d. Investasi e. Ekspor f. Impor
Interest Rate
Wages
Employment Pertumbuhan
1. Neraca Pembayaran 2. Current Account 3. Capital account 4. Exchange rate
system Fixed Floating Devaluasi Revaluasi Appresiasi Depresiasi
(28)
2.1.1.3 Tujuan Kebijakan Ekonomi Makro
Kebijakan ekonomi yang dirumuskan oleh pemerintah tentu harus
disesuaikan dengan tujuan ataupun target apa yang harus dicapai dengan
kebijakan yang akan dibuat tersebut. Oleh karena itu sebelum memutuskan
kebijakan apa yang harus digunakan dalam perekonomian harus terlebih dahulu
ditentukan target dan tujuan yang hendak dicapai, sehingga dalam pelaksanaan
kebijakan tersebut dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Menurut Kelana
(1996:7) secara umum ada beberapa aspek yang menjadi tujuan kebijakan
makroekonomi dan merupakan pilihan tersendiri bagi setiap Negara. Hal ini
diakibatkan oleh berbedanya tujuan dan sasaran ekonomi suatu Negara tergantung
pada kondisi dan keadaan ekonomi di Negara tersebut. Tujuan yang dimaksudkan
antara lain:
1. Menciptakan Tingkat Harga yang Stabil.
Banyak orang mengartikan harga yang stabil sebagai harga yang selalu
konstan (constant price). Namun bila dilihat lebih jauh, harga yang stabil bukan berarti harga selalu konstan namun tingkat fluktuasinya lebih kecil
atau jarang. Stabilitas harga merupakan tujuan yang penting. Fluktuasi
harga yang tinggi tentu akan meningkatkan risiko pada dunia usaha.
Sebagai contoh di bidang properti (perumahan). Untuk membangun suatu
perumahan tentu dibutuhkan bahan baku dan tenaga kerja. Tentu harga
bahan baku dan tenaga kerja tidak akan selalu sama pada berbagai periode
waktu. Kontrak yang dilakukan pengembang dengan tenaga kerja tentu
(29)
harga dari bahan bahan bangunan akan sangat dipengaruhi oleh kestabilan
perubahan harga dari waktu ke waktu. Kestabilan harga akan memudahkan
pengembang merencanakan pembangunan perumahan sesuai dengan yang
diharapkannya. Dan dengan demikian akan semakin meningkatkan gairah
dunia usaha perumahan kedepannya.
2. Memaksimalkan Tenaga Kerja dan Output
Mencapai tingkat penggunaan tenaga kerja penuh (full employment)
merupakan cita cita setiap negara di dunia . Namun pada umumnya tidak
ada satu negara pun didunia yang mampu mewujudkan adanya
penggunaan tenaga kerja penuh. Walaupun memaksimalkan output
cenderung mendorong tercapainya tujuan penggunaan tenaga kerja
kapasitas penuh (full employment) namun kebijakan kebijakan yang dirumuskan oleh pemerintah dengan menambah pengeluaran aggregat
(output) hanya mampu mengurangi jumlah pengangguran tetapi tetap tidak mampu untuk menciptakan perekonomian dengan penggunaan tenaga
kerja penuh.
3. Menciptakan Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan dambaan bagi setiap Negara di dunia.
Namun pertumbuhan ekonomi yang diharapkan biasanya harus diikuti
dengan adanya stabilitas, keadilan ekonomi (economic equality) serta distribusi pendapatan yang merata di setiap wilayah yang ada di Negara
tersebut. Disamping itu, adanya peningkatan populasi manusia dan
(30)
meningkatkan produksi barang dan jasanya dan akan semakin
memungkinkan penambahan jumlah tenaga kerja yang terserap dalam
memproduksi barang tersebut. Sehingga pertumbuhan ekonomi akan
terjadi di Negara tersebut dan akan lebih baik jika diikuti dengan distribusi
pertumbuhan yang merata.
4. Mengukuhkan Neraca Pembayaran (Stabilitas Neraca Pembayaran)
Stabilitas neraca pembayaran dianggap sangat penting dikarenakan hal ini
berkenaan dengan hubungan luar negeri dan cadangan devisa suatu
Negara. Neraca pembayaran yang tidak kukuh akan mengurangi
kemampuan suatu negara dalam menghadapi masalah pengaliran dana
keluar negeri yang melebihi dari keadaan yang biasanya berlaku. Sebagai
akibatnya cadangan mata uang asing akan merosot dan kurs mata uang
asing meningkat. Hal ini akan menimbulkan efek buruk ke perekonomian
suatu negara seperti inflasi, biaya produksi meningkat akan tetapi
sebaliknya daya beli masyarakat merosot. Hal ini menunjukkan bahwa
kebijakan ekonomi makro perlu memperhatikan kedudukan neraca
pembayaran dan kurs valuta asing selalu tetap teguh keadaannya.
2.1.1.4 Kebijakan Ekonomi Makro
Untuk mencapai tujuan tujuan yang telah ditetapkan, maka perlu adanya
kebijakan kebijakan ekonomi yang tepat dan sesuai dengan apa yang akan dicapai.
(31)
1. Kebijakan fiskal
Menurut Pracoyo dan Antyo (2005:22) kebijakan fiskal merupakan
kebijakan yang mengatur tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah.
Adapun sumber penerimaan Negara adalah penerimaan dari pajak,
penerimaan bukan pajak, dan juga dari bantuan ataupun pinjaman yang
berasal dari luar negeri, sedangkan pengeluaran dapat dibagi menjadi 2
bagian secara umum yakni pengeluaran rutin dan pengeluaran
pembangunan. Sehingga dengan kata lain kebijakan fiskal merupakan
kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan keuangan Negara yang
bersumber dari penerimaan serta alokasi pengeluaran Negara yang
tercantum dalam APBN. Menurut Sukirno (2004:188) Ada 2 instrumen
yang digunakan dalam kebijakan fiskal ini antara lain:
a. Automatic instrument
Adalah suatu instrumen yang dilakukan oleh pemerintah dengan cara
menaikkan persentase beban pajak sehingga memunculkan kenaikan
harga barang secara umum dan lebih jauh laju inflasi akan meningkat.
Adapun kebijakan ini bertujuan untuk dapat mengurangi defisit
anggaran pemerintah. Hal ini tentu akan memberatkan bagi masyarakat
karna harus menambah bebannya untuk pajak, namun ternyata
kebijakan ini cukup berhasil karena peningkatan penerimaan pajak yang
diterima dari masyarakat dikelola dengan baik dengan menujukannya
ke pengeluaran yang dapat mendorong investasi pada sektor sektor
(32)
b. Instrumen diskreasi
Instrumen diskreasi adalah langkah langkah pemerintah untuk
mengubah pengeluarannya atau pemungutan pajaknya dengan tujuan
untuk mengurangi gerak naik turun tingkat kegiatn ekonomi dari
waktu ke waktu, menciptakan suatu tingkat kegiatan ekonomi yang
mencapai tingkat konsumsi tenaga kerja yang tinggi, tidak menghadapi
masalah inflasi, dan selalu mengalami pertumbuhan yang memuaskan.
