Latar Belakang Analisis Finansial Usaha Penggilingan Padi Di Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Beras merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia. Sejak tahun 1984 Indonesia telah dapat berswaswembada beras. Namun, akhir-akhir ini muncul berbagai kendala dalam upaya pelestariannya. Kelangkaan tenaga kerja dan kekeringan adalah contoh dari sekian banyak kendala yang ada. Hal ini menjadikan langkah-langkah pelestarian swasembada beras menjadi semakin berat Prasetiyo, 2002. Di Indonesia, beras bukan hanya sekadar komoditas pangan, tetapi juga merupakan komoditas strategis yang memiliki sensitivitas politik, ekonomi, dan kerawanan sosial yang tinggi. Demikian tergantungnya penduduk Indonesia pada beras maka sedikit saja terjadi gangguan produksi beras, pasokan menjadi terganggu dan harga jual meningkat. Kenyataan seperti ini membuat pemerintah orde baru 1967-1998 menjadikan beras sebagai alat tawar-menawar politik untuk mempertahankan kekuasaannya Andoko, 2006. Sebagai komoditas yang bernilai tawar politik sangat tinggi, pemerintah berobsesi untuk berswasembada beras. Segala daya upaya ditempuh agar terwujud target produksi. Intensifikasi pertanian pun efektif diterapkan. Teknologi pertanian melalui bibit unggul, pemupukan, dan pemberantasan hama penyakit diadopsi. Upaya tersebut akhirnya membuahkan hasil. Tahun 1985 Indonesia berhasil mencapai swasembada beras. Atas keberhasilan swasembada beras tersebut, Indonesia pun mendapat penghargaan dari FAO Andoko, 2006. Universitas Sumatera Utara Pada tahun 1984 produksi beras Indonesia mencapai 25,835 juta ton dan produktivitasnya pun naik hampir dua kali lipat dibanding tahun 1968 produksi sekitar 11,666 dan produktivitasnya 1,45 ton berasha yaitu sebesar 2,68 ton berasha. Pada tahun 1984 ini impor beras dapat dihentikan dan sejak saat itu produksi terus meningkat. Pada tahun 1990 tercatat produksi beras nasional sudah mencapai 45,176 juta ton gabah kering giling GKG atau kira-kira setara 29 juta ton beras Prasetiyo, 2002. Swasembada beras pada tahun 1984 itu hanya bertahan hingga era awal 90-an. Berbagai masalah dan hambatan yang muncul seiring dengan perkembangan kondisi sosial-ekonomi Indonesia menyebabkan prestasi tersebut tidak dapat dipertahankan. Sejak tahun 1994 Indonesia mulai mengimpor beras lagi, dan setiap tahun ada kecenderungan peningkatan impor. Ini sebenarnya merupakan peluang bagi petani dan usaha penggilingan padi dalam peningkatan produktivitas dan kualitas beras. Pangsa pasar tersedia hanya keberpihakan pemerintah terhadap petani khususnya padi sangat diharapkan dalam peningkatan pendapatan dan nilai tukarnya sehinggga dapat meningkatkan kesejahteraan bagi petani. Insentif dalam keberpihakan pemerintah pada petani diharapkan mampu memberikan spirit dan motivasi sehingga akhirnya petani bergairah lagi menanam padi Widodo dkk, 2005. Produksi beras di Indonesia sangat fluktuatif. Ketajaman fluktuasi akan berdampak luas terhadap sistem tatanan Negara yang sebagian besar rakyatnya memilih beras sebagai makanan pokok. Permintaan beras pada masa datang akan Universitas Sumatera Utara sangat bergantung pada pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi negaranya Setyono, 1994. Jumlah penduduk dunia selalu meningkat. Di Indonesia sendiri, walaupun sudah dipercayakan melalui program Keluarga Berencana, kenaikan penduduk terbilang masih cukup tinggi sekitar 2 per tahun. Ini berarti jumlah orang yang perlu makan pun selalu meningkat sehingga usaha pencukupan pangan makin hari makin berat. Hal ini seharusnya dapat dilihat oleh para petani sebagai suatu keuntungan. Usaha penggilingan padi akan sangat