5.1 Pengaruh Faktor Sosio Ekonomi terhadap Jumlah Anak
Menurut Easterlin 1967, permintaan akan anak sebagian ditentukan oleh karakteristik latar belakang individu seperti agama, pendidikan, pekerjaan, tempat
tinggal, pendapatan dan sebagainya. Setiap keluarga mempunyai norma-norma dan sikap fertilitas yang dilatarbelakangi oleh karakteristik diatas. Selain itu menurut
Easterlin bahwa fertilitas alami sebagian tergantung pada faktor-faktor fisiologis atau biologis, dan sebagian lainnya tergantung pada praktek-praktek budaya.
Siregar 2003 menyatakan bahwa latar belakang sosial yang berbeda tingkat pendidikan, kesehatan, adat istiadat atau kebudayaan suatu kelompok sosial serta
penghasilan atau mata pencaharian yang berlainan, menyebabkan pandangan yang berbeda mengenai anak.
Berdasarkan analisis bivariat, faktor sosio ekonomi yang memiliki pengaruh terhadap jumlah anak adalah pendidikan istri, pekerjaan istri, dan pendapatan.
Namun berdasarkan hasil analisis multivariat diketahui faktor sosio ekonomi yang paling berpengaruh terhadap jumlah anak adalah pendapatan. Hasil menunjukkan
bahwa keluarga yang memiliki pendapatan rendah kemungkinan memiliki jumlah anak banyak 2,396 kali lebih besar dibanding keluarga dengan yang pendapatan
tinggi. Dapat dijelaskan mengapa variabel lain seperti pendidikan istri, pendidikan
suami, pekerjaan istri dan pekerjaan suami tidak memiliki pengaruh terhadap jumlah anak. Pada hasil penelitian diketahui bahwa pada variabel pendidikan, baik itu
Universitas Sumatera Utara
pendidikan istri dan suami lebih banyak pada kategori rendah dan lebih banyak yang memiliki anak banyak
≥ 2. Menurut Muchtar dan Purnomo 2009, faktor pendidikan sangat erat
kaitannya dengan sikap dan pandangan hidup suatu masyarakat. Pendidikan jelas mempengaruhi usia kawin, dengan sekolah maka wanita akan menunda
perkawinannya, yang kemudian berdampak pada penundaan untuk memiliki anak. Sejalan dengan pendapat Soegiyanto 2005, yang mengutip pendapat
Holsinger dan Kasarda 1976, berpendapat bahwa wanita dengan tingkat pendidikan tinggi cenderung lebih terbuka terhadap media massa yang banyak memuat
penjelasan tentang keluarga berencana. Variabel pendidikan mempengaruhi langsung terhadap kepercayaan, nilai-nilai dan sikap individu terhadap jumlah keluarga kecil.
Bahkan pendidikan terbukti mampu membebaskan seseorang dari kungkungan adat kebiasaan, memperkuat aspirasi, berpandangan realistis tentang jumlah anak ideal,
kontrasepsi dan nilai-nilai modern lain yang mendorong pasangan suami dan isteri membatasi besarnya keluarga.
Namun pendapat di atas tidak sesuai dengan Factsheet BKKBN yang memuat Data Susenas 2006-2012, menunjukkan bahwa selama tujuh tahun terakhir, wanita
di Provinsi Aceh secara umum menikah pertama kali pada usia 19-24 tahun 49, tetapi proporsi wanita yang menikah diusia 16-18 tahun juga masih relatif tinggi
sekitar 30, dan sekitar 25 wanita berumur 16 tahun ke atas di Provinsi Aceh memiliki 5 orang anak atau lebih. Selanjutnya, berdasarkan laporan BBKBN 2014,
Universitas Sumatera Utara
angka kebutuhan masyarakat Aceh untuk ber-KB yang tidak terpenuhi unmet eed, masih terlalu tinggi yaitu 11, 27 persen belum sesuai target 2014 yang hanya 6,5.
Jika dilihat dari hasil penelitian diketahui bahwa pendidikan responden baik itu suami maupun istri lebih banyak pada kategori rendah 60,0 dan 53,0.
Menurut Sumini dkk 2009, pemakaian alat kontrasepsi akan meningkat seiring dengan semakin baiknya tingkat pendidikan dan juga status ekonomi. Sumini , dkkk
2009 mengutip USAID, 2007 menyatakan bahwa kondisi perekonomian rumah tangga yang kurang baik menyebabkan rendahnya daya beli masyarakat termasuk
kemampuan mereka untuk membeli alat kontrasepsi. Pada variabel pekerjaan dapat dijelaskan bahwa pada masyarakat Kecamatan
Samalanga, lebih banyak istri tidak bekerja, hanya suami yang bekerja sehingga walaupun pendapatan digabungkan antara pendapatan istri dan suami tetap saja
pendapatan responden pada kategori rendah. Hal inilah yang menyebabkan mengapa variabel pendapatan yang lebih berpengaruh terhadap jumlah anak.
Hal ini sejalan dengan Rosidah, dkk 2012 yang mengutip Todaro dan Smith 2006, bahwa tingkat pendapatan yang rendah akan mendorong keluarga miskin
untuk menambah anak, karena anak dianggap sebagai tenaga kerja yang murah dan dapat dijadikan sandaran hidup di hari tua.
Namun hasil ini tidak sejalan menurut Hartoyo, dkk 2011, yang menunjukkan bahwa keluarga dengan penghasilan tinggi yang memiliki anak banyak.
Hal ini disebabkan anak dianggap sebagai sumber daya berharga dan tahan lama. Keluarga dengan penghasilan tinggi akan mencurahkan lebih banyak sumber daya
Universitas Sumatera Utara
untuk meningkatkan kualitas anak, anak yang berkualitas diharapkan juga dapat sebagai investasi bagi orang tua, sehingga memiliki banyak anak bukan merupakan
suatu masalah. Menurut Becker 1960, banyaknya anak dilahirkan oleh masyarakat miskin
diharapkan dapat membantu orang tua pada usia pensiun atau tidak produktif lagi sehingga anak diharapkan dapat membantu mereka dalam ekonomi, keamanan, dan
jaminan sosial asuransi, karena pada masyarakat miskin umumnya orang tua tidak memiliki jaminan hari tua.
Namun hasil ini tidak sejalan menurut Hartoyo, dkk 2011, yang menunjukkan bahwa keluarga dengan penghasilan tinggi yang memiliki anak banyak.
Hal ini disebabkan anak dianggap sebagai sumber daya berharga dan tahan lama. Keluarga dengan penghasilan tinggi akan mencurahkan lebih banyak sumber daya
untuk meningkatkan kualitas anak, anak yang berkualitas diharapkan juga dapat sebagai investasi bagi orang tua, sehingga memiliki banyak anak bukan merupakan
suatu masalah. Menurut Jones dalam Lucas, dkk 1990, pendapatan mempunyai pengaruh
negatif terhadap jumlah anak. Apabila pendapatan perkapita sebuah keluarga dinilai belum mampu untuk menanggung seluruh biaya sandang, pangan, papan dan
pendidikan anak nantinya maka mempengaruhi jumlah anak dalam sebuah keluarga, perhitungan pendapatan keluarga yang tidak direncanakan terutama soal penyiapan
dananya bisa juga berakibat fatal terhadap masa depan anak. Oleh karena itu
Universitas Sumatera Utara
persiapan pasangan dari segi kemampuan pendapatan perkapita keluarga sangatlah penting terhadap jumlah anak pada pasangan usia subur.
5.2 Pengaruh Budaya terhadap Jumlah Anak