Proses Delignifikasi terhadap Ampas Tebu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Proses Delignifikasi terhadap Ampas Tebu

Pada penelitian ini dilakukan proses delignifikasi, yaitu proses pemutusan senyawa lignin dari biomassa. Proses ini dilakukan sebagai pretreatment sebelum proses hidrolisis, agar kandungan lignin dalam biomassa pada proses hidrolisis menjadi berkurang dari bahan baku sehingga mendapatkan selulosa dengan kadar kemurnian yang tinggi. Delignifikasi ampas tebu ini menggunakan NaOH dalam sistem Kolin Klorida ChCl dan tanpa ChCl. Pemutusan senyawa lignin menggunakan NaOH dalam sistem cairan ionik ChCl bekerja ganda untuk memicu terjadinya degradasi gugus basa dari larutan pemasak ChCl dan NaOH yang menyerang alfa dan beta lignin, sehingga hasil degradasi tidak stabil memicu terjadinya kondensasi. Kondensasi menyebabkan putusnya ikatan lignin dari hemiselulosa dan selulosa. ChCl adalah cairan yang bersifat asam. Pada suasana asam, bobot molekul lignin cenderung bertambah. Peristiwa ini menyebabkan lignin mengendap, lalu larut dalam air proses pencucian. Sehingga lignin yang terbuang semakin banyak, berbanding terbalik dengan lignin sisa yang tertinggal di dalam ampas tebu hasil delignifikasi. Hal tersebut mengakibatkan kadar selulosa dan hemiselulosa semakin meningkat seiring bertambahnya waktu pemasakan. Sedangkan mekanisme pemutusan senyawa lignin menggunakan NaOH tanpa ChCl tidak berbeda dengan mekanisme menggunakan ChCl. Hanya saja NaOH bekerja sendiri untuk memutuskan senyawa lignin tanpa adanya bantuan ChCl Irna, 2013. Universitas Sumatera Utara 4.1.1 Perbandingan Kadar Lignin yang Tertinggal di dalam Ampas Tebu Hasil Proses Delignifikasi Tanpa ChCl dan Menggunakan ChCl Proses delignifikasi ampas tebu dilakukan menggunakan NaOH dalam sistem cairan ionik kolin klorida ChCl dengan berbagai variasi jumlah ChCl yaitu 10, 15, 20 dari berat ampas tebu dan hanya menggunakan NaOH tanpa ChCl. Gambar 4.1 adalah grafik yang menunjukkan perbandingan proses delignifikasi dengan jumlah ChCl 15 dan tanpa ChCl terhadap kadar lignin. Gambar 4.1 Perbandingan Kadar Lignin yang Tertinggal di dalam Ampas Tebu Hasil Proses Delignifikasi Tanpa ChCl dan Menggunakan ChCl 15 Dapat dilihat pada Gambar 4.1 bahwa kadar lignin menurun secara signifikan seiring peningkatan jumlah ChCl dan waktu delignifikasi, sedangkan kadar lignin tanpa ChCl hanya sedikit menurun. Penurunan lignin secara signifikan ini disebabkan adanya kerja ganda antara ChCl dan NaOH yang memutuskan ikatan lignin dari bahan baku untuk meningkatkan senyawa lignin yang terbuang. Sehingga kadar lignin yang tertinggal di dalam Ampas Tebu semakin sedikit. Namun, kadar selulosa yang tertinggal Universitas Sumatera Utara di dalam Ampas Tebu hasil delignifikasi menggunakan NaOH tanpa ChCl lebih besar, hal ini disebabkan tanpa adanya bantuan dari ChCl. Peneliti terdahulu melaporkan delignifikasi kayu menggunakan kolin asetat [Cho] [OAc] menghasilkan kadar lignin sebesar 5 Cheng et al., 2014. Namun, pada penelitian ini delignifikasi ampas tebu menggunakan NaOH tanpa ChCl menghasikan kadar lignin sebesar 18,99 dan delignifikasi menggunakan ChCl sebesar 3,62 . Hal ini terlihat jelas bahwa delignifikasi menggunakan NaOH dalam sistem cairan ionik ChCl menurunkan kadar lignin lebih besar dibandingkan tanpa ChCl.

