12 c.
Fungsi sensori Ujung-ujung saraf sensori untuk mendeteksi perubahan lingkungan sekitar,
seperti panas, dingin, tekanan, dan rabaan tersebar di lapisan dermis dan subkutan Langley dan Leroy, 1980.
d. Fungsi absorpsi
Senyawa larut lemak dapat diabsorpsi melalui kulit. Sedangkan senyawa larut air tidak mudah diabsorpsi. Absorpsi ini dapat melalui celah antarsel, kelenjar
sebum, atau akar rambut. Adanya fungsi absorpsi ini memberikan kesempatan untuk pengembangan rute transdermal Luciano dan Dorothy,
1978. e.
Fungsi ekskresi Pengeluaran keringat tidak hanya untuk mengatur suhu tubuh, namun juga
menjadi cara untuk mengekskresikan senyawa sisa metabolisme tubuh, seperti urea, asam urat, amonia, dan NaCl Luciano dan Dorothy, 1978.
f. Fungsi metabolisme
Kulit mempunyai peranan dalam membentuk prekursor vitamin D dengan bantuan sinar matahari Langley dan Leroy, 1980.
2.2 Prinsip Dasar Difusi Melalui Membran
Difusi didefinisikan sebagai suatu proses perpindahan massa molekul suatu zat yang dibawa oleh gerakan molekular secara acak dan berhubungan
dengan adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas, misalnya suatu membran polimer. Perjalanan suatu zat melalui suatu batas bisa
terjadi karena permeasi molekular sederhana atau gerakan melalui pori dan lubang
Universitas Sumatera Utara
13 saluran Martin dkk, 1993.
Obat akan mengalami difusi sesuai gradien konsentrasi dengan gerakan yang acak Swarbrick dan Boylan, 1995.
2.3 Hukum Fick Pertama
Sejumlah M benda yang mengalir melalui satu satuan penampang melintang, S, dari suatu pembatas dalam satu satuan waktu t dikenal sebagai aliran
dengan simbol, J Martin, dkk., 1993.
J =
dM S dt
.
1 Dimana: M = massa gram
S = luas permukaan batas cm
2
Sebaliknya aliran berbanding lurus dengan perbedaan konsentrasi dCdX: J = - D
dC dX
2 Dimana: D = koefisien difusi cm
2
detik C = konsentrasi gramcm
3
X = jarak cm pergerakan yang tegak lurus dengan permukaan sawar Persamaan 2 dikenal sebagai hukum Fick pertama. Persamaan ini
memberikan aliran laju difusi melalui satuan luas dalam aliran pada keadaan tunak. Dalam percobaan difusi, larutan dalam kompartemen reseptor yangdiambil,
diganti secara terus menerus dengan pelarut baru untuk menjaga agar selalu dalam keadaan sink.
Parameter penetrasi perkutan secara in vitro dihitung dari data penetrasi dengan menggunakan persamaan berikut:
D = τ
δ 6
2
3
Universitas Sumatera Utara
14 Js =
δ
s m
C DK
= Kp Cs 4 Dimana:
D = koefisien difusi cm
2
jam δ
= ketebalan membran cm τ
= lag time jam Kp
= koefisien permeabilitas melalui membran jam
-1
. cm
-2
Cs = konsentrasi zat aktif dalam salep mcg
Js = fluks mcgjam.cm
2
Km = koefisien partisi kulitpembawa cmjam
2
Martin, dkk., 1993.
2.4 Sistem Penyampaian Obat Melalui Kulit
Penyampaian obat secara transdermal menjadi alternatif yang lebih diinginkan untuk meningkatkan efisiensi pengobatan serta lebih aman daripada
penyampaian obat secaraoral. Pasiensering lupameminum obat atau menjadi bosan harus mengkonsumsi beberapa jenis obat dengan frekuensi yang beberapa
kali sehari. Selain itu, penyampaian obat oral sering menyebabkan gangguan lambung dan inaktivasi sebagian obat karena first pass metabolism di hati. Selain
itu, absorpsi keadaan tunak suatu obat melalui kulitselama beberapa jam ataupun hari menghasilkan level dalam darah yang lebih disukai daripada yang dihasilkan
dari obat oral Kumar, et al., 2010.
2.4.1 Keuntungan sistem penyampaian obat melalui kulit Sistem penyampaian obat melalui kulit memiliki beberapa keuntungan,
antara lain: a.
Durasi kerja yang panjang sehingga frekuensi pemberian obat berkurang b.
Kenyamanan pemberian obat
Universitas Sumatera Utara
15 c.
Meningkatkan bioavailabilitas d.
Menghasilkan level plasma yang lebih seragam e.
Mengurangi efek samping obat dan meningkatkan terapi karenamempertahankan level plasma sampai akhir interval terapi
f. Kemudahan penghentian pemakaian obat
g. Meningkatkan kepatuhan pasien Kumar, et al., 2010.
2.4.2 Kerugian sistem penyampaian obat melalui kulit
Sistem penyampaian obat melalui kulit memiliki beberapa kerugian, antara lain:
a. Kemungkinan terjadinya iritasi lokal
b. Kemungkinan terjadinya eritema, gatal, dan edema lokal yang disebabkan
obat ataupun bahan tambahan dalam formulasi sediaan Kumar, et al., 2010.
2.4.3 Rute penyampaian obat melalui kulit
Ada dua jalur utama obat berpenetrasi menembus stratum korneum, yaitu: jalur transepidermal dan jalur pori. Gambar 2.2 menunjukkan jalurpenetrasi
obatTrommer danNeubert, 2006.
Gambar 2.2 Jalur penetrasi obat melalui stratum korneum
Universitas Sumatera Utara
16 Obat dapat menembus kulit melalui dua cara yaitu:
a. Jalur transepidermal dibagi lagi menjadi jalur transselular dan jalur
interselular. Pada jalur transelular, obat melewati kulit dengan menembus secara langsung lapisan lipid stratum korneum dan sitoplasma dari keratinosit
yang mati. Jalur ini merupakan jalur terpendek, tetapi obat mengalami resistansi yang signifikan karena harus menembus struktur lipofilik dan
hidrofilik. Jalur yang lebih umum bagi obat untuk berpenetrasi melalui kulit adalah jalur interselularHadgraft, 2004.Jalur ini memegang peranan penting
dalam permeasi obat karena sebagian besar obat menembus stratum korneum melalui jalur ini, bagian interseluler atau celah antar sel stratum korneum
tersusun atas lipid bilayer Walters, et al., 2002. b.
Melalui pori, pada jalur iniobat berpenetrasi melalui ruang antar korneosit. Jalur melalui pori dapat dibagi menjadi jalur transfolikular dan
transglandular. Karena kelenjar dan folikel rambut hanya menempati sekitar 0,1 dari total luas kulit manusia, oleh karena itu kontribusi rute ini terhadap
penetrasi dianggap kecilMoser, et al., 2001. Tetapi, jalur transfolikular dapat menjadi jalur yang penting bagi penetrasi obat yang diberikan secara
topicalLademann, et al., 2003.
2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelepasan Obat Secara Transdermal 2.5.1 Faktor fisikokimia obat