Langkah langkah pemerintah di dalam melakukan perubahan terhadap
pengeluaran pemerintah dan juga perubahan system perpajakan harus
terlebih dahulu disesuaikan dengan masalah yang dihadapi. Sebagai
contoh untuk mengatasi masalah inflasi pemerintah dapat melakukan
perubahan terhadap sistem pajaknya dengan menaikkan jumlah pajak
yang dipungut dari masyrakat. Sehingga dengan demikian jumlah uang
yang beredar dapat dikurangi jumlahnya.
2. Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter meliputi langkah langkah pemerintah yang
dilaksanakan oleh bank sentral atau Bank Indonesia untuk mempengaruhi
(mengubah) Jumlah uang yang beredar di masyarakat (Boediono,
2001:85). Mempengaruhi Jumlah uang yang beredar di masyarakat berarti
mempengaruhi situasi makro ekonomi secara umum. Dengan kata lain
dapat dikatakan bahwa kebijakan moneter adalah suatu kebijakan yang
diambil oleh Bank Indonesia sebagai bank Sentral Indonesia untuk
(33)
untuk dapat menjaga stabilitas moneter di suatu Negara. Menurut Kelana
(1996:6) kebijakan moneter pada prinsipnya sebagai upaya yang
dilakukan oleh Bank Indonesia selaku otoritas keuangan Indonesia dalam
mengontrol penawaran uang yang dimaksudkan untuk mencapai
perekonomian yang lebih stabil. Untuk dapat mencapai tujuan kebijakan
moneter tersebut, bank Indonesia sebagai bank sentral Indonesia
mempunyai beberapa instrumen, baik itu instrumen kuantitatif maupun
instrument kualitatif. Menurut Pracoyo dan Antyo (2005:171) instrumen
kuantitatif dan instrumen kualitatif dari kebijakan moneter adalah sebagai
berikut:
a. Discount Policy
Discount policy adalah instrumen yang digunakan oleh bank sentral dengan mempengaruhi besarnya tingkat suku bunga bank yang berlaku
umum dan kemudian operasionalnya dilakukan oleh bank umum.
Untuk mengatasi masalah inflasi, bank sentral akan menaikkan suku
bunga dalam kerangka mengurangi jumlah uang yang beredar dan
sebaliknya untuk meredakan deflasi maka bank sentral menurunkan
suku bunga yang berpengaruh kepada kenaikan jumlah uang yang
beredar.
b. Open market policy
Open market policy adalah kebijakan yang digunakan oleh bank sentarl dengan mengeluarkan obligasi dan surat surat berharga yang dimiliki
(34)
kerangka menekan laju inflasi maka bank sentral menjual obligasi dan
surat surat berharga yang dimiliki oleh pemerintah kepada masyarakat
sekaligus sebagai upaya mengurangi jumlah uang yang beredar.
Sebaliknya untuk meredakan deflasi maka pemerintah membeli
obligasi dan surat surat berharga yang dimiliki oleh pemerintah.
c. Kebijakan Cash ratio reserve requirement policy (CRR) Kebijakan yang dilakukan oleh bank sentral untuk menetapkan rasio
uang kas dan cadangan yang akan digunakan oleh bank umum sebagai
dana pinjaman. Persentase CRR dinaikkan dengan tujuan agar bank
umum mengurangi penyaluran dana pinjaman sebagai upaya
mengurangi jumlah uang yang beredar dan sebaliknya.
d. Pengaturan sistem pembelian angsuran
Yaitu kebijakan dari bank sentral yang dilakukan dengan mengawasi
aliran pinjaman terhadap pembelian barang oleh perusahaan kepada
para konsumen. Tindakan ini dilakukan oleh bank sentral untuk
mengatur sistem pembayaran secara angsuran sebagai upaya mencegah
inflasi.
e. Selective Credit Control
adalah kebijakan yang dilakukan oleh bank sentral untuk mencegah
inflasi terhadap kredit untuk membiayai proyek proyek yang dilakukan
oleh mayarakat sekaligus sebagai upaya untuk mencegah kegiatan
(35)
f. Moral Suasion
Moral suasion dapat dilakukan oleh Bank Indonesia dengan melakukan
himbauan baik menggunakan tulisan ataupun dengan ajakan untuk
tidak melakukan suatu tindakan tertentu. Sebagai contoh, Bank
Indonesia mengajak bank bank nasional maupun bank asing
mengusahakan penurunan tingkat bunga.
3. Kebijakan Segi penawaran
Menurut Sukirno (2004:25) kebijakan segi penawaran bertujuan untuk
mempertinggi efisiensi kegiatan perusahaan perusahaan sehingga dapat
menawarkan barang barangnya dengan harga yang lebih murah atau dengan
mutu yang lebih baik. Salah satu kebijakan segi penawaran adalah kebiajkan
pendapatan yaitu langkah pemerintah yang bertujuan mengendalikan tuntutan
kenaikan pendapatan pekerja. Kebijakan segi penawaran dapat dijalankan
melalui cara mengembangkan infrastruktur dan peningkatan pelayanan
pemerintah dalam mengembangkan kegiatan usaha sektor swasta.
2.1.2 Loan to Value
2.1.2.1. Defenisi Loan to Value
Rasio Loan to value (LTV) adalah angka rasio antara nilai kredit yang dapat diberikan oleh bank terhadap nilai agunan pada saat awal pemberian suatu kredit
(Surat edaran Bank Indonesia no 14/10/DPNP). Kebijakan ini merupakan
(36)
mengantisipasi atau meminimalisir adanya gejolak dalam perekonomian sebagai
akibat dari pertumbuhan kredit pemilikan rumah (KPR) dan kepemilikan atas
kendaraan bermotor yang terlalu berlebihan. Sehingga Bank Indonesia selaku
penguasa moneter di Indonesia merasa perlu untuk memberikan batasan batasan
yang jelas terhadap jumlah uang muka yang harus dimiliki seseorang jika ingin
memiliki suatu perumahan ataupun kendaraan bermotor. Konsep Loan to value
sebenarnya sama dengan Down Payment. Hanya saja istilah Loan to value lebih condong digunakan pada Properti (KPR) sedangkan down payment pada kendaraan bermotor. Terkhusus untuk Loan to value, tidak semua jenis KPR yang akan dikenakan kebijakan tersebut. Menurut Surat edaran no.14/10/DPNP ruang
lingkup KPR yang diatur dalam surat edaran tersebut adalah mencakup kredit
konsumsi pemilikan rumah tinggal, termasuk rumah susun atau apartemen namun
tidak termasuk rumah kantor dan rumah toko, dengan tipe lebih dari 70 meter
persegi. Adapun dalam surat edaran ini juga telah ditetapkan rasio Loan to value
(LTV) sebesar 70%. Itu berarti bila seseorang ingin menikmati suatu fasilitas KPR
harus memiliki uang muka setidaknya 30% dari harga jual KPR tersebut. Ada
beberapa alasan yang dikemukakan oleh Bank Indonesia yang mendasari terbitnya
aturan ataupun kebijakan Loan to value ini (surat edaran Bank Indonesia no
14/10/DPNP):
a. Semakin meningkatnya permintaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan
kredit kendaran bermotor (KKB) serta mengingat pertumbuhan KPR dan
KKB yang terlalu tinggi berpotensi menimbulkan berbagai risiko maka
(37)
b. Pertumbuhan KPR yang terlalu tinggi juga dapat mendorong peningkatan
harga aset properti yang tidak mencerminkan harga sebenarnya (bubble) sehingga dapat meningkatkan risiko kredit bagi bank bank dengan
eksposur kredit properti yang besar.
