Budaya Faktor – faktor yang Memengaruhi Jumlah Anak

pemikiran masyarakat Aceh, bahwa nasib keturunan anak-anaknya akan dijamin Tuhan dan bersikap pasif terhadap takdir.

2.2.3 Budaya

Menurut Noorkasiani, dkk, 2009, budaya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “Budayyah” yang artinya budi atau akal. Hal ini diartikan bahwa budaya merupakan suatu perpaduan budi dan akal yang akan membentuk cipta, rasa dan karsa. Menurut Luddin 2010, budaya dapat dipahami sebagai cara hidup seseorang atau sekelompok orang. Luddin 2010 yang mengutip pendapat Tylor, menyatakan bahwa budaya adalah keseluruhan yang kompleks yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, moral, kesenian, hukum adat istiadat dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat. Budaya menyatukan manusia dalam hubungan dan interaksi antara sesama, berdasarkan keyakinan dan nilai – nilai serta peraturan yang ada. Hasdy 1995 mengatakan bahwa manusia menciptakan budaya tidak hanya sebagai suatu mekanisme adoptif terhadap lingkungan biologis dan geofisik mereka, tetapi juga sebagai alat untuk memberi andil kepada evolusi sosial mereka. Manusia lahir turun temurun, membawa zat – zat pembawa sifat dan sifat – sifat budaya generasi sebelumnya. Zat – zat pembawa sifat dan ciri – ciri budaya tersebut saling mempengaruhi dalam suatu kelompok sosial. Anak merupakan generasi penerus dalam sebuah keluarga, yang harus dibina agar dapat diharapkran menjadi pewaris Universitas Sumatera Utara yang berpotensi, menjadi keturunan yang lebih ulet, dan berguna bagi keluarga, masyarakat dan bangsanya. Menurut Siregar 2003, anak memiliki nilai universal namun nilai anak tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor sosio kultural dan lain-lain. Setiap keluarga umumnya mendambakan anak, karena anak adalah harapan atau cita-cita dari sebuah perkawinan. Berapa jumlah yang diinginkan, tergantung dari keluarga itu sendiri. Apakah satu, dua, tiga dan seterusnya. Dengan demikian keputusan untuk memiliki sejumlah anak adalah sebuah pilihan dimana pilihan tersebut sangat dipengaruhi oleh nilai yang dianggap sebagai satu harapan atas setiap keinginan yang dipilih oleh orang tua. Hal ini sejalan menurut Ihromi 1999, nilai anak dapat dipandang berdasarkan budaya yang berlaku, hal ini dapat dicontohkan pada masyarakat Bali, dimana nilai anak pada masyarakat bali tidak dapat dipahami secara baik tanpa mengenal dulu sistem kemasyarakatannya, khususnya sistem kekerabatannya yang bercorak patrilineal, yang dijiwai oleh nilai – nilai dalam agama Hindu. Selanjutnya di Bali, pasangan suami istri yang tidak memproleh anak atau keturunan dipandang tidak beruntung. Hal tersebut tercermin dengan adanya julukan Nang Pocol atau Men Pocol atau Nang Bekung dan Men Bekung dalam bahasa Bali, pocol artinya rugi dan bekung artinya mandul, Nang berarti laki – laki dan Men berarti perempuan, oleh karena itu lahirnya anak dalam suatu perkawinan sangat diharapkan. Ihromi 1999 yang mengutip pendapat Esphenshade 1977, mengartikan nilai anak adalah fungsi – fungsi yang dilakukan atau dipenuhinya kebutuhan orang tua oleh anak. Universitas Sumatera Utara Lain halnya dengan masyarakat Aceh, menurut Hasdy 1995, pandangan masyarakat aceh mengenai anak dipengaruhi dengan ajaran agama yang mereka anut. Hal ini dapat dipahami karena pada masyarakat Aceh terdapat ungkapan yang berbunyi adat ngon hokum lagee zat ngon sifeut adat dengan hukum seperti zat dengan sifatnya, yaitu dua unsur yang tidak dapat dipisahkan. Ungkapan ini mempunyai makna bahwa keputusan-keputusan adat selalu diinterpretasikan kedalam hukum agama agama Islam. Mereka percaya bahwa setiap anak dari dalam rahim telah cukup rezeki yang dititipkan oleh ALLAH, dan memiliki garis hidup masing- masing. Hartoyo, dkk 2011 mengutip pendapat Hoffman, dkk 1978 mendefinisikan nilai anak sebagai kepuasan psikologis orang tua atas jasa yang diberikan anak child service. Kepuasan psikologis tersebut