Dokumen - MBB - STMIK EL RAHMA ISBD BAB 1 8 FIX

(1)

BAB I

PENGANTAR ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR

A.HAKIKAT, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP 1. Hakikat Ilmu Soaial dan Budaya Dasar (ISBD)

Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) merupakan Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) dengan visi “Berkembangnya mahasiswa sebagai manusia terpelajar yang kritis, peka dan arif dalam memahami keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia yang dilandasi nilai-nilai estetika, etika, dan mmoral dalam kehidupan bermasyarakat”. Adapun misinya adalah “Memberikan landasan dan wawasan yang luas, serta menumbuhkan sikap kritis, pekam dan arif pada mahasiswa untuk memahami keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia dalam kehidupan bermasyarakat selaku individu dan makhluk social yang beradab serta bertanggung jawab terhadap sumber daya dan lingkungannya”.

ISBD bukanlah suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, melainkan suatu rangkaian pengetahuan mengenai aspek-aspek yang paling dasar yang ada dalam kehidupan manusia sebagai makhluk social yang berbudaya, dan masalah-masalah yang terwujud daripadanya. Selain itu, mata kuliah ini pada prinsipnya sebagai pengatur dasar menuju pengenalan teori ilmu-ilmu social dan kebudayaan sehingga diharapkan mahasiswa dapat memiliki wawasan keilmuan yang bersifat multidisipliner tentang keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

2. Tujuan Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD)

Berdasarkan hakikat keilmuan di atas, maka tujuan Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) yang merupakan bagian dari Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) adalah:


(2)

a. Mengembangkan kesadaran mahasiswa menguasai pengetahuan tentang keanekaragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia sebagai individu dan makhluk social dalam kehidupan bermasyarakat. b. Menumbuhkan sikap kritis, peka dan arif dalam memahami keragaman, kesederajatan, dan kemartabatan manusia dengan landasan nilai estetika, etika, dan moral dalam kehidupan bermasyarakat.

c. Memberikan landasan pengetahuan dan wawasan yang luas serta keyakinan kepada mahasiswa sebagai bekal bagi hidup bermasyarakat, selaku individu dan makhluk social yag beradab dalam mempraktikkan pengetahuan akademik dan keahliannya dan mampu memecahkan maalah social budaya secara arif.

3. Ruang Lingkup Mata Kuliah Pengantar Ilmu Sosial Dan Budaya (ISBD)

Untuk mewujudkan visi, misi dan tujuan mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) pada perguruan tinggi, berikut ini adalah ruang lingkup dan sub bahasannya.

a. Pengantar Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) 1. Hakikat dan ruang lingkup ISBD

2. ISBD sebagai MBB dan pendidikan umum; dan

3. ISBD sebagai alternative pemecahan masalah social budaya b. Manusia sebagai Makhluk Budaya:

1. Hakikat manusia sebagai makhluk budaya; 2. Apresiasi terhadap kemanusiaan dan kebudayaan; 3. Etika dan estetika berbudaya

4. Memanusiakan manusia melalui pemahaman konep-konsep dasar manusia; dan


(3)

c. Manusia sebagai Individu dan Makhluk Sosial;

1. Hakikat manusia sebagai individu dan makhluk social;

2. Fungsi dan peran manusia sebagai individu dan makhluk social; 3. Dinamika interaksi social; dan

4. Dilema antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat; d. Manusia dan Peradaban

1. Hakikat peradaban;

2. Manusia sebagai makhluk beradab dan masyarakat adab;

3. Evolusi budaya dan wujud peradaban dalam kehidupan social-budaya;

4. Dinamika peradaban global; dan

5. Problematika peradaban pada kehidupan manusia e. Manusia, Keragaman dan Kesetaraan;

1. Hakikat keragaman dan kesetaraan manusia;

2. Kemajemukan dalam dinamikan social dan budaya;

3. Keraganan dan kesetaraan sebagai kekayaan social, budaya bangsa; dan

4. Problematika keragaman dan kesetaraan serta solusinya dalam kehidupan masyarakat dan negara

f. Manusia, Nilai, Moral, dan Hukum

1. Hakikat, fungsi, dan perwujudan nilai, oral dan hukum dalam kehidupan manusia, masyarakat dan negara;

2. Keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan sebagai wujud masyarakat yang bermoral dan menaati hukum dan

3. Problematika nilai, moral, dan hokum dalam masyarakat dan negara

g. Manusia, Sains, Teknologi dan Seni:

1. Hakikat dan makna sains, teknologi dan seni bagi manusia;

2. dampak penyalahgunaan IPTEKS pada kehidupan social dan budaya; dan


(4)

h. Manusia dan Lingkungan

1. Hakikat dan makna lingkungan bagi manusia;

2. Kualitas penduduk dan lingkungan terhadap kesejahteraan manusia 3. Problematika lingkungan social-budaya yang dihadapi masyarakat;

dan

4. Isu-isu penting tentang persoalan lintas budaya dan bangsa. B. ISBD SEBAGAI MBB DAN PENDIDIKAN UMUM

ISBD sebagai bagian dari Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) mempunyai tema pokok, yaitu hubungan timbale balik antara manusia dengan lingkungannya. Dengan wawasan tersebut diharapkan perguruan tinggi mampu menghasilkan tenaga ahli dengan tigas jenis kemampuan secara simultan, yang meliputi:

1. Kemampuan personal: para tenaga ahli diharapkan memiliki pengetahuan sehingga mampu menunjukkan sikap, tingkah laku dan tidnakan yang mencerminkan kepribadian Indonesia, memahami dan mengenal nilai-nilai keragaman, kemasyarakatan dan kenegaraan, serta memiliki pandangan yang luas dan kepekaan terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia.

2. Kemampuan akademis; kemampuan untuk berkomunikasi secara ilmiah baik lisan maupun tulisan, mengusai peralatan analiss, maupun berpikir logis, kritis, istematis, analisis, memiliki kemampuan konsepsional untuk mengidentifikasi dan merumuskan masalah yang dihadapi, serta mampu menawarkan alternative pemacahannya.

3. Kemampuan professional: kemampuan dalam bidang profesi sesuai keahlian bersangjutan, para ahli diharapkan memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang tinggi dalam bidang profesinya.


(5)

C. ISBD SEBAGAI ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH SOSIAL-BUDAYA

Dengan bekal wawasan, sikap, dan perilaku melalui mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) diharapkan mahasiswa dapat menjadi manusia yang memiliki kemampuan personal, kemampuan akademik dan kemampuan professional sehingga para lulusan akan mampu mengenali masalah dan mengatasi masalah tersebut dengan bijaksana. Dengan itu problematika kemanusiaan dan peradaban manusia merupakan fakta objektif yang penting dikenali secara menunjung tinggi pemikiran serta nilai-nilai luhur tradisi.

Di samping diurai kondisi objektif konteks keindonesiaan, buku ini juga mengulas lesson learns atau pelajaran berharga dari akta atau fenomena social yang terjadi di sekitar lingkungan kita baik yang dialami secara langsung atau tidak langsung dalam perspektif lintas keilmuan secara simultan. Pendekatan multidisipliner dipilih guna menstimulus mahasiswa berpikir terbuka dan kritis atas apa yang didengar, dimengerti, dipahami, dan dikonsepsikannya selama ini agar dapat didiskusikan dan dikomunikasikan menjadi pengetahuan yang ilmiah.


(6)

BAB II

MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BERBUDAYA BERETIKA DAN BERESTETIKA

A. KEBUDAYAAN

1. Pengertian Kebudayaan

Kata “Kebudayaan” dan “culture”. Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan : “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Ada sarjana lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari majemuk budi-daya,budi-daya, yang berarti “daya dari budi”. 6Karena itu mereka membedakan “budaya” dari “kebudayaan”. Demikianlah “budaya” adalah “daya dari budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan “kebudayaan” adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu.7 Dalam istilah “antropologi-budaya” perbedaan itu ditiadakan. Kata “budaya” di sini hanya dipakai sebagai suatu singkatan saja dari “kebudayaan” dengan arti yang sama.

Adapun kata cultur, yang merupakan kata asing yang sama artinya dengan “kebudayaan” berasal dari kata Latin colore yangt berarti

“mengolah, menegrjakan”, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti culture sebagai “segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan merubah alam”.

4. Lihatlah karangan A. Davis, Social Class Influences Upon Learning (1948) : Hlm. 59 5. Lihatlah buku pelejaran A. Hoebel, Man in the Primitive World. An Introduction to

Anthropology. New York, Mc Graw Hill (1958 : hlm. 152–153).

6. Lihat buku P.J. Zoetmulder, Cultuur, Oost en West. Amsterdam, C.P.J. van der Peet (1951).


(7)

Dua sarjana Antropologi Al Kroeber dan C Kluckhon pernah mengumpulkan sebanyak mungkin definisi tentang kebudayaan, ternyata bahwa ada paling sedikit 160 buah definisi, ke 160 buah definisi itu, kemudian mereka analisa, dicari latar belakang, prinsip beberapa tipe definisi antara lain :

1) E. B. Tylor, budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

2) R. Linton, kebudayaan dapat dipandang sebagian konfigurasitingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku dipelajari, di mana unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya.

3) Koentjaraningrat, mengartikan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, milik diri manusia dengan belajar. 4) Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, mengatakan bahwa

kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. 5) Herkovits, kebudayaan adalah bagian dari lingkungan hidup yang

diciptakan oleh manusia.

Dengan demikian, kebudayaan atau budaya menyangkut keseluruhan aspek kehidupan manusia baik material maupun non-material. Sebagian besar ahli yang mengartikan kebudayaan seperti ini kemungkinan besar sangat dipengaruhi oleh pandangan evolusionisme, yaitu suatu suatu teori yang mengataakan bahwa kebudayaan itu akan berkembang dari tahapan yang sederhana menuju tahapan yang lebih kompleks.

2. Tiga Wujud Kebudayaan

Pengarang buku ini setuju sekali dengan pendapat seorang ahli sosiologi, Talcott Parsons yang bersama dengan seorang ahli antropologi A.L. Kroeber pernah menganjurkan untuk membedakan secara tajam wujud kebudayaan sebagai suatu sistem dari ide-ide dan konsep-konsep


(8)

dari wujud kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpola.10 Maka, serupa dengan J.J. Honigmann yang dalam buku pelajaran antropologinya yang berjudul The World of Man (1959 : hlm. 11 – 12) membedakan adanya tiga “gejala kebudayaan”, yaitu (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifacts, pengarang berpendirian bahwa kebudayaan itu ada tiga wujudnya, yaitu :

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, ggasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifat-sifatnya abstrak, tak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala-kepala, atau dengan perkataan lain, dalam alam pikiran warga masyarakat tadi menyatakan gagasan mereka tadi dalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal penulis warga masyarakat bersangkutan. Sekarang kebudayaan ideal juga banyak tersimpan dalam disk, arsip, koleksi micro film dan mikrofish, kartu komputer, silinder, dan pita komputer.

