Deontologi ETIKA 1. Pengertian Etika

demikian kita bisa lolos dari banyak kesulitan yang melekat pada utilitarisme perbuatan. Namun demikian, utilitarisme aturan ini sendiri tidak tanpg kesulitan juga. Kesulitan utama timbul, jika terjadi konflik antara dua aturan moral. Misalnya, seorang bapak keluarga mencuri uang untuk dapat membeli obat yang sangat dibutuhkan bagi anaknya. Jika anak itu tidak minum obat tersebut, segera ia akan mad. Bapak itu sudah berusaha seribu satu cara untuk memperoleh uang yang sangat diperlukan itu, tapi selalu gagal. Tinggal kemungkinan terakhir ini: mencuri. Di sini terdapat konflik antara dua aturan moral: orang tidak boleh mencuri dan orang tua harus berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan anaknya. Dari dua aturan moral ini, yang mana paling penting? Untuk menjawab pertanyaan ini harus kita lihat situasi konkret. Dan mungkin kebanyakan orang akan mengatakan bahwa dalam situasi konkret tadi bapak keluarga itu boleh saja mencuri, asal dengan itu ia tidak terlalu merugikan orang lain. Akan tetapi, apakah dengan demikian kita tidak meninggalkan utilitarisme aturan dan terjerumus ke dalam utilitarisme perbuatan? Rupanya memang demikian.

4. Deontologi

Semua sistem etika yang dibahas sampai di sini memperhatikan hasil perbuatan. Baik tidaknya perbuatan dianggap tergantung pada konsekuensinya. Karena itu sistem-sistem ini disebut juga sistem konsekuensialistis. Masih ada cara lain untuk mengatakan hal yang sama. Sistem-sistem etika yang dibicarakan sebelumnya semua berorientasi pada tujuan perbuatan. Dalam utilitarisme, umpamanya, tujuan perbuatan-perbuatan moral adalah memaksimalkan kegunaan atau kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang. Karena itu bisa dikatakan juga bahwa semua sistem itu bersifat teleologis = terarah pada tujuan. Sekarang kita akan memandang suatu sistem etika yang tidak mengukur baik tidaknya suatu perbuatan berdasarkan hasilnya, melainkan semata-mata berdasarkan maksud si pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut. Kita bisa mengatakan juga bahwa sistem ini tidak menyoroti tujuan yang dipilih bagi perbuatan atau keputusan kita, melainkan semata-mata wajib tidaknya perbuatan dan keputusan kita. Teori yang dimaksudkan ini biasanya disebut deontologi kata Yunani deon berarti: apa yang harus dilakukan; kewajiban.

BAB III MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK: INDIVIDU, SOSIAL DAN

CIPTAAN TUHAN A. Manusia sebagai Indvidu Manusia adalah makhluk individu. Sebagai makhluk individu berarti makhluk yang tidak dapat dibagi-bagi, tidak dapat dipisah-pisahkan antara jiwa dan raganya. Kata individu berasal dari kata latin individuum, artinya tidak terbagi. Jadi, kata itu mengandung pengertian sebagai suatu sebutan yang dapat dipakai untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Dalam ilmu sosial paham individu menyangkut tabiatnya dengan kehidupan jiwanya yang majemuk, memegang peranan dalam pergaulan hidup manusia. Individu bukan berarti menusia sebagai suatu keseluruhan yang tak dapat dibagi melainkan sebagai kesatuan yang terbatas, yaitu sebagai manusia perorangan, Soelaeman, 2001:113. Manusia sebagai makhluk individu, tidak hanya dalam arti makhluk keseluruhan jiwa raga, melainkan juga dalam arti bahwa tiap-tiap orang itu merupakan pribadi individu yang khas menurut corak kepribadiannya, termasuk kecakapan-kecakapan serta kelemahan-kelemahannya. Individu adalah seorang manusia yang tidak hanya memiliki peranan yang khas di dalam lingkungan sosialnya, melainkan juga memiliki kepribadian serta pola tingkah laku spesifik dirinya. Persepsi terhadap individu atau ha sil pengamatan manusia dengan segala maknanya merupakan suatu ke- utuhan ciptaan Tuhan yang mempunyai tiga aspek melekat pada dirinya, yaitu aspek organik jasmaniah, aspek psikis rohaniah, dan aspek sosial kebersamaan. Ketiga aspek tersebut saling mempengaruhi, keguncangan pada satu aspek akan membawa akibat pada aspek yang lainnya Soelaeman, 2001:114.