c. Untuk menjaga perekonomian yang produktif dan mampu menghadapi
tantangan sektor keuangan di masa yang akan datang, perlu adanya
kebijakan yang dapat memperkuat ketahanan sektor keuangan untuk
meminimalisir sumber sumber kerawanan yang dapat timbul, termasuk
pertumbuhan Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit kendaraan bermotor
yang berlebihan. Dan kebijakan yang dimaksudkan adalah melalui
penetapan besaran Loan to value (LTV) untuk KPR dan Down Payment
untuk Kredit kendaraan bermotor.
2.1.2.2. Perbandingan Penerapan Loan to Value di Berbagai Negara
Sebelum dikeluarkannya Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/ 10/ DPNP , di
Indonesia belum pernah ada ketetapan yang mengatur secara jelas mengenai
batasan batasan dalam kebijakan Loan to Value ataupun Down Payment. Sebelumnya memang telah ada peraturan Bank Indonesia yang mengatur prinsip
prinsip pemberian kredit yang sehat. Namun peraturan yang disusun lewat
Pedoman Penyusunan Kebijakan Perkreditan Bank (PPKPB) ini tidak secara
spesifik mengatur tingkat Loan to Value atau tingkat Down Payment. Namun kebijakan Loan to value ini bukan kebijakan yang baru digunakan di Indonesia. Sebelumnya beberapa negara di dunia telah diterapkan kebijakan yang sama
(38)
tersebut. Besar kecilnya angka Loan to value di setiap negara akan berbeda beda disesuaikan dengan karakteristik masalah yang dihadapi oleh masing masing
negara.Berikut ini ditampilkan beberapa negara yang pernah menetapkan
kebijakan yang sama di negara masing masing dengan batasan nilai Loan to Value
yang berbeda beda.
Tabel 2.1. Perbandingan Penerapan LTV di Berbagai Negara
Negara LTV
Thailand Max 90% untuk pembelian apartemen seharga < Rp.2,8 M/ Unit Max 95% untuk pembelian rumah lainnya
*tidak berlaku bagi Pegawai negeri atau pegawai BUMN karna resiko kredit dianggap lebih rendah
China LTV properti 1: 70 %, LTV properti 2: 50% sedangkan pembelian properti 3 dilarang
India Maksimal 80 % untuk housing loans
Malaysia Maksimal 70 % untuk pembelian properti ke 3
Hongkong Max 60 % untuk Luxury properti senilai di atas HK$12 juta
Max 70 % untuk properti di bawah HK$12 juta dengan maksimum property value sebesar HK$ 7.2 juta
Korea Antara 40-50% tergantung daerah properti yang mengalami
excessive growth
Philipina Maximal 60 % untuk kredit real estate
Sumber : Kajian Stabilitas Keuangan No19, Edisi September 2012 Singapura Maximal 90 % untuk housing loans
Australia Max 80 %. Kalau diatas 80% perlu ada mortage insurance
Canada Max 75 % untuk housing loans
Jerman Max 60 % untuk mortage bonds
Spanyol Max 80 % untuk housing loans
Prancis Max 80 % untuk housing loans
Belanda Max 90 % untuk housing loans
(39)
2.1.2.3 Hasil yang Diharapkan dari Kebijakan Loan to Value
Setiap Kebijakan yang dikeluarkan pasti diharapkan mampu mengatasi
masalah yang hendak dipecahkan. Oleh karena itu, sebelum memutuskan
menggunakan suatu kebijakan telah dipelajari terlebih dahulu efek apa yang akan
ditimbulkan oleh kebijakan tersebut. Begitu juga dengan penerapan Loan to Value
ini, Bank Indonesia mengharapkan dengan adanya pembatasan Maksimum Loan to Value suatu Bank dapat lebih berhati hati dalam menyalurkan Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit Kendaraan Bermotor yang selama ini dinilai telah melebihi
ambang batas kenormalan. Diharapkan Batasan Maksimum Loan to Value akan mempertemukan Bank dengan pihak pembeli yang potensial. Artinya pembeli
tersebut memang sangat membutuhkan perumahan sebagai tempat tinggal serta
mempunyai kemampuan untuk membayarakannya. Atau setidaknya batasan yang
tinggi terhadap uang muka pembelian sutu properti dapat mengurangi angsuran
konsumen setiap bulannya sehingga kemungkinan kredit bermasalah semakin
berkurang dan membuat angka Non performing Loan (NPL) semakin membaik (Kajian stabilitas Keuangan No. 19, September 2012). Selain itu cara ini dianggap
akan mampu mengurangi para spekulan yang memang menginginkan keuntungan
dari kenaikan harga properti terutama di tipe diatas 70 m2. Para spekulan harus
berpikir ulang karena membutuhkan uang yang banyak untuk dapat membeli
suatu jenis properti tertentu. Untuk itu diharapkan Industri Properti dan otomotif
ini dapat menawarkan produk otomotif ataupun rumah dengan harga terjangkau
bagi setiap segmen dalam masyarakat yang membutuhkan. Dengan kata lain,
(40)
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat terutama dalam pemenuhan
kebutuhan papan yang memang dianggap essensial kepentingannya.