Ide-ide dan gagasan-gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu masyarakat, memberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan-gagasan itu tidak berada lepas satu dari yang lain, melainkan selalu berkaitan, menjadi suatu sistem. Para ahli antropologi dan sosiologi menyebut sistem ini sistem budaya, atau cultural system. Dalam Bahasa Indonesia terdapat juga istilah lain yang sangat tepat untuk menyebut wujud ideal dari kebudayaan ini, yaitu adat, atau adat-istiadat untuk bentuk jamaknya.

Wujud kedua dari kebudayaan yang disebut sistem sosial atau social system, mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan lain dari detik ke


(9)

detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi.

Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik, dan tak memerlukan banyak penjelasan. Karena berupa seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka sifatnya paling konkret, dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto. Ada benda-benda yang sangat besar seperti pabrik baja : ada benda-benda yang amat kompleks dan canggih, seperti komputer berkapasitas tinggi; atau benda-benda yang besar dan bergerak, suatu kapal tangki minyak; ada bangunan hasil seni arsitek seperti suatu candi yang indah; atau ada pula benda-benda kecil seperti kain batik, atau yang lebih kecil lagi, yaitu kancing baju.

Ketiga wujud dari kebudayaan terurai diatas, dalam kenyataan kehidupan masyarakat tentu tak terpisah satu dengan lain. Kebudayaan ideal dan adat istiadat mengatur dan memebri arah kepada tindakan dan karya manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun tindakan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauh manusia dari lingkungan alamiahnya sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatannya, bahkan juga cara berpikirnya.

Sehubungan ketiga wujud dari kebudayaan tadi erat berkaitan, toh untuk keperluan analisa perlu diadakan pemisahan yang tajam antara tiap-tiap wujud itu. Hal ini sering dilupakan; tidak hanya dalam diskusi-diskusi atau dalam pekerjaan sehari-hari ketiga wujud dari kebudayaan tadi sering dikacaukan, melainkan juga dalam analisa ilmiah oleh para sarjana yang menamakan dirinya ahli kebudayaan atau ahli masyarakat,


(10)

dan sering tidak dapat dibuat pemisahan yang tajam antara ketiga hal terurai di atas.

Seorang sarjana antropologi dapat meneliti hanya sistem budaya, atau adat dari suatu kebudayaan tertentu. Dalam pekerjaan itu ia akan mengkhususkan perhatiannya terutama pada cita-cita, nilai-nilai budaya, dan pandangan hidup, norma-norma dan hukum, pengetahuan dan keyakinan dari manusia yang menjadi warga masyarakat yang bersangkutan. Ia dapat juga meneliti tindakan, aktivitas-aktivitas dan karya manusia itu sendiri, tetapi dapat juga mengkhususkan perhatiannya pada hasil dari karya manusia yang bisa berupa benda peralatan, benda kesenian, atau bangunan-bangunan.

Semua unsur kebudayaan dapat dipandang dari sudut ketika wujud masing-masing tadi. Sebagai contoh dapat kita ambil misalnya Universitas A. sebagai sualu lembaga pendidikan tinggi, universitas tersebut merupakan suatu unsur dalam rangka kebudayaan Indonesia sebagai keseluruhan. Maka oleh karena itu universitas dapat merupakan suatu unsur kebudayaan yang ideal, yang pada khususnya terdiri dari cita-cita universitas, norma-norma untuk para karyawan, dosen atau mahasiswanya, aturan ujian, pandangan-pandangan, baik yang bersifat ilmiah maupun yang populer, dan sebainya. Sebaliknya, Iniversitas Ajuga terdiri dari suatu rangkaian aktivitas dan tindakan dimana manusia saling berhubungan atau berinteraksi dalam hal melaksanakan berbagai macam hal. Ada orang yang memberi kuliah, ada lainnya yang mendengarkan dan mencatat kuliah-kuliah tadi, ada orang yang menguji, ada lainnya yang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ujian tadi, ada orang yang mengetik surat-surat, lainnya lagi mengatur buku, dan sebagainya. Namun, lepas dari itu semua, orang dapat juga mengadakan penelitian tentang Universitas A tanpa memperhatikan hal-hal tersebut di atas. Ia hanya memperhatikan universitas sebagai himpunan benda fisik yang harus diinventarisasi. Itulah sebabnya ia


(11)

hanya melihat Universitas A sebagai suatu suatu kompleks gedung-gedung, ruang-ruang, sekumpulan meja tulis, komputer, timbunan-timbunan dan alat-alat lainnya saja.

3. Unsur-Unsur Kebudayaan Universal

Unsur-unsur Kebudayaan Universal. Keseluruhan dri tindakan manuia yang beropla itu berkisar sekitar pranata-pranata tertentu yang amat banyak jumlahnya; dengan demikian sebenarnya suatu masyarakat yang luas selalu dapat kita perinci ke dalam pranata-pranata yang khusus. Sejajar dengan itu suatu kebudayaan yang luas itu selalu dapat pila kita perinci ke dalam unsur-unsurnya yang khusus.

Para sarjana antropologi yang biasa menanggapi suatu kebudayaan (misalnya kebudayaan Minangkabau, kebudayaan Bali, atau kebudayaan Jepang) sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi, pada waktu analisa membagi keseluruhan itu ke dalam unsur-unsur besar yang disebut

“unsur-unsur kebudayaan universal” atau cultural universals. Istilah universal itu menunjukkan bahwa unsur-unur tadi bersifat universal, jadi unur-unsur tadi ada dan bisa didapatkan di dalam semua kebudayaan dari semua bangsa dimanapun di dunia. Mengenai apa yang diebut cultural universals itu, ada beberapa pandangan yang berbeda di antara para sarjana antropologi. Berbagai pandangan yang berbeda itu serta alasan perbedaannya diuraikan oleh C. Kluckhohn dalam sebuah karangan yang berjudul Universal Categories of Cilture (1953).14 Dengan mengambil sari dari berbagai karangan tentang unsur-unsur kebudayaan universal yang disusun oleh beberapa sarjana antropologi itu, ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur yang dapat lita sebut sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan di dunia itu adalah :

1. Bahasa

2. Sistem Pengetahuan 3. Organisasi Sosial


(12)

4. Sistem peralatan hidup dan teknologi 5. Sistem mats pencaharian hidup 6. Sistem religi

7. Kesenian

Tiap-tiap unsur kebudayaan universal sudah tentu juga menjelma dalam ketiga wujud kebudayaan terurai di atas, yaitu wujudnya yang berupa sistem budaya, yang berupa sistem social, dan yang berupa unsur-unsur kebudayaan fisik. Dengan demikian sistem ekonomi misalnya mempunyai wujudnya sebagai konsep-konsep, rencana-rencana, kebijaksanaan, adat istiadat yang berhubungan dengan ekonomi, tetapi mempunyai juga wujudnya yang berupa tindakan-tindakan dan interaksi berpola antara produsen, tengkulak, pedagang, ahli transpor, pengecer dengan konsumen, dan kecuali itu dalam sistem ekonomi terdapat juga unsur-unsurnya yang berupa peralatan, komoditi, dan benda-benda ekonomi. Demikian juga sistem religi misalnya mempunyai wujudnya sebagai sistem keyakinan, dan gagasan-gagasan tentang 'Puhan, dews-dews, roh-roh halus, neraka, sorga dan sebagainya, tetapi mempunyai juga wujudnya yang berupa upacara-upacara, baik yang bersifat musiman maupun yang kadangkala, dan kecuali itu setiap sistem religi juga mempunyai wujud sebagai benda-benda suci dan benda-benda religius. Contoh lain adalah unsur universal kesenian yang dapat berwujud gagasan-gagasan, ciptaan-ciptaan pikiran, ceritera-ceritera dan syair-syair yang indah. Namun kesenian juga dapat berwujud tindakan-tindakan interaksi berpola antara seniman pencipta, seniman penyelenggara, spon-sor kesenian, pendengar, penonton, dan konsumen hasil kesenian; tetapi kecuali itu semua kesenian juga berupa bends indah, candi, kain tenun yang indah, bends-bends kerajinan, dan sebagainya.

Unsur pokok kebudayaan (menurut Bronislaw Malinowski) :

 Sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat di dalam upaya menguasai alam sekelilingnya.


(13)

 Alat-alat dan lembaga pendidikan.

 Organisasi kekuatan.

Melville J. Herkovits menyebut unsur pokok kebudayaan adalah :

 Alat-alat teknologi

 Sisten ekonomi

 Keluarga

 Kekuasaan politik 4. Sifat-Sifat Kebudayaan

Kendati kebudayaan yang dimiliki oleh setiap masyarakat itu tidak sama, eperti di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang berbeda, tetapi setiap kebudayaan mempunyai ciri atau ifat yang sama. Sifat tersebut bukan diartikan secara spesifik, melainkan bersiifat universal. Di mana sifat-sifat budaya itu akan memiliki ciri-ciri yang sama bagi semua kebudayaan manusia tanpa membedakan faktor ras, lingkungan alam, atau pendidikan. Yaitu sifat hakiki yang berlaku umum bagi semua budaya di mana pun.

Sifat hakiki dari kebudayaan tersebut antara lain :

1. Budaya terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia.

2. Budaya telah ada terlebih dahulu daripada lahirnya suatu generasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.

3. Budaya diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya.

4. Budaya mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang, dan tindakan-tindakan yang diizinkan.


(14)

5. Manusia sebagai Pencipta dan Pengguna Kebudayaan

Tercipta atau terwujudnya suatu kebudayaan adalah sebagai hasil interaksi antara manusia dengan segala isi alam raya ini. Manusia yang telah dilengkapi Tuhan dengan akal clan pikirannya menjadikan mereka khalifah di muka bumi clan diberikan kemampuan yang disebutkan oleh Supartono (dalam Rafael Raga Maran, 1999:36) sebagai daya manusia. Manusia memiliki kemampuan daya antara lain akal, intelegensia, dan intuisi; perasaan dan emosi; kemauan; fantasi; dan perilaku.

Dengan sumber-sumber kemampuan daya manusia tersebut, nyatalah bahwa manusia menciptakan kebudayaan. Ada hubungan dialektika antara manusia dan kebudayaan. Kebudayaan adalah produk manusia, namun manusia itu sendiri adalah produk kebudayaan. Dengan kata lain, kebudayaan ada karena ada manusia penciptanya dan manusia dapat hidup di tengah kebudayaan yang diciptakannya. Kebudayaan akan terus hidup manakala ada manusia sebagai pendukungnya. Dialektika ini didasarkan pada pendapat Peter L. Berger, yang menyebutkan sebagai dialektika fundamental. Dialektika fundamental ini terdiri dari tiga tahap: tahap eksternalisasi, tahap objektivasi, dan tahap internalisasi.

Tahap eksternalisasi adalah proses pencurahan diri manusia secara terus-menerus ke dalam dunia melalui aktivitas fisik dan mental. Tahap objektivitas adalah tahap aktivitas manusia menghasilkan suatu realita objektif, yang berada di luar diri manusia. Tahap internalisasi adalah tahap di mana realitas objektif hasil ciptaan manusia diserap oleh manusia kembali. Jadi, ada hubungan berkelanjutan antara realitas internal dengan realitas eksternal. (Yusdi Ahmad, Makalah, 2006 : 5)

Kebudayaan mempunyai kegunaan yang sangat besar bagi manusia. Bermacam-macam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan anggotanya seperti kekuatan alam maupun kekuatan lain yang tidak selalu baiknya. Kecuali itu, manusia memerlukan kepuasan baik di bidang spiritual maupun material. Kebutuhan-kebutuhan tersebut dipenuhi oleh


(15)

kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu sendiri.