merupakan keuntungan orang tua karena memiliki anak. Terdapat sembilan dimensi nilai anak, yaitu 1 cinta dan kasih sayang primary group ties and affection, 2 stimulasi dan kebahagiaan stimulation and fun, 3 ekspansi diri expansion of the self, 4 status dewasa dan identitas sosial adult status and social identity, 5 penghargaan, kompetensi dan kreativitas achievement, competence and creativity, 6 manfaat ekonomi dan jaminan di masa tua economic utility and security in old age, 7 moralitas morality, 8 kekuatan dan pengaruh power and influence, dan 9 perbandingan sosial social comparison. Operasionalisasi konsep tentang anak didasarkan pada rumusan yang diajukan oleh Arnold dan Fawcett dalam Lucas 1990. Menurut kedua ahli ini, Universitas Sumatera Utara dengan memiliki anak, orang tua akan memperoleh hal-hal yang menguntungkan atau hal-hal yang merugikan. Salah satunya adalah anak dapat memberikan kerukunan dan sebagai penerus keluarga. Anak membantu memperkuat ikatan perkawinan antara suami istri dan mengisi kebutuhan suatu perkawinan. Mereka meneruskan garis keluarga, nama keluarga, dan tradisi keluarga. Alasan orang tua memiliki anak adalah menghindar dari tekanan sosial budaya, seperti keluarga yang menuntut segera memiliki anak, agama dan kelompok etnis yang mendorong memiliki anak dalam jumlah banyak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil keluarga yang tidak menjadikan faktor sosial budaya sebagai tekanan untuk memperoleh anak. Di beberapa negara, termasuk Indonesia, umumnya anak laki-laki mempunyai arti khusus sehingga anak lelaki paling banyak dipilih. Orang tua dari golongan menengah lebih memilih anak perempuan yang dapat menjadi kawan bagi ibu. Perbedaan tanggapan yang relatif kecil antara suami dan istri ada hubungannya dengan peranan mereka dan pembagian tugas dalam keluarga. Misalnya, wanita yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengasuh anak, mempunyai lingkungan kehidupan sosial yang lebih sempit, menitikberatkan anak sebagai teman dan kebutuhan emosional serta fisik dari pengasuhan anak. Di lain pihak, para suami lebih mementingkan kebutuhan akan keturunan untuk melanjutkan garis keluarga dan lebih prihatin terhadap biaya anak Oppong, 1983. Menurut Soesastro 2005, penurunan tingkat fertilitas di Indonesia harus disertai dengan perubahan mengenai nilai – nilai mengenai anak, fungsi sosial dari Universitas Sumatera Utara anak dan lain – lain. Pasangan suami istri harus menentukan pilihan dalam hal jumlah anak. Menurut Becker 1960, banyaknya anak dilahirkan oleh masyarakat miskin diharapkan dapat membantu orang tua pada usia pensiun atau tidak produktif lagi sehingga anak diharapkan dapat membantu mereka dalam ekonomi, keamanan, dan jaminan sosial asuransi, karena pada masyarakat miskin umumnya orang tua tidak memiliki jaminan hari tua. Sementara pada masyarakat maju kaya, nilai anak lebih ke arah barang konsumsi yaitu dalam bentuk kualitas. Dengan arti kata, anak sebagai human capital sehingga anak yang dilahirkan relatif sedikit namun investasi atau biaya yang dikeluarkan lebih besar baik biaya langsung maupun opportunity cost terutama untuk peningkatan kesehatan, pendidikan, gizi, keterampilan dan sebagainya sehingga anak diharapkan dapat bersaing di pasar kerja bukan difungsikan sebagai keamanan apalagi sebagai jaminan sosial bagi orang tua.

2.3 Landasan Teori

Landasan teori dalam penelitian menggunakan teori yang dikemukakan oleh Davis dan Blake 1956, Easterlin 1975, serta Muchtar dan Purnomo 2009. Menurut Davis dan Blake 1974, faktor-faktor sosial, ekonomi dan budaya dapat berpengaruh terhadap fertilitas. Menurut Easterlin 1975, permintaan akan anak sebagian ditentukan oleh karakteristik individu seperti agama, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal, pendapatan dan sebagainya. Setiap keluarga mempunyai norma-norma dan sikap fertilitas yang dilatarbelakangi oleh karakteristik diatas. Universitas Sumatera Utara