2.1.3 Properti
2.1.3.1 Pengertian Properti
Secara umum properti dapat dikelompokkkan menjadi 2 kategori, yaitu:
a. Properti Riil (Real Property)
Properti riil adalah hak perorangan atau badan untuk memiliki/ menguasai
tanah dan bangunan yang didirikan diatasnya. Dalam beberapa kasus
seringkali seseorang menyamakan istilah real property dengan real estate, namun ternyata kedua istilah tersebut memiliki arti yang berbeda. Menurut
Supardi, Heri, dan Mohammad Luthfi (2010:2) real estate secara terminologi adalah penguasaan secara fisik atas tanah dan bangunan
sedangkan real property diartikan sebagai penguasaan secara hukum yang dilandasi dengan hak atas tanah dan bangunan tersebut. Sementara
menurut Hidayati dan Harjanto (2001:10) istilah real estate adalah untuk bentuk fisik dari tanah beserta pengolahan dan pembangunannya dan real property merujuk pada kumpulan hak (bunndle of rights) untuk menggunakan, menyewa, memindahkan,dan sebagainya dari tanah beserta
pengolahan dan pembangunannya.
b. Personal Properti
Menurut Supardi, Heri dan Mohammad Luthfi (2010:2) personal property
(41)
properti berwujud seperti mesin, peralatan, dan furniture; maupun properti yang tidak berwujud seperti goodwill, merk, trademark, dan sebagainya.
2.1.3.2 Faktor faktor yang Mempengaruhi Nilai Properti
Sama dengan barang barang lain pada umumnya nilai suatu properti juga
dipengaruhi oleh beberapa karakteristik. Menurut Hidayati dan Harjanto
(2001:22) secara garis besar ada 4 faktor yang mempengaruhi nilai suatu properti
yaitu:
a. Faktor permintaan dan penawaran
Relatif sama dengan barang lain pada umumnya, faktor ini merupakan
faktor yang sangat luas dampaknya. Jika penawaran properti di pasar tetap
sedangkan permintaan terus mengalami peningkatan maka nilai properti
akan mengalami peningkatan, cateris paribus. Sebaliknya, jika permintaan
tetap sedangkan jumlah penawaran bertambah maka harga properti akan .
mengalami penurunan, cateris paribus.
b. Faktor fisik properti
Faktor fisik menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap nilai
suatu properti. Faktor faktor yang mempengaruhi penilaian fisik suatu
bangunan antara lain dilihat dari jenis dan kegunaan properti, ukuran dan
bentuk, serta desain dan kontruksi bangunan. Pada intinya, jika kondisi
fisik properti banyak membantu atau memudahkan penggunanya atau jika
kondisi properti sesuai dengan yang diharapkan oleh penggunanya maka
(42)
sesuai dengan selera dan harapan pemiliknya maka nilai properti tersebut
akan mengalami kemerosotan
c. Faktor perletakan dan lokasi properti
Lokasi dapat dianggap sebagai faktor terkuat dalam menentukan nilai
properti. Dua buah properti yang memiliki bentuk fisik sama tetapi bila
lokasinya berbeda, maka nilainya akan berbeda pula. Sebagai contoh
dalam kehidupan sehari hari, properti dengan bentuk yang sama namun
satu terletak di pedesaan dengan akses yang sulit, dan satu berada di kota
dengan akses yang sangat baik tentu properti yang terletak di daerah
perkotaan akan lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan properti yang
terletak di pedesaaan.
d. Faktor Politik dan Kenegaraan
Faktor kenegaraan maksudnya adalah faktor ekonomi, sosial, dan politik
di suatu negara, dimana hal hal tersebut secara tidak langsung akan
mempengaruhi nilai properti. Menurut Supardi, Heri dan Mohammad Luthfi (2010:11) campur tangan pemerintah dalam peruntukan (zoning) dan perencanaan kota berpengaruh terhadap nilai properti. Sebagai contoh,
permintaan akan suatu properti mungkin akan mengalami penurunan jika
sistem perundangan yang mengatur properti tersebut terlalu ketat dan akan
mempengaruhi nilai properti secara umum. Keadaan ekonomi dan sistem
perpolitikan yang cenderung nyaman bagi para investor tentu akan
(43)
Berkaitan dengan hal ini, kebijakan pengetatan batasan Loan to value
adalah salah satu sistem kebijakan ekonomi yang ditempuh oleh bank
Indonesia sebagai otoritas moneter untuk melindungi nilai properti di
Indonesia.
2.1.3.3 Hubungan Loan to Value dengan Permintaan Properti
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya Loan to value adalah Rasio antara nilai kredit yang dapat diberikan oleh bank terhadap nilai agunan pada awal
pemberian kredit (Surat Edaran Bank Indonesia No 14/10/DPNP). Kebijakan
Loan to value adalah kebijakan Bank Indonesia dalam upayanya melakukan pembatasan terhadap jumlah dana yang dapat diberikan bank penyedia jasa
pembiayaan untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Aturan yang dikeluarkan
tanggal 15 Maret 2012 dan aktif mulai tanggal 15 Juni 2012 ini, menetapkan
besarnya Loan to Value terhadap properti sebesar 70%, artinya penerima KPR paling tidak harus mempunyai uang muka sebesar 30% dari nilai KPR tersebut.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya tentu saja kebijakan ini akan berdampak
buat nilai dan permintaan properti. Menurut Hidayati dan Harjanto (2001:22)
sistem perundangan yang terlalu ketat mungkin akan menyebabkan permintaan
properti turun dan selanjutnya akan mempengaruhi nilai tanah. Menurut Supardi,
Heri, dan Mohammad Luthfi (2010:12) Kebijakan pemerintah dalam menentukan suku bunga juga berpengaruh terhadap nilai properti dari segi ekonomi. Sehingga
jelas terlihat bahwa kebijakan Loan to value akan berpengaruh terhadap permintaan properti.
(44)
2.2. Kerangka konseptual
Kerangka konseptual menurut Erlina (2008:34) merupakan suatu model yang
menjelaskan bagaimana hubungan suatu teori dengan faktor faktor penting yang
telah diketahui dalam suatu masalah tertentu.
Berdasarkan latar belakang masalah dan tinjauan pustaka maka kerangka
konseptual dalam Penelitian ini dapat dilihat dari Gambar berikut ini:
Gambar 2.2. Kerangka Konseptual
*down payment tidak dibahas dalam skripsi ini
Surat Edaran Bank Indonesia No 14/10/ DPNP
Kebijakan Loan to Value / Down Payment
LTV : Properti /Perumahan Diatas Tipe 70 m2
Maksimal Pembiayaan Oleh Bank 70 % dari harga Jual
*DP: Kendaraan Bermotor Minimal 30% dari Harga Jual
Permintaan Rumah Tipe 70 + Sebelum Kebijakan
(Januari2012 – Mei 2012)
Permintaan Rumah Tipe 70 + Sesudah Kebijakan
(Juni 2012 – Desember 2012)
(45)
Surat Edaran per tanggal 15 maret 2012 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia
tentang penerapan manajemen resiko bagi bank umum telah melahirkan satu
kebijakan Loan to value yang memberikan batasan yang jelas berapa besar batas minimal uang muka yang harus disediakan oleh peminat KPR untuk dapat
melakukan pembelian secara kredit. Kebijakan ini diyakini mempunyai dampak
terhadap jumlah permintaan properti terkhusus bagi jenis atau tipe rumah diatas
70 m2. Skripsi ini akan mengukur dampak kebijakan Loan to value terhadap permintaan properti di kota Pematangsiantar.
