Kerangka Teori 1 Perilaku Golongan Putih Golput
2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi untuk
menambah khasanah keilmuan dan mengembangkan konsep maupun teori yang berhubungan dengan partisipasi politik masyarakat.
3. Bagi pembaca, diharapkan penelitian ini dapat menambah informasi dan
pengetahuan tentang
prilaku pemilih
dan factor-faktor
yang mempengaruhinya.
4. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan kesimpulan tentang partisipasi
politik masyarakat multikultural agar dapat meminimalisir terjadinya golongan putih Golput
5. Bagi masyarakat hasil penelitian ini dapat menjadikan sebagai sarana
pendidikan politik dan menjadi sarana pembelajaran dalam memberikan pilihan pada pemilukada.
F. Kerangka Teori F.1 Perilaku Golongan Putih Golput
F.1.1 Pengertian Golongan Putih Golput
Golongan Putih Golput merupakan ketidakhadiran seseorang dalam pemilihan umum untuk ikut serta menentukan pilihannya dalam bilik suara yang
berkaitan dengan kepuasan dan ketidakpuasan pemilih. Menurut Arbi Sanit Golput dalam pemilihan umum merupakan muara bagi sikap kritis dan kekecewaan ataupun
ketidakpuasan warga masyarakat terhadap proses politik yang mereka alamai atau
Universitas Sumatera Utara
mereka rasakan. Walaupun begitu, bukan berarti bahwa setiap orang yang kecewa secara langsung bergabung dengan golput. Golput menjadi pilihan bagi mereka yang
mempunyai gambaran jelas tentang hambatan perkembangan demokrasi di dalam kehidupan politik. Mereka paham tentang fungsi pemilihan umum terhadap
penciptaan legitimasi sistem politik. Oleh karena itu mereka secara sadar menggunakan hak pilih tanpa mengikuti peraturan yang berlaku dengan maksud
membatalkan penyerahan suaranya kepada kontestan pemilihan umum dengan jalan menusuk lebih dari satu tanda gambar atau menusuk kartu di luar suara gambar
kontestan.
12
Dalam konteks lain golput adalah suatu sikap politikyang tidak menggunkan hak pilih pada saat hari H pemilihan umum karena faktor tidak adanya
motivasi.
13
Menurut pandangan Mc Closky, golput merupakan suatu sikap acuh tidak acuh dan tidak tertarik oleh, atau kurang paham mengenai masalah politik, ada juga
karena tidak yakin bahwa usaha untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah akan berhasil dan ada juga yang sengaja tidak memanfaatkan kesempatan memilih karena
kebetulan berada dalam lingkungan minoritas dimana ketidakikutsertaan merupakan hal terpuji. Ada sekelompok sarjana lainya yang mengemukakan bahwa mungkin saja
orang tidak ikut memilih dalam pemilihan umum karena berpendapat bahwa keadaan
12
Arbi Sanit Eds. Aneka Pandangan Fenomena Politik Golput. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1991. Hal.32
13
Muhammad Asfar,Op.Cit, Hal. 34
Universitas Sumatera Utara
yang ada tidak terlalu buruk dan dia percaya bahwa siapapun yang akan dipilih tidak akan merubah keadaan itu, sehingga dia tidak merasa perlu untuk memanfaatkan hak
pilihnya. Golput adalah gerakan protes politik yang berakar kepeda segenap bangsa, akan tetapi semuanya dapat dipulangkan kepada demokrasi. Sasaran protes mereka
adalah pemilu, akan tetapi tujuannya ialah mewujudkan demokrasi disegenap kehidupan masyarakat dan kenegaraan sebagai cita-cita kemerdekaan.
F.1.2. Bentuk-Bentuk Perilaku Golongan Putih Golput
Ada beberapa katagori disebut pemilih resmi yang ditentukan oleh pemerintah. Diantaranya ada dua katagori yang relevan, yaitu katagori suara tak sah
dan katagori yang tidak menggunakan hak pilihnya. Dalam banyak media massa dua katagori ini dijadikan satu, dan golput dinyatakan termasuk di dalamnya
14
. Sehingga dapat saya simpulkan bahwa ada dua jenis golongan putih golput, yaitu: Pertama
golput yang tidak disengaja, yang terdiri dari suara tidak sah. Kedua, golput yang sengaja, yang terdiri dari pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya. Di balik
golput setidaknya terdapat dua kecendrungan, yaitu: a. Bentuk Penolakan Politik
Pemilihan umum sebagai proses dalam mencari pemimpin baru yang berkualitas dan sesuai dengan pilihan rakyat menjadi terdelegitimasikan oleh aksi
mogok dan aksi apatis masyarakat untuk tidak memilih. Itu artinya, siapapun calon
14
Mariam Budiarjo. Loc.Cit.