Hasil karya manusia menimbulkan teknologi yang mempunyai kegunaan utama dalam melindungi manusia terhadap lingkungan alamnya. Sehingga kebudayaan memiliki peran sebagai:

1. Suatu hubungan pedoman antarmanusia atau kelompoknya. 2. Wadah untuk menyalurkan perasaan-perasaan dan kemampuan

kemampuan lain.

3. Sebagai pembimbing kehidupan clan penghidupan manusia. 4. Pembeda manusia clan binatang.

5. Petunjuk-petunjuk tentang bagaimana manusia harus bertindak dan berperilaku di dalam pergaulan.

6. Pengaturan agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, menentukan sikapnya jika berhubungan dengan orang lain.

7. Sebagai modal dasar pembangunan.

Manusia merupakan makhluk yang berbudaya, melalui akalnya manusia dapat mengembangkan kebudayaan. Begitu pula manusia hidup dan tergantung pada kebudayaan sebagai hasil ciptaannya. Kebudayaan juga memberikan aturan bagi manusia dalam mengolah lingkungan dengan teknologi hasil ciptaannya.

Kebudayaan mempunyai fungsi yang besar bagi manusia dan masyarakat, berbagai macam kekuatan harus dihadapi manusia dan masyarakat seperti kekuatan alam dan kekuatan lain. Selain itu manusia dan masyarakat memerlukan kepuasan baik secara spiritual maupun materil.

Kebudayaan masyarakat tersebut sebagian besar dipenuhi oleh kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu sendiri. Hasil karya masyarakat melahirkan teknologi atau kebudayaan kebendaan yang mempunyai kegunaan utama dalam melindungi masyarakat terhadap lingkungan di dalamnya.


(16)

taraf permulaan manusia bersikap menyerah dan semata-mata bertindak di dalam batas-batas untuk melindungi dirinya. Keadaan yang berbeda pada masyarakat yang telah kompleks, di mana taraf kebudayaannya lebih tinggi. Hasil karya tersebut yaitu teknologi yang memberikan kemungkinan yang luas untuk memanfaatkan hasil alam bahkan menguasai alam.

6. Pengaruh Kebudayaan Terhadap Lingkungan

Budaya yang dikembangkan oleh manusia akan berimplikasi pada lingkungan tempat kebudayaan itu berkembang. Suatu kebudayaan memancarkan suatu ciri khas dari masyarakatnya yang tampak dari luar, artinya orang asing. Dengan menganalisis pengaruh akibat budaya terhadap lingkungan seseorang dapat mengetahui, mengapa suatu lingkungan tertentu akan berbeda dengan lingkungan lainnya dan menghasilkan kebudayaan yang berbeda pula.

Usaha untuk menjelaskan perilaku manusia sebagai perilaku budaya dalam kaidah dengan lingkungannya, terlebih lagi perspektif lintas budaya akan mengandung banyak variabel yang saling berhubungan dalam keseluruhan sistem terbuka. Pendekatan yang saling berhubungan dengan psikologi lingkungan adalah pendekatan sistem yang melihat rangkaian sistemik antara beberapa subsistem yang ada dalam melihat kenyataan lingkungan total yang melingkupi satuan budaya yang ada.

Beberapa variabel yang berhubungan dengan masalah kebudayaan dan lingkungan:

Physical Environment, menunjuk pada lingkungan natural seperti: temperatur, curah hujan, iklim, wilayah geografis, flora, dan fauna.

Cultural Social Environment, meliputi aspek-aspek kebudayaan beserta proses sosialisasi seperti: normanorma, adat istiadat, dan nilai-nilai.


(17)

Environmental Orientation and Representation, mengacu pada persepsi dan kepercayaan kognitif yang berbedabeda pada setiap masyarakat mengenai lingkungannya.

Environmental Behavior and Process, meliputi bagaimana masyarakat menggunakan lingkungan dalam hubungan sosial.

Out Carries Product, meliputi hasil tindakan manusia seperti membangun rumah, komunitas, kota beserta usaha-usaha manusia dalam memodifikasi lingkungan fisik seperti budaya pertanian dan iklim.

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa kebudayaan yang berlaku dan dikembangkan dalam lingkungan tertentu berimplikasi terhadap pola tata laku, norma, nilai dan aspek kehidupan lainnya yang akan menjadi ciri khas suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya 7. Proses dan Perkembangan Kebudayaan

Sebagaimana diketahui bahwa kebudayaan adalah hasil cipta, karsa dan rasa manusia oleh karenanya kebudayaan mengalami perubahan dan perkembangannya sejalan dengan perkembangan manusia itu. Perkembangan tersebut dimaksudkan untuk kepentingan manusia sendiri, karena kebudayaan diciptakan oleh dan untuk manusia.

Perkembangan kebudayaan terhadap dinamika kehidupan seseorang bersifat kompleks, dan memiliki eksistensi clan berkesinambungan dan juga menjadi warisan sosial. Seseorang mampu memengaruhi kebudayaan dan memberikan peluang untuk terjadinya perubahan kebudayaan.

Kebudayaan yang dimiliki suatu kelompok sosial tidak akan terhindar dari pengaruh kebudayaan kelompok-kelompok lain dengan adanya kontak-kontak antar kelompok atau melalui proses difusi. Suatu kelompok sosial; akan mengadopsi suatu kebudayaan tertentu bilamana kebudayaan tersebut berguna untuk mengatasi atau memenuhi tuntutan yang dihadapinya.


(18)

Pengadopsian suatu kebudayaan tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor lingkungan fisik. Misalnya iklim, topografi sumber daya alam dan sejenisnya. Sebagai contoh: orang-orang yang hidup di daerah yang kondisi lahan atau tanahnya subur (produktif) akan mendorong terciptanya suatu kehidupan yang favourable untuk mem-produksi bahan pangan. Jadi, terjadi suatu proses keserasian antara lingkungan fisik dengan kebudayaan yang terbentuk di lingkungan tersebut, kemudian ada keserasian juga antara kebudayaan masyarakat yang satu dengan kebudayaan masyarakat tetangga dekat. Kondisi lingkungan seperti ini memberikan peluang untuk berkembangnya peradaban (kebudayaan) yang lebih maju. Misalnya, dibangun sistem irigasi, teknologi pengolahan lahan dan makanan, dan lain sebagainya.

Kebudayaan dari suatu kelompok sosial tidak secara komplet ditentukan oleh lingkungan fisik saja, namun lingkungan tersebut sekadar memberikan peluang untuk terbentuknya sebuah kebudayaan. Dari waktu ke waktu, kebudayaan berkembang seiring dengan majunya teknologi (dalam hal ini adalah sistem telekomunikasi) yang sangat berperan dalam kehidupan setiap manusia.

Perkembangan zaman mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala bidang, termasuk dalam hal kebudayaan. Mau tidak mau kebudayaan yang dianut suatu

kelompok sosial akan bergeser. Cepat atau lambat pergeseran ini akan menimbulkan konflik antara kelompok-kelompok yang menghendaki perubahan dengan kelompok-kelompok yang tidak menghendaki perubahan. Suatu kamunitas dalam kelompok sosial bisa saja menginginkan adanya perubahan dalam kebudayaan yang mereka anut, dengan alasan sudah tidak sesuai lagi dengan zaman yang mereka hadapi saat ini. Namun, perubahan kebudayaan ini kadang kala disalahartikan menjadi suatu penyimpang Kebudayaan. Interpretasi ini mengambil dasar pada adanya budaya-budaya baru yang tumbuh dalam komunitas mereka yang bertentangan dengan keyakinan mereka


(19)

sebagai penganut kebudayaan tradisional selama turun-temurun.

Hal yang terpenting dalam proses pengembangan kebudayaan adalah dengan adanya kontrol atau kendali terhadap perilaku reguler (yang tampak) yang ditampilkan oleh para penganut kebudayaan. Karena tidak jarang perilaku yang ditampilkan sangat bertolak belakang dengan budaya yang dianut di dalam kelompok sosialnya. Yang diperlukan di sini adalah kontrol sosial yang ada di masyarakat, yang menjadi suatu 'cambuk' bagi komunitas yang menganut kebudayaan tersebut. Sehingga mereka dapat memilah-milah, mana kebudayaan yang sesuai dan mana yang tidak sesuai.

8. Problematika Kebudayaan

Beberapa Problematika Kebudayaan antara lain:

1. Hambatan budaya yang berkaitan dengan pandangan hidup dan sistem kepercayaan.

Keterkaitan orang Jawa terhadap tanah yang mereka tempati secara turun-temurun diyakini sebagai pemberi berkah kehidupan. Mereka enggan meninggalkan kampung halamannya atau beralih pola hidup sebagai petani. Padahal hidup mereka umumnya miskin.

2. Hambatan budaya yang berkaitan dengan perbedaan persepsi atau sudut pandang hambatan budaya yang berkaitan dengan perbedaan persepsi atau sudut pandang ini dapat terjadi antara masyarakat dan pelaksana pembangunan. Contohnya, program Keluarga Berencana atau KB semula ditolak masyarakat, mereka beranggapan bahwa banyak anak banyak rezeki.

3. Hambatan budaya berkaitan dengan faktor psikologi atau kejiwaan. Upaya untuk mentransmigrasikan penduduk dari daerah yang terkena bencana alam banyak mengalami kesulitan. Hal ini disebabkan karena adanya kekhawatiran penduduk bahwa di tempat yang baru hidup mereka akan lebih sengsara dibandingkan dengan hidup mereka di tempat yang lama.


(20)

4. Masyarakat yang terasing clan kurang komunikasi dengan masyarakat luar.

Masyarakat daerah-daerah terpencil yang kurang komunikasi dengan masyarakat luar, karena pengetahuannya serba terbatas, seolah-olah tertutup untuk menerima program-program pembangunan.

5. Sikap tradisionalisme yang berprasangka buruk terhadap hal-hal baru.

Sikap ini sangat mengagung-agungkan budaya tradisional sedemikian rupa, yang menganggap hal-hal baru itu akan merusak tatanan hidup mereka yang sudah mereka miliki secara turun-temurun.

6 . Sikap Etnosentrisme.

Sikap etnosentrisme adalah sikap yang mengagungkan budaya suku bangsanya sendiri dan menganggap rendah budaya suku bangsa lain. Sikap semacam ini akan mudah memicu timbulnya kasus-kasus sara, yakni pertentangan suku, agama, ras, dan antar-golongan.

Kebudayaan yang berkembang dalam suatu wilayah seperti Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari beberapa suku bangsa dan budaya yang beraneka ragam. Masing-masing kebudayaan itu dianggap sebagai satu ciri khas daerah lokal. Yang terkadang justru menimbulkan sikap etnosentrisme pada anggota masyarakat dalam memandang kebudayaan orang lain.