2.3. Penelitian Terdahulu
Joshua Bangun Gunanta (2012) melakukan penelitian dengan judul “Dampak
Aturan Pembatasan Loan to Value Terhadap Harga Saham Properti”. Joshua dalam penelitiannya mengukur apakah ada pengaruh kebijakan Loan to value
terhadap laba perusahaan yang kemudian akan berpengaruh terhadap harga saham
perusahaan tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan Loan to Value yang ditetapkan melalui surat edaran Bank Indonesia No 14/10/DPNP berpengaruh terhadap perubahan saham perusahaan properti di Indonesia.
Mayoritas harga saham perusahaan sektor properti dan real estate mengalami penurunan harga dibandingkan dengan sebelum aturan pembatasan tersebut
efektif ditetapkan.
Dwi Yulianti (2009) dalam penelitiannya berjudul “analisis pengaruh suku
bunga, inflasi, dan nilai tukar terhadap tingkat pengembalian saham sektor
(46)
memperbandingkan sektor mana yang paling berpengaruh terhadap perubahan
(gejolak) ekonomi yang terjadi di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa perubahan suku bunga, terjadinya inflasi, dan perubahan nilai tukar akan
lebih mempengaruhi kinerja perusahaan sektor properti dan real estate
dibandingkan dengan perusahaan sektor konsumsi. Hal ini dikarenakan real estate
masih dianggap masyarakat Indonesia pada umumnya sebagai barang sekunder
yang kepentingannya tidak harus segera diwujudkan. Sehingga dengan terjadinya
Inflasi masyarakat akan lebih memilih mendahulukan konsumsi terutama barang
pokok.
Tak chuen Wong, Tom Fong, Ka fai Li dan Henry Choi (2011) dalam
penelitiannya berjudul “Loan to value ratio as a macroprudential tool Hong Kong’s experience and cross-country evidence” menggambarkan pengalaman Negara Hongkong dalam menerapkan kebijakan Loan to Value di negaranya. Banyak pengamat meragukan kebijakan Loan to Value memang efektif digunakan sebagai alat mencegah terjadinya Bubble di sektor properti. Namun penelitian ini menunjukkan dari pengalaman Hongkong melaksanakan kebijakan Loan to Value
kebijakan ini memang cukup efektif mengatasi (mengurangi) risiko kredit di pasar
Properti.
2.4. Hipotesis
Berdasarkan tinjauan teoritis, rumusan masalah dan penelitian terdahulu
maka yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah Kebijakan Loan to Value
(47)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian ini adalah penelitian komparatif atau penelitian komparasi.
Analisis komparatif atau uji perbedaan ini juga disebut dengan uji signifikansi
(test of significance). Analisis komparatif adalah bentuk analisis variabel (data) untuk mengetahui perbedaan di antara dua kelompok data (variabel) atau lebih
(Hasan, 2004:116). Menguji hipotesis komparatif berarti menguji parameter
populasi yang berbentuk perbandingan melalui ukuran sampel yang juga
berbentuk perbandingan (Sugiyono, 2006:115). Ada 2 jenis analisis komparatif
yakni komparatif dua sampel dan komparatif k sampel (komparatif antara lebih
dari dua sampel). Khusus penelitian ini menggunakan jenis analisis komparatif
dua sampel berkorelasi untuk data ordinal. Penulis menggunakan aplikasi SPSS
versi 17.0 untuk mengolah data.
3.2. Jenis dan Sumber data 3.2.1. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Menurut
Hasan (2004:19) data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan
langsung di lapangan oleh peneliti ataupun orang orang yang memerlukannya.
Adapun data ini dikumpulkan melalui observasi langsung ke lapangan. Data yang
(48)
terkumpul dari waktu ke waktu untuk memberikan gambaran perkembangan suatu
kegiatan ataupun keadaan (Hasan, 2004:20). Data dalam penelitian ini antara lain
meliputi nama perusahaan pengembang yang menjalankan kegiatan usahanya di
kota Pematangsiantar dan jumlah Bangunan yang terjual masing masing
perusahaan sebelum dan sesudah kebijakan diberlakukan dari periode Januari
sampai dengan Desember 2012.
3.2.2. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data primer yang
pengumpulan datanya melalui observasi dan wawancara langsung ke pengusaha
(pengembang) di kota Pematangsiantar.
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kota Pematangsiantar dengan mengobservasi
langsung fisik bangunan dan mewawancarai langsung pengembang yang
dimaksud. waktu penelitian mulai bulan maret sampei Mei 2013.
3.4. Populasi dan Sampel
Populasi menurut Sugiyono (2006:55) adalah wilayah generalisasi yang
terdiri atas; obyek /subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu
yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya. Atau dapat dikatakan bahwa populasi merupakan keseluruhan
dari objek penelitian yang akan diteliti. Berdasarkan defenisi populasi diatas,
maka populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah populasi perusahaan
(49)
Pematangsiantar yang masih aktif melakukan penjualan sampai tahun 2012.
Banyaknya pengembang yang ada adalah sebanyak 12 Perusahaan.
Sampel adalah sebahagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut. Metode penentuan sampel yang digunakan adalah penentuan
sampel secara Purposive sampling. Menurut Sugiyono (2006:61) Sampling purposive adalah tehnik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Tujuan dari penggunaan metode ini adalah untuk mendapatkan sampel yang konsisten
dan representatif sesuai dengan kriteria kriteria yang digunakan.
Adapun kriteria penentuan sampel dalam penelitian ini adalah:
1. Pengembang yang masih aktif melakukan penjualan selama tahun 2012.
Hal ini dimaksudkan karena kebijakan loan to value mulai efektif berlaku mulai 15 juni 2012, sehingga data yang tersaji dapat jelas terlihat sebelum
dan sesudah kebijakan.
2. Pengembang yang menyediakan (menawarkan) rumah tipe 70 m2 keatas,
sesuai dengan isi surat edaran yang mengatakan bahwa tidak semua tipe
rumah dikenakan kebijakan. Tipe 70 m2 keatas merupakan objek dari
kebijakan ini
3. Tidak termasuk pengembang yang mengembangkan Rumah toko ataupun
Rumah kantor. Sesuai dengan isi surat edaran yang memutuskan kebijakan
loan to value tidak diperuntukkan bagi bangunan bangunan produktif seperti rumah toko dan rumah kantor.
Berdasarkan Kriteria tersebut maka sampel perusahaan (pengembang)
(50)
Tabel 3.1. Populasi dan Sampel Perumahan di Kota Pematangsiantar NO NAMA PERUMAHAN (PENGEMBANG) ALAMAT KRITERIA
PENENTUAN SAMPEL
1 2 3
1.