mendorong jumlah produksi semakin tinggi hingga tercapailah pemenuhan pencukupan pangan. Penggilingan padi sebagai salah satu proses penanganan pascapanen sangat mempengaruhi kuantitas dan kualitas beras yang dihasilkan. Konsumen tentunya menginginkan beras dengan kualitas terbaik. Beras dengan warna yang putih bersih merupakan salah satu indikator dari kualitas baik tersebut. Dengan menggunakan alat penggiling padi, akan dihasilkan beras yang putih bersih. Penggunaan alat penggiling padi akan meminimalisisr kerugian atau kehilangan gabah bila dibandingkan dengan penggunaan alat sederhana seperti lesung atau alu. Pengadaan alat penggilingan padi sebenarnya memerlukan biaya yang relatif tidak sedikit. Pengoperasian mesin tersebut membutuhan berbagai biaya yang biasanya disebut sebagai variable cost, seperti biaya oli, BBM solar, dan pergantian rubber roll. Selain itu, pabrik penggilingan padi akan mengeluarkan biaya tetap fixed cost untuk membayar upah tenaga kerja tetap, penyusutan mesin, biaya transportasi, maupun pajak. Dengan demikian dapat dikatakan biaya produksi akan lebih besar bila dibandingkan dengan penggilingan secara tradisional. Universitas Sumatera Utara Penggunaan alat penggiling padi pada hakekatnya merupakan kemajuan teknologi pertanian yang dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah produksi beras. Besarnya rendemen giling, kehilangan hasil dan susut dalam penggilingan harus diminimalisir. Untuk itu diperlukan adanya peningkatan kinerja serta efisiensinya agar besar produksi hasil panen dapat dipertahankan. Pemasaran beras umumnya dilakukan oleh pedagang besar, pabrik penggilingan, dan sebagian kecil petani kecil melalui jalur pasar baru konsumen Setyono, 1994. Secara kasar hari kerja suatu industri jasa penggilingan padi adalah sekitar 100 sampai 200 hari per tahun bila panen dilakukan dua kali dalam satu tahun, dengan jam kerja antara 8 sampai 10 jam per hari. Bila pemilik penggilingan padi juga bertindak sebagai pedagang beras, maka hari kerja dapat bertambah sebab pemilik akan berusaha mencari gabah dari daerah lainnya untuk menjaga kontinuitas pasokannya Anonimus, 2009. Namun demikian, bila usaha penggilingan padi dikombinasikan dengan perdagangan beras, masalah jumlah hari kerja dapat diatasi karena kegiatan perdagangan beras akan tetap berlanjut ketika tidak ada lagi gabah yang digiling. Dari segi pemanfaatan tenaga kerja tetap, hal ini akan sangat menguntungkan. Selain itu, cash flow perusahaan akan terus berlangsung sehingga perputaran modal tak pernah berhenti. Akan tetapi manfaat yang akan didapat dari usaha perdagangan beras ini tergantung pada besar kecilnya modal yang ditanam dalam bentuk stok beras. Semakin besar modal, semakin banyak stok beras tang dapat disimpan, dan semakin mantap posisi keuangan dari aspek perdagangannya. Bahkan, dalam usaha perdagangan beras yang besar, posisi penggilingan padi Universitas Sumatera Utara dapat dijadikan sebagai penunjang, yang artinya tidak lagi menjual jasa penggilingan padi kepada orang lain, tetapi untuk menggiling padi sendiri yang akan diperdagangkan Anonimus, 2009. Untuk beberapa tahun ke depan, prospek usaha ini juga cukup menjanjikan. Jumlah penduduk yang semakin meningkat setiap tahunnya mengindikasikan bahwa jumlah permintaan beras akan semakin mengingkat. Usaha penggilingan padi sebagai akhir proses produksi maupun peranannya dalam proses pemasaran akan memberikan kontribusi dalam pemenuhan permintaan tersebut. Untuk itulah penulis tertarik untuk meneliti tentang analisis finansial usaha penggilingan padi, khususnya di kecamatan Lubuk Pakam, kabupaten Deli Serdang.

1.2 Identifikasi Masalah