Sikap etnosentrisme dapat menimbulkan kecenderungan perpecahan dengan sikap kelakuan yang lebih tinggi terhadap

budaya lain. ,

7. Perkembangan IPTEK sebagai hasil dari kebudayaan, sering kali disalahgunakan oleh manusia, sebagai contoh nuklir dan bom dibuat justru untuk menghancurkan manusia bukan untuk melestarikan suatu generasi, obat-obatan diciptakan untuk


(21)

kesehatan tetapi dalam penggunaannya banyak disalahgunakan yang justru mengganggu kesehatan manusia.

9. Perubahan Kebudayaan

Sebagaimana diketahui bahwa kebudayaan mengalami perkembangan (dinamis) seiring dengan perkembangan manusia itu sendiri, oleh karenanya tidak ada kebudayaan yang bersifat statis. Dengan demikian, kebudayaan akan mengalami perubahan. Ada lima faktor yang menjadi penyebab perubahan kebudayaan, yaitu:

a. Perubahan lingkungan alam.

b. Perubahan yang disebabkan adanya kontak dengan suatu kelompok lain.

c. Perubahan karena adanya penemuan (discovery).

d. Perubahan yang terjadi karena suatu masyarakat atau bangsa mengadopsi beberapa elemen kebudayaan material yang telah dikembangkan oleh bangsa lain di tempat lain.

e. Perubahan yang terjadi karena suatu bangsa memodifikasi cara hidupnya dengan mengadopsi suatu pengetahuan atau kepercayaan baru, atau karena perubahan dalam pandangan hidup dan konsepsinya tentang realitas.

Namun, perubahan kebudayaan sebagai hasil cipta, karsa, dan rasa manusia adalah tentu saja perubahan yang memberi nilai manfaat bagi manusia dan kemanusiaan, bukan sebaliknya, yaitu yang akan memusnahkan manusia sebagai pencipta kebudayaan tersebut.


(22)

B. ETIKA

1. Pengertian Etika

Seperti halnya dengan banyak istilah yang menyangkut "etika" berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya ,adalah: adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah menjadi lafar belakang bagi terbentuknya istilah "etika" yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (384-322 s.M.) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka "etika" berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Tapi menelusuri arti etimologis saja belum cukup untuk mengerti apa yang dalam buku ini dimaksudkan dengan istilah "etika".

Mendengar keterangan etimologis ini, mungkin kita teringat bahwa dalam bahasa Indonesia pun kata "ethos" cu kup banyak dipakai, misalnya dalam kombinasi "ethos kerja", "ethos profesi", dan sebagainya. Memang ini suatu kata yang diterima dalam bahasa Indonesia dari bahasa Yunani (dan karena itu sebaiknya dipertahankan ejaan aslinya "ethos"), tapi tidak langsung melainkan melalui bahasa Inggris, di mana -seperti dalam banyak bahasa modern lain-kata itu termasuk kosa kata yang baku. Dalam buku ini kita akan memanfaatkan juga istilah "ethos" ini.

Kata yang cukup dekat dengan "etika" adalah "moral". Kata terakhir ini berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) yang berarti juga: kebiasaan, adat. Dalam bahasa Inggris dan banyak bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia (pertama kali dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988), kata mores masih dipakai dalam arti yang sama. Jadi, etimologi kata "etika" sama


(23)

dengan etimologi kata "moral", karena keduanya berasal dari kata yang berarti adat kebiasaan. Hanya bahasa asalnya berbeda: yang pertama berasal dari bahasa Yunani, sedang yang kedua dari bahasa Latin

Sekarang kita kembali ke istilah "etika". Setelah mem-pelajari dulu asal-usulnya, sekarang kita berusaha menyimak artinya. Salah satu cara terbaik untuk mencari arti sebuah kata adalah melihat dalam kamus. Mengenai kata “etika" ada perbedaan yang mencolok, jika kita meembandingkan apa yang dikatakan dalam kamus yang lama dengan kamus, yang baru. Dal am Kamus Umum Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953) "etika" dijelaskan sebagai: "ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral)". Jadi, kamus lama hanya mengenal satu arti, yaitu etika sebagai ilmu. Seandainya penjelasan ini benar dan kita membaca dalam koran "Dalam dunia bisnis etika merosot terus", maka kata "etika" di sini hanya bisa berarti "etika sebagai ilmu". Tapi yang dimaksudkan dalam kalimat seperti itu ternyata bukan etika sebagai ilmu. Kita bisa menyimpulkan bahwa kamus lama dalam penjelasannya tidak lengkap. Jika kita melihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan Kebudayaan, 1988), di situ "etika" dijelaskan dengan membedakan tiga arti: “1). ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;

'Dalam Kamus Besar Bahcua Indonesia edisi ke-2 (1991) dan edisi ke-3 (2001) ada perubahan. Di situ dimuat dua entri: "etik" dan "etika". Etik meliputi arti ke-2 dan ke-3 dari "etika" dalam edisi 1988, sedangkan "etika" (dalam edisi 1991 dan 2001) dikhususkan untuk ilmunya. Sehingga "etika" dimengerti sebagai ilmu tentang "etik", Mengapa ada perubahan ini? Karena para ahli bahasa berpendapat bahwa istilah dengan akhiran-"ika" harus dipakai untuk menunjukkan ilmu. Seperti misalnya "statistika" adalah ilmu tentang "statistik". Demikian keinginan para ahli bahasa. Tetapi dalam bahasa sehari-sehari keinginan ini tidak (belum?)


(24)

3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat". Kamus baru ini memang lebih lengkap. Dengan penjelasan ini dapat kita mengerti kalimat seperti "Dalam dunia bisnis etika merosot terus", karena di sini "etika" ternyata dipakai dalam arti yang ketiga.

Setelah mempelajari penjelasan kamus, kami memilih tetap membedakan tiga arti mrngenai kata "etika" ini. Tetapi urutannya mungkin lebih baik terbalik, karena arti ke-3 dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 1998 lebih mendasar daripada arti pertama, sehingga sebaiknya ditempatkan di depan. Perumusannya juga bisa dipertajam lagi. Dengan demikian kita sampai pada tiga arti berikut ini. Pertama, kata "etika" bisa dipakai dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya, jika orang berbicara tentang "etika suku-suku Indian", "etika agama Budha", "etika Protestan" (ingat akan buku termasyhur Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism), maka tidak dimaksudkan "ilmu", melainkan arti pertamatadi. Secara singkat, arti ini bisa dirumuskan juga sebagai "sistem nilai". Dan boleh dicatat lagi, sistem nilai itu bisa berfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial. Kedua, "etika" berarti juga: kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Beberapa tahun yang lalu oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia diterbitkan sebuah kode etik untuk rumah sakit yang diberi judul: "Etika Rumah Sakit Indonesia" (1986), disingkatkan sebagai ERSI. Di sini dengan "etika" jelas dimaksudkan kode etik. Ketiga, "etika" mempunyai arti lagi: ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika baru menjadi ilmu,


(25)

diikuti. Dan yang kita teliti di sini adalah bagaimana istilah ini pada kenyataannya dipakai dalam masyarakat, bukan bagaimana seharusnya dipakai menurut norma ilmu bahasa. Karena

itu untuk maksud kita penjelasan dari edisi 1988 masih bisa dianggap paling tepat.

bila kemungkinan-kemungkinan etis (asa-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat-sering kali tanpa disadari-menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral.

Tentang kata "moral" sudah kita lihat bahwa etimologi nya sama dengan "etika", sekalipun hahasa asalnya berbeda. Jika sekarang kita memandang arti kata "moral", perlu kita simpulkan bahwa artinya (sekurang-kurangnya arti yang relevan untuk kita, di samping arti lain yang tidak perlu disinggung di sini) sama dengan "etika" menurut arti pertama tadi, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kita mengatakan, misalnya, bahwa perbuatan seseorang tidak bermoral. Dengan itu dimaksud bahwa kita menganggap perbuatan orang itu niclanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau kita mengatakan bahwa kelompok pemakai narkotika mempunyai moral yang bejat, artinya, mereka berpegang pada nilai dan norma yang tidak baik.

"Moralitas" (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan "moral", hanya ada nada lebih abstrak. Kita berbicara tentang "moralitas suatu perbuatan", artinya, segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan bai dan buruk

2. Etiket Dan Etika

Dalam rangka menjernihkan istilah, harus kita simak lagi perbedaan antara "etika" dan "etiket". Kerap kali dua istilah ini dicampuradukkan begitu saja, padahal perbedaan di antaranya


(26)

sangat hakiki.

2 Stanley L. Jaki. “Decision -making in Business : Amoral?” dalam C. van Dam and L. N.

Stallaert, Trends in Busine Ethics, Leiden / Boston, Martinus Nijhoff, 1978, hlm. 1 -10 .

"Etika" di sini berarti "moral" dan "etiket" berarti "sopan santun (tentu saja, di samping arti lain: "secarik kertas yang ditempelkan pada botol atau kemasan barang ). Jika kita melihat asal-usulnya, sebetulnya tidak ada hubungan antara dua istilah ini. Hal itu menjadi lebih jelas, jika kita membanding - kan bentuk kata dalam bahasa Inggris, yaitu ethics da n etiquette.

Tetapi dipandang menurut artinya, dua istilah ini memang dekat satu sama lain.

Di samping perbedaan, ada juga peramaan. Mari kita mulai dengan persamaan itu. Pertama, etika dan etiket menyangkut perilaku manusia. Istilah-istilah ini hanya kita pakai mengenai manusia. Hewan tidak mengenal etika maupun etiket. Kedua, baik etika maupun etiket mengatur perilaku manusia secara normatif, artinya, memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian rnenyatakan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Justru karena sifat normatif ini kedua istilah tersebut mudah dicampuradukkan.

Namun demikian, ada beberapa perbedaan sangat penting antara etika dan etiket. Di sini kita akan mempelajari sepintas empat macam perbedaan.

* Etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan manusia. Di antara beberapa cara yang mungkin, etiket menunjukkan cara yang tepat, artinya, cara yang di - harapkan serta ditentukan dalam suatu kalangan ter tentu. Misalnya, jika saya menyerahkan sesuatu kepada atasan, saya harus menyerahkannya dengan menggunakan tangan kanan. Dianggap melanggar etiket, bila orang menyerahkan sesuatu dengan tangan kiri. Tetapi etika tidak


(27)

terbatas pada cara dilakukannya suatu perbuatan; etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri. Etika menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleh di - lakukan ya atau tidak. Mengambil barang milik orang lain tanpa izin, tidak pernah diperbolehkan. "Jangan men curi" merupakan suatu norma etika. Apakah orang men curi dengan tangan kanan atau tangan kiri di sini sama sekali tidak relevan. Norma etis tidak terbatas pada cara perbuatan dilakukan, melainkan menyangkut perbuatan itu sendiri.

* Etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Bila tidak ada orang lain hadir atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Misalnya, ada banyak peraturan etiket yang mengatur cara kita makan. Dianggap melanggar etiket, bila kita makan sambil berbunyi atau dengan me letakkan kaki di atas meja, dan sebagainya. Tapi kalau saya makan sendiri, saya tidak melanggar etiket, bila makan dengan cara demikian. Sebaliknya, etika selalu berlaku, juga kalau tidak ada saksi mata. Etika tidak tergantung pada hadir tidaknya orang lain. Larangan untuk mencuri selalu btrlaku, entah ada orang lain, hadir atau tidak. Barang yang dipinjam selalu harus dikembalikan, juga jika pemiliknya sudah lupa.

* Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam satu kebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Contoh yang jelas adalah makan dengan tangan atau tersendawa waktu makan. Lain halnya dengan etika. Etika jauh lebih absolut. "Jangan mencuri", "jangan berbohong", "jangan membunuh" merupakan prinsip-prinsip etika yang tidak bisa ditawar-tawar atau mudah diberi "dispensasi". Memang benar, ada kesulitan cukup besar mengenai keabsolutan prinsip-prinsip etis yang akan dibicarakan lagi dalam buku ini. Tapi tidak bisa


(28)

diragukan, relativitas etiket jauh lebih jelas dan jauh lebih mudah terjadi.

* Jika kita berbicara tentang etiket, kita hanya memandang manusia dari segi lahiriah saja, sedang etika menyangkut manusia dari segi dalam. Bisa saja orang tampil sebagai "musang berbulu ayam": dari luar sangat sopan clan halus, tapi di dalam penuh kebusukan. Banyak penipu berhasil dengan maksud jahat mereka, justru karena penampilannya begitu halus dan menawan hati, sehingga mudah meyakinkan orang lain. Tidak merupakan kontradiksi, jika seseorang selalu berpegang pada etiket dan sekaligus bersikap munafik. Tapi orang yang etis sifatnya tidak mungkin bersikap munafik, sebab seandainya dia munafik, hal itu dengan sendirinya berarti ia tidak bersikap etis. Di sini memang ada kontradiksi. Orang yang bersikap etis adalah orang yang sungguh-sungguh baik. Sudah jelaslah kiranya bahwa perbedaan terakhir ini paling penting di antara empat perbedaan yang dibahas tadi.

Setelah mempelajari perbedaan antara etika clan etiket ini, barangkali tidak sulit untuk disetujui bahwa konsekuensinya cukup besar, jika dua istilah ini dicampuradukkan tanpa berpikir lebih panjang. Bisa sampai fatal dari segi etis, bila orang menganggap etiket saja apa yang sebenarnya termasuk lingkup moral. Juga tentang istilah-istilah lain yang kita pakai dalam konteks ini haruslah jelas kita kita makudkan atau etiket. Misalnya, jika kita berbicara tentang "suila", "kesusilaan", "tata krama", "budi pekerti", kita mengambil itilah-istilah ini dari lingkup etika atau dari lingkup etiket! Karena ketidakjelasan itu dalam buku ini kita tidak akan menggunakan kata seperti "kesusilaan". Di sisi lain, istilah yang jelas termauk lingkup etika janganlah diperlakukan seolah-olah termasuk linkkup etiket. Menurut pendapat kami, hal itu dilakukan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi 1988)


(29)

tentang kata "moralitas" yang dijelaskan sebagai "sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat sopan santun". Padahal, sesuai dengan pemakaian intemasional sudah menjadi kebiasaan umum memasukkan "moralitas" ke dalam lingkup etika, bukan lingkup etiket.

3. Teori-Teori Etiket a) Hedonisme

Sepanjang sejarah barangkali tidak ada filsafat moral yang lebih mudah dimengerti dan akibatnya tersebar lebih luas seperti hedonisme ini. Maka tidak mengherankan, jika pandangan ini sudah timbul pada awal sejarah filsafat. Atas pertanyaan "apa yang menjadi hal yang terbaik bagi manusia", para hedonis menjawab: kesenangan (hedone dalam bahasa Yunani). Adalah baik apa yang memuaskan keinginan kita, apa yang meningkatkan kuantitas kesenangan atau kenikmatan dalam diri kita.

Dalam filsafat Yunani hedonisme sudah ditemukan pada Aristippos dari Kyrene (sekitar 433-355 s.M.), seorang murid Sokrates. Sokrates telah bertanya tentang tujuan terakhir bagi kehidupan manusia atau apa yang sungguh-sungguh baik bagi manusia, tapi ia sendiri tidak memberikan jawaban yang jelas atas pertanyaan itu clan hanya mengeritik jawaban-jawaban yang dikemukakan oleh orang lain. Aristippos menjawab: yang sungguh baik bagi manusia adalah kesenangan. Hal itu terbukti karena sudah sejak masa kecilnya manusia merasa tertarik akan kesenangan dan bila telah tercapai ia tidak mencari sesuatu yang lain lagi. Sebaliknya, ia selalu menjauhkan diri dari ketidaksenangan. Bagi Aristippos kesenangan itu bersifat badani belaka, karena hakikatnya tidak lain daripada gerak dalam badan. Mengenai gerak itu ia membedakan tiga kemungkinan: gerak yang kasar dan itulah ketidaksenangan,


(30)

misalnya, rasa sakit; gerak yang halus dan itulah kesenangan; sedangkan tiadanya gerak merupakan suatu keadaan netral, misalnya, jika kita tidur. Aristippos menekankan lagi bahwa kesenangan harus dimengerti sebagai kesenangan aktual, bukan kesenangan dari masa lampau dan kesenangan di masa mendatang. Sebab, hal-hal terakhir ini hanyalah ingatan akan atau antisipasi atas kesenangan. Yang baik dalam arti yang sebenarnya adalah kenikmatan kini dan di sini. Jika kita melihat pandangan Aristippos ini sebagai keseluruhan, perlu kita simpulkan bahwa ia mengerti kesenangan sebagai badani, aktual dan individual.

Akan tetapi, ada batas untuk mencari kesenangan. Aris-tippos pun mengakui perlunya pengendalian diri, sebagaimana sudah diajarkan oleh gurunya, Sokrates. Dalam pada itu mengakui perlunya pengendalian diri tidak sama dengan meninggalkan kesenangan. Yang penting ialah mempergunakan kesenangan dengan baik dan tidak membiarkan diri terbawa olehnya, sebagaimana menggunakan kuda atau perahu tidak berarti meninggalkannya, tapi menguasainya menurut kehendak kita. Konon, kepada teman-teman yang mengeritiknya karena hubungannya dengan seorang wanita penghibur kelas tinggi yang bernama Lais ia menjawab: "Saya memiliki Lais, ia tidak memiliki saya". Secara konsekuen ia berpendapat juga bahwa manusia harus membatasi diri pada kesenangan yang diperoleh dengan mudah dan tidak perlu mengusahakan kesenangan dengan susah payah serta bekerja keras.

Filsuf Yunani lain yang melanjutkan hedonisme adalah Epikuros (341-270 s.M.), yang memimpin sebuah sekolah filsafat di Athena. Epikuros pun melihat kesenangan (hedone) sebagai tujuan kehidupan manusia. Menurut kodratnya setiap manusia mencari kesenangan, tapi pengertiannya tentang kesenangan


(31)

lebih luas daripada pandangan Aristippos. Walaupun tubuh manusia merupakan "asas serta akar" segala kesenangan dan akibatnya kesenangan badani harus dianggap paling hakiki, namun Epikuros mengakui adanya kesenangan yang melebihi tahap badani. Dalam sepucuk surat ia menulis: "Bila kami mempertahankan bahwa kesenangan adalah tujuannya, kami tidak maksudkan kesenangan inderawi, tapi kebebasan dari nyeri dalam tubuh kita dan kebebasan dari keresahan dalam jiwa" (Surat kepada Menoikeus). Tapi kesenangan rohani itu hanyalah bentuk yang diperhalus dari kesenangan badani. la juga tidak membatasi kesenangan pada kesenangan aktual saja. Dalam menilai kesenangan, menurut Epikuros kita harus memandang kehidupan sebagai keseluruhan termasuk juga masa lampau dan masa depan.

Biarpun pada dasarnya setiap kesenangan bisa dinilai baik, namun itu tidak berarti bahwa setiap kesenangan harus dimanfaatkan juga. Dalam hal ini pentinglah pembedaan yang diajukan Epikuros antara tiga macam keinginan: keinginan alamiah yang perlu (seperti makanan), keinginan alamiah yang tidak perlu (seperti makanan yang enak), dan keinginan yang sia-sia (seperti kekayaan). Hanya keinginan macam pertama harus dipuaskan dan pemuasannya secara terbatas menghasilkan kesenangan paling besar. Karena itu Epikuros menganjurkan semacam "pola hidup sederhana". Orang bijaksana akan berusaha sedapat mungkin hidup terlepas dari keinginan. Dengan demikian manusia akan mencapai ataraxia, ketenangan jiwa atau keadaan jiwa seimbang yang tidak membiarkan diri terganggu oleh hal-hal yang lain. Ataraxia begitu penting bagi Epikuros, sehingga ia menyebutnya juga tujuan kehidupan manusia (di samping kesenangan). Ataraxia berperanan bagi jiwa, seperti kesehatan bagi badan. Orang bijaksana yang memperoleh ketenangan jiwa


(32)

itu akan berhasil mengusir segala macam ketakutan (untuk kematian, dewa-dewa dan suratan nasib), menjauhkan diri dari kehidupan politik dan menikmati pergaulan dengan sahabat.

b. Eudemonisme

Pandangan ini berasal dari filsuf Yunani besar, Aris - toteles (384-322 s.M.). Dalam bukunya, Ethika Nikomakhei«, ia mulai dengan menegaskan bahwa dalam setiap kegiatannya manusia mengejar suatu tujuan. Bisa dikatakan juga, dalam setiap perbuatan kita ingin mencapai sesuatu yang baik bagi kita. Scring kali kita mencari suatu tujuan untuk mencapai suatu tujuan lain lagi. Misalnya, kita minum obat untuk bisa tidur dan kita tidur untuk dapat memulihkan kesehatan. Timbul pertanyaan, apakah ada juga tujuan yang, dikejar karena dirinya sendiri dan bukan karena sesuatu yang lain lagi; apakah ada kebaikan terakhir yang tidaG dicari demi sesuatu yang lain lagi. Menurut Aristoteles (semua orang akan menyetujui bahwa tujuan tertinggi ini dalam terminologi modern kita bisa mengatakan: makna terakhir hidup manusia adalah kebahagiaan

(eudaimonia). Tapi jika semua orang mudah menyepakati kebahagiaan sebagai tujuan terakhir hidup manusia, itu belum memecahkan semua kesulitan, karena dengan kebahagiaan me -reka mengerti banyak hal yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa kesenangan adalah kebahagiaan, ada yang berpendapat bahwa uang dan kekayaan adalah inti kebahagiaan dan ada pula yang menganggap status sosial atau nama baik sebagai kebahagiaan. Tapi Aristoteles beranggapan bahwa semua hal itu tidak bisa diterima sebagai tujuan terakhir. Kekayaan, misalnya, paling-paling bisa dianggap tujuan untuk mencapai suatu tujuan lain. Karena itu masih tetap tinggal pertanyaan: apa itu kebahagiaan