Karina Green Hill ( CV. Megika)
Jln. Viyata Yudha, Siantar Sitalasari, Pematangsiantar - 2. Perumahan Karya (CV. Karya Propertindo)
Jln. PU Pengairan Kav.
12, Pematangsiantar SAMPEL 1
3.
Perumahan Sumber Jaya
( CV. Asido)
Jln. Medan km 4, simpang kerang, kota
Pematangsiantar
-
4. Perumahan Griya
Tama
Jln. Medan km 4, simpang kerang, kota
Pematangsiantar
-
5. Griya Indah Damai
Jln. Melati, Sumber jaya II siantar martoba,
Pematagsiantar
-
6. Perumahan Maranatha
Jln. Bahkora Bawah , kecamatan Siantar Marihat, Pematangsiantar
-
7.
Perumahan Bersatu Maju (CV. Bersatu
Maju)
Jln. Pdt. Wismar Saragih,
Pematangsiantar -
8.
Perumahan Taman Setia Negara Indah
(TSNI)
Jln. Lapangan Tembak, Kel. Setia Negara, Kec.
Siantar Sitalasari, Pematangsiantar
SAMPEL 2
9. Perumahan Meranti Permai
Jln.Meranti No. 89
Pematangsiantar SAMPEL 3
10.
Perumahan Sumber Jaya Indah (CV. Rizky)
Jln Medan, Simpang Kerang Km.4,5 Desa
Sumber Jaya Pematangsiantar
(51)
Sehingga dengan demikian dapat ditarik kesimpulan yang menjadi sampel dalam penelitian ini antara lain:
1. Perumahan Karya
2. Perumahan Taman Setia Negara Indah (TSNI) 3. Perumahan Sumber Jaya Indah
4. Perumahan Meranti Permai (PMP)
3.5. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi
dokumentasi melalui dua cara yaitu:
a. Studi Pustaka dengan cara mengumpulkan data data ataupun penjelasan dari
literatur terdahulu untuk mendapatkan gambaran dari masalah yang diteliti
sekaligus juga untuk membantu penulis untuk lebih mengetahui tehnik
analisis yang digunakan.
b. Pengumpulan data dengan pengamatan (observasi) langsung ke lapangan 11.
Siantar Mas Residence (Tugu Daya Perkasa)
Jln. Raya Medan No, 88
Pematangsiantar - -
12. Griya Setia Negara Jln. Lapangan Tembak,
Siantar sitalasari -
13. Perumahan Damai
Sejahtera
Jln. Melanthon Siregar gg. Barito, Kecamatan Siantar
Marihat
-
14. Griya Anugrah Indah Jln. Nias No.9 Kota
Pematangsiantar -
15 Perumahan Anugerah
Jln. Medan Km 4 gg Jepang kecamatan Siantar
Martoba
(52)
3.6. Tehnik Analisis Data 3.6.1. Analisis deskriptif
Analisis ini dimaksudkan untuk memberikan suatu gambaran
mengenai karakteristik sampel yang digunakan dalam penelitian ini. Dalam
hal ini, data yang digunakan masih merupakan data asli dan belum
menghilangkan suatu data pun. Tujuan analisis ini supaya lebih
memudahkan dalam memahami data data yang telah dikumpulkan.
3.6.2. Analisis komparatif Data Berpasangan (Uji beda)
Tehnik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis komparatif atau yang disebut dengan uji beda. Tujuan dari
penggunaan analisis komparatif adalah untuk mengetahui bagaimana dampak
dari kebijakan Loan to Value terhadap permintaan properti di kota Pematngsiantar sebelum dan sesudah kebijakan diberlakukan. Jenjang waktu
yang diambil dalam penelitian ini adalah satu tahun yakni periode tahun 2012.
Alasan pemilihan jenjang waktu tersebut dikarenakan kebijakan loan to value
baru diberlakukan di Indonesia sejak Juni 2012. Sehingga dapat
diperbandingkan penjualan sebelum kebijakan (Januari- Mei 2012) dengan
penjualan sesudah kebijakan (Juni- Desember 2012).
Jenis penelitian ini lebih diarahkan ke penelitian evaluatif. Maksud
dari penelitian evaluatif adalah penelitian yang akan mengukur sejauh mana
keberhasilan dari suatu kebijakan yang telah diberlakukan sebelumnya.
(53)
seberapa jauh tujuan yang digariskan pada awal program tercapai atau
(54)
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Perkembangan Ekonomi Kota Pematangsiantar
Salah satu indikator yang dapat dijadikan tolak ukur pertumbuhan
ekonomi suatu wilayah adalah melihat PDRB-nya. Pertumbuhan ekonomi yang
dimaksud adalah naiknya pendapatan riil perkapita yang berasal dari daerah itu
sendiri. Kenaikan pendapatan riil perkapita ini merupakan salah satu efek positif
dari berhasilnya suatu pembangunan. Secara garis besar, PDRB di kota
Pematangsiantar dapat dilihat dari tabel berikut ini:
Tabel 4.1. PDRB Kota Pematangsiantar (dalam jutaan Rupiah)
Tahun PDRB (atas dasar harga Konstan 2000) Persen Pertumbuhan PDRB
2007 1.729.273,45 -
2008 1.828.251,13 5,72
2009 1.926.298,65 5,36
2010 2.038.924,45 5,84
2011 2/161.591,25 6,01
Sumber: Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, 2007-2011
Melalui tabel diatas dapat dilihat bahwa jika dilihat dari jumlahnya PDRB
kota Pematangsiantar mengalami kenaikan dari tahun ke tahun dan jika dilihat
dari segi persentase pertumbuhan PDRB itu sendiri, angka pertumbuhan PDRB di
(55)
mengindikasikan kestabilan ekonomi daerah tersebut. Persen pertumbuhan PDRB
kota Pematangsiantar mempunyai tren yang meningkat dari tahun ke tahun. Jika
dilihat dari data terakhir, dari tahun 2010 hingga 2011 PDRB kota
Pematangsiantar mengalami pertumbuhan sebesar 6,01 %. Tabel PDRB diatas
akan menunjukkan bahwa kondisi perekonomian di kota Pematangsiatar masih
cukup stabil.
