yang tidak puas daripada seorang yang tidak puas daripada seekor babi yang puas; lebih baik menjadi Sokrates yang tidak puas daripada seorang tolol yang
puas.
Ia berpendapat bahwa kualitasnya perlu dipertimbangkan juga, karena ada kesenangan yang lebih tinggi mutunya dan
ada yang lebih rendah. Kesenangan manusia harus dinilai
lebih tinggi daripada kesenangan hewan, te gasnya, dan kesenangan orang seperti Sokrates lebih ber mutu daripada
kesenangan orang tolol. Tetapi kualitas kebahagiaan dapat diukur juga secara empiris, yaitu kita harus berpedoman
pada orang yang bijaksana dan berpengalaman dalam hal ini. Orang seperti itu dapat memberi kepastian tentang mutu
kesenangan. Pikiran Mill yang kedua yang pantas disebut di sini
adalah bahwa kebahagiaan yang menjadi norma etis adalah kebahagiaan semua orang yang terlibat dalam suatu kejadian,
bukan kebahagiaan satu orang saja yang barangkali bertindak sebagai pelaku utama. Raja dan seorang bawahan
dalam hal ini harus diperlakukan sama. Kebahagiaan satu orang tidak pernah boleh dianggap lebih penting daripada
kebahagiaan orang lain. Menurut perkataan Mill sendiri:
ever ybody to count for one, nobody to count for mor e tha n one.
Dengan demikian suatu perbuatan dinilai baik, jika kebahagiaan melebihi ketidakbahagiaan, di mana kebahagiaan
semua orang yang terlibat dihitung dengan cara yang sama.
2. Utilitarisme Aturan
Suatu percobaan yang menarik untuk mengatasi kritikan berat yang dikemukakan terhadap utilitarisme adalah
meni bedakan antara dua macam utilitarisme: utilitarisme pcu buatan dan utilitarisme aturan. Hal itu dikemukakan antara
lain oleh filsuf Inggris-Amerika Stephen Toulmin.
8
8
S.E. Toulmin,
The P la ce
of R
e
ason in
Ethics,
Cambridge, Cambridge Univet sity Press, 1949.
Toulmin dan kawan-kawannya menegaskan bahwa prinsip keguna,tidak harus diterapkan atas salah satu perbuatan
bagaimana dipikirkan dalam utilitarisme klasik, melainkan atas aturan-aturan moral yang mengatur perbuatan-
peiIm.ttan kita. Orang sebaiknya tidak bertanya apakah akan tiiperoleh kebahagiaan paling besar untuk paling
banyal, orang, jika seseorang menepati janjinya dalam situasi tertentu? Yang harus ditanyakan adalah: apakah aturan
moral orang harus menepati janjinya merupakan aturan yang paling berguna bagi masyarakat atau, sebaliknya, aturan
orang tidak perlu menepati janji menyumbangkan paling banyak untuk kebahagiaan paling banyak orang? Tanpa
ragu-ragu dapat kita jawab bahwa aturan orang harus menepati janji pasti paling berguna dan karena itu harus
diterima sebagai aturan moral. Juga kesulitan-kesulitan lain terhadap utilitarisme, seperti hak manusia atau perlunya
keadilan, akan hilang dengan sendirinya, asal prinsip ke - gunaan diterapkan atas aturannya dan bukan atas per -
buatan satu demi satu. Filsuf seperti Richard B.Brandt melangkah lebih jauh
lagi dengan mengusulkan agar bukan aturan moral satu demi satu, melainkan sistem aturan moral sebagai
keseluruhan diuji dengan prinsip kegunaan. Kalau begitu, perbuatan adalah baik secara moral, bila sesuai dengan
aturan yang berfungsi dalam sistem aturan moral yang paling berguna bagi suatu masyarakat.
Utilitarisme aturan ini merupakan sebuah varian yang menarik dari utilitarisme. Perlu diakui bahwa dengan
demikian kita bisa lolos dari banyak kesulitan yang melekat pada utilitarisme perbuatan. Namun demikian, utilitarisme
aturan ini sendiri tidak tanpg kesulitan juga. Kesulitan utama timbul, jika terjadi konflik antara dua aturan moral. Misalnya,
seorang bapak keluarga mencuri uang untuk dapat membeli obat yang sangat dibutuhkan bagi anaknya. Jika anak itu
tidak minum obat tersebut, segera ia akan mad. Bapak itu sudah berusaha seribu satu cara untuk memperoleh uang
yang sangat diperlukan itu, tapi selalu gagal. Tinggal kemungkinan terakhir ini: mencuri. Di sini terdapat konflik
antara dua aturan moral: orang tidak boleh mencuri dan orang
tua harus
berusaha sekuat
tenaga untuk
menyelamatkan anaknya. Dari dua aturan moral ini, yang mana paling penting? Untuk menjawab pertanyaan ini
harus kita lihat situasi konkret. Dan mungkin kebanyakan orang akan mengatakan bahwa dalam situasi konkret tadi
bapak keluarga itu boleh saja mencuri, asal dengan itu ia tidak terlalu merugikan orang lain. Akan tetapi, apakah
dengan demikian kita tidak meninggalkan utilitarisme aturan dan terjerumus ke dalam utilitarisme perbuatan? Rupanya
memang demikian.
4. Deontologi