(33)

dengan menjalankan fungsinya dengan baik. Tujuan terakhir pemain suling adalah main dengan baik. Tujuan terakhir tukang sepatu adalah membikin sepatu yang baik. Nah, jika manusia menjalankan fungsinya sebagai manusia dengan baik, ia juga mencapai tujuan terakhirnya atau kebahagiaan. Apakah fungsi yang khas bagi manusia itu? Apakah keunggulan manusia, dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain? Aristoteles menjawab: akal budi atau rasio. Karena itu manusia mencapai kebahagiaan dengan menjalankan secara paling baik kegiatan-kegiatan rasionalnya. Dan tidak cukup ia melakukan demikian beberapa kali saja, tapi harus sebagai suatu sikap tetap. Hal itu berarti bahwa kegiatan-kegiatan rasional itu harus dijalankan dengan disertai keutamaan. Bagi Aristoteles ada dua macam keutamaan: keutamaan intelektual dan keutamaan moral. Keutamaan intelektual menyempurnakan langsung rasio itu sendiri. Dengan keutamaan-keutamaan moral rasio menjalankan pilihan-pilihan yang perlu diadakan dalam hidup sehari-hari. Khususnya keutamaan-keutamaan moral ini dibahas Aristoteles dengan panjang lebar. Keutamaan seperti keberanian dan kemurahan hati merupakan pilihan yang dilaksanakan oleh rasio. Dalam hal ini rasio menentukan jalan tengah antara dua ekstrem yang berlawanan. Atau dengan kata lain, keutamaan adalah keseimbangan antara "kurang" dan "terlalu banyak". Misalnya, keberanian adalah keutamaan yang memilih jalan tengah antara sikap gegabah dan sikap pengecut; kemurahan hati adalah keutamaan yang mencari jalan tengah antara kekikiran dan pemborosan. Keutamaan yang menentukan jaIan tengah itu oleh Aristoteles disebut phronesis (kebijaksanaan praktis).

Phronesis menentukan apa yang bisa dianggap sebagai berkeutamaan dalam suatu situasi konkret.


(34)

Disini perlu dicatat bahwa Aristoteles (dan seluruh tradisi pemikiran Yunani) tidak mengerti kebahagiaan dalam arti modern, yaitu kebahagiaan subyektif (merasa happy). Dengan kebahagiaan dimaksudkannya keadaan manuia demikian rupa, ehingga segala sesuatu yang seharusnya ada memang ada padanya (well-being)

Karena itu keutamaan ini merupakan inti seluruh kehidupan moral. Sekali lagi perlu ditekankan bahwa tidaklah cukup kita kebetulan atau satu kali saja mengadakan pilihan rasional yang tepat dalam perbuatan ldta sehari-hari. Baru ada keutamaan jika kita bisa menentukan jalan tengah di antara ekstrem-ekstrem itu dengan suatu sikap tetap. Menurut Aristoteles, manusia adalah baik dalam arti moral, jika selalu mengadakan pilihan-pilihan rasional yang tepat dalam perbuatan-perbuatan moralnya dan mencapai keunggulan dalam penalaran intelektual. Orang seperti itu adalah bahagia. Kebahagiaan itu akan disertai kesenangan juga, walaupun kesenangan tidak merupakan inti yang sebenarnya dari kebahagiaan.

c. Utilitarisme

1. Utilitarisme Klasik

Aliran ini berasal dari tradisi pemikiran moral di United Kingdom dan di kemudian hari berpengaruh ke seluruh kawasan yang berbahasa Inggris. Filsuf Skotlandia, David Hume (1711-1776), sudah memberi sumbangan penting ke arah perkembangan aliran ini, tapi utilitarisme menurut bentuk lebih matang berasal dari filsuf Inggris Jeremy Bentham (1748-1832), dengan bukunya Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789). Utilitarisme dimaksudnya sebagai dasar etis untuk membaharui hukum Inggris, khususnya hukum pidana. Jadi, ia tidak ingin menciptakan suatu teori moral abstrak, tetapi mempunyai maksud sangat konkret. la berpendapat bahwa tujuan hukum adalah


(35)

memajukan kepentingan para warga negara dan bukan me-maksakan perintah-perintah ilahi atau melindungi yang di-sebut hak-hak kodrati. Karena itu ia beranggapan bahwa klasifikasi kejahatan, umpamanya, dalam sistem hukum Inggris sudah ketinggalan zaman dan harus diganti. Ben - tham mengusulkan suatu klasifikasi kejahatan yang dida-sarkan atas berat tidaknya pelanggaran dan yang terakhir ini diukur berdasarkan kesusahan atau penderitaan yang diakibatkannya terhadap para korban dan masyarakat. Suatu pelanggaran yang tidak merugikan orang lain, menurut Bentham sebaiknya tidak dianggap sebagai tindakan kriminal, seperti misalnya pelanggaran seksual yang dilakukan atas dasar suka sama suka.

Bentham mulai dengan menekankan bahwa umat manusia menurut kodratnya ditempatkan di bawah pemerin -tahan dua penguasa yang berdaulat: ketidaksenangan dan kesenangan Menurut kodratnya manusia menghindari ke-tidaksenangan dan mencari kesenangan. Kebahagiaan tercapai, jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Dalam hal ini Bentham sebenarnya melanjutkan begitu saja hedonisme klasik.

Karena menurut kodratnya tingkah laku manusia terarah pada kebahagiaan, maka suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk, sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Dalam hal ini Bentham meninggalkan hedonisme individualistis dan egoistis dengan menekankan bahwa kebahagiaan itu menyangkut seluruh umat manusia. Moralitas suatu tindakan harus ditentukan dengan menimbang kegunaannya untuk mencapai kebahagiaan umat manusia. Dengan demikian Bentham sampai pada the principle of utility yang


(36)

4”Nature has placed mankind under the governance of two sovereign masters :

pain and pleasure”.

berbunyi: the greatest happiness of the greatest number, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar". Prinsip kegunaan ini menjadi norma untuk tindakan-tindakan kita pribadi maupun untuk kebijaksanaan pemerintah, misalnya, dalam menentukan hukum pidana.

Menurut Bentham, prinsip kegunaan tadi harus diterapkan secara kuantitatif belaka. Karena kualitas kesenangan selalu sama, satu-satunya aspeknya yang bisa berbeda adalah kuantitasnya 5 Bukan saja the greatest number tapi juga the greatest happiness dapat diperhitungkan. Untuk itu ia mengembangkan the hedonistic calculus. Sumber-sumber kesenangan dapat diukur dan diperhitungkan menurut intensitas dan lamanya perasaan yang diambil daripadanya, menurut akibatnya, menurut kepastian akan dapat menghasilkan perasaan itu, menurut jauh dekatnya perasaan, menurut kemurnian serta jangkauan perasaan, dan sebagainya. Perhitungan ini akan menghasilkan saldo positif, jika kredit (kesenangan) melebihi debetnya (ketidaksenangan). Salah satu contoh adalah cara Bentham memperhitungkan kadar moral dari perbuatan minum minuman keras sampai ma-buk. Hasil perhitungan itu dapat digambarkan sebagai berikut:


(37)

equal, oushpin is as good as poetry" (Karena kualitas kesenangan selalu sarna, pusnprn sama baik seperti puisi). Yang dimaksud dengan pushpin adalah sejenis permainan anak.

KEMABUKAN

Ketidaksenangan Kesenangan (kredit)

Lamanya : Singkat Intensitas : membawa

Akibat : - kemiskinan banyak

- nama buruk Kepastian : kesenangan

- tidak sanggup kesenangan pasti

bekerja Jauh/dekat : terjadi

Kemurnian : dapat diragukan kesenangan

( dalam keadaan timbul cepat

mabuk sring tercampur unsur ketidaksenangan)

Seandainya tidak ada segi negatif, maka keadaan mabuk akan merupakan sesuatu yang secara moral baik. Tapi sebagai keseluruhan saldo adalah negatif dan menurut Bentham malah sangat negatif, sehingga kemabukan harus dinilai secara moral sangat jelek. Moralitas semua perbuatan dapat diperhitungkan dengan cara sejenis.

Utilitarisme diperhalus dan diperkukuh lagi oleh filsuf Inggris besar, John Stuart Mill (1806-1873), dalam bukunya Utilitarianism (1864). Dari pendapatnya patut disebut di sini dua hal. Pertama, ia mengeritik pandangan Bentham bahwa kesenangan dan kebahagiaan harus diukur secara kuantitatif.

6”It is better to be a human being dissatisfied than a pig satisfied; better to be


(38)

yang tidak puas daripada seorang yang tidak puas daripada seekor babi yang puas; lebih baik menjadi Sokrates yang tidak puas daripada seorang tolol yang puas).

Ia berpendapat bahwa kualitasnya perlu dipertimbangkan juga, karena ada kesenangan yang lebih tinggi mutunya dan ada yang lebih rendah. Kesenangan manusia harus dinilai lebih tinggi daripada kesenangan hewan, tegasnya, dan kesenangan orang seperti Sokrates lebih bermutu daripada kesenangan orang tolol. Tetapi kualitas kebahagiaan dapat diukur juga secara empiris, yaitu kita harus berpedoman pada orang yang bijaksana dan berpengalaman dalam hal ini. Orang seperti itu dapat memberi kepastian tentang mutu kesenangan.

Pikiran Mill yang kedua yang pantas disebut di sini adalah bahwa kebahagiaan yang menjadi norma etis adalah kebahagiaan semua orang yang terlibat dalam suatu kejadian, bukan kebahagiaan satu orang saja yang barangkali bertindak sebagai pelaku utama. Raja dan seorang bawahan dalam hal ini harus diperlakukan sama. Kebahagiaan satu orang tidak pernah boleh dianggap lebih penting daripada kebahagiaan orang lain. Menurut perkataan Mill sendiri: everybody to count for one, nobody to count for more than one. Dengan demikian suatu perbuatan dinilai baik, jika kebahagiaan melebihi ketidakbahagiaan, di mana kebahagiaan semua orang yang terlibat dihitung dengan cara yang sama.

2. Utilitarisme Aturan

Suatu percobaan yang menarik untuk mengatasi kritikan berat yang dikemukakan terhadap utilitarisme adalah meni bedakan antara dua macam utilitarisme: utilitarisme pcu buatan dan utilitarisme aturan. Hal itu dikemukakan antara lain oleh filsuf Inggris-Amerika Stephen Toulmin.8


(39)

8S.E. Toulmin, The Place of Reason in Ethics, Cambridge, Cambridge Univet sity

Press, 1949.

Toulmin dan kawan-kawannya menegaskan bahwa prinsip keguna,tidak harus diterapkan atas salah satu perbuatan bagaimana dipikirkan dalam utilitarisme klasik), melainkan

atas aturan-aturan moral yang mengatur perbuatan-peiIm.ttan kita. Orang sebaiknya tidak bertanya "apakah akan tiiperoleh kebahagiaan paling besar untuk paling banyal, orang, jika seseorang menepati janjinya dalam situasi tertentu?" Yang harus ditanyakan adalah: "apakah aturan moral 'orang harus menepati janjinya' merupakan aturan yang paling berguna bagi masyarakat atau, sebaliknya, aturan 'orang tidak perlu menepati janji' menyumbangkan paling banyak untuk kebahagiaan paling banyak orang?" Tanpa ragu-ragu dapat kita jawab bahwa aturan "orang harus menepati janji" pasti paling berguna dan karena itu harus diterima sebagai aturan moral. Juga kesulitan-kesulitan lain terhadap utilitarisme, seperti hak manusia atau perlunya keadilan, akan hilang dengan sendirinya, asal prinsip ke -gunaan diterapkan atas aturannya dan bukan atas per - buatan satu demi satu.

