Penularan Infeksi HIV TINJAUAN PUSTAKA

12. Lekoensefalopati multifokal progresif PML 13. Penicilosis, kriptosporidiosis kronis, isosporiasis kronis, mikosis meluas histoplasmosis ekstra paru, cocidiodomikosis 14. Limfoma serebral atau B-cell, non-Hodgkin gangguan fungsi neurologis dan tidak sebab lain sering kali membaik dengan terapi ARV 15. Kanker serviks invasive 16. Leismaniasis atipik meluas 17. Gejala neuropati atau kardiomiopati terkait HIV Pada tiap tingkatan klinis dibagi lagi berdasarkan jumlah sel CD4 atau jumlah limfosit total. Kriteria klinis ini dibuat oleh WHO pada pertemuan di Jenewa bulan Juni 1989 dan bulan Februari 1990. Usulan tersebut berdasarkan penelitian terhadap 907 penderita seropositif HIV dari 26 pusat perawatan yang berasal dari 5 benua. Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu diagnosis staging adalah jumlah penurunan CD4, penurunan rasio CD4CD8 nilai norma 1,1 : 1,8, anemia, leukopenia, trombositopenia atau limfositopenia, hipergamaglobulinemia, penurunan respons limfosit terhadap mitogen dan antigen, alergi terhadap uji kulit tipe lambat dan peningkatan kompleks imun dalam darah Djuanda, 2001.

2.5. Penularan Infeksi HIV

Penyakit AIDS digolongkan ke dalam infeksi menular seksual IMS karena penyakit ini paling banyak ditularkan melalui hubungan seksual 95. Risiko penularan ini akan semakin meningkat jika terdapat infeksi menular seksual lain yang menyertai, terutama pada ulkus genital. Secara global ditemukan bahwa proses penularan melalui hubungan seksual berada pada urutan pertama yaitu 70-80. Kemudian disusul oleh penggunaan obat suntik bersamaan dengan jarumsuntik sebanyak 5-10. Infeksi perinatal juga memiliki infeksi tinggi yaitu 5-10. Penularan melalui transfusi darah sebanyak 3-5 sedangkan penularan pada petugas kesehatan seperti luka kecelakaan akibat jarum hanya terdapat 0,01. Sekitar sepertiga bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV terular virus Universitas Sumatera Utara HIV. Proses penularan paling banyak terjadi pada saat proses penglahiran Murtiastutik, 2008. HIV ditransmisikan dengan cara yang sangat terbatas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, telah dilakukan isolasi dari sejumlah cairan tubuh, termasuk darah, saliva, semen, urin, cairan serebrospinalis, dan keringat. Virus HIV seringkali menginfeksi sel limfosit T helper juga dikenal dengan nama T4+, CD4+, OKT4+. Walaupun begitu, temuan-temuan tersebut tidak begitu berarti bagi kesehatan masyarakat. Tidak ada bukti menyatakan bahwa kontak dengan saliva atau air mata penderita dapat menyebabkan seorang terinfeksi HIV Muma, 1997. Cairan tubuh yang paling banyak mengandung HIV adalah air mani semen, cairan vagina serviks dan darah sehingga penularan utama HIV adalah melalui 4 jalur yang melibatkan cairan tubuh tersebut. 1. Jalur hubungan seksual homoseksualheteroseksual 2. Jalur pemindahan darah atau produk darah seperti transfusi darah, alat suntik, alat tusuk tato, tindik, alat bedah, dokter gigi, alat cukur dan melalui luka kecil di kulit termasuk lesi mikro 3. Jalur transplantasi alat tubuh 4. Jalur transplasental, janin dalam kanduungan ibu hamil dengan infeksi perinatal Zein, 2006. Secara transplasental, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penularan virus HIV dengan meningkatkan resiko penularan virus HIV anatra lain rendahnya sel CD4, rendahnya antibodi terhadap virus HIV, adanya keluhan terhadap infeksi HIV, dan tingginya kadar virus HIV dalam tubuh ibu yang dapat redeteksi melalui antigen p24 dalam serum ibu atau dengan metode lain seperti mendeteksi asam nukleat HIV melalui PCR. Faktor lain yang meningkatkan risiko penularan HIV transplasental adalah rendahnya kadar vitamin A serum ibu di mana vitamin A mampu mengaktifkan sistem imun ibu dan menjaga fungsi pertahanan mukosa. Ada beberapa faktor lain juga seperti adanya peradangan plasenta terutama chorioamnionitis, ibu perokok, pengguna obat, dan penyakit Universitas Sumatera Utara menular seksual lainnya yang menyertai serta hubungan seksual tanpa pemakaian alat pengaman selama kehamilan Murtiastutik, 2008. HIV dapat ditransmisikan dari ibu yang terinfeksi ke fetus selama kehamilan dan proses kelahiran. Ini disebut sebagai transmisi vertikal atau perinatal. Penularan HIV pada neonatus selama proses kelahiran terjadi melalui infeksi membran fetus dan cairan amnion dari vagina atau serviks yang berada di bawahnya, melalui masuknya darah ibu penderita pada bayinya saat persalinan dan melalui kontak langsung kulit dan mukosa membran bayi dengan sekresi genital dan darah ibu yang menderita HIV saat persalinan sedang berlangsung GHAP, 2009. Dari segi obstetrik, terdapat beberapa faktor yang meningkatkan resiko penularan HIV pada bayi saat persalinan antara lain : a. Jenis persalinan Persalinan per vaginam memiliki risiko penularan lebih besar daripada persalinan melalui bedah sesar seksio sesaria. b. Lama persalinan Semakin lama persalinan berlangsung maka risiko penularan akan semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya paparan darah dan lendir ibu di jalan lahir. c. Pecahnya ketuban lebih dari 4 jam meningkatkan risiko penularan hingga dua kali lipat. d. Episiotomi, ekstraksi vakum dan foseps meningkatkan risiko penularan karena terdapat potensi perlukaan terhadap ibu atau bayi PPIA, 2012. Berdasarkan waktu terdeteksinya virus HIV, baik dengan cara PCR maupun kultur, dapat ditentukan melalui proses apa bayi tertular HIV. Pada bayi yang tertular HIV transplasental saat masih di dalam kandungan, virus akan terdeteksi pada 7-90 hari pertama kehidupannya. Kebanyakan bayi tertular pada akhir kehamilan atau pada saat persalinan yang ditunjukkan dengan terdeteksinya virus dalam darah bayi setelah beberapa hari sampai beberapa minggu pertama kehidupannya. Penularan HIV melalui ASI yang diberikan ibu penderita HIV Universitas Sumatera Utara ditunjukkan dengan terdeteksinya virus HIV setelah bayi berusia 3 bulan. Penularan HIV juga tergantung akan beberapa faktor, seperti fase infeksi, kadar virus dalam serum, adanya trauma, infeksi sekunder, efisiensi fungsi barier epithel,adanya sel dengan reseptor terhadap virus , sistem imunitas orang yang terpapar dan intensitas paparan virus. Salah satu pertanda daya infeksius dari seorang penderita HIV adalah fase infeksi. Pada kebanyakan infeksi virus, kadar virus tertinggi terjadi pada awal infeksi, sebelum terbentuk antibodi. Untuk HIV fase ini sulit ditemukan karena kebanyakan penderita asimptomatis pada fase ini dan respon anti-HIV tidak dapat diketahui Murtiastutik, 2008.

2.6. Diagnosis