Jika dilihat dari distribusi persentase PDRB menurut lapangan usahanya dapat
dilihat dari tabel berikut ini:
Tabel 4.2. PDRB Menurut Sektor Usaha di Kota Pematangsiantar (%)
Sektor Usaha 2007 2008 2009 2010 2011
Pertanian 3,20 3,01 2,87 2,72 2,55
Pertambangan dan Penggalian 0,03 0,02 0,02 0,02 0,02
Industri 26,76 25,46 23,92 22,23 26,10
Listrik, Gas, Air minum 1,66 1,55 1,48 1,40 1,34
Bangunan (kontruksi) 6,22 5,63 5,33 5,05 4,93
Perdagangan, Hotel dan Restoran 28,67 30,28 31,53 34,02 35,04
Pengangkutan dan Komunikasi 10,35 9,97 9,65 9,24 8,94
Bank dan Lembaga Keuangan 11,57 11,99 13,20 13,40 13,98
Jasa Jasa 12,15 12,08 12,00 11,91 12,10
Sumber : Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, 2007-2011
Dari Tabel diatas dapat dilihat bahwa sektor Perdagangan, hotel dan
(56)
Perdagangan, hotel dan rastoran ini dari tahun 2007 hingga tahun 2011 tetap
menjadi pemberi kontribusi yang terbesar bagi PDRB kota Pematangsiantar.
Selain itu, Persentase kontribusinya pun selalu mengalami peningkatan tiap
tahunnya. Sektor lain yang menjadi penyumbang terbesar dalam memberi
kontribusi bagi PDRB kota Pematangsiantar adalah sektor Industri dan
selanjutnya sektor jasa.
Bila dilihat dari tabel diatas, sektor bangunan (kontruksi) masih kecil
kontribusinya dalam PDRB kota Pematangsiantar. Sektor bangunan yang
dimaksud disini juga termasuk bangunan real estate oleh para pengembang. Jika dilihat dari tren setiap tahunnya. Sektor kontruksi justru mengalami penurunan
setiap tahunnya.
Hal lain yang perlu dilihat dari perekonomian kota Pematangsiantar
adalah Inflasi yang terjadi di kota tersebut. Berikut ini adalah laju inflasi di kota
Pematangsiantar diperbandingkan dengan kota Medan dan Nasional:
Tabel 4.3. Inflasi Kota Pematangsiantar (%)
Tahun Pematangsiantar Medan Nasional
2007 8,37 6,42 6,59
2008 10,16 10,63 11,06
2009 2,72 2,69 2,78
2010 9,68 7,65 6,96
2011 4,25 3,54 3,79
(57)
Tabel diatas menunjukkan tingkat inflasi di daerah Pematangsiantar
dibandingkan dengan inflasi di kota Medan dan tingkat Inflasi secara nasional.
Dari tabel diatas terlihat bahwa tingkat infalsi di kota Pematangsiantar selalu
diatas rata rata inflasi secara nasional. Bahkan jika diperbandingkan dengan kota
Medan hanya di tahun 2008 saja inflasi di kota Pematangsiantar lebih kecil.
Kaitannya antara tingkat Inflasi dengan permintaan properti, Menurut
penelitian Dwi Yulianti yang telah dibahas sebelumnya menunjukkan bahwa
adanya inflasi akan sangat berpengaruh ke sektor properti dan perumahan. Hal ini
disebabkan oleh masyarakat yang masih menganggap properti sebagai kebutuhan
sekunder yang masih bisa ditunda pemenuhannya.
4.2. Gambaran Umum Perkembangan Properti di Kota Pematangsiantar
Secara garis besar perkembangan properti (perumahan) di kota
Pematangsiantar memang mengalami peningkatan beberapa tahun terakhir.
Keberadaan kota Pematangsiantar sebagai kota transit menjadi keunggulan
tersendiri bagi kota ini. Namun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
jenis rumah yang ditawarkan di kota Pematangsiantar masih jenis rumah
sederhana seperti rumah tipe 36,45,49,dan tipe 60. Hal ini disesuaikan dengan
keadaan ekonomi masyarakat Pematangsiantar. Tentu para pengembang sebelum
membangun suatu perumahan harus terlebih dahulu menilai perumahan tipe yang
bagaimana yang memang cocok untuk perekonomian masyarakat kota tersebut.
Masih hanya segelintir pengembang yang mencoba membangun tipe rumah besar
ini. Menurut para pengembang yang membangun tipe 70 +, konsumen kota
(58)
rumah besar. Para pengembang mengaku bahwa konsumen rumah besar yang
mereka bangun lebih banyak berasal dari Luar kota Pematangsiantar yang hanya
menjadikan rumah itu sebagai alat Investasi. Namun secara umum perkembangan
bisnis properti di kota Pematangsiantar sedang meningkat.
4.3. Analisis Hasil Penelitian 4.3.1.Analisis Deskriptif
Maksud dari data deskriptif adalah data yang berguna untuk
menjelaskan gambaran ataupun karakteristik sampel yang digunakan
dalam penelitian ini. Data yang digunakan pun merupakan data asli yang
belum menghilangkan satu data pun. Data yang dimaksud dapat dilihat
dari tabel dibawah ini:
Tabel 4.4. Penjualan Rumah Tipe 70+ Sebelum Kebijakan Loan to Value Tahun 2012
Nama Perumahan (pengembang)
Sebelum Kebijakan Loan to Value Januari Februari Maret April Mei
Rata-rata Penjualan Rumah/bulan
Perumahan Karya Propertindo 0 1 2 0 3 1,2
Perumahan Meranti Permai 0 2 2 1 1 1,2
Perumahan Sumber Jaya Indah 0 2 5 1 1 1,8
(59)
Dari tabel diatas dapat dilihat jumlah penjualan rumah tipe 70 m2 ke atas di tiap
pengembang. Penjualan rumah tipe 70 m2 ke atas ini adalah penjualan periode
tahun 2012 mulai dari bulan januari hingga mei (sebelum kebijakan Loan to Value
diberlakukan). Pada bulan januari biasanya permintaan perumahaan akan sangat
kecil jumlahnya dikarenakan pergantian tahun yang sebagian besar masyarakat
tidak tertarik melakukan pembelian properti di bulan tersebut.
Rata rata penjualan rumah per bulan dimaksudkan agar dapat
membandingkan jumlah rumah yang terjual selama 5 bulan (Januari 2012- Mei
2012/sebelum kebijakan) dengan jumlah rumah yang terjual selama 7 bulan (Juni
2012-Desember 2012/setelah kebijakan). Apabila diperbandingkan dari segi
jumlah bangunan, jumlah rumah yang terjual selama 7 bulan bisa saja akan lebih
besar jumlahnya dari rumah yang terjual selama 5 bulan walaupun secara rata rata
penjualannya lebih kecil.
Tabel 4.5. Penjualan Rumah Tipe 70 + Setelah Kebijakan Loan to Value Tahun 2012
Nama Perusahaan
Setelah Kebijakan Loan to Value Juni Juli Agus Sept Okt Nov Des
Rata rata penjualan rumah/bulan
Perumahan Karya Propertindo 0 0 2 0 1 2 0 0.7
Perumahan Meranti Permai 0 0 1 1 1 1 0 0.5
Perumahan Sumber Jaya Indah 0 2 2 1 2 0 0 1
(60)
Tabel diatas menggambarkan hasil penjualan rumah tipe 70 + pengembang
periode 2012. Dari data diatas dapat dilihat jelas hasil penjualan masing masing
pengembang perode tahun 2012 mulai dari bulan januari sampai desember 2012.