4.1.2 Perbandingan

Proses Delignifikasi Tanpa ChCl dan Menggunakan ChCl Terhadap Kadar Selulosa Gambar 4.2 menunjukkan pengaruh perbandingan antara jumlah ChCl 15 dan tanpa ChCl terhadap kadar selulosa. Gambar 4.2 Perbandingan Kadar Selulosa Hasil Proses Delignifikasi Tanpa ChCl dan dengan Menggunakan ChCl 15 Pada proses delignifikasi ampas tebu ini, NaOH dan ChCl bekerja sama sebagai larutan pemasak untuk memutuskan ikatan lignin. ChCl membantu NaOH meningkatkan kadar selulosa yang dihasilkan. Dapat dilihat pada Gambar 4.2 bahwa kadar selulosa meningkat secara signifikan dengan menggunakan NaOH dalam sistem cairan ionik ChCl, sedangkan kadar selulosa yang diperoleh tanpa ChCl peningkatannya tidak besar, Universitas Sumatera Utara bahkan relatif konstan. Hal ini disebabkan ChCl bersifat asam mengakibatkan terjadinya degradasi senyawa penyusun lignin sehingga kadar selulosa yang diperoleh semakin meningkat. Sedangkan kadar selulosa yang diperoleh tanpa ChCl peningkatannya tidak besar disebabkan NaOH merupakan basa alkali yang memiliki kemampuan melarutkan senyawa organik dan anorganik tidak relatif tinggi. Penelitian terdahulu menyatakan bahwa delignifikasi jerami padi menggunakan Switchable Ionic Liquids dengan 1-etil-3-metilimidazolium asetat [C 2 mim] OAc menghasilkan kadar selulosa sebesar 32 jian Luo, 2013. Pada penelitian ini, kadar selulosa tertinggi yang dihasilkan menggunakan ChCl sebesar 39,8, sedangkan kadar selulosa tertinggi yang dihasilkan tanpa menggunakan ChCl sebesar 24,98. Sangat terlihat jelas bahwa delignifikasi menggunakan NaOH dalam sistem cairan ionik ChCl menghasilkan kadar selulosa yang lebih besar dibandingkan tanpa ChCl.