Filsuf seperti Richard B.Brandt melangkah lebih jauh lagi dengan mengusulkan agar bukan aturan moral satu demi satu, melainkan sistem aturan moral sebagai keseluruhan diuji dengan prinsip kegunaan. Kalau begitu, perbuatan adalah baik secara moral, bila sesuai dengan aturan yang berfungsi dalam sistem aturan moral yang paling berguna bagi suatu masyarakat.

Utilitarisme aturan ini merupakan sebuah varian yang menarik dari utilitarisme. Perlu diakui bahwa dengan


(40)

demikian kita bisa lolos dari banyak kesulitan yang melekat pada utilitarisme perbuatan. Namun demikian, utilitarisme aturan ini sendiri tidak tanpg kesulitan juga. Kesulitan utama timbul, jika terjadi konflik antara dua aturan moral. Misalnya, seorang bapak keluarga mencuri uang untuk dapat membeli obat yang sangat dibutuhkan bagi anaknya. Jika anak itu tidak minum obat tersebut, segera ia akan mad. Bapak itu sudah berusaha seribu satu cara untuk memperoleh uang yang sangat diperlukan itu, tapi selalu gagal. Tinggal kemungkinan terakhir ini: mencuri. Di sini terdapat konflik antara dua aturan moral: "orang tidak boleh mencuri" dan "orang tua harus berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan anaknya". Dari dua aturan moral ini, yang mana paling penting? Untuk menjawab pertanyaan ini harus kita lihat situasi konkret. Dan mungkin kebanyakan orang akan mengatakan bahwa dalam situasi konkret tadi bapak keluarga itu boleh saja mencuri, asal dengan itu ia tidak terlalu merugikan orang lain. Akan tetapi, apakah dengan demikian kita tidak meninggalkan utilitarisme aturan dan terjerumus ke dalam utilitarisme perbuatan? Rupanya memang demikian.

4. Deontologi

Semua sistem etika yang dibahas sampai di sini memperhatikan hasil perbuatan. Baik tidaknya perbuatan dianggap tergantung pada konsekuensinya. Karena itu sistem-sistem ini disebut juga sistem-sistem konsekuensialistis. Masih ada cara lain untuk mengatakan hal yang sama. Sistem-sistem etika yang dibicarakan sebelumnya semua berorientasi pada tujuan perbuatan. Dalam utilitarisme, umpamanya, tujuan perbuatan-perbuatan moral adalah


(41)

memaksimalkan kegunaan atau kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang. Karena itu bisa dikatakan juga bahwa semua sistem itu bersifat teleologis (= terarah pada tujuan).

Sekarang kita akan memandang suatu sistem etika yang tidak mengukur baik tidaknya suatu perbuatan berdasarkan hasilnya, melainkan semata-mata berdasarkan maksud si pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut. Kita bisa mengatakan juga bahwa sistem ini tidak menyoroti tujuan yang dipilih bagi perbuatan atau keputusan kita, melainkan semata-mata wajib tidaknya perbuatan dan keputusan kita. Teori yang dimaksudkan ini biasanya disebut deontologi (kata Yunani deon berarti: apa yang harus dilakukan; kewajiban).


(42)

BAB III

MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK: INDIVIDU, SOSIAL DAN CIPTAAN TUHAN

A. Manusia sebagai Indvidu

Manusia adalah makhluk individu. Sebagai makhluk individu berarti makhluk yang tidak dapat dibagi-bagi, tidak dapat dipisah-pisahkan antara jiwa dan raganya. Kata "individu" berasal dari kata latin individuum, artinya tidak terbagi. Jadi, kata itu mengandung pengertian sebagai suatu sebutan yang dapat dipakai untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Dalam ilmu sosial paham individu menyangkut tabiatnya dengan kehidupan jiwanya yang majemuk, memegang peranan dalam pergaulan hidup manusia. Individu bukan berarti menusia sebagai suatu keseluruhan yang tak dapat dibagi melainkan sebagai kesatuan yang terbatas, yaitu sebagai manusia perorangan, (Soelaeman, 2001:113).

Manusia sebagai makhluk individu, tidak hanya dalam arti makhluk keseluruhan jiwa raga, melainkan juga dalam arti bahwa tiap-tiap orang itu merupakan pribadi (individu) yang khas menurut corak kepribadiannya, termasuk kecakapan-kecakapan serta kelemahan-kelemahannya. Individu adalah seorang manusia yang tidak hanya memiliki peranan yang khas di dalam lingkungan sosialnya, melainkan juga memiliki kepribadian serta pola tingkah laku spesifik dirinya. Persepsi terhadap individu atau hasil pengamatan manusia dengan segala maknanya merupakan suatu ke-utuhan ciptaan Tuhan yang mempunyai tiga aspek melekat pada dirinya, yaitu aspek organik jasmaniah, aspek psikis rohaniah, dan aspek sosial kebersamaan. Ketiga aspek tersebut saling mempengaruhi, keguncangan pada satu aspek akan membawa akibat pada aspek yang lainnya (Soelaeman, 2001:114).


(43)

Untuk menjadi suatu individu yang "mandiri" harus melalui proses yang panjang. Tahap pertama, melalui proses pemantapan pergaulan yang dilakukan di lingkungan keluarga. Dalam lingkungan keluarga ini secara bertahap karakter yang khas akan terbentuk dan mengendap lewat sentuhan-sentuhan interaksi: etika, estetika, dan moral agama. Sejak manusia dilahirkan, ia membutuhkan proses pergaulan dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan batiniah dan lahiriah yang membentuk dirinya. Menurut Sigmund Freud, super ego pribadi manusia sudah mulai terbentuk pada saat manusia berumur 56 tahun (Gerungan, 1980:29).

Makna manusia menjadi individu apabila pola tingkah lakunya hampir identik dengan tingkah laku masa yang bersangkutan. Proses yang meningkatkan ciri-ciri individualitas pada seseorang sampai menjadi dirinya sendiri disebut proses individualisasi atau aktualisasi diri. Individu dibebani berbagai peranan yang berasal dari kondisi kebersamaan hidup, maka muncul struktur masyarakat yang akan menentukan kemantapan masyarakat. Individu dalam bertingkah laku menurut pribadinya ada tiga kemungkinan: menyimpang dari norma kolektif, kehilangan individualitasnya atau takhluk terhadap kolektif, dan mempengaruhi masyarakat seperti adanya tokoh pahlawan atau pengacau. Mencari titik optimum antara dua pola tingkah laku (sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat) dalam situasi yang senantiasa berubah, memberi konotasi "matang" atau "dewasa" dalam konteks sosial. Sebutan "baik" atau "tidak baik" pengaruh individu terhadap masyarakat adalah relatif (Soelaeman, 2001:114). Bertolak dari proses penjabaran individualisasi manusia dalam masyarakat tersebut menunjukkan bahwa manusia memiliki perilaku yang didorong oleh aspek individu dan aspek sosial.

Manusia sebagai individu memiliki unsur jasmani dan rohani; unsur fisik dan psikis; unsur jiwa dan raga. Seseorang dikatakan sebagai individu bila unsur-unsur tersebut menyatu dalam dirinya. Unsur-unsur yang terdapat


(44)

dalam diri manusia tersebut tidak dapat terbagi apalagi terpisahkan. Jika unsur-unsur tersebut tidak dapat menyatu maka seseorang tidak dapat disebut sebagai individu. Oleh sebab itu, orang yang sudah mati disebut "jasad" atau "mayat" karena yang tinggal hanya raga, jiwanya sudah tidak ada. Raga tidak dapat hidup sebagaimana manusia utuh selaku individu apabila tanpa jiwa. Dengan kata lain, yang disebut manusia sebagai makhluk individu mencerminkan adanya satuan terkecil yang tidak dapat terbagi lagi tetapi memiliki unsur-unsur jasmani dan rohani atau fisik dan psikis, atau jiwa dan raga yang utuh menyatu.

Meskipun semua manusia sebagai individu memiliki unsur jiwa dan raga yang menyatu, tetapi antara satu orang dengan orang yang lainnya memiliki perbedaan dan kekhasannya baik secara fisik dan psikis. Secara fisik misalnya, ada yang berambut ikal tetapi juga ada yang berambut lurus, ada yang gemuk atau kurus, tinggi atau pendek, dan seterusnya. Secara psikis juga ada perbedaan, misalnya ada yang pemalu, pemarah, penyabar, periang, dan lain-lain. Dengan kata lain, individu dapat dikenali dengan mudah melalui aspek fisik maupun psikisnya.

Manusia selaku makhluk individu di samping memiliki keinginan -keinginan atau motif-motif juga memiliki kebutuhan-kebutuhan secara pribadi. Motif-motif yang melatarbelakangi manusia selaku individu berbuat sesuatu memiliki ciri-ciri sebagai berikut: bisa bersifat majemuk, berubah-ubah, dan berbeda-beda, atau bahkan bisa jadi tidak disadari oleh individu. Adapun manusia selaku individu juga membutuhkan berbagai kebutuhan, antara lain: kebutuhan fisiologis (pakaian, pangan, tempat, seks, dan kesejahteraan individu), yang kemudian disebut sebagai kebutuhan primer; kebutuhan rasa aman; kebutuhan akan rasa afeksi (yaitu kebutuhan untuk menjalin hubungan atau keakraban dengan orang lain); kebutuhan akan harga diri (esteem needs); kebutuhan untuk mengetahui dan memahami (need to know and understand); kebutuhan rasa estetika (aesthetic needs); kebutuhan untuk aktualisasi diri (self actualization); kebutuhan transendence,


(45)

yaitu kebutuhan untuk mengetahui dan menyelami dunia di luar dirinya seperti spiritualitas dan rasa religiusitas (berkeyakinan akan keberadaan Tuhan).