Data tersebut juga menunjukkan rata rata per bulannya pengembang tersebut
mampu melakukan penjualan kepada konsumennya. Data diatas dibagi atas dua
bagian besar yakni data penjualan pengembang sebelum kebijakan (periode
Januari-Mei) dan data penjualan sesudah kebijakan loan to value diberlakukan (periode Juni-Desember). Dari rata rata hasil penjualan per bulan para
pengembang periode tahun 2012 nampak jelas bahwa setelah kebijakan loan to
value ditetapkan terjadi penurunan persentase penjualan perumahan tipe 70 m2.
Atau dapat dirangkum dalam tabel berikut ini:
Tabel 4.6. Perbandingan Hasil Penjualan Rumah Tipe 70 + Sebelum dan Sesudah Kebijakan di Kota Pematangsiantar
Nama Perusahaan Sebelum Sesudah
Perumahan Karya Propertindo 1,2 0,7
Perumahan Meranti Permai 1,2 0,5
Perumahan Sumber Jaya Indah 1,8 1
Perumahan Setia Negara Indah 2,2 1,42
4.3.2. Uji beda (uji komparatif) data berpasangan
Adapun data yang digunakan dalam pengujian ini bukanlah
(61)
jumlah yang terjual per bulannya oleh para pengembang. Adapun hasil dari uji
beda ini adalah sebagai berikut:
Tabel 4.7. Hasil Uji Beda (komparatif) I Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 Sebelum 1.6000 4 .48990 .24495
Sesudah .9050 4 .40012 .20006
Berdasarkan tabel hasil estimasi diatas dapat disimpulkan bahwa:
- Rata rata hasil penjualan rumah tipe diatas 70m2 oleh para pengembang di
kota Pematangsiantar sebelum kebijakan (periode Januari 2012- Mei 2012)
adalah sebanyak 1,6 Rumah setiap bulannya
- Rata rata hasil penjualan rumah tipe diatas 70 m2 oleh para pengembang di
kota Pematangsiantar pasca kebijakan loan to value diberlakukan (periode Juni 2012- Desember 2012) adalah sebanyak 0,90 Rumah setiap bulannya.
- Artinya bahwa terjadi penurunan rata rata hasil penjualan pada masing
masing pengembang setelah kebijakan loan to value sebesar 1,6 – 0,90
Rumah = 0,7 Rumah per bulannya atau sebanyak 8,4 rumah pertahunnya
Tabel 4.8. Hasil Uji beda (komparatif) II
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
(62)
- Dari hasil estimasi diatas dapat ditentukan bahwa angka korelasi kedua variabel adalah sebesar 0.973 dan nilai sig sebesar 0.027 artinya terdapat hubungan yang kuat dan signifikan antara variabel penjualan sebelum kebijakan dan sesudah kebijakan.
Tabel 4.9. Hasil Uji Beda (komparatif) III
Dengan Hipotesis:
H0: Rata rata penjualan properti adalah sama (tidak ada perubahan)
H1: Rata rata penjualan adalah berbeda
Ho diterima apabila nilai probabilitas > 0,05
H1 diterima apabila nilai probabilitas < 0,05
Dari hasil estimasi diatas juga dapat dilihat bahwa:
- Besarnya nilai probabilitas (sig 2-tailed) adalah sebesar 0,002. Artinya
0,02 < 0,05. Sehingga Ho ditolak, H1 diterima, artinya rata rata penjualan
sebelum dan sesudah kebijakan loan to value adalah berbeda.
- Nilai Mean adalah sebesar 0.695. nilai mean ini juga bertanda positif
artinya bahwa terjadi kecendrungan penurunan hasil penjualan
Paired Samples Test
Paired Differences
T Df
Sig. (2-tailed) Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Pair 1 Sebelum - Sesudah
(1)
Data hasil Penjualan Rumah Tipe 70 + di Perumahan Meranti Permai Tahun 2012
Bulan Jumlah Penjualan
Januari 0 Unit
Februari 2 Unit
Maret 2 Unit
April 1 Unit
Mei 1 Unit
Juni 0 Unit
Juli 0 Unit
Agustus 1 Unit
September 1 Unit
Oktober 1 Unit
November 1 Unit
Desember 0 Unit
Total Penjualan 10 Unit
(2)
Lampiran vi Profil Perumahan Sumber Jaya Indah
Nama Perumahan : Perumahan Sumber Jaya Indah Nama Pengembang : CV. Rizky
Alamat : Jalan Medan, Simpang Kerang Km.4,5, Desa Sumber Jaya, Kecamatan Siantar Martoba, Kota Pematangsiantar Nama Pimpinan :Kasnan (Direktur) dan Sabar Tambubolon (Wakil
Direktur)
Nomor HP : 0813 6149 7688
Gambaran Lokasi Proyek Perumahan
(3)
Data Hasil Penjualan Rumah Tipe 70 + di Perumahan Sumber Jaya Indah Tahun 2012
Bulan Jumlah Penjualan
Januari 0 Unit
Februari 2 Unit
Maret 5 Unit
April 1 Unit
Mei 1 Unit
Juni 0 Unit
Juli 2 Unit
Agustus 2 Unit
September 1 Unit
Oktober 2 Unit
November 0 Unit
Desember 0 Unit
Total Penjualan 16 Unit
(4)
Lampiran viii Profil Perumahan Taman Setia Negara Indah
Nama Perumahan : Perumahan Taman Setia Negara Indah Nama Pengembang : Esra Rambe (Perorangan)
Alamat : Jalan Lapangan Tembak, Kelurahan Setia Negara, Kecamatan Siantar Sitalasari, Kota Pematangsiantar
Nama Pimpinan : Esra Rambe Nomor HP : 0813 9628 9042
Gambaran Lokasi Perumahan Taman Setia Negara Indah
(5)
Data Hasil Penjualan Rumah Tipe 70 + di Perumahan Taman Setia Negara Indah Tahun 2012
Bulan Jumlah Penjualan
Januari 1 Unit
Februari 1 Unit
Maret 3 Unit
April 2 Unit
Mei 4 Unit
Juni 1 Unit
Juli 3 Unit
Agustus 1 Unit
September 2 Unit
Oktober 2 Unit
November 1 Unit
Desember 0 Unit
Total Penjualan 21 Unit
(6)
Lampiran x
Hasil Uji Beda (komparatif)
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 Sebelum 1.6000 4 .48990 .24495
Sesudah .9050 4 .40012 .20006
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig. Pair 1 Sebelum & Sesudah 4 .973 .027
Paired Samples Test Paired Differences
T Df Sig. (2-tailed) Mean Std. Deviation Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper Pair 1 Sebelum –
Sesudah