4.1.3 Perbandingan Proses

Delignifikasi Tanpa ChCl dan Menggunakan ChCl Terhadap Kadar Hemiselulosa Gambar 4.3 menunjukkan pengaruh perbandingan antara jumlah ChCl 15 dan tanpa ChCl terhadap kadar hemiselulosa. Gambar 4.3 Perbandingan Kadar Hemiselulosa Hasil Proses Delignifikasi Tanpa ChCl dan Menggunakan ChCl Universitas Sumatera Utara Sama halnya dengan selulosa, ChCl membantu NaOH dalam meningkatkan kadar hemiselulosa yang dihasilkan. Pada proses delignifikasi ampas tebu ini, NaOH dan ChCl bekerja sama sebagai larutan pemasak untuk memutuskan ikatan lignin dari hemiselulosa dan selulosa. Dapat dilihat pada Gambar 4.3 bahwa kadar hemiselulosa meningkat seiring peningkatan jumlah ChCl dan waktu delignifikasi, tetapi kadar hemiselulosa tanpa ChCl meningkat tidak signifikan, bahkan cenderung konstan. Hal ini disebabkan tanpa adanya bantuan dari ChCl yang membantu memutuskan ikatan lignin untuk meningkatkan kadar hemiselulosa. Peneliti sebelumnya menyatakan bahwa delignifikasi kayu pinus menggunakan cairan ionik Choline Acetate [Cho][OAc] menghasilkan kadar hemiselulosa sebesar 10,2 Cheng 2014. Pada penelitian ini, kadar hemiselulosa tertinggi yang dihasilkan menggunakan ChCl sebesar 18,59, sedangkan kadar hemiselulosa tertinggi yang dihasilkan tanpa menggunakan ChCl sebesar 8,25. Hal ini terlihat jelas bahwa kadar hemiselulosa lebih besar dihasilkan dengan menggunakan NaOH dalam sistem cairan ionik ChCl dibandingkan tanpa ChCl. 4.1.4 Pengaruh Jumlah Kolin Klorida ChCl dan Waktu Delignifikasi Terhadap Kadar Lignin yang Tertinggal di Dalam Ampas Tebu Hasil Delignifikasi Proses delignifikasi ampas tebu dilakukan menggunakan NaOH dalam sistem cairan ionik kolin klorida ChCl pada berbagai variasi jumlah ChCl, yaitu 10, 15, dan 20 berat ampas tebu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah cairan ionik yang berbeda berpengaruh terhadap lignin yang dihasilkan. Gambar 4.4 menunjukkan hubungan antara kadar lignin yang tertinggal di dalam Ampas Tebu dengan jumlah ChCl dan waktu delignifikasi. Universitas Sumatera Utara Gambar 4.4 Pengaruh Jumlah Kolin Klorida ChCl dan Waktu Delignifikasi Terhadap Kadar Lignin yang Tertinggal di dalam Ampas Tebu Hasil Delignifikasi Pada proses delignifikasi ampas tebu dalam sistem ChCl ini diharapkan dapat dihasilkan selulosa dengan kandungan lignin yang rendah. Gambar 4.4 menunjukkan bahwa kadar lignin menurun seiring peningkatan jumlah ChCl. Penurunan kadar lignin disebabkan waktu pemasakan yang cukup lama memicu terjadinya degradasi gugus basa dari larutan pemasak yang menyerang alfa dan beta lignin, sehingga hasil degradasi tidak stabil memicu terjadinya kondensasi Hidayati, 2014. Kondensasi menyebabkan putusnya ikatan lignin dari hemiselulosa dan selulosa. Dan karena ChCl bersifat asam, pada suasana asam bobot molekul lignin cenderung bertambah. Peristiwa ini menyebabkan lignin mengendap, lalu larut dalam air proses pencucian. Sesuai dengan uraian di atas, bahwa ChCl sebagai larutan pemasak yang membantu NaOH menyebabkan makin berkurangnya kadar lignin seiring bertambahnya waktu sampai pada batas waktu tertentu. Peningkatan jumlah larutan pemasak memudahkan pemutusan ikatan senyawa penyusun lignin karena kondisi asam menyebabkan perusakan senyawa lignin yang ikut terlarut pada pelarut. Namun, dengan jumlah ChCl lebih dari 15 menyebabkan kadar lignin yang tertinggal di dalam Ampas Tebu relatif konstan pada waktu 90 menit akibat terjadinya reaksi adisi gugus hidroksil Universitas Sumatera Utara yang menyebabkan lignin tidak ikut larut dalam air pencucian Hidayati, 2014. Peran ChCl terhadap kadar lignin yang dihasilkan adalah memutuskan senyawa lignin, sehingga pada saat pengendapan dilakukan semakin banyak lignin terisolasi. Kandungan lignin di dalam ampas tebu yaitu sekitar 3 dari berat ampas tebu.

4.1.5 Pengaruh Jumlah Kolin Klorida ChCl dan Waktu Delignifikasi Terhadap Kadar Selulosa

Kadar selulosa merupakan faktor penting dari proses delignifikasi. Semakin tinggi kadar selulosa yang bisa dihasilkan dari ampas tebu, maka semakin besar pengaruh untuk proses selanjutnya. Gambar 4.5 menunjukkan hubungan antara kadar selulosa dengan jumlah ChCl dan waktu delignifikasi. Gambar 4.5 Pengaruh Jumlah ChCl dan Waktu Delignifikasi Terhadap Kadar Selulosa Dapat dilihat pada Gambar 4.5, bahwa kadar selulosa meningkat seiring peningkatan jumlah ChCl dan waktu delignifikasi. Peningkatan selulosa terjadi sampai pada batas waktu tertentu dan diperoleh kadar selulosa yang relatif tinggi karena ChCl yang digunakan merupakan bahan Universitas Sumatera Utara yang bersifat selektif, yang khusus menyerang lignin dan menguraikan selulosa dari ikatan lignin. Sesuai dengan pernyataan di atas bahwa peningkatan kadar selulosa disebabkan oleh ikatan lignin yang terputus dari hemiselulosa dan selulosa akibat degradasi pada alfa dan beta lignin, sehingga selulosa yang dihasilkan semakin meningkat. Namun, kadar selulosa yang dihasilkan cenderung konstan pada waktu 90 menit dengan jumlah ChCl lebih dari 15. Hal ini disebabkan terjadinya degradasi pada kelompok polisakarida yaitu selulosa dan hemiselulosa yang terkandung pada bahan baku. Dilaporkan dari hasil penelitian terdahulu bahwa kadar selulosa dari hasil delignifikasi yang dilakukan pada ampas tebu menggunakan H 2 O 2 dalam media asam asetat pada konsentrasi H 2 O 2 15 adalah 35,71 pada suhu 130 °C dengan waktu delignifikasi 3 jam. Penggunaan H 2 O 2 pada konsentrasi lebih dari 15 menyebabkan terjadinya oksidasi polisakarida yang pada akhirnya menyebabkan penurunan selulosa akibat reaksi yang terjadi Zuidar, 2014. Peran ChCl terhadap kadar selulosa yang didapatkan adalah sebagai larutan pemasak yang dapat meningkatkan kadar selulosa yang dihasilkan dibandingkan tanpa ChCl. ChCl juga meningkatkan porositas sampel sehingga lebih mudah mendelignifikasi serbuk ampas tebu dengan meningkatnya waktu delignifikasi. Kandungan selulosa hasil dari delignifikasi di dalam ampas tebu adalah sekitar 39 dari berat ampas tebu.