Universitas Sumatera Utara
pemimpin pilihan rakyat belum menunjukan keinginan mayoritas warga. Pada umumnya perilaku golput ini lebih sering disebut dengan Golput pasif, tidak datang
ke Tempat Pemunggutan Suara TPS karena dorongan pribadi dan untuk diri sendiri tanpa berusaha mempengaruhi orang lain.
b. Bentuk Pembangkangan Sipil Motif Golput katagori ini bukan sekedar apatisme, melainkan sebuah kritik.
Reproduksi wacana golput menjadi sarana kritik dan ruang koreksi bagi laju demokrasi bangsa. Hal ini karena perilaku memutuskan tidak memilih di dasarkan
pada penilaian-penilaian terhadap para elite politik.
15
F.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Golongan Putih Golput
Berikut ini akan dipaparkan beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang untuk tidak menggunakan hak pilihnya dilihat dari perspektif tingkah laku dan
perspektif struktur ataupun sistem yang diterapkan, antara lain: 1. Faktor Psikologis
15
http:hampala.multiply.comjournalitem1998, diakses pada tangga 14 Maret 2012 pukul 13.00WIB.
Universitas Sumatera Utara
Penjelasan tidak memilih dari faktor psikologis pada dasarnya dikelompokkan dalam dua katagori. Pertama, berkaitan dengan cirri-ciri kepribadian seseorang.
Dimana bahwa perilaku tidak memilih disebabkan oleh kepribadian yang tidak toleran, otoriter, tak acuh, perasaan tidak aman, perasaan khawatir, kurang
mempunyai tanggung jawab secara pribadi dan semacamnya. Orang yang mempunyai kepribadian yang tidak toleran atau tak acuh cendrung untuk tidak memilih serta
menarik diri dari pencaturan politik langsung, karena tidak berhubungan dengan kepentingannya. Dimana keputusan seseorang untuk ikut memilih atau tidak
ditentukan oleh kedekatan dengan partai atau kandidat yang ada. Ciri-ciri kepribadian ini umumnya diperoleh sejak lahir bahkan lebih bersifat keturunan dan muncul secara
konsisten dalam setiap perilaku. Kedua, berkaitan dengan orientasi kepribadian seseorang. Dimana bahwa perilaku tidak memilih disebabkan oleh orientasi
kepribadian pemilih, yang secara konseptual menunjukan karakteristik apatis, anomi, dan alienasi. Apatis sebenarnya merupakan jelmaan atau pengembangan lebih jauh
dari kepribadian otoriter, ditandai dengan tiadanya minat terhadap persoalan- persoalan politik. Hal ini bisa disebabkan oleh rendahnya sosialisasi politik atau
rendahnya proses transformasi budaya politik dari satu generasi ke generasi berikutnya serta adanya perasaan bahwa aktifitas politik tidak menyebabkan perasaan
tidak berguna. Mereka melihat bahwa aktivitas politik sebagai sesuatu yang sia-sia, karena mereka merasa tidak mungkin mempengaruhi peristiwa atau kebijakan politik.
Universitas Sumatera Utara
Bagi pemilih semacam ini, memilih atau tidak memilih tidak mempunyai pengaruh apa-apa, karena keputusan-keputusan politik seringkali berada di luar kontrol para
pemilih. Anomi menunjukan pada sikap tidak mampu, terutama pada keputusan yang dapat diantisipasi. Individu-individu mengakui kegiatan politik sebagai sesuatu yang
berguna. Ia merasa bahwa ia benar-benar tidak dapat mempengaruhi peristiwa- peristiwa dan kekuatan-kekuatan politik. Sedangkan alienasi merupakan perasaan
keterasingan secara aktif dan merupakan perasaan tidak percaya terhadap pemerintah. Seseorang merasa dirinya tidak terlibat dalam banyak urusan politik. Pemerintah
diangap tidak mempunyai pengaruh, terutama pengaruh baik terhadap kehidupan seseorang.
2. Faktor Latar Belakang Status Sosial-Ekonomi Menempatkan variabel status sosial-ekonomi sebagai variabel penjelasan
perilaku golput selalu mengandung makna ganda. Pada satu sisi variabel status sosial- ekonomi memang dapat diletakkan sebagi variabel independen untuk menjelaskan
perilaku golput atau perilaku tidak memilih tersebut. Namun pada satu sisi lain, variabel tersebut dapat juga dapat digunakan sebagai indikator untuk mengukur
karakteristik pemilih golput itu sendiri. Setidaknya ada tiga indikator yang bisa digunakan untuk mengukur variabel status sosial-ekonomi, yaitu tingkat pendidikan,
tingkat pendapatan dan tingkat pekerjaan. Lazimnya variabel status sosial-ekonomi digunakan untuk menjelaskan perilaku memilih. Namun, dengan menggunakan
Universitas Sumatera Utara
proporsi yang berlawanan, pada saat yang sama variabel tersebut sebenarnya juga dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku tidak memilih. Artinya, jika tinggi
tingkat pendidikan berhubungan dengan kehadiran memilih, itu berarti rendahnya tingkat pendidikan seseorang berhubungan dengan ketidakhadiran pemilih.
