demikian kita bisa lolos dari banyak kesulitan yang melekat pada utilitarisme perbuatan. Namun demikian, utilitarisme
aturan ini sendiri tidak tanpg kesulitan juga. Kesulitan utama timbul, jika terjadi konflik antara dua aturan moral. Misalnya,
seorang bapak keluarga mencuri uang untuk dapat membeli obat yang sangat dibutuhkan bagi anaknya. Jika anak itu
tidak minum obat tersebut, segera ia akan mad. Bapak itu sudah berusaha seribu satu cara untuk memperoleh uang
yang sangat diperlukan itu, tapi selalu gagal. Tinggal kemungkinan terakhir ini: mencuri. Di sini terdapat konflik
antara dua aturan moral: orang tidak boleh mencuri dan orang
tua harus
berusaha sekuat
tenaga untuk
menyelamatkan anaknya. Dari dua aturan moral ini, yang mana paling penting? Untuk menjawab pertanyaan ini
harus kita lihat situasi konkret. Dan mungkin kebanyakan orang akan mengatakan bahwa dalam situasi konkret tadi
bapak keluarga itu boleh saja mencuri, asal dengan itu ia tidak terlalu merugikan orang lain. Akan tetapi, apakah
dengan demikian kita tidak meninggalkan utilitarisme aturan dan terjerumus ke dalam utilitarisme perbuatan? Rupanya
memang demikian.
4. Deontologi
Semua sistem etika yang dibahas sampai di sini memperhatikan
hasil
perbuatan. Baik tidaknya perbuatan dianggap tergantung pada konsekuensinya. Karena itu
sistem-sistem ini disebut juga sistem konsekuensialistis. Masih ada cara lain untuk mengatakan hal yang sama.
Sistem-sistem etika yang dibicarakan sebelumnya semua berorientasi pada
tujuan
perbuatan. Dalam utilitarisme, umpamanya, tujuan perbuatan-perbuatan moral adalah
memaksimalkan kegunaan atau kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang. Karena itu bisa dikatakan juga bahwa semua
sistem itu bersifat teleologis = terarah pada tujuan. Sekarang kita akan memandang suatu sistem etika
yang tidak mengukur baik tidaknya suatu perbuatan berdasarkan hasilnya, melainkan semata-mata berdasarkan
maksud si pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut. Kita bisa mengatakan juga bahwa sistem ini tidak menyoroti
tujuan yang dipilih bagi perbuatan atau keputusan kita, melainkan semata-mata wajib tidaknya perbuatan dan
keputusan kita. Teori yang dimaksudkan ini biasanya disebut deontologi kata Yunani
deon
berarti: apa yang harus dilakukan; kewajiban.
BAB III MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK: INDIVIDU, SOSIAL DAN
CIPTAAN TUHAN A.
Manusia sebagai Indvidu
Manusia adalah makhluk individu. Sebagai makhluk individu berarti makhluk yang tidak dapat dibagi-bagi, tidak dapat dipisah-pisahkan antara
jiwa dan raganya. Kata individu berasal dari kata latin
individuum,
artinya tidak terbagi. Jadi, kata itu mengandung pengertian sebagai suatu sebutan yang dapat dipakai untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling
kecil dan terbatas. Dalam ilmu sosial paham individu menyangkut tabiatnya dengan kehidupan jiwanya yang majemuk, memegang peranan
dalam pergaulan hidup manusia. Individu bukan berarti menusia sebagai suatu keseluruhan yang tak dapat dibagi melainkan sebagai kesatuan yang
terbatas, yaitu sebagai manusia perorangan, Soelaeman, 2001:113. Manusia sebagai makhluk individu, tidak hanya dalam arti makhluk
keseluruhan jiwa raga, melainkan juga dalam arti bahwa tiap-tiap orang itu merupakan pribadi individu yang khas menurut corak kepribadiannya,
termasuk kecakapan-kecakapan serta kelemahan-kelemahannya. Individu adalah seorang manusia yang tidak hanya memiliki peranan yang khas di
dalam lingkungan sosialnya, melainkan juga memiliki kepribadian serta pola tingkah laku spesifik dirinya. Persepsi terhadap individu atau ha sil
pengamatan manusia dengan segala maknanya merupakan suatu ke- utuhan ciptaan Tuhan yang mempunyai tiga aspek melekat pada
dirinya, yaitu aspek organik jasmaniah, aspek psikis rohaniah, dan aspek sosial kebersamaan. Ketiga aspek tersebut saling mempengaruhi,
keguncangan pada satu aspek akan membawa akibat pada aspek yang lainnya Soelaeman, 2001:114.