4.1.6 Pengaruh Jumlah Kolin Klorida ChCl dan Waktu Delignifikasi Terhadap Kadar Hemiselulosa

Gambar 4.6 menunjukkan hubungan antara kadar hemiselulosa dengan jumlah ChCl dan waktu delignifikasi. Universitas Sumatera Utara Gambar 4.6 Pengaruh Jumlah ChCl dan Waktu Delignifikasi Terhadap Jumlah Kadar Hemiselulosa Kadar hemiselulosa meningkat seiring peningkatan jumlah ChCl dan waktu delignifikasi. Sama halnya dengan selulosa, peningkatan hemiselulosa disebabkan oleh ikatan lignin yang terputus dari hemiselulosa dan selulosa akibat degradasi pada alfa dan beta lignin, sehingga hemiselulosa yang dihasilkan semakin meningkat. Hemiselulosa merupakan suatu polisakarida yang terdapat dalam tanaman dan tergolong senyawa organik non-kristalin. Penelitian terdahulu menyatakan bahwa delignifikasi dapat menurunkan kadar lignin hingga 16 dari kandungan awal, serta meningkatkan kadar selulosa hingga 32 dan hemiselulosa hingga tiga kali lipat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diperoleh perlakuan yang terbaik, yaitu delignifikasi dengan konsentrasi NaOCl 1 dan lama perendaman 5 jam Bagus Ida, 2011. Pada penelitian ini, kandungan hemiselulosa di dalam ampas tebu adalah 18,59 dari berat ampas tebu. 4.2 Proses Hidrolisis terhadap Ampas Tebu 4.2.1 Perbandingan Proses Hidrolisis Tanpa Menggunakan Cairan Ionik Dengan Menggunakan Cairan Ionik Jika dibandingkan antara proses hidrolisis dengan menggunakan cairan ionik dan tanpa menggunakan cairan ionik, diperoleh kadar glukosa Universitas Sumatera Utara yang lebih besar pada sistem yang menggunakan cairan ionik seperti ditunjukan pada Gambar 4.2. Kadar glukosa optimum diperoleh pada kondisi waktu reaksi 60 menit dengan kadar glukosa yang dihasilkan 39,4 pada konsentrasi kolin klorida 15. Sedangkan untuk proses hidrolisis tanpa penggunaan cairan ionik didapat kadar glukosa yang lebih sedikit pada kondisi waktu yang sama yaitu 90 menit sebesar 30,87. Gambar 4.8 Perbandingan Kadar Glukosa Proses Hidrolisis Dengan Menggunakan Cairan Ionik 15 dan Tanpa Menggunakan Cairan Ionik Dapat dilihat pada Gambar 4.8 bahwa kadar glukosa semakin meningkat dengan meningkatnya waktu reaksi dan didapat kadar glukosa tertinggi dengan menggunakan cairan ionik. Waktu reaksi optimum untuk memeperoleh kadar glukosa tertinggi adalah 60 menit dengan menggunakan cairan ionik 20. Dengan menggunakan cairan ionik dapat mengefisienkan waktu hidrolisisis lebih cepat untuk mendapatkan kadar glukosa terbaik. Dapat dilihat dari gambar, kadar glukosa lebih sedikit fluktuasi dari waktu 30 menit sampai waktu 90 menit pada proses hidrolisis dalam sistem cairan ionik. Jika waktu hidrolisis diperpanjang dengan menggunakan temperatur yang sama dan kenaikan waktu hidrolisis yang sama, didapat hasil hidrolisis yang tidak terlalu jauh dengan menggunkan cairan ionik. Namun, jika tanpa menggunkan cairan ionik akan terjadi kenaikan kadar glukosa sampai batas waktu tertentu dan diperkirakan tidak mengalami Universitas Sumatera Utara perubahan kenaikan yang signifikan sebab di pengaruhi oleh pemanasan yang dapat merusak rantai polisakarida yang akan menjadi glukosa. Peneliti sebelumnya merancang penggunaan cairan ionik mampu mengikat selulosa dan asam serta dapat memecah kristal selulosa dengan mengikat beberapa gugus hidroksil, meningkatkan kelarutan dan aktivitas katalitik Haryanti, 2015.