3. Faktor Kepercayaan Politik Faktor ini menjelaskan bagaimana masyarakat membuat pilihan politiknya
dalam hal ini tidak menggunakan hak pilihnya ditentukan dengan pertimbangan secara tidak langsung dari kinerja pemerintah selama ini. Semakin seseorang
mengetahui informasi politik, semakin banyak mereka mengetahui kekurangan- kekurangan atau praktek-praktek buruk yang dilakukan pemerintah. Dapat
disimpulkan bahwa, seseorang yang mempunyai tingkat efikasi informasi politik tinggi dan menganggap pemerintah tidak dapat dipercaya kepercayaan politik
randah, maka mereka akan menunjukan derajat yang tinggi dalam aktivitas tidak memilih. Sementara itu, mereka yang memiliki tingkat efikasinya tinggi dan merasa
percaya terhadap pemerintah, maka akan menunjukan derajat yang tingi dalam aktivitas hak-hak sipil. Namun jika variabel efikasi informasi politik rendah, maka
kedua hubungan ini tidak berlaku.
Universitas Sumatera Utara
4. Faktor Sistem Politik Konsep sistem disini tidak semata-mata dalam pengertian prosedur dan aturan
main, tetapi lebih mengarah pada kebijakan pemerintah dan kinerjanya dalam mengimplementasikan berbagai kebijakan tersebut. Salah satunya adalah sistem
politik yang sedang dikembangkan oleh rezim yang berkuasa dinilai tidak mampu membangun demokrasi yang sehat, baik ditingkat elite maupun massa.
Ketidakpercayaan pada sistem politik yang ada dapat mempengaruhi tingginya angka ketidakhadiran pemilih. Dimana alasan pemilih tidak hadir dalam pemilihan umum
karena merasa puas dengan keadaan yang ada. Ketidakhadiran pada saat pemilu merupakan petanda rendahnya kepercayaan pada sistem politik. Adapun faktor-faktor
yang mempengaruhi atau penyebab rendahnya kepercayaan politik ialah: Pertama, tidak berfungsinya lembaga perwakilan rakyat. Kedua, tidak berfungsinya lembaga
peradilan. Ketiga, praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh pemerintah. Keempat, praktik-praktik kebohongan dan inkonsistensi yang dilakukan
oleh pemerintah. Kelima, berbagai kebijakan politik pemerintahaan yang tidak kondusif.
5. Sistem Pemilihan Umum Sikap tidak memilih juga berkaitan dengan persepsi dan evaluasi terhadap
sistem dan penyelenggaraan pemilu. Dengan sistem pemilu yang tidak jelas dinilai tidak akan menjanjikan perubahan apapun. Pemilu hanyalah sebagai symbol bahwa
Universitas Sumatera Utara
kehidupan politik dujalankan melalui cara demokrasi, namun pemilu itu sendiri tidak dijalankan dengan semangat dan cara-cara demokratis. Fungsi pemilu lebih berperan
sebagai upaya untuk memproduksi kekuasaan dari pada implementasi kehidupan berdemokrasi. Artinya pemilu lebih dimaknai sebagai sarana untuk mempertahankan
status quo penguasa dibandingkan sebagai sarana untuk melakukan perubahan politik.
16
Selain faktor-faktor di atas, Lipset membagi faktor-faktor yang mempengaruhi kehadiran dan ketiakhadiran pemilih ke dalam empat katagori, yaitu:
1. Berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Kelompok yang mempunyai kepentingan secara langsung dengan kebijakan
pemerintah, seperti pegawai negeri, para pensiunan, petani dan semacamnya, menunjukan tingkat kehadiran yang lebih tinggi dibandingkan kelompok yang tidak
mempunyai kepentingan secara langsung dengan kebijakan pemerintah, seperti kaum buruh, buruh tani, buruh bangunan dan lain sebagainya.
2. Akses terhadap informasi. Seseorang yang mempunyai akses terhadap informasi yang lebih lengkap akan
cendrung tinggi tingkat kehadiranya. Akses informasi ini biasanya berkaitan dengan tingkat pendidikan, di samping keterlibatannya dalam organisasi-organisasi sosial
kemasyarakatan.
16
Muhammad Asfar. Op.Cit, hal 42
Universitas Sumatera Utara
3. Berkaitan dengan adanya tekanan untuk memilih atau tidak memilih dari kelompok tertentu.
Jika tekanan kelompok tertentu untuk tidak memilih begitu kuat dan calon pemilih terpengaruh, maka hal ini akan didikapi dengan tidak hadir dalam pemilihan
umum. 4. Berkaitan dengan adanya tekanan menyilang cross pressure
Ketika seseorang ditekan untuk memilih partai yang berbeda, mereka mungkin menyelesaikan konflik ini dengan menarik diri sama sekali dalam pemilihan
umum.
F. 2 Teori Partisipasi Politik F.2.1 Pengertian Partisipasi Politik