Dengan adanya kebutuhan pribadi itulah manusia selaku individu mempunyai hubungan dengan dirinya sendiri, yaitu ada dorongan untuk mengabdi kepada dirinya sendiri. Tindakan-tindakannya diarahkan untuk memenuhi kepentingan pribadinya meskipun dalam kapasitasnya bisa jadi menjadi bentuk perbuatan yang bernilai pengabdian kepada masyarakatriya. Untuk itulah perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh motivasinya dalam melakukan aktivitasnya. Motivasi atau dorongan perilaku tersebut memiliki kekuatan yang berbeda-beda. Berbagai bentuk motivasi individu tersebut berupa: kebutuhan untuk berbuat lebih baik dari orang lain (achievement); kebutuhan untuk memuji, menyesuaikan diri, dan mengikuti pendapat orang lain (defence); kebutuhan untuk membuat rencana secara teratur (order); kebutuhan untuk menarik perhatian orang lain dan berusaha menjadi pusat perhatian (exhibition); kebutuhan untuk mandiri, tidak mau tergantung orang lain dan tidak mau diperintah orang lain (autonomy); kebutuhan untuk menjalin persahabatan dengan orang lain, kesetiaan, berpartisipasi (affiliation); kebutuhan untuk memahami perasaan dan mengetahui tingkah laku orang lain (intraception); kebutuhan untuk mendapatkan simpati, bantuan, dan kasih sayang orang lain (succorance); kebutuhan untuk bertahan pada pendapatnya, menguasai, memimpin, menasehati orang lain

(dominance); kebutuhan akan rasa berdosa, salah, perlu diberi hukuman (abasement); kebutuhan untuk membantu, menolong, dan simpati kepada orang lain (nurturance); kebutuhan untuk melakukan perubahan-perubahan, tidak menyukai rutinitas (channge); kebutuhan untuk bertahan pada suatu pekerjaan; tidak suka diganggu (endurance); kebutuhan untuk aktivitas sosial individu dalam mendekati lawan jenis, mencintai lawan jenis (heterosexuality); kebutuhan untuk mengkritik, membantah, menyalahkan, senang terhadap


(46)

Semua perilaku individu yang didorong oleh keinginan memenuhi kebutuhan primer dan motivasi yang melekat pada pribadinya dapat menjadi tolak ukur kepribadian seseorang dalam aktivitas sosialnya. Sinyalemen ini menjadi indikasi atau pertanda seberapa besar makna individu tersebut berperan dalam kehidupan, sehingga eksistensinya sebagai manusia individu dapat diakui memiliki makna, baik secara pribadi maupun terhadap lingkungannya. Manusia sebagai individu akan memiliki arti bagi kehidupannya apabila peran dirinya bermakna bagi orang lain, keluarga, maupun masyarakat secara luas. Salah satu tanggung jawab manusia selaku pribadi yaitu membawa dirinya ke jalan yang lurus, sehingga terpelihara iman dan Islamnya, serta selalu ingat kepada Allah dan bersyukurlah karena nikmat Allah. Sebagaimana yang difirmankan Allah dalam alQur'an, Surat al-Fatihah, ayat 5 dan 6; al-Baqarah, ayat 21, 152, dan 153, dan seterunya.

B. Manusia sebagai Makhluk Sosial

Pada hakekatnya, manusia merupakan makhluk sosial di samping sifat-sifat lainnya yang secara pribadi dimiliki. Secara alami keberadaan manusia membutuhkan hubungan dengan orang lain, manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan lingkungan sosial di sekitarnya. Untuk itu, perlu dilihat makna sosial itu sendiri baik secara kebahasaan maupun dari aktivitas simbolis yang dilakukannya. Secara etimologi, istilah "sosial" berasal dari bahasa Latin socius yang artinya teman, perikatan. Jadi, secara etimologi manusia sebagai makhluk sosial adalah makhluk yang berteman, memiliki perikatan antara satu orang dengan orang yang lain. Istilah sosial ini menekankan adanya relasi atau interaksi antar manusia, baik itu relasi seorang individu dengan seorang individu yang lain, individu dengan kelompok, atau. kelompok dengan kelompok.

Interaksi sosial ini dapat terjadi di lingkungan keluarga maupun di masyarakat secara luas. Keluarga merupakan kelompok primer yang paling penting di masyarakat. Keluarga merupakan sebuah group yang terbentuk atas


(1)

serta perlengkapan fisik lainnya. Dan kebutuhan nonmateril adalah rasa aman, kasih sayang, pengakuan atas eksistensinya, pendidikan dan sistem nilai dalam masyarakat.

Manusia merupakan komponen biotik lingkungan yang memiliki daya fikir dan daya nalar tertinggi dibandingkan makluk lainnya. Di sini jelas terlihat bahwa manusia merupakan komponen biotik lingkungan yang aktif. Hal ini disebabkan manusia dpaat secara aktif mengelola dan mengubah ekosistem sesuai dengan apa yang dikehendaki. Kegiatan manusia ini dapat menimbulkan bermacam-macam gejala.

b. Dampak Perkembangan dan Penerapan Iptek, serta Perubahan Sosial Ekonomi terhadap Masalah Lingkungan Hidup

Manusia menciptakan teknologi dengan maksud agar hidupnya lebih mudah, praktis, efisien dan tidak banyak mengalami kesulitan. Namun tidak jarang, iptek justru menimbulkan masalah serius bagi kehidupan umat manusia. Jadi, jelas bahwa perkembangan dan penerapan iptek tidak selalu membawa dampak positif, namun juga dampak negatif.

Manusia bertindak sosial dengan cara memanfaatkan alam dan lingkungan untuk menyempurnakan serta meningkatkan kesejahteraan hidupnya, demi kelangsungan hidup sejenisnya.

Pada saat manusia belum mengenal cara bercocok tanam, manusia hidup dengan cara mengembara dalam kelompok-kelompok kecil dan tinggal di goa, manusia pada jaman ini hidup dari hasil perburuan, mencari buah-buahan serta umbi-umbian yang terdapat di dalam hutan. Bila binatang buruan mulai berkurang mereka berpindah ketempat yang masih banyak


(2)

terdapat binatang buruan yang dapat di jadikan bahan makanan mereka.

Dengan makin pesatnya perkembangan populasi mereka maka cara hidup seperti ini tidaklah cocok lagi untuk di gunakan. Mereka mulai beralih dengan pola hidup bercocok tanam yang masih sangat sederhana, yaitu dengan cara membuka hutan untuk di buat ladang dan di tanami dengan umbi-umbian atau tanaman lain yang sudah mereka kenal sebagai bahan makanan. Pada pola inipun mereka sudah mulai membuat rumah-rumah sederhana yang terbuat dari kayu yang beratapkan daun-daunan.

Apabila kesuburan ladang tanah mereka telah berkurang, mereka berpindah ke tempat baru yang lebih subur dan mereka kembali membuat tempat tinggal dan ladang di tempat baru itu. Dan dalam mencari tempat tinggal mereka selalu memerhatikan sumber air, seperti di tepi sungai atau danau. Dan selain bercocok tanam mereka juga sudah mulai memelihara binatang-binatang. Dengan pola seperti ini mereka sudah mulai menemukan pola hidup yang lebih baik, sehingga mereka siudah mulai hidup menetap dari hasil pengalamannya.

Tampaklah di sini manusia sedikit demi sedikit sudah mulai membiasakan diri pada alam lingkungan hidupnya. Perubahan alam lingkungan hidup manusia memiliki dua dampak yaitu dampak negatif dan dampak positif bagi manusia dan lingkungan. Berpengaruh bagi manusia karena manusia mendapatkan keuntungan dari perubahan tersebut,dan berpengaruh tidak baik karena dapat mengurangi kemampuan alam lingkungan hidupnya untuk menyokong kehidupannya. Manusia bertindak sosial dengan cara memanfaatkan alam dan


(3)

lingkungan untuk menyempurnakan serta meningkatkan kesejahteraan hidupnya demi kelangsungan hidup sejenisnya.

Manusia mempunyai pengaruh penting dalam kelangsungan ekosistem habitat manusia itu sendiri, tindakan-tindakan yang diambil atau kebijakan-kebijakan tentang hubungan dengan lingkungan akan berpengaruh bagi lingkungan dan manusia itu sendiri. Pelestarian lingkungan perlu dilakukan karena kemampuan daya dukung lingkungan hidup sangat terbatas baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Pengelolaan lingkungan hidup dilakukan secara sukarela baik oleh individu maupun kelompok masyarakat yang peduli.

Perhatian dan pengaruh manusia terhadap ligkungan makin meningkat pada zaman teknologi maju. Masa ini manusia mengubah lingkungan hidup alami menjadi lingkungan hidup binaan. Eksplotasi sumber daya alam makin meningkat untuk memenuhi bahan dasar industri. Sebaliknya hasil industri berupa asap dan limbah mulai menurunkan kualitas lingkungan hidup.

Lingkungan yang tercemar akibat kegiatan manusia maupun proses alam akan berdampak negative pada kesehatan, kenikmatan hidup, kemudahan, efisiensi, keindahan, serta keseimbangan ekosistem dan sumber daya alam. Oleh karena itu perlindungan lingkungan merupakan suatu keharusan apabila meninginkan lingkungan yang lestari sehingga kegiatan ekonomi dan kegiatan lain dapat berkesinambungan. Apabila demikian halnya maka pengelolaan lingkungan hidup merupakan suatu keharusan. Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan, dan pengembangan lingkungan hidup.


(4)

Aspek kuantitas penduduk yang mencangkup jumlah penduduk, pertumbuhan, persebaran, perataan, dan perimbangan penduduk di tiap wilayah Negara. Lingkungan alam seperti tanah, dirombak untuk menampung berbagai fasilitas kebutuhan manusia. Misalnya, perumahan dan fasilitas lain seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, hiburan, pasar, jalan, saluran, dan lain-lain.

Air tidak hanya di manfaatkan untuk kebutuhan makan dan minum, tetapi juga sebagai sarana rekreasi seperti taman, kolam, dan air mancur air jaga untuk pembangkit listrik. Tidak jarang, perombakan lingkungan berakibatkan pada kerusakan lingkungan itu sendiri. Lingkungan telah kehilangan daya dukung lingkungan sebagai akibat tindakan manusia yang berlebihan.

Contohnya, pembangunan perumahan dan vila-vila di lereng pegunungan telah mengakibatkan banjir besar pada daerah di bawahnya. Jadi, jumlah penduduk semakin besar menyebabkan pemukiman yang terus berkembang dan akhirnya berpengaru besar pula terhadap lingkungan Perubahan lingkungan sebagai akibat tindakan manusia tidak jarang memberikan dampak negative, yaitu kerusakan lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan hidup merupakan problema besar yang di alami umat manusia sekarang ini. Bahkan, isu tentang HAM, demokrasi, dan lingkungan.

Kesimpulan

Manusia sangat berhubungan erat dengan lingkungan, manusia sangat membutuhkan lingkungan untuk kelangsungan hidup, sebaliknya lingkungan juga membutuhkan manusia untuk melestarikan lingkungan.


(5)

Manusia mempunyai pengaruh penting dalam kelangsungan ekosistem serta habitat manusia itu sendiri, tindakan-tindakan yang diambil atau kebijakan-kebijakan tentang hubungan dengan lingkungan akan berpengaruh bagi lingkungan dan manusia itu sendiri. Manusia perlu mengambil kebijakan-kebijakan terhadap lingkungan sebagai usaha untuk memperoleh efisiensi pemanfaatan sumber alam dan lingkungan. Kita sebagai manusia wajib menyadari bahwa kita saling terkait dengan lingkungan yang mengitari kita.


(6)

Sumber Rujukan

Basya, Pahmi. 2012. “Pengertian Manusia dan Lingkungan”. http://13pbr. blogspot.com

Ghifari, Al Uzanks. 2011. “Manusia dan Lingkungan”. http://jalannyauzanks. blogspot. Com. html.

Setyawan, 2011. “Mnusia dan Lingkungan”. http://setyawanws.wordpress.com/ Virgyansyah. 2010. “Hubungan Manusia Dengan Lingkungan”.