4.2.2 Pengaruh Perubahan Waktu Reaksi Dan Konsentrasi Kolin Klorida Terhadap Kadar Glukosa

Proses hidrolisis ampas tebu dilakukan dalam sistem cairan ionik kolin klorida dengan variasi konsentrasi kolin klorida 10, 15 dan 20 dan variasi waktu hidrolisis 30, 60, dan 90 menit. Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah cairan ionik yang berbeda, berpengaruh terhadap kadar glukosa yang dihasilkan dengan konsentrasi optimum 20 dan waktu reaksi optimum 60 menit yaitu sebesar 39,4. Gambar 4.7 menunjukkan hubungan antara kadar glukosa dengan jumlah kolin klorida dan waktu hidrolisis. Gambar 4.7 Pengaruh Waktu Reaksi Dan Konsentrasi Kolin Klorida Terhadap Kadar Glukosa Dapat dilihat pada Gambar 4.7 bahwa kadar glukosa semakin meningkat dengan meningkatnya waktu reaksi hidrolisis dan konsentrasi Universitas Sumatera Utara kolin klorida. Pada penelitian ini, untuk peningkatan konsentrasi kolin klorida dari 10 sampai 20 terjadi kenaikan persentase kadar glukosa yaitu sebesar 2,1 pada waktu 30 menit, 2,7 pada waktu 60 menit, dan 2,4 pada waktu 90 menit. Sedangkan untuk jumlah kolin klorida 20, peningkatan waktu hidrolisis dari 60 menit ke 90 menit, didapatkan kadar glukosa yang menurun. Semakin bertambahnya waktu reaksi, kadar glukosa yang dihasilkan semakin bertambah dan sampai pada batas waktu tertentu akan diperoleh kadar glukosa yang maksimum. Ini disebabkan kontak antara zat –zat yang bereaksi dapat lebih lama dan apabila waktu tersebut diperpanjang pertambahan kadar glukosa sangat kecil bahkan akan menurun. Jika semakin lama waktu reaksi, selulosa tidak larut dalam air sehingga pemecahan rantai polisakarida menjadi glukosa tidak dapat berlangsung dengan baik. Selain itu pemanasan yang terus-menerus dapat merusak glukosa. Kolin klorida mampu meningkatkan konversi selulosa menjadi gula. Cairan ionik bereaksi dengan air dan dapat membantu mengikat hemiselulosa agar serat hemiselulosa tidak terikut bersama selulosa dan dapat membentuk senyawa glukosa dengan baik dan karena sifat cairan ramah lingkungan maka dapat mengurangi konsentrasi katalis asam sulfat, sehingga aman bagi lingkungan dan tidak menimbulkan korosi pada alat. Pada penelitian ini, kadar glukosa optimum sebesar 39,4 diperoleh pada kondisi waktu reaksi hidrolisis 60 menit dan konsentrasi cairan ionik 20. Penggunaan cairan ionik yang berbeda sebagai pelarut memiliki kemampuan melarutkan yang berbeda-beda pula tergantung pada ukuran dan polaritas dari anion atau kation yang digunakan. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN