Proses Delignifikasi dan Hidrolisis Lignoselulosa Ampas Tebu Menggunakan Sistem Cairan Ionik Kolin Klorida

(1)

LAMPIRAN 1

PERHITUNGAN DAN DATA HASIL PENELITIAN

Pada penelitian ini, dilakukan dua analisa yaitu analisa kadar selulosa, hemiselulosa, dan lignin terhadap pulp yang dihasilkan pada proses delignifikasi serta analisa kadar glukosa terhadap kadar glukosa yang di hasilkan pada proses hidrolisa.

L.1 Tahap Delignifikasi

L.1.1 Perhitungan Kadar Hemiselulosa

Kadar hemiselulosa dihitung dengan rumus:

×

100 %

1. Kadar hemiselulosa (blanko 1) Berat a = 0,9748 gr Berat b = 0,8940 gr

Kadar hemiselulosa =

×

100 % = 8,08 % 2. Kadar hemiselulosa (Run 2)

Berat a = 0,9639 gr Berat b = 0,8537 gr

Kadar hemiselulosa =

×

100 % = 10,02 % 3. Kadar hemiselulosa (Run 5)

Berat a = 0,9519 gr Berat b = 0,8062 gr

Kadar hemiselulosa =

×

100 % = 14,57 % 4. Kadar hemiselulosa (Run 8)

Berat a = 0,9392 gr Berat b = 0,7811 gr


(2)

1.2 Perhitungan Kadar Selulosa

Kadar selulosa dihitung dengan rumus :

×

100 %

1. Kadar Selulosa (blanko 1) Berat b = 0,8940 gr Berat c = 0,6518 gr

Kadar selulosa

=

×

100 % = 24,22 %

2. Kadar Selulosa (Run 2) Berat b = 0,8537 gr Berat c = 0,5553 gr

Kadar selulosa =

×

100 % = 29,48 % 3. Kadar Selulosa (Run 5)

Berat b = 0,8062 gr Berat c = 0,4517 gr

Kadar selulosa =

×

100 % = 35,45 % 4. Kadar Selulosa (Run 8)

Berat b = 0,7811 gr Berat c = 0,3887 gr

Kadar selulosa =

×

100 % = 39,24%

1.3 Perhitungan Kadar Lignin

Kadar lignin dihitung dengan rumus :

×

100 %

1. Kadar lignin (blanko 1) Berat c = 0,6518 gr Berat abu = 0,4578 gr


(3)

Kadar lignin =

×

100 % = 19,40 % 2. Kadar lignin (Run 2)

Berat c = 0,5553 gr Berat abu = 0,4240 gr

Kadar lignin =

×

100 % = 13,13 % 3. Kadar lignin (Run 5)

Berat c = 0,4517 gr Berat abu = 0,3865 gr

Kadar lignin =

×

100 % = 6,52 % 4. Kadar lignin (Run 8)

Berat c = 0,3887 gr Berat abu = 0,3510 gr

Kadar lignin =

×

100 % = 3,77 %

Maka,hasil dari keseluruhan hasil pada proses delignifikasi dapat dilihat pada tabel L1.1:

Tabel L1.1 Hasil Analisa Kadar Hemiselulosa, Selulosa dan Lignin

Run Kadar

Hemiselulosa (%)

Kadar Selulosa (%)

Kadar Lignin (%)

Blanko 1 (30 menit) 8,08 24,22 19,40

Blanko 2 (60 menit) 8,16 24,90 19,10

Blanko 3 (90 menit) 8,25 24,98 18,99

1 9,93 25,46 16,45

2 10.00 29,84 13,13

3 15,58 30,37 11,39

4 10,72 33,28 9,04

Run Kadar

Hemiselulosa (%)

Kadar Selulosa (%)

Kadar Lignin (%)


(4)

5 14,57 35,45 6,52

6 16,09 37,54 5,35

7 12,95 38,76 4,98

8 15,81 39,24 3,77

9 18,59 39,80 3,62

*Larutan blanko adalah larutan yang hanya menggunakan larutan NaOH

2. Tahap Hidrolisa

Pada percobaan ini, dilakukan analisa kadar glukosa menggunakan metode Luff:

1. Rumus Perhitungan Kadar Glukosa % Glukosa =

Keterangan :

W1 = Berat glukosa (mg)

Fp = Faktor pengenceran dari volume larutan Luff yang digunakan W = Bobot contoh (mg)

2. Rumus Perhitungan Volume Na2SO4 Menurut Metode Luff

Volume Na2SO4 = ( Vblanko - Vtio ) x Normalitassesungguhnya/

Normalitascontoh

Wsampel = 2,0271 gr = 2027,1 mg

Vblanko = 24,95 ml

Vtio = 16,85 ml

Ntio = 0,0990 N


(5)

Volume Na2SO4 = ( 24,95 ml – 16,85 ml ) x = 8,019 ml

Table L.1.2 Penetapan gula menurut Luff Schoorl berdasarkan SNI 01-2892-1992

Na2 S2 O3, 0,1 N ml Glukosa, Fruktosa Glukosa Inversi mg Laktosa mg Maltosa mg 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 2,4 4,8 7,2 0,7 12,2 14,7 17,2 19,8 22,4 25,0 27,6 30,3 33,0 35,7 38,5 41,3 44,2 47,1 50,0 53,0 56,0 59,1 62,4 3,6 7,3 11,0 14,7 18,4 22,1 25,8 29,5 33,2 37,0 40,8 44,6 48,6 52,2 56,0 59,9 63,8 67,7 71,1 75,1 79,8 83,9 88,0 3,9 7,8 11,7 15,6 19,6 23,5 27,5 31,5 35,5 39,5 43.5 47,5 51,6 55,7 59,8 63,9 68,0 72,2 76,5 80,9 85,4 90,0 94,6

Penentuan berat glukosa menurut metode Luff dilakukan dengan menggunakan interpolasi dari yang tertera pada Table L.1.2.


(6)

Dimana :

X (Vol Tio) ml Y (Berat Glukosa) mg

X1 8 Y1 19,8

X 8,019 Y 19,849

X2 9 Y2 22,4

Berat glukosa = 19,8 ml + (0,019 mg x 2,6 mg) = 19,849 mg Maka kadar glukosa =

Dan untuk run selanjutnya akan dilanjutkan dengan cara seperti di atas.

1. Sampel pada menit 60 dengan cairan ionik 10 %. Wsampel = 1,9918 gr = 1991,8 mg

Vblanko = 24,95 ml

Vtio = 13,75 ml

Ntio = 0,0990 N

Faktor Pengenceran = 250/10

Volume Na2SO4 = ( 24,95 ml – 13,75 ml ) x = 11,088 ml

Berat Glukosa = 27,6 mg + ( 0,088 mg x 2,7 mg ) = 27,8376 mg

Kadar Glukosa =

2. Sampel pada menit 60 dengan cairan ionik 15 %. Wsampel = 2,0653 gr = 2065,3 mg

Vblanko = 24,95 ml

Vtio = 13,10 ml


(7)

Faktor Pengenceran = 250/10

Volume Na2SO4 = ( 24,95 ml – 13,10 ml ) x = 11,731 ml

Berat Glukosa = 27,6 mg + ( 0,731 mg x 2,7 mg ) = 29,5750 mg

Kadar Glukosa =

3. Sampel pada menit 60 dengan cairan ionik 20 %. Wsampel = 2,1094 gr = 2109,4 mg

Vblanko = 24,95 ml

Vtio = 12,45 ml

Ntio = 0,0990 N

Faktor Pengenceran = 250/10

Volume Na2SO4 = ( 24,95 ml – 12,45 ml ) x = 12,05 ml

Berat Glukosa = 30,3 mg + ( 0,05 mg x 2,7 mg ) = 30,435 mg

Kadar Glukosa =

Maka hasil dari semua analisa pada proses hidrolisa dapat dilihat pada Tabel L 1.3.


(8)

Run Kadar Glukosa (%)

Blanko 1 (30 menit) 24,48

Blanko 2 (60 menit) 28,13

Blanko 3 (90 menit) 30,87

1 35,3

2 36,1

3 37,4

4 36,7

5 38,6

6 39,4

7 35,9

8 37,3

9 38,3

*Larutan blanko adalah sampel yang dihidrolisis tanpa menggunakan cairan ionik


(9)

LAMPIRAN 2

DOKUMENTASI PENELITIAN

L 2.1 Gambar Proses Penggilingan Ampas Tebu

Gambar L 2.1 Penghancuran (penggilingan) Ampas Tebu Menggunakan

Ball Mill

L 2.2 Gambar Proses Pengayakan Serbuk Ampas Tebu

Gambar L 2.2 Pengayakan Serbuk Ampas Tebu Menggunakan Ayakan 60 mesh


(10)

L 2.3 Gambar Serbuk Ampas Tebu yang Sudah Diayak

Gambar L 2.3 Serbuk Ampas Tebu yang Sudah Diayak L 2.4 Gambar Hasil Proses Pemasakan Menggunakan ChCl

Gambar L 2.4 Hasil Proses Pemasakan Menggunakan ChCl L 2.5 Gambar Penyaringan Serbuk Ampas Tebu Hasil Pemasakan

Gambar L 2.5 Proses Penyaringan Serbuk Ampas Tebu Hasil Pemasakan Menggunakan Kertas Saring


(11)

L 2.6 Gambar Proses Pemasakan dengan Menggunakan Oven

Gambar L 2.6 Proses Pemasakan dengan Menggunakan Oven L 2.7 Gambar Serbuk Ampas Tebu Hasil Delignifikasi

Gambar L 2.7 Hasil Delignifikasi Gambar L 2.8 Hasil Delignifikasi Menggunakan ChCl Tanpa ChCl


(12)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, R. 2009. Membuat Bensin dari Ubi. Jakarta : Cipta Prima.

Aden, A., M. Ruth, K. Ibsen, dan J. Jechura, (2002), “Lignocellulosic

Biomass to Ethanol Process Design and Economics Utilizing Co-Current Dilute Acid Prehydrolysis and Enzymatic Hydrolysis for

Corn Stover”, Report T-P510- 32438. Golden, CO: National Renewable Energy Laboratory.

Al-Baari, A. N, (2013),”Profil Produksi Alkohol dari Fermentasi Whey dan

Ampas Tebu”, Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan.

Anggraini, D., Han Roliadi, (2011), “Pembuatan Pulp Dari Tandan Kosong Kelapa Sawit Untuk Karton Pada Skala Usaha Kecil”, Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 3, September 2011: 211-225.

Anindyawati, Trisanti. 2009. Prospek Enzim dan Limbah Lignoselulosa untuk Produksi Bioetanol. Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI: Cibinong.

Anonim. 2007. Sugarcane Bud Chips for Seed Multiplication. Sugarcane Breeding Institute, Indian.

Artati, Enny, K., Novia, Margareta, dan Widhie, Visia, (2010), “Konstanta Kecepatan Reaksi Sebagai Fungsi Suhu pada Hidrolisa Selulosa dari

Ampas Tebu dengan Katalisator Asam Sulfat”, Jurnal Teknik Kimia,

Vol. 9. No. 1. Halaman: 1-4, Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Cheng, Fangchao, Wang, Hui, Chatel, Gregory, Gurau, Gabriel, and Rogers,

Robin, (2014), “Facile pulping of lignocellulosic biomass using choline acetate”, Laboratory of Bio-based Material Science and

Technology of Ministry Education of China, College of Material Science and Engineering, Northeast Forestry University.


(13)

Elda Melwita. 2011. Ionic Liquid Sebagai Katalisator Potensial Untuk

Meningkatkan Produksi Bioetanol. Prosiding Seminar Nasional A

VoER ke-3. Palembang

Farmer V, Welton T. 1999. The Oxidation of Alcohols Using Rethonium

Catalysts and Imidazolium Ionic Liquids. International Symposium

on Molten Salts: Electrochemical Society INC.

Gendish, Yoricya. 2015. Proses Delignifikasi Lignoselulosa Tandan Kosong

Kelapa Sawit Menggunakan Cairan Ionik Kolin Klorida.

Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik Kimia. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Hermiati, Euis, (2009), “ Pemanfaatan Biomassa Lignoselulosa Ampas Tebu untuk Produksi Bioetanol”, Departemen Teknologi Industri

Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Farid. B. 2003. Perbanyakan Tebu (Saccharum Officinarum L.) Secara In

Vitro pada Berbagai Konsentrasi IBA dan BAP. J. Sains dan

Teknologi. 3: 103-109.

Ida, Bagus, dkk, (2011), “Delignifikasi Ampas Tebu dengan Larutan Natrium Hidroksida sebelum Proses Sakaraifikasi secara Enzimatis menggunakan Selulase Kasar dari Aspergillus Niger FNU 6018”, Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Denpasar, Bali.

Irna, Cicy, dkk, (2013), “Produksi Bioetanol dari Ampas Tebu dengan

Metode Simultan Sakarifasi dan Fermentasi”, Jurnal Kimia, Jurusan

Kimia FMIPA, Universitas Andalas.

Isroi. 2011. Produksi Bioethanol Berbahan Baku Biomassa Lignoselulosa :

Hidrolisis Asam. (online)

(http://isroi.wordpress.com/2008/11/21/produksi-bioethanol-berbahan-baku-biomassa-lignoselulosa-hidrolisis/ diakses pada tanggal 11 februari 2015.


(14)

Judoamidjojo M, Sa’id EG, Hartoto L. 1989. Biokonversi. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Bogor. Pusat antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.

K. Zhao, Changzhi Li. 2012. Efficient Acid-Catalyzed Hydrolysis of

Cellulose in Ionic Liquid. China: Chinese Academy of Sciences.

Kataren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia.

Krisna, Agustin. 2015. Preatretment Ampas Tebu (Saccharum Oficinarum)

Sebagai Bahan Baku Bioetanol Generasi Kedua. Jurnal Pangan dan

Agroindustri Vol. 3 No. 4 P. 1430-1437. Malang: Universitas Brawijaya.

Maryudi, (2009), Pembuatan Gula dari Pati Biji Nangka dengan Hidrolisis Asam Khlorida, Laporan Penelitian, Jurusan Teknik Kimia, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.

Oktavianus, Ferdin, Martua, Roy S, dan Bustan, Djoni, (2013), “Pembuatan Bioetanol dari Batang Jarak Menggunakan Metode Hidrolisa dengan

Katalis Asam Sulfat”, Jurnal Teknik Kimia, Jurusan Teknik Kimia,

Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya, Palembang.

Risdianto H, Setiadi T, Suhardi SH, Nipoperbowo W. 2007. Pemilihan spesies jamur dan media amobilisasi untuk produksi enzim lignolitik. Prosiding seminar nasional rekayasa kimia dan proses. ISSN: 1411-4216.

Samsuri, M. G., Baiquni, M., Hermansyah, A., Wijanarko, A., Prasetya, B., Nasikin, M., 2007, Pemanfaatan Selulosa Bagas untuk Produksi Ethanol Melalui Sakarifasi dan Fermentasi Serentak dengan Enzim Xylanase. Makara Teknologi 2007, Vol. 11:17-24.

Sastrohamidjojo H, Prawirohatmojo S. 1995. KAYU : Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.


(15)

Sediawan, W.B., Megawati, Millati, R., and Syamsiah, S., (2007), Hydrolysis of Lignocellulosic Waste for Ethanol Production,

International Biofuel Conference, Bali, Indonesia.

Sjostrom, E. (1995). Kimia Kayu Dasar-Dasar dan Penggunaan. UGM

Press. Yogyakarta.

Syamsuri I, Sulisestijono, Ibrohim, dan Rahayu, (2007), “IPA Biologi”, jilid

2. Jakarta: Erlangga.

Taherzadeh, M. J. dan Karimi, Keikhosro, (2008), “Pretreatment of

Lignocellulosic Wastes to Improve Ethanol and Biogas production:

A Review”, International Journal of Molecular Sciences, Vol. 9,

Hal. 1621- 1651Ketaren,S. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta : Universitas Indonesia, 1986.

Tjokroadikoesoemo S. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. Jakarta. PT. Gramedia.

Vancov T., Alston A., Brown T., McIntosh S. 2014. Use of Ionic Liquids in

Converting Lignocellulosic Material to Biofuels. USA: Energy 45.

Wilkes, Jhon S., Zaworotko, Michael J. 1992. Air and Water Stable

1-ethyl-3-methylimidazolium Based Ionic Liquid. USA: Royal Society of


(16)

BAB III

METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini berlangsung selama 2 bulan. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penelitian Kimia, Jurusan Teknik Kimia Industri, Fakultas Teknik, Pendidikan Teknologi Kimia Industri.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat dan Bahan untuk Delignifikasi

Alat yang digunakan adalah neraca analitik, blender, ayakan mesh, kertas saring, oven, dan alat-alat gelas (pyrex) yang umum digunakan dalam laboratorium kimia. Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah ampas tebu. Bahan kimia yang digunakan antara lain: aquadest, kolin klorida, dan natrium hidroksida.

3.2.2 Alat dan Bahan untuk Hidrolisa

Peralatan yang digunakan adalah: magnetic stirrer, dan alat-alat gelas (pyrex) yang umum digunakan dalam laboratorium kimia. Sedangkan bahan yang di gunakan adalah selulosa hasil delignifikasi. Bahan kimia yang digunakan antara lain: aquadest, kolin klorida, dan asam sulfat.

3.3 Rancangan Penelitian

Penelitian ini dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari variabel yaitu variasi waktu dan jumlah cairan ionik pada proses deliginfikasi terhadap rendemen selulosa, sehingga terdapat 9 unit percobaan. Parameter yang diamati yaitu jumlah lignin, hemiselulosa dan selulosa.


(17)

Tabel 3.1 Rancangan Acak Lengkap (RAL) untuk Proses Delignifikasi Run W (menit) C (% jumlah)

1 30 10

2 30 15

3 30 20

4 60 10

5 60 15

6 60 20

7 90 10

8 90 15

9 90 20

Keterangan untuk proses delignifikasi:

W (Waktu) : = 30 menit, = 60 menit, = 90 menit C (Jumlah larutan ionik) : = 10 %, = 15 %, = 20 %

Sedangkan untuk proses hidrolisis terdiri dari variabel yaitu variasi waktu dan jumlah cairan ionik. Parameter yang di amati adalah jumlah glukosa.


(18)

Tabel 3.2 Rancangan Acak Lengkap (RAL) untuk Proses Hidrolisis

Run C (%) W (menit)

1 10 30

2 15 30

3 20 30

4 10 60

5 15 60

6 20 60

7 10 90

8 15 90

9 20 90

Keterangan untuk proses hidrolisis:

W (Waktu) : = 30 menit, = 60 menit, = 90 menit C (Jumlah larutan ionik) : C1 = 10 %, C2 = 15 %, C3 = 20 %

3.4 Persiapan Bahan Baku

Perlakuan awal terhadap ampas tebu meliputi pencucian, pengeringan, dan pengayakan. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan bahan-bahan yang terikut dalam ampas tebu seperti kulit dan kotoran lain. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan sinar matahari langsung. Pengeringan dilakukan untuk memudahkan dalam proses penggilingan serat ampas tebu, karena pada keadaan lembab ampas tebu sukar untuk dihancurkan. Tahap penghancuran bertujuan untuk memperkecil ukuran ampas tebu menggunakan blender. Ampas tebu yang sudah dihancurkan kemudian diayak menggunakan ayakan 60 mesh.


(19)

3.5 Prosedur Tahap Delignifikasi

1. Serbuk ampas tebu ditimbang sebanyak 30 gram, kemudian dimasukkan ke dalam gelas kimia.

2. Larutan NaOH 1N sebanyak 6% (dari berat ampas tebu) ditambahkan ke dalam gelas kimia yang berisi serbuk ampas tebu.

3. Kemudian campuran diaduk dengan rata sampai merendam serbuk ampas tebu.

4. Serbuk ampas tebu yang sudah tercampur rata dicuci 3 kali dengan air dan dikeringkan pada suhu 105 °C selama 16 jam sebelum digunakan. 5. Lalu serbuk ampas tebu diayak, kemudian dicampurkan dengan cairan

ionik kolin klorida, dipanaskan sampai suhu 130 °C selama waktu yang sudah ditentukan.

6. Setelah itu serbuk ampas tebu dicuci dengan air untuk menghilangkan cairan ionik.

7. Kemudian dicuci lagi dengan air sampai pH 7 selanjutnya dikeringkan pada suhu 30 °C didalam oven.

3.6 Analisis selulosa, hemiselulosa, dan lignin

1. Sebanyak 1 gram serbuk kering ampas tebu hasil delignifikasi (berat konstan) dimasukkan dalam Erlemmeyer 250 ml dan ditambah aquades 150 ml.

2. Kemudian dipanaskan selama 2 jam di dalam penangas pada suhu 100°C, dan dilakukan penyaringan dan pencucian dengan aquades sampai volume filtrat 300 ml.

3. Kemudian residu dikeringkan pada oven bersuhu 105 °C hingga diperoleh berat konstan (a). Residu kering (a) dimasukkan kedalam Erlenmeyer 250 ml ditambah 150 ml H2SO4 1N, kemudian dipanaskan


(20)

4. Kemudian dilakukan penyaringan dan residu dicuci dengan aquades sampai volume filtrat 300 ml. Residu yang diperoleh kemudian dikeringkan hingga beratnya konstan dan ditimbang (b).

5. Selanjutnya residu kering (b) dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 ml dan ditambahkan H2SO4 72% sebanyak 10 ml. Direndam selama 4 jam

pada suhu kamar kemudian ditambahkan 150 ml H2SO4 1 N (untuk

pengenceran), dipanaskan pada penangas air pada suhu 100 °C selama 2 jam.

6. Kemudian dilakukan penyaringan dan dicuci dengan aquades hingga volume filtrat 400 ml. Residu dikeringkan hingga beratnya konstan dan ditimbang (c). Residu (c) tersebut kemudian diabukan selama 6 jam (600 °C) (Chesson, 1981).

Kadar hemiselulosa, selulosa, dan lignin dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Kadar hemiselulosa = × 100% Kadar selulosa = × 100% Kadar lignin = × 100%

3.7 Prosedur Tahap Hidrolisis

Selulosa yang tidak segera diproses disimpan terlebih dahulu di lemari es untuk menghindari tumbuhnya jamur dan atau mikroorganisme. Sedangkan untuk selulosa yang akan digunakan, dikeringkan terlebih dahulu pada suhu 105oC selama 16 jam selanjutnya disimpan dalam desikator untuk mempertahankan level moisture (Lavarack dkk., 2002). Tahap hidrolisis dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

1. Selulosa hasil delignifikasi ditimbang sebanyak 10 gram. 2. Kemudian siapkan larutan H2SO4 10 % dari berat bahan baku.


(21)

3. Masukkan selulosa hasil delignifikasi tersebut ke dalam erlenmeyer dan di campur dengan cairan ionik sebanyak yang telah ditentukan.

4. Kemudian tutup erlenmeyer tersebut dengan gabus dan dipanaskan sambil diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer selama 30, 60, dan 90 menit.

5. Suhu di dalam erlenmeyer dijaga pada 90 oC.

6. Hasil dari hidrolisa ini kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring.

7. Kemudian dilakukan pengukuran kadar glukosa dengan menggunakan metode Luff Schoorl.

3.8 Analisa Kadar Glukosa

1. Timbang sebanyak 2 gr sampel dan masukkan kedalam labu ukur 250 ml, ditambahkan 100 ml air dan di homogenkan.

2. Kemudian tambahkan 5 ml pb-asetat.

3. Selanjutnya teteskan 1 tetes larutan (NH4)2HPO4 10%

4. Kemudian goyang dan tepatkan isi labu ukur sampai tanda garis batas dengan aquades, dihomogenkan dan disaring.

5. Larutan hasil penyaringan dipipet dan dimasukkan kedalam erlenmeyer 500 ml.

6. Setelah itu tambahkan 15 ml aquades dan 25 ml larutan Luff serta beberapa butir batu didih.

7. Kemudian hubungkan erlenmeyer dengan pendingin tegak, dipanaskan diatas pemanas listrik sampai mendidih selama 10 menit.

8. Setelah dipanaskan kemudian diangkat dan didinginkan.

9. Setelah dingin ditambah 10 ml larutan KI 20% dan 25 ml larutan H2SO4

25%.

10.Titrasi dengan larutan natrium tio-sulfat 0,0990 N dengan larutan kanji 0,5% sebagai indikator.

11.Selanjutnya buat larutan blanko dengan 25 ml air dan 25 ml larutan luff dengan cara yang sama tanpa menggunakan larutan sampel


(22)

Cara perhitungan: ( Vblanko – Vtio ) ml tio yang dibutuhkan oleh contoh

dijadikan ml 0,1000 N, kemudian dalam daftar table lampiran A cari beberapa mg glukosa yang tertera untuk ml tio yang dipergunakan (misalnya W1 mg)

W1 x fp

% Glukosa = ___________ x 100%

W

Dimana:

W1 = Glukosa (mg) fp = Faktor pengenceran W = Bobot Contoh (mg)


(23)

3.9 Flowchart Percobaan

3.9.1 Persiapan Bahan Baku

Gambar 3.1 Persiapan Bahan Baku

Ampas Tebu ditimbang 30 gram

Ampas Tebu dicuci

Pengeringan dengan sinar matahari langsung

Ampas tebu dihancurkan

Ampas tebu diayak

Ampas tebu siap untuk di lanjutkan ke tahap

selanjutnya Mulai


(24)

3.9.2 Proses Delignifikasi

Mulai

Serbuk ampas tebu direndam sebanyak 30

gram didalam gelas kimia

Larutan NaOH sebanyak 3% dari

berat ampas tebu

Ampas tebu dicuci 3 kali dengan air

Ampas tebu dikeringkan pada suhu 105°C selama 16 jam

serbuk ampas tebu diayak

Ampas tebu dicampurkan dengan cairan ionik kolin

Ampast tabu dipanaskan sampai suhu 130°C selama waktu yang sudah

ditentukan


(25)

Gambar 3.2 Proses Delignifikasi

A

Serbuk ampas tebu dicuci dengan air sampai pH 7

Ampas tebu dikeringkan pada suhu ruang


(26)

3.9.3 Analisa Selulosa, hemiselulosa, dan lignin

1 gram serbuk kering ampas tebu disiapkan

Ampas tebu dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml

Ampas tebu ditambahkan aquades 150 ml

Ampas tebu dipanaskan selama 2

jam pada suhu 100

o

C

Ampas tebu disaring dan dicuci

Ampas tebu dikeringkan pada oven dengan suhu 105 oC dan diperoleh berat konstan (a)

Mulai


(27)

Gambar 3.3 Analisa Selulosa, hemiselulosa, dan lignin

Residu kering (a) dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml

Ampas tebu ditambahkanambahkan 150 ml H2SO4 1N

Kemudian dipanaskan di penangas air pada suhu 100 oC selama 1 jam

Ampas tebu disaring dan dicuci dengan aquades samapai volume filtral 300 ml

Kemudian dikeringkan hingga beratnya konstan dan ditimbang (b)

Residu kering (b) dimasukkan kedalam erlenmeyer 250 ml dan ditambahkan H2SO4 72% 10 ml

Kemudian direndam selama 4 jam dan ditambahkan 150 ml H2SO4 1N

(untuk pengenceran) dan dipanaskan pada suhu 100°C selama 2 jam A

Selanjutnya disaring dan dicuci dengan aquades hingga volume filtrat 400 ml. Residu dikeringkan hingga berat konstan dan ditimbang (c)

Kadar hemiselulosa, selulosa dan lignin dapat dihitung dengan menggunakan rumus


(28)

3.9.4 Proses Hidrolisa

Gambar 3.4 Proses Hidrolisa

Mulai

Selulosa hasil delignifikasi di timbang

sebanyak 10 gram

Selulosa dicampur dengan cairan ionik dengan jumlah yang telah di tentukan

Selulosa ditambahkan larutan H2SO4 10% dari berat selulosa, campur semua menjadi

satu di dalam erlenmeyer

Kemudian dipanaskan di magnetic

stirrer dengan waktu yang telah

ditetapkan

Suhu dijaga tetap stabil 90 oC di dalam magnetic

stirrer

Selulosa disaring menggunakan kertas saring


(29)

3.9.5 Flowchart Analisa Kadar Glukosa

Tidak

Ya

Mulai

2 gr sampel dimasukkan ke dalam labu ukur 250 ml

Kemudian diteteskan 1 tetes larutan (NH4)2HPO4 10%

Apakah larutan sudah terendapkan seluruhnya?

A

Kemudian ditambahkan 5 ml Pb-asetat

Larutan dikocok 12 kali dan disaring

Larutan hasil penyaringan dipipet 10 ml

Kemudian ditambahkan 15 ml aquades dan 25 ml larutan luff


(30)

Gambar 3.5 Flowchart Analisa Kadar Glukosa

Kemudian dihitung kadar glukosa yang didapat

Selesai A

Larutan dipanaskan menggunakan pemanas listrik selama 10 menit

Larutan ditambahkan 10 ml larutan KI 20% dan 25 ml larutan

Kemudian dititrasi dengan tiosulfat

Kemudian dibuat larutan blanko dengan 25 ml air dan 25 ml larutan luff dengan cara yang sama tanpa


(31)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Proses Delignifikasi terhadap Ampas Tebu

Pada penelitian ini dilakukan proses delignifikasi, yaitu proses pemutusan senyawa lignin dari biomassa. Proses ini dilakukan sebagai

pretreatment sebelum proses hidrolisis, agar kandungan lignin dalam

biomassa pada proses hidrolisis menjadi berkurang dari bahan baku sehingga mendapatkan selulosa dengan kadar kemurnian yang tinggi. Delignifikasi ampas tebu ini menggunakan NaOH dalam sistem Kolin Klorida (ChCl) dan tanpa ChCl.

Pemutusan senyawa lignin menggunakan NaOH dalam sistem cairan ionik ChCl bekerja ganda untuk memicu terjadinya degradasi gugus basa dari larutan pemasak (ChCl dan NaOH) yang menyerang alfa dan beta lignin, sehingga hasil degradasi tidak stabil memicu terjadinya kondensasi. Kondensasi menyebabkan putusnya ikatan lignin dari hemiselulosa dan selulosa. ChCl adalah cairan yang bersifat asam. Pada suasana asam, bobot molekul lignin cenderung bertambah. Peristiwa ini menyebabkan lignin mengendap, lalu larut dalam air proses pencucian. Sehingga lignin yang terbuang semakin banyak, berbanding terbalik dengan lignin sisa yang tertinggal di dalam ampas tebu hasil delignifikasi. Hal tersebut mengakibatkan kadar selulosa dan hemiselulosa semakin meningkat seiring bertambahnya waktu pemasakan. Sedangkan mekanisme pemutusan senyawa lignin menggunakan NaOH tanpa ChCl tidak berbeda dengan mekanisme menggunakan ChCl. Hanya saja NaOH bekerja sendiri untuk memutuskan senyawa lignin tanpa adanya bantuan ChCl (Irna, 2013).


(32)

4.1.1 Perbandingan Kadar Lignin yang Tertinggal di dalam Ampas Tebu Hasil Proses Delignifikasi Tanpa ChCl dan Menggunakan ChCl

Proses delignifikasi ampas tebu dilakukan menggunakan NaOH dalam sistem cairan ionik kolin klorida (ChCl) dengan berbagai variasi jumlah ChCl yaitu 10%, 15%, 20% dari berat ampas tebu dan hanya menggunakan NaOH tanpa ChCl. Gambar 4.1 adalah grafik yang menunjukkan perbandingan proses delignifikasi dengan jumlah ChCl 15% dan tanpa ChCl terhadap kadar lignin.

Gambar 4.1 Perbandingan Kadar Lignin yang Tertinggal di dalam Ampas Tebu Hasil Proses Delignifikasi Tanpa ChCl dan Menggunakan ChCl 15 %

Dapat dilihat pada Gambar 4.1 bahwa kadar lignin menurun secara signifikan seiring peningkatan jumlah ChCl dan waktu delignifikasi, sedangkan kadar lignin tanpa ChCl hanya sedikit menurun. Penurunan lignin secara signifikan ini disebabkan adanya kerja ganda antara ChCl dan NaOH yang memutuskan ikatan lignin dari bahan baku untuk meningkatkan senyawa lignin yang terbuang. Sehingga kadar lignin yang tertinggal di dalam Ampas Tebu semakin sedikit. Namun, kadar selulosa yang tertinggal


(33)

di dalam Ampas Tebu hasil delignifikasi menggunakan NaOH tanpa ChCl lebih besar, hal ini disebabkan tanpa adanya bantuan dari ChCl.

Peneliti terdahulu melaporkan delignifikasi kayu menggunakan kolin asetat ([Cho] [OAc]) menghasilkan kadar lignin sebesar 5% (Cheng et al., 2014). Namun, pada penelitian ini delignifikasi ampas tebu menggunakan NaOH (tanpa ChCl) menghasikan kadar lignin sebesar 18,99% dan delignifikasi menggunakan ChCl sebesar 3,62 %. Hal ini terlihat jelas bahwa delignifikasi menggunakan NaOH dalam sistem cairan ionik ChCl menurunkan kadar lignin lebih besar dibandingkan tanpa ChCl.

4.1.2 Perbandingan Proses Delignifikasi Tanpa ChCl dan Menggunakan ChCl Terhadap Kadar Selulosa

Gambar 4.2 menunjukkan pengaruh perbandingan antara jumlah ChCl 15% dan tanpa ChCl terhadap kadar selulosa.

Gambar 4.2 Perbandingan Kadar Selulosa Hasil Proses Delignifikasi Tanpa ChCl dan dengan Menggunakan ChCl 15 %

Pada proses delignifikasi ampas tebu ini, NaOH dan ChCl bekerja sama sebagai larutan pemasak untuk memutuskan ikatan lignin. ChCl membantu NaOH meningkatkan kadar selulosa yang dihasilkan. Dapat dilihat pada Gambar 4.2 bahwa kadar selulosa meningkat secara signifikan dengan menggunakan NaOH dalam sistem cairan ionik ChCl, sedangkan kadar selulosa yang diperoleh tanpa ChCl peningkatannya tidak besar,


(34)

bahkan relatif konstan. Hal ini disebabkan ChCl bersifat asam mengakibatkan terjadinya degradasi senyawa penyusun lignin sehingga kadar selulosa yang diperoleh semakin meningkat. Sedangkan kadar selulosa yang diperoleh tanpa ChCl peningkatannya tidak besar disebabkan NaOH merupakan basa alkali yang memiliki kemampuan melarutkan senyawa organik dan anorganik tidak relatif tinggi.

Penelitian terdahulu menyatakan bahwa delignifikasi jerami padi menggunakan Switchable Ionic Liquids dengan 1-etil-3-metilimidazolium asetat ([C2mim] OAc) menghasilkan kadar selulosa sebesar 32% (jian Luo,

2013). Pada penelitian ini, kadar selulosa tertinggi yang dihasilkan menggunakan ChCl sebesar 39,8%, sedangkan kadar selulosa tertinggi yang dihasilkan tanpa menggunakan ChCl sebesar 24,98%. Sangat terlihat jelas bahwa delignifikasi menggunakan NaOH dalam sistem cairan ionik ChCl menghasilkan kadar selulosa yang lebih besar dibandingkan tanpa ChCl.

4.1.3 Perbandingan Proses Delignifikasi Tanpa ChCl dan Menggunakan ChCl Terhadap Kadar Hemiselulosa

Gambar 4.3 menunjukkan pengaruh perbandingan antara jumlah ChCl 15% dan tanpa ChCl terhadap kadar hemiselulosa.

Gambar 4.3 Perbandingan Kadar Hemiselulosa Hasil Proses Delignifikasi Tanpa ChCl dan Menggunakan ChCl


(35)

Sama halnya dengan selulosa, ChCl membantu NaOH dalam meningkatkan kadar hemiselulosa yang dihasilkan. Pada proses delignifikasi ampas tebu ini, NaOH dan ChCl bekerja sama sebagai larutan pemasak untuk memutuskan ikatan lignin dari hemiselulosa dan selulosa. Dapat dilihat pada Gambar 4.3 bahwa kadar hemiselulosa meningkat seiring peningkatan jumlah ChCl dan waktu delignifikasi, tetapi kadar hemiselulosa tanpa ChCl meningkat tidak signifikan, bahkan cenderung konstan. Hal ini disebabkan tanpa adanya bantuan dari ChCl yang membantu memutuskan ikatan lignin untuk meningkatkan kadar hemiselulosa.

Peneliti sebelumnya menyatakan bahwa delignifikasi kayu pinus menggunakan cairan ionik Choline Acetate ([Cho][OAc]) menghasilkan kadar hemiselulosa sebesar 10,2% (Cheng 2014). Pada penelitian ini, kadar hemiselulosa tertinggi yang dihasilkan menggunakan ChCl sebesar 18,59%, sedangkan kadar hemiselulosa tertinggi yang dihasilkan tanpa menggunakan ChCl sebesar 8,25%. Hal ini terlihat jelas bahwa kadar hemiselulosa lebih besar dihasilkan dengan menggunakan NaOH dalam sistem cairan ionik ChCl dibandingkan tanpa ChCl.

4.1.4 Pengaruh Jumlah Kolin Klorida (ChCl) dan Waktu Delignifikasi Terhadap Kadar Lignin yang Tertinggal di Dalam Ampas Tebu Hasil Delignifikasi

Proses delignifikasi ampas tebu dilakukan menggunakan NaOH dalam sistem cairan ionik kolin klorida (ChCl) pada berbagai variasi jumlah ChCl, yaitu 10%, 15%, dan 20% berat ampas tebu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah cairan ionik yang berbeda berpengaruh terhadap lignin yang dihasilkan. Gambar 4.4 menunjukkan hubungan antara kadar lignin yang tertinggal di dalam Ampas Tebu dengan jumlah ChCl dan waktu delignifikasi.


(36)

Gambar 4.4 Pengaruh Jumlah Kolin Klorida (ChCl) dan Waktu Delignifikasi Terhadap Kadar Lignin yang Tertinggal di dalam Ampas Tebu Hasil Delignifikasi

Pada proses delignifikasi ampas tebu dalam sistem ChCl ini diharapkan dapat dihasilkan selulosa dengan kandungan lignin yang rendah. Gambar 4.4 menunjukkan bahwa kadar lignin menurun seiring peningkatan jumlah ChCl. Penurunan kadar lignin disebabkan waktu pemasakan yang cukup lama memicu terjadinya degradasi gugus basa dari larutan pemasak yang menyerang alfa dan beta lignin, sehingga hasil degradasi tidak stabil memicu terjadinya kondensasi (Hidayati, 2014). Kondensasi menyebabkan putusnya ikatan lignin dari hemiselulosa dan selulosa. Dan karena ChCl bersifat asam, pada suasana asam bobot molekul lignin cenderung bertambah. Peristiwa ini menyebabkan lignin mengendap, lalu larut dalam air proses pencucian.

Sesuai dengan uraian di atas, bahwa ChCl sebagai larutan pemasak yang membantu NaOH menyebabkan makin berkurangnya kadar lignin seiring bertambahnya waktu sampai pada batas waktu tertentu. Peningkatan jumlah larutan pemasak memudahkan pemutusan ikatan senyawa penyusun lignin karena kondisi asam menyebabkan perusakan senyawa lignin yang ikut terlarut pada pelarut. Namun, dengan jumlah ChCl lebih dari 15% menyebabkan kadar lignin yang tertinggal di dalam Ampas Tebu relatif konstan pada waktu 90 menit akibat terjadinya reaksi adisi gugus hidroksil


(37)

yang menyebabkan lignin tidak ikut larut dalam air pencucian (Hidayati, 2014).

Peran ChCl terhadap kadar lignin yang dihasilkan adalah memutuskan senyawa lignin, sehingga pada saat pengendapan dilakukan semakin banyak lignin terisolasi. Kandungan lignin di dalam ampas tebu yaitu sekitar 3 % dari berat ampas tebu.

4.1.5 Pengaruh Jumlah Kolin Klorida (ChCl) dan Waktu Delignifikasi Terhadap Kadar Selulosa

Kadar selulosa merupakan faktor penting dari proses delignifikasi. Semakin tinggi kadar selulosa yang bisa dihasilkan dari ampas tebu, maka semakin besar pengaruh untuk proses selanjutnya.

Gambar 4.5 menunjukkan hubungan antara kadar selulosa dengan jumlah ChCl dan waktu delignifikasi.

Gambar 4.5 Pengaruh Jumlah ChCl dan Waktu Delignifikasi Terhadap Kadar Selulosa

Dapat dilihat pada Gambar 4.5, bahwa kadar selulosa meningkat seiring peningkatan jumlah ChCl dan waktu delignifikasi. Peningkatan selulosa terjadi sampai pada batas waktu tertentu dan diperoleh kadar selulosa yang relatif tinggi karena ChCl yang digunakan merupakan bahan


(38)

yang bersifat selektif, yang khusus menyerang lignin dan menguraikan selulosa dari ikatan lignin.

Sesuai dengan pernyataan di atas bahwa peningkatan kadar selulosa disebabkan oleh ikatan lignin yang terputus dari hemiselulosa dan selulosa akibat degradasi pada alfa dan beta lignin, sehingga selulosa yang dihasilkan semakin meningkat. Namun, kadar selulosa yang dihasilkan cenderung konstan pada waktu 90 menit dengan jumlah ChCl lebih dari 15%. Hal ini disebabkan terjadinya degradasi pada kelompok polisakarida yaitu selulosa dan hemiselulosa yang terkandung pada bahan baku.

Dilaporkan dari hasil penelitian terdahulu bahwa kadar selulosa dari hasil delignifikasi yang dilakukan pada ampas tebu menggunakan H2O2

dalam media asam asetat pada konsentrasi H2O2 15% adalah 35,71% pada

suhu 130 °C dengan waktu delignifikasi 3 jam. Penggunaan H2O2 pada

konsentrasi lebih dari 15% menyebabkan terjadinya oksidasi polisakarida yang pada akhirnya menyebabkan penurunan selulosa akibat reaksi yang terjadi (Zuidar, 2014).

Peran ChCl terhadap kadar selulosa yang didapatkan adalah sebagai larutan pemasak yang dapat meningkatkan kadar selulosa yang dihasilkan dibandingkan tanpa ChCl. ChCl juga meningkatkan porositas sampel sehingga lebih mudah mendelignifikasi serbuk ampas tebu dengan meningkatnya waktu delignifikasi. Kandungan selulosa hasil dari delignifikasi di dalam ampas tebu adalah sekitar 39% dari berat ampas tebu.

4.1.6 Pengaruh Jumlah Kolin Klorida (ChCl) dan Waktu Delignifikasi Terhadap Kadar Hemiselulosa

Gambar 4.6 menunjukkan hubungan antara kadar hemiselulosa dengan jumlah ChCl dan waktu delignifikasi.


(39)

Gambar 4.6 Pengaruh Jumlah ChCl dan Waktu Delignifikasi Terhadap Jumlah Kadar Hemiselulosa

Kadar hemiselulosa meningkat seiring peningkatan jumlah ChCl dan waktu delignifikasi. Sama halnya dengan selulosa, peningkatan hemiselulosa disebabkan oleh ikatan lignin yang terputus dari hemiselulosa dan selulosa akibat degradasi pada alfa dan beta lignin, sehingga hemiselulosa yang dihasilkan semakin meningkat. Hemiselulosa merupakan suatu polisakarida yang terdapat dalam tanaman dan tergolong senyawa organik non-kristalin.

Penelitian terdahulu menyatakan bahwa delignifikasi dapat menurunkan kadar lignin hingga 16% dari kandungan awal, serta meningkatkan kadar selulosa hingga 32% dan hemiselulosa hingga tiga kali lipat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diperoleh perlakuan yang terbaik, yaitu delignifikasi dengan konsentrasi NaOCl 1% dan lama perendaman 5 jam (Bagus Ida, 2011). Pada penelitian ini, kandungan hemiselulosa di dalam ampas tebu adalah 18,59 % dari berat ampas tebu.

4.2 Proses Hidrolisis terhadap Ampas Tebu

4.2.1 Perbandingan Proses Hidrolisis Tanpa Menggunakan Cairan Ionik Dengan Menggunakan Cairan Ionik

Jika dibandingkan antara proses hidrolisis dengan menggunakan cairan ionik dan tanpa menggunakan cairan ionik, diperoleh kadar glukosa


(40)

yang lebih besar pada sistem yang menggunakan cairan ionik seperti ditunjukan pada Gambar 4.2. Kadar glukosa optimum diperoleh pada kondisi waktu reaksi 60 menit dengan kadar glukosa yang dihasilkan 39,4% pada konsentrasi kolin klorida 15%. Sedangkan untuk proses hidrolisis tanpa penggunaan cairan ionik didapat kadar glukosa yang lebih sedikit pada kondisi waktu yang sama yaitu 90 menit sebesar 30,87%.

Gambar 4.8 Perbandingan Kadar Glukosa Proses Hidrolisis Dengan Menggunakan Cairan Ionik 15 % dan Tanpa Menggunakan Cairan Ionik

Dapat dilihat pada Gambar 4.8 bahwa kadar glukosa semakin meningkat dengan meningkatnya waktu reaksi dan didapat kadar glukosa tertinggi dengan menggunakan cairan ionik. Waktu reaksi optimum untuk memeperoleh kadar glukosa tertinggi adalah 60 menit dengan menggunakan cairan ionik 20%. Dengan menggunakan cairan ionik dapat mengefisienkan waktu hidrolisisis lebih cepat untuk mendapatkan kadar glukosa terbaik.

Dapat dilihat dari gambar, kadar glukosa lebih sedikit fluktuasi dari waktu 30 menit sampai waktu 90 menit pada proses hidrolisis dalam sistem cairan ionik. Jika waktu hidrolisis diperpanjang dengan menggunakan temperatur yang sama dan kenaikan waktu hidrolisis yang sama, didapat hasil hidrolisis yang tidak terlalu jauh dengan menggunkan cairan ionik. Namun, jika tanpa menggunkan cairan ionik akan terjadi kenaikan kadar glukosa sampai batas waktu tertentu dan diperkirakan tidak mengalami


(41)

perubahan kenaikan yang signifikan sebab di pengaruhi oleh pemanasan yang dapat merusak rantai polisakarida yang akan menjadi glukosa.

Peneliti sebelumnya merancang penggunaan cairan ionik mampu mengikat selulosa dan asam serta dapat memecah kristal selulosa dengan mengikat beberapa gugus hidroksil, meningkatkan kelarutan dan aktivitas katalitik (Haryanti, 2015).

4.2.2 Pengaruh Perubahan Waktu Reaksi Dan Konsentrasi Kolin Klorida Terhadap Kadar Glukosa

Proses hidrolisis ampas tebu dilakukan dalam sistem cairan ionik kolin klorida dengan variasi konsentrasi kolin klorida 10%, 15% dan 20% dan variasi waktu hidrolisis 30, 60, dan 90 menit. Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah cairan ionik yang berbeda, berpengaruh terhadap kadar glukosa yang dihasilkan dengan konsentrasi optimum 20% dan waktu reaksi optimum 60 menit yaitu sebesar 39,4%. Gambar 4.7 menunjukkan hubungan antara kadar glukosa dengan jumlah kolin klorida dan waktu hidrolisis.

Gambar 4.7 Pengaruh Waktu Reaksi Dan Konsentrasi Kolin Klorida Terhadap Kadar Glukosa

Dapat dilihat pada Gambar 4.7 bahwa kadar glukosa semakin meningkat dengan meningkatnya waktu reaksi hidrolisis dan konsentrasi


(42)

kolin klorida. Pada penelitian ini, untuk peningkatan konsentrasi kolin klorida dari 10% sampai 20% terjadi kenaikan persentase kadar glukosa yaitu sebesar 2,1% pada waktu 30 menit, 2,7% pada waktu 60 menit, dan 2,4% pada waktu 90 menit. Sedangkan untuk jumlah kolin klorida 20%, peningkatan waktu hidrolisis dari 60 menit ke 90 menit, didapatkan kadar glukosa yang menurun.

Semakin bertambahnya waktu reaksi, kadar glukosa yang dihasilkan semakin bertambah dan sampai pada batas waktu tertentu akan diperoleh kadar glukosa yang maksimum. Ini disebabkan kontak antara zat–zat yang bereaksi dapat lebih lama dan apabila waktu tersebut diperpanjang pertambahan kadar glukosa sangat kecil bahkan akan menurun. Jika semakin lama waktu reaksi, selulosa tidak larut dalam air sehingga pemecahan rantai polisakarida menjadi glukosa tidak dapat berlangsung dengan baik. Selain itu pemanasan yang terus-menerus dapat merusak glukosa.

Kolin klorida mampu meningkatkan konversi selulosa menjadi gula. Cairan ionik bereaksi dengan air dan dapat membantu mengikat hemiselulosa agar serat hemiselulosa tidak terikut bersama selulosa dan dapat membentuk senyawa glukosa dengan baik dan karena sifat cairan ramah lingkungan maka dapat mengurangi konsentrasi katalis asam sulfat, sehingga aman bagi lingkungan dan tidak menimbulkan korosi pada alat.

Pada penelitian ini, kadar glukosa optimum sebesar 39,4% diperoleh pada kondisi waktu reaksi hidrolisis 60 menit dan konsentrasi cairan ionik 20%. Penggunaan cairan ionik yang berbeda sebagai pelarut memiliki kemampuan melarutkan yang berbeda-beda pula tergantung pada ukuran dan polaritas dari anion atau kation yang digunakan.


(43)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian yang telah dilakukan adalah:

1. Pada proses delignifikasi ampas tebu menggunakan ChCl didapatkan kadar selulosa terbaik adalah pada penggunaan ChCl sebesar 20 % dan pada waktu 90 menit dengan hasil kadar selulosa yang didapat mencapai 39,80 %.

2. Penggunaan jumlah ChCl 20% dari berat ampas tebu sudah mencukupi untuk terjadinya degradasi gugus basa dari larutan pemasak yang menyerang alfa dan beta lignin, yang menyebabkan kadar selulosa meningkat.

3. Kadar glukosa tertinggi sebesar 39,4%, diperoleh pada kondisi waktu hidrolisis 90 menit dengan konsentrasi cairan ionik kolin klorida 15%, sedangkan tanpa menggunakan cairan ionik kolin klorida diperoleh kadar glukosa sebesar 30,87%.

5.2 SARAN

Sebaiknya untuk penelitian berikutnya disarankan untuk:

1. Mengkaji pengaruh peningkatan temperatur pada proses delignifikasi ampas tebu.

2. Menggunakan cairan ionik berbasis kolin dengan anion yang berbeda untuk melihat pengaruhnya terhadap kadar selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang dihasilkan.

3. Menggunakan alat uv-visible untuk menganalisa kadar glukosa yang dihasilkan karena lebih efisien dalam menganalisa.


(44)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tebu

Tanaman tebu (Saccharum officinarum) dimanfaatkan sebagai bahan baku utama dalam industri gula. Pengembangan industri gula mempunyai peranan penting bukan saja dalam rangka mendorong pertumbuhan perekonomian di daerah serta penambahan atau penghematan devisa, tetapi juga langsung terkait dengan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat dan penyediaan lapangan kerja (Farid, 2003). Bagian lain dari tanaman seperti daunnya dapat pula dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan bahan baku pembuatan pupuk hijau atau kompos. Ampas tebu digunakan oleh pabrik gula itu sendiri untuk bahan bakar selain itu biasanya dipakai oleh industri pembuat kertas sebagai campuran pembuat kertas.

Daun tebu yang kering (dalam bahasa Jawa, dadhok) adalah biomassa yang mempunyai nilai kalori cukup tinggi. Di pedesaan dadhok sering dipakai sebagai bahan bakar untuk memasak; selain menghemat minyak tanah yang makin mahal, bahan bakar ini juga cepat panas. Dalam konversi energi pabrik gula, daun tebu dan juga ampas batang tebu digunakan untuk bahan bakar boiler, yang uapnya digunakan untuk proses produksi dan pembangkit listrik (Anonim, 2007). Tanaman tebu dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Tanaman Tebu


(45)

atau pabrik gula yang menyewa lahan pertanian penduduk dan sekaligus mengupah tenaganya dalam usaha mengembangkan tanaman tebu bagi keperluan memenuhi bahan baku bagi pabriknya (Kartasapoetra, 1988). Produk utama dari pabrik gula adalah gula putih. Namun ada produk yang merupakan produk samping dari pengolahan tebu menjadi gula. Hasil samping tersebut berupa tetes (molase), pucuk daun tebu, blotong, ampas tebu yang merupakan limbah pabrik. Hasil samping berupa limbah pabrik sering menimbulkan banyak permasalahan sebab menjadi sumber pencemaran lingkungan.

Ampas tebu adalah hasil samping dari proses ekstraksi (pemerahan) cairan tebu. Dari satu pabrik dapat dihasilkan ampas tebu sekitar 35 – 40% dari berat tebu yang digiling. Mengingat begitu banyak jumlahnya, maka ampas tebu akan memberikan nilai tambah untuk pabrik jika diberi perlakuan lebih lanjut (Tim Penulis PS, 1992).

2.2 Ampas Tebu

Ampas tebu adalah suatu residu dari proses penggilingan tanaman tebu (saccharum oficinarum) setelah diekstrak atau dikeluarkan niranya pada Industri pemurnian gula sehingga diperoleh hasil samping sejumlah besar produk limbah berserat yang dikenal sebagai ampas tebu (bagasse). Ampas tebu dapat dilihat pada gambar 2.2.

Gambar 2.2 Ampas Tebu

Ampas tebu sebagai limbah pabrik gula merupakan salah satu bahan lignoselulosa yang potensial untuk dikembangkan menjadi sumber energi seperti bioetanol. Konversi bahan lignoselulosa menjadi bioetanol mendapat perhatian penting karena bioetanol dapat digunakan sebagai bahan bakar. Penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar terus dikembangkan. Menurut Licht (2009), pada tahun 1999 produksi bahan bakar etanol mencapai 4.972


(46)

juta galon (setara dengan 18.819 juta liter) dan pada tahun 2008 meningkat menjadi 17.524 juta galon (setara dengan 66.328 juta liter). (Hermiati, 2009).

Manfaat umum yang dapat diperoleh dari bahan bakar bioetanol antara lain, digunakan untuk bahan baku industri turunan alkohol, campuran minuman keras, industri farmasi, sampai pada bahan baku campuran kendaraan. Tentu saja, pemanfaatan etanol ini harus disesuaikan dengan jenis kebutuhannya. Misalnya, untuk kebutuhan industri diperlukan etanol dengan grade antara 90-96,5%, sedangkan untuk minuman keras dibutuhkan etanol berkadar 99,5-100%, atau etanol yang harus betulbetul kering dan anhydrous supaya tidak korosif (Abidin, 2009).

Pemanfaatan ampas tebu untuk dikonversikan menjadi bioetanol telah banyak diteliti dari dulu hingga saat ini, diantaranya yang pernah memanfaatkan ampas tebu menjadi bioetanol yaitu M.Samsuri dkk (2007) dan Euis Hermiati dkk (2009).

Ampas tebu sebagian besar mengandung lignoselulosa. Panjang seratnya antara1,7 sampai 2 mm dengan diameter sekitar 20 mikro, sehingga ampas tebu ini dapat memenuhi persyaratan untuk diolah menjadi papan-papan buatan. Bagase mengandung air 48 - 52%, gula rata-rata 3,3% dan serat rata-rata 47,7%.

Serat bagase tidak dapat larut dalam air dan sebagian besar terdiri dari jenis selulosa, pentosan dan lignin (Husin, 2007). Menurut Husin (2007) hasil analisis serat bagas adalah seperti dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Komposisi kimia ampas tebu Kandungan Kadar %

Abu 3,82

Lignin 22,09

Selulosa 37,65

Sari 1,81

Pentosan 27,97

Sumber, Husin, 2007

2.3 Delignifikasi

Delignifikasi adalah suatu proses pendahuluan penghilangan lignin pada material berlignoselulosa sehingga hasil dari proses ini sudah berupa


(47)

selulosa dengan kemurnian yang cukup besar. Delignifikasi selulosa dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya yaitu :

1. Ozonolysis Pretreatment, yaitu delignifikasi menggunakan ozon

dilakukan pada suhu ruangan dan tekanan atmosfer serta dapat menghancurkan sekitar lignin yang terkandung dalam lignoselulosa. 2. Delignifikasi Pulp menggunakan Hidrogen Peroksida ( dalam

media asam asetat.

3. Delignifikasi Oksigen, yaitu proses untuk mengurangi kandungan lignin dari pulp coklat (yang belum mengalami proses pemutihan). Bahan kimia yang dipakai adalah dan alkali.

4. Delignifikasi dengan larutan NaOH.

5. Delignifikasi menggunakan cairan ionik, yaitu delignifikasi menggunakan garam yang berwujud cair di bawah suhu 100 °C. Contoh cairan ionik kolin klorida (Trimethyl(2- hydroxyethyl)

ammonium chloride).

Tujuan dari proses delignifikasi yaitu untuk menghilangkan lignin, juga dapat mengurangi kristalinitas selulosa, dan meningkatkan porositas bahan. Selain lignin terdapat juga zat non selulosa lain seperti zat ekstraktif, tanin dan resin yang melekat kuat pada selulosa. Lignin merupakan salah satu bagian yang mengayu dari tanaman seperti janggel, kulit keras, biji, bagian serabut kasar, akar, batang dan daun. Lignin mengandung substansi yang kompleks dan merupakan suatu gabungan beberapa senyawa yaitu karbon, hidrogen dan oksigen. Selain lignin, bagian yang lain dari ampas tebu adalah selulosa. Selulosa merupakan polisakarida yang didalamnya mengandung zat-zat gula. Dalam pembuatan etanol dari ampas tebu yang digunakan adalah selulosanya sehingga lignin dalam kayu harus dihilangkan. Proses pemisahan atau penghilangan lignin dari serat-serat selulosa disebut delignifikasi atau pulping.

2.4 Selulosa

Selulosa adalah polimer tak bercabang dari glukosa yang dihubungkan melalui ikatan beta 1,4 atau 1,4 beta glukosidase. Molekul lurus dengan unit glukosa rata- rata sebanyak 5000 ini beragregasi membentuk fibril yang terikat melalui ikatan hidrogen di antara gugus


(48)

hidroksil pada rantai di sebelahnya. Serat selulosa yang mempunyai kekuatan fisik yang tinggi terbentuk dari fibril-fibril ini, tergulung seperti spiral dengan arah-arah yang berlawan menurut satu sumbu. Selulosa merupakan jenis polisakarida yang paling melimpah pada hampir setiap struktur tanaman. Kandungan selulosa kayu berkisar 48 – 50%, pada bagas berkisar antara 50 – 55% dan pada tandan kosong kelapa sawit sekitar 45%. Selulosa dapat dihidrolisis dengan asam kuat maupun dengan enzim selulase.

Selulosa adalah salah satu komponen utama dari ligniselulosa yang terdiri dari unit monomer D-glukosa yang terikat pada ikatan 1,4-glikosidik. Selulosa cenderung membentuk mikrofibril melalui ikatan inter dan intra molekuler sehingga memberikan struktur yang larut. Mikrofibril selulosa terdiri dari 2 tipe, yaitu kristalin dan amorf (Trisanti Anindyawati, 2009). Adapun struktur selulosa dapat dilihat dibawah ini :

Gambar 2.3 Struktur Selulosa

Selulosa terdapat pada semua tanaman baik pohon tingkat tinggi hingga organisme primitif seperti rumput laut. Senyawa-senyawa seperti lemak, lilin, protein, dan pektin dapat dihilangkan dengan cara ekstraksi dengan pelarut organik atau alkali encer (Sastrohamidjojo dan Prawirohatmojo, 1995).

2.5 Hemiselulosa

Hemiselulosa termasuk dalam kelompok polisakarida heterogen yang dibentuk melalui biosintesis yang berbeda dari selulosa. Bebbeda dengan selulosa yang merupakan homopolisakarida, hemiselulosa merupakan heteropolisakarida. Derajat polimerisasi hemiselulosa dapat mencapai 200 (Sastrohamidjojo dan Prawirohatmojo, 1995).

Hemiselulosa merupakan polisakarida dengan bobot molekul lebih kecil dibandingkan selulosa. Molekul hemiselulosa lebih mudah menyerap


(49)

air, bersifat plastis, dan mempunyai permukaan kontak antar molekul lebih luas dibandingkan dengan selulosa (Judoamidjojo, et al., 1989; Winarno, 1997). Ikatan di dalam rantai hemiselulosa banyak bercabang karena gugus

β-glukosida di dalam molekul yang satu berkaitan dengan gugus hidroksil , , dan dari molekul yang lain. Hemiselulosa berbentuk amorf, mempunyai derajat polimerisasi lebih rendah dan mudah larut dalam alkali tetapi struktur larut dalam asam, sedangkan selulosa sebaliknya (Tjokroadikoesoemo, 1986). Struktur hemiselulosa dapat dilihat pada gambar 2.4.

Gambar 2.4 Struktur Hemiselulosa

2.6 Lignin

Lignin adalah polimer aromatik kompleks yang terbentuk melalui polimerisasi tiga dimensi dari sinamil alkohol dengan bobot molekul 11.000 (Krisnawati, 2008). Lignin terbentuk dari fenil propana, unit-unit fenil propana terikat satu dengan lainnya dengan ikatan ester (C-0-C) maupun ikatan karbon-karbon (Sjostrom, 1985).

Lignin bersifat hidrofobik dan melindungi selulosa sehingga strukturnya bersifat kaku (rigrid). Lignin dapat dioksidasi oleh larutan alkali dan oksidator lain, Pada suhu tinggi, lignin dapat mengalami perubahan menjadi asam format, metanol, asam asetat, aseton dan vanilin (Judoamidjojo, et al,. 1989). Rumus struktur molekul lignin dapat dilihat pada gambar 2.5.


(50)

Gambar 2.5 Struktur molekul lignin

2.7 Hidrolisis

Hidrolisis merupakan proses pemecahan polisakarida dalam biomassa lignoselulosa, yaitu selulosa dan hemiselulosa menjadi monomer gula yang dapat dilakukan secara kimia ataupun enzimatis. Pada hidrolisis sempurna selulosa akan menghasilkan glukosa, sedangkan hemiselulosa menghasilkan beberapa monomer gula pentose (C5) dan heksosa (C6). Hidrolisis dapat dilakukan secara kimia (asam) atau enzimatik (Trisanti, 2010). Hidrolisis ampas tebu adalah representasi dari proses delignifikasi yaitu memisahkan serat (selulosa dan fragmentasinya) yang terdapat dalam kayu dari senyawa lignin.

Pada metode hidrolisis asam, biomassa lignoselulosa dihidrolisa dengan asam pada suhu dan tekanan tertentu selama waktu tertentu, dan menghasilkan monomer gula dari polimer selulosa dan hemiselulosa. Hidrolisis selulosa menjadi glukosa dapat dilakukan menggunakan cara kimiawi dan hayati. Hidrolisis dengan cara kimiawi menggunakan asam kuat, sedangkan dengan cara hayati menggunakan enzim murni atau mikroorganisme penghasil enzim selulase. Kendala yang dihadapi yaitu rendahnya laju hidrolisis karena adanya kandungan lignin dalam bahan lignoselulosa. Oleh karena itu dilakukan proses delignifikasi sebelum dihidrolisis.

Beberapa asam yang umum digunakan untuk hidrolisis asam antara lain adalah asam sulfat (H2SO4), asam perklorat dan HCl. Asam sulfat

merupakan asam yang paling banyak diteliti dan dimanfaatkan untuk hidrolisis asam. Hidrolisis asam dapat dikelompokkan menjadi hidrolisis asam pekat dan hidrolisis asam encer (Isroi, 2008).

Aplikasi hidrolisis menggunakan enzim secara sederhana dilakukan dengan mengganti tahap hidrolisis asam dengan tahap hidrolisis enzim selulosa. Hidrolisis enzimatik memiliki beberapa keuntungan dibandingkan


(51)

hidrolisis asam, antara lain: tidak terjadi degradasi gula hasil hidrolisis, kondisi proses yang lebih rendah (suhu rendah), berpotensi memberikan hasil yang tinggi dan biaya pemeliharaan peralatan relatif rendah karena tidak ada bahan yang korosif. Beberapa kelemahan dari hidrolisis enzimatik antara lain adalah membutuhkan waktu yang lebih lama, dan kerja enzim dihambat oleh produk. Di sisi lain harga enzim saat ini lebih mahal daripada asam sulfat, namun demikian pengembangan terus dilakukan untuk menurunkan biaya dan meningkatkan efisiensi hidrolisis maupun fermentasi (Isroi, 2008).

Hidrolisis dalam suasana asam menghasilkan pemecahan ikatan glikosida dan berlangsung dalam tiga tahap. Tahap pertama proton yang berkelakuan sebagai katalisator asam berinteraksi cepat dengan oksigen glikosida yang menghubungkan dua unit gula, yang akan membentuk asam konjugat. Langkah ini akan diikuti dengan pemecahan yang lambat dari ikatan C-O, dalam kebanyakan hal menghasilkan zat antara kation karbonium siklis. Protonasi dapat juga terjadi pada oksigen cincin , menghasilkan pembukaan cincin dan kation karbonium non siklis. Mekanisme reaksi total hidrolisis selulosa secara asam ditampilkan dibawah ini :

(C6H10O5)n + nH2O katalis asam/enzim nC6H12O6

(selulosa) (glukosa)

2.8 Cairan Ionik (Ionic Liquid)

Air adalah pelarut yang sangat populer di masyarakat. Namun, bila ditanyakan kepada ahli kimia tentang pelarut maka mereka bisa mengatakan banyak tentang benzena, toluen, diklorometan, kloroform dan banyak lagi. Pelarut memang menjadi sangat esensial dalam proses kimia. Banyak pelarut digunakan dengan penyesuaian zat terlarutnya. Itulah yang membuat banyak sekali jenis pelarut yang digunakan dalam proses kimia, baik itu dalam reaksi maupun pemisahan satu zat dari kumpulan zat.

Cairan ionik adalah garam yang berwujud cair di bawah suhu 100 °C. Cairan ionik di dalamnya mememiliki spesi ioniknya sangat dominan dibandingkan spesi molekulernya. Cairan ini merupakan garam organik yang memiliki derajat asimetri yang berbeda, itulah yang mencegahnya menjadi kristal. Pilihan kation dan anion yang berbeda akan menghasilkan cairan ionik yang bervariasi. Garam alkilimidazolium, mungkin karena kemudahan sintesis dan sifat fisiknya yang menarik. Garam amonium kuarterner didapatkan secara komersil dan digunakan pada proses katalisis.


(52)

Ada tiga komponen penting dari cairan ionik ini. Pertama, yang bermuatan positif (+) disebut kation. Kedua, yang bermuatan negatif (-) adalah anion. Dan terakhir yang diberi simbol R adalah subtituen alkil yang juga merupakan bagian dari kation. Ketiga komponen itu bisa divariasikan untuk mendapatkan sifat fisika dan kimia yang berbeda pula.

2.8.1 Sifat fisika dan kimia

Sifat fisik dari cairan ionik dapat diatur dengan memvariasikan kation, anion dan subtituen gugus alkilnya. Contohnya, kelarutan dalam air bisa diatur dengan gugus R-nya. Memperpanjang gugus alkil (R) akan menurunkan kelarutan dalam air dengan meningkatkan hidrofobisitas dari kationnya. Sifat kimia dan fisikanya bisa diubah dengan mengatur anionnya, seperti halida, nitrat, asetat, trifluoroasetat, tetrafluoroborat, triflat, heksafluorofosfat dan bis(trifluorometilsulfonil)imida. Contohnya, garam imidazolium dengan anion halida, nitrat dan trifluorofosfat bercampur sempurna dengan air, tapi dengan anion [PF6-] dan [(CF3SO2)2N-] tidak

bercampur dengan air, dan [BF4-] dan [CF3SO3-] bisa bercampur atau tidak

tergantung pada subtituen kationnya.

Titik leleh dari garam yang memiliki anion halida cenderung lebih tinggi bila anion yang digunakan lebih banyak, dan titik leleh umumnya meningkat seiring meningkatnya panjang rantai subtituen. Cairan ionik pertama yang banyak digunakan adalah campuran dari dialkilimidazolium atau alkilpiridinum halida dengan AlCl3 atau AlBr3 (Welton, 1999). Cairan ionik pertama yang stabil terhadap udara dan air yang memiliki titik leleh rendah adalah 1-etil-3-metilimidazolium BF4 dan 1-etil-3-metilimidazolium MeCO2 (Wilkes dan Zaworotko, 1992).

Cairan ionik lebih kental dari pelarut organik biasa. Contohnya, viskositas dari kebanyakan imidazolium berada pada rentang 35 sampai 500 cP dalam suhu ruang (Seddon et al, 2000). Garam dengan anion bis(trifluorometilsulfonil)imida [(CF3SO2)2N-] memiliki viskositas terendah dalam rentang tadi (Bonhote et al., 1996), sama juga seperti garam dengan kation pirolidinium (MacFarlane et al., 1999). Data yang dimiliki bahwa cairan ionik merupakan fluida Newtonian (Brennecke et al., 2001).

Salah satu keuntungan dari cairan ionik ini adalah tidak mudah menguap karena memiliki tekanan uap yang mendekati nol. Selain itu, cairan ini juga stabil pada suhu tinggi sampai 400°C sehingga bisa siaplikasikan pada reaksi pada kondisi ekstrim. Pada suhu kamar, cairan ini sangat murni sehingga bisa melarutkan dengan lebih baik.


(53)

2.8.2 Kolin Klorida (Trimethyl(2- hydroxyethyl) ammonium chloride)

Kolin Klorida merupakan salah satu contoh cairan ionik yang berupa garam organik dengan rumus molekul C5H14ClNO dan mempunyai titik

leleh 302 °C (576 °F; 575 K). Dalam laboratorium kolin dapat dibuat dengan metilasi dimetiletanolamina dengan metil klorida.

Kolin klorida diproduksi secara massal dan merupakan aditif penting dalam pakan terutama untuk ayam mempercepat pertumbuhan. Garam kolin komersial lainnya adalah hidroksida kolin dan bitartrat kolin. Dalam bahan makanan senyawa ini sering hadir sebagai fosfatidilkolin. Hal ini juga digunakan sebagai aditif dalam cairan yang digunakan untuk rekah hidrolik. Dan berfungsi untuk menurunkan derajat kristalinitas dan meningkatkan porositas sampel sehingga lebih mudah mendelegnifikasi selulosa. Keuntungan kolin klorid dibandingkan perarut lainnya yaitu lebih mudah larut, harganya ekonomis, dan biodegradable. Struktur kolin klorid dapat dilihat pada gambar 2.6.


(54)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tebu merupakan tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula dan vetsin. Tanaman ini hanya dapat tumbuh di daerah beriklim tropis. Tanaman ini termasuk jenis rumput-rumputan. Umur tanaman sejak ditanam sampai bisa dipanen mencapai kurang lebih 1 tahun. Di Indonesia tebu banyak dibudidayakan di pulau Jawa dan Sumatra. Luas dari perkebunan tebu di Indonesia mencapai 398.260 ha (BKPM, 2008). Dari proses pembuatan tebu tersebut akan dihasilkan gula 5%, ampas tebu 90% dan sisanya berupa tetes (molasse) dan air (Enny, 2010).

Ampas tebu merupakan salah satu bahan baku pembuatan bioetanol yang mengandung selulosa. Disamping itu pemanfaatan ampas tebu masih dalam proses pengembangan, biasanya ampas tebu digunakan untuk bahan bakar, bahan baku untuk kertas, ahan baku industri kanvas rem, industri jamur dan lain-lain. Ampas tebu termasuk biomassa yang mengandung lignoselulosa sangat dimungkinkan untuk dimanfaatkan menjadi sumber energi alternatif seperti bioetanol atau biogas. Ampas tebu memiliki kandungan selulosa 52,7%, hemiselulosa 20,0%, dan lignin 24,2% (Samsuri

et al., 2007).

Bioetanol adalah salah satu bentuk energi terbaharui yang dapat diproduksi dari tumbuhan. Bioetanol dapat dibuat dari tanaman-tanaman yang umum, misalnya tebu, kentang, singkong, dan jagung. Krisis energi yang melanda saat ini merupakan akibat dari penggunaan energi fosil yang terlalu berlebihan sehingga cadangan energi yang tersedia semakin sedikit. Salah satu solusi mengatasinya adalah mengembangkan energi terbarukan yang dihasilkan berasal dari pemanfaatan limbah.

Dalam proses pembuatan bioetanol dari ampas tebu, delignifikasi lignoselulosa adalah tahap pertama yang dilakukan untuk memutuskan ikatan antara selulosa, hemiselulosa dan lognin. Proses delignifikasi merupakan proses penghilangan lignin dari bahan, sehingga hasil dari proses ini sudah berupa selulosa dengan kemurnian yang cukup besar.


(55)

Delignifikasi selulosa dengan menggunakan cairan ionik lebih efektif dibandingkan tanpa cairan ionik. Ionic liquid (IL) atau cairan ionik adalah garam yang pada suhu kamar berbentuk cair. Hal ini disebabkan cairan ionik telah menurunkan derajat kristalinitas dan meningkatkan porositas sampel sehingga lebih mudah mendelegnifikasi selulosa.

Cairan ionik umumnya dapat digunakan pada suhu kamar dan tidak menghasilkan reaksi samping yang bersifat toksik. Cairan ionik kolin klorida (Trimethyl(2- hydroxyethyl) ammonium chloride) mempunyai tingkat toksiksitas yang rendah, biodegradable, dapat dinyatakan sebagai asam lemah. Riset-riset yang ada saat ini belum melaporkan aplikasi cairan ionik terhadap lignoselulosa dari ampas tebu. Uraian-uraian diatas menjadi tantangan untuk mempelajari delignifikasi lignoselulosa ampas tebu menggunakan cairan ionik. Dapat dilihat pada Tabel 1.1 menunjukkan hasil penelitian terdahulu tentang delignifikasi menggunakan cairan ionic.

Tabel 1.1 Data hasil penelitian tentang delignifikasi menggunakan cairan ionik

No .

Bahan/Metode/ Produk

Proses Hasil Nama

Peneliti/Tahun

1 Kayu /

delignifikasi / biomassa Kayu di delignifikasi menggunakan cairan ionik switchable (SIL)

yang berasal dari amina alkanol (monoethanol amina, MEA) dan dasar super organik (1,8-diazabicyclo- [5.4.0 ] -undec-7-ena, DBU) dengan dua gas asam yang berbeda (CO2 dan

SO2)

Kayu yang telah di delignifikasi menggunakan MEA-SO2 -SIL

menghasilkan 80% berat selulosa, 10% berat hemiselulosa, dan 3% berat lignin, sedangkan delegnifikasi menggunakan SIL MEA-CO2

menghasilkan 66% berat selulosa, 12% berat hemiselulosa dan 11 wt%

Anugwom I, Eta V, Virtanen P, Mäki-Arvela P, Hedenström M, Hummel M, Sixta

H, Mikkola JP / 2014


(56)

Tabel 1.1 Data hasil penelitian tentang delignifikasi menggunakan cairan ionik (Lanjutan)

No. Bahan/Metode /Produk

Proses Hasil Nama Peneliti

/Tahun

lignin. Dengan demikian, MEA-SO2 -SIL terbukti

lebih efisien daripada SIL- MEA-CO2

2 Pinus/

Delignifikasi/ Pulp

Larutan ionik biopolimer terlarut dapat dipisahkan dari partikel larut dengan

penambahan air (20% berat cairan ionik) diikuti dengan

penyaringan atau sentrifugasi.

Kayu pinus yang telah didelignifikasi menggunakan kolin asetat [Cho] [OAc]

menghasilkan 80% berat selulosa, 10,2% berat hemiselulosa, dan 5% berat lignin, kolin asetat [Cho] [OAc] dilarutkan dalam 1-etil-3-

metilimidazolium asetat selama 17 jam

Fangchao Cheng, Hui Wang, Gregory Cha tel, Gabriela Gurau, Robin D Rogers / 2014

3 Jerami padi Jerami padi didelignifikasi menggunakan kolin klorida (SIL) berupa 1-etil-3-metilimidazolium asetat ([C2mim] OAc)

Jerami padi yang telah didelignifikasi menggunakan Switchable ionic liquids (SIL) berupa 1-etil-3-metilimidazolium asetat ([C2mim] OAc) menghmasilkan 32% berat selulosa, 20% berat

hemiselulosa, dan 18% berat lignin

Jian Luo et al / 2013


(57)

Berdasarkan hasil-hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa SIL MEA-SO2 terbukti lebih efisien dan lebih baik sebagai pelarut untuk

menghilangkan lignin, tapi memiliki harga yang mahal. Kemudian cairan ionik (kolin asetat ([Cho] [OAc]) bersifat biodegradable namun memiliki kekurangan yaitu kurang cepat sebagai bahan pelarut dalam proses delignifikasi. Sedangkan [C2mim] OAc adalah pelarut yang baik untuk

kayu. Kekurangan dari penelitian-penelitian sebelumnya menjadi kelemahan dalam proses delignifikasi, dan akan diperbaiki dalam penelitian ini.

Ampas tebu mempunyai potensi untuk digunakan sebagai sumber glukosa melalui proses hidrolisis dengan asam atau enzim. Larutan gula yang dihasilkan selanjutnya dapat dikonversi menjadi berbagai prosuk seperti alkohol yang mempunyai nilai ekonomis yang jauh lebih tinggi. Hidrolisis lignoselulosa dengan asam encer adalah yang paling umum diaplikasikan untuk mendapatkan gula .

Hidrolisis asam encer dilakukan menggunakan asam mineral seperti H2SO4 dan HCl, pada suhu antara 120-200 oC (Taherzadeh dan Karimi,

2007). Proses hidrolisis berbahan lignoselulosa yang telah dilakukan antara lain hidrolisis biji nangka menggunakan larutan HCl 0,1 N mendapatkan gula 9,84 mg/ml (Maryudi, 2009). Hidrolisis serbuk gergaji menggunakan larutan H2SO4 0,5% mendapatkan gula dengan kadar 11,53 mg/ml

(Sediawan, dkk, 2010). Dari hidrolisis asam memiliki kelemahan antara lain adalah membutuhkan waktu yang lebih lama, rendahnya laju hidrolisis dan jumlah glukosa yang dihasilkan sedikit

Penelitian yang telah dilakukan mengenai aplikasi cairan ionik dalam produksi bioalkohol menunjukkan bahwa cairan ionik berperan sebagai pelarut dalam proses hidrolisa lignoselulosa dan selulosa. Pelarutan selulosa dan lignoselulosa dalam cairan ionik mampu mempercepat reaksi hidrolisa dan meningkatkan konversi selulosa dan lignoselulosa menjadi gula.

Perkembangan teknologi terbaru saat ini, dengan menggunakan cairan ionik telah memperlihatkan hasil hidrolisis yang lebih baik sebagai pelarut yang efesien untuk pelarutan biomassa. Cairan ionik merupakan cairan yang tidak mudah menguap (non-volatile), tidak mudah terbakar dan mempunyai kestabilan termal yang tinggi serta merupakan cairan yang ramah lingkungan atau biasa disebut green solvent. Keunggulan ini dapat dijadikan sebagai alternatif dalam proses pelarutan selulosa karena tidak menimbulkan dampak berbahaya terhadap lingkungan dan dapat mencapai efisiensi 94%, sehingga dapat mengurangi biaya produksi (Setiadi, 2009).


(58)

Beberapa kajian hidrolisis menggunakan cairan ionik telah dilaporkan seperti ditunjukkan dalam Tabel 1.2.

Tabel 1.2 Data Hasil Penelitian Tentang hidrolisis dengan menggunakan cairan ionik.

No. Bahan/Metode /Produk

Proses Hasil Nama

Peneliti /Tahun

1. TKKS/ hidrolisis/ biomassa Proses pelarutan biomassa TKKS dilakukan menggunakan cairan ionik

fatty imidazolinium dengan berbagai anion menggunakan pemanasan microwave.

Kristalinitas dari selulosa menjadi lebih rendah (dari 63,39% sebelum pengolahan awal menjadi 59 dan 36% setelah pengolahan awal), dan memperkecil ukuran partikel TKKS (dari 63,55 nm sebelum meningkatkan kadar glukosa yang dihasilkan dari proses hidrolisis enzimatik. Hasil glukosa selama 48 jam hidrolisis enzimatik sebesar 1,280 mg/mL

(menggunakan TKKS-treated-[cis-Ol-Imz-CH3COO]) > 1,172

mg/mL (menggunakan TKKS-treated-[cis-Ol-Imz-SCN] > 1,098 mg/mL (menggunakan TKKS-treated-[cis-Ol-Imz-I]) > 0,431 mg/mL

Kartika Mayasa ri/ 2014

2. TKKS/ hidrolisis/ bioetanol Hidrolisis Lignoselulosa Tandan Kosong Kelapa Sawit menggunakan cairan ionik 1-butil-3-metil imidazolium bromida dan selulase

Sintesis [BMIM]bromida dengan menggunakan metode

konvensional membutuhkan waktu reaksi 8 jam pada temperatur 90°C dan waktu kontak 20 jam

menunjukkan bahwa cairan ionik mempunyai reusabilitas hingga 3 kali dengan selulosa sebelum perlakuan mempunyai nilai LOI (Lateral Order Indeks) tinggi yaitu 1,0642 sedangkan selulosa tanpa perlakuan adalah 0,750.

Lucy Arianie, Deana Wahyu ningru m dan Zeily/ 2012


(59)

Tabel 1.2 Data Hasil Penelitian Tentang hidrolisis dengan menggunakan cairan ionic (Lanjutan)

No Bahan/Metode /Produk

Proses Hasil Nama

Peneliti /Tahun

3. Bagas / hidrolisis/ biomassa Dengan melakukan pengolahan awal biomassa bagas menggunakan garam fatty imidazolinium untuk meningkatkan hidrolisis enzimatik selulase.

Hasil glukosa selama 48 jam hidrolisis enzimatik sebesar 2,282 mg/ml menggunakan [c-Oim](CH3COO) >1,77 mg/ml

dengan yield glukosa meningkat 25,7% dari sebelum dilakukan pengolahan awal.

Noor Azizah/ 2014

Berkaitan dengan hasil penelitian di atas, masih terdapat beberapa kekurangan yang perlu diperbaiki antara lain: cairan ionik 1-butil-3-metil imidazolium bromida dan selulase yang harus di sintesis terlebih dahulu, bersifat toksik dan waktu hirolisis yang cukup lama.

Kelebihan cairan ionik dibanding pelarut lain adalah tidak menguap dan polaritasnya dapat didesain menurut kebutuhan. Hal ini dapat meningkatkan selektifitas cairan ionik sebagai pelarut terhadap alkohol. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik melakukan penelitian yang berjudul “PROSES DELIGNIFIKASI DAN HIDROLISIS LIGNOSELULOSA AMPAS TEBU MENGGUNAKAN

SISTEM CAIRAN IONIK KOLIN KLORIDA”.

1.2 Rumusan Masalah

Keberadaan lignin dalam bahan baku mengikat selulosa. Dalam penelitian ini dilakukan pelepasan lignin menggunakan sistem cairan ionik kolin klorida, kemudian dihidrolisis menjadi gula sederhana.


(60)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui bagaimana pengaruh cairan ionik kolin klorida yang digunakan dalam proses delignifikasi dan hidrolisis ampas tebu. 2. Menentukan kondisi terbaik dari delignifikasi dan hidrolisis ampas

tebu.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian delignifikasi ini adalah: 1. Menambah wawasan tentang proses delignifikasi dan hidrolisis

ampas tebu dengan menggunakan cairan ionik kolin klorida.

2. Memanfaatkan limbah ampas tebu untuk dijadikan sesuatu yang lebih bernilai.

3. Cairan ionik berbasis garam kolin klorida ini diharapkan mampu melarutkan biomassa dengan lebih baik dan dapat menggantikan pelarut yang saat ini digunakan. Sehingga dapat mengurangi biaya produksi dan dapat mengurangi tingkat pencemaran lingkungan.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Adapun ruang lingkup dari penelitian ini adalah : a. Ampas tebu yang digunakan dari PTPN 2

b. Cairan ionik yang digunakan adalah kolin klorida c. Jumlah ampas tebu yang digunakan adalah 30 gram

d. Variabel dalam proses delignifikasi yang dilakukan adalah :

1. Jumlah ChCl : 10%, 15% dan 20% (dari berat ampas tebu)

2. Jumah NaOH 1N : 6% (dari berat ampas tebu) (Ferdin Oktavianus, 2013) 3. Waktu : 30 menit, 60 menit dan 90 menit 4. Temperatur : 130 °C

e. Analisa dalam proses delignifikasi yang dilakukan adalah uji komposisi yaitu analisis selulosa, hemiselulosa dan lignin.


(61)

g. Variabel dalam proses hidrolisis yang dilakukan adalah :

1. Jumlah ChCl : 10%, 15%, 20% (dari berat selulosa hasil delignifikasi)

2. Jumlah H2SO4 1N : 10 % (dari berat selulosa hasil

delignifikasi) (Ferdin oktavianus, 2013)

3. Waktu : 30 menit, 60 menit dan 90 menit 4. Temperatur : 105 °C

h. Analisa yang dilakukan analisa kadar glukosa menggunakn Metode Luff Schoorl


(62)

ABSTRAK

Ampas Tebu merupakan limbah perkebunan yang memiliki kandungan lignoselulosa yang cukup tinggi dan belum dimanfaatkan secara maksimal. Dengan kandungan selulosa sebesar 30%-35%, maka Ampas Tebu berpotensi untuk digunakan untuk menjadi gula sederhana. Dalam proses pembuatan gula sederhana dari Ampas Tebu, delignifikasi lignoselulosa adalah tahap pertama yang dilakukan untuk memutuskan ikatan antara selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Pada penelitian ini dilakukan proses delignifikasi menggunakan NaOH dalam sistem cairan ionik dan tanpa cairan ionik. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kadar selulosa tertinggi yang terdapat pada Ampas Tebu. Proses delignifikasi yang dilakukan menggunakan cairan ionik kolin klorida (ChCl) dalam berbagai waktu pemasakan dengan jumlah ChCl yang berbeda. Penelitian ini menggunakan Ampas Tebu yang dikeringkan pada suhu 105 °C dengan variasi waktu pemasakan 30, 60, dan 90 menit dan variasi penambahan ChCl sebesar 10%, 20%, dan 30% dari berat Ampas Tebu. Hasil penelitian delignifikasi menggunakan ChCl diperoleh kadar selulosa tertinggi yaitu 39,80%, pada waktu 90 menit dan penambahan ChCl 20%. Sedangkan delignifikasi tanpa ChCl diperoleh kadar selulosa tertinggi sebesar 24,98%, pada waktu 90 menit. Hasil penelitian hidrolisis glukosa tertinggi sebesar 39,4% di peroleh dalam kondisi waktu 90 menit dengan ChCl 15%. Sedangkan tanpa ChCl diperoleh kadar glukosa sebesar 30,87% pada waktu 90 menit.

Kata Kunci: Ampas Tebu, Lignoselulosa, Delignifikasi, Hidrolisis, Kolin


(63)

ABSTRACT

Pulp cane is a waste which has a fairly high content of lignocelluloses. Mean while, Pulp cane has not been utilized optimally. With acellulose content of 30% - 35%, Pulp cane then potentially be used as raw material for bioethanol. In the process of bioethanol production from Pulp cane, delignification of lignocellulose the first stage to decide ligament between cellulose, hemicellulose and lignin. In this research, delignification process was carried out using NaOH in the ionic liquid system and without ionic liquids. The purpose of this research was to find out the highest content of cellulose which contained inthe Pulp cane. Delignification process were performed using ionic liquids choline chloride (ChCl) in variety of heating time with amount of different ChCl. This research used Pulp cane powder heated at a temperature 130 °C with a variety of heating time 30, 60, and 90 minutes and the variation addition of ChCl at 10% ,15% and 20% weight of Pulp cane. Delignification research results used ChCl obtained highest content of cellulose is 39,80%, treatment 90 minutes and the addition of 20% ChCl. While delignification without ChCl obtained highest content of cellulose is 24,98 %, treatment 90 minutes. Hydrolysis research results used ChCl obtained highest content of cellulose is 39,4%, treatment 90 minutes and the addition of 15% ChCl. While hydrolisys without ChCl obtained highest content of glucose is 30,87 %, treatment 90 minutes.

Keywords: Pulp cane, Lignocellulose, Delignification, Hydrolisys,


(64)

PROSES DELIGNIFIKASI DAN HIDROLISIS

LIGNOSELULOSA AMPAS TEBU MENGGUNAKAN SISTEM CAIRAN IONIK KOLIN KLORIDA

SKRIPSI

Oleh

WAHYU SATRIA 130425025

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016


(65)

PROSES DELIGNIFIKASI DAN HIDROLISIS

LIGNOSELULOSA AMPAS TEBU MENGGUNAKAN SISTEM CAIRAN IONIK KOLIN KLORIDA

SKRIPSI

Oleh

WAHYU SATRIA 130425025

SKRIPSI INI DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI SEBAGIAN PERSYARATAN MENJADI SARJANA TEKNIK

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016


(66)

(67)

(1)

2.8.2 Klorid (Trimethyl(2- hydroxyethyl) ammonium chloride) ... 19

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 20

3.1 Waktu dan Tempat ... 20

3.2 Alat dan Bahan ... 20

3.2.1 Alat dan Bahan untuk Delignifikasi ... 20

3.2.2 Alat dan Bahan untuk Hidrolisa ... 20

3.3 Rancangan Penelitian ... 20

3.4 Persiapan Bahan Baku... 22

3.5 Prosedur Penelitian Delignifikasi ... 23

3.6 Analisa selulosa, hemiselulosa, dan lignin ... 23

3.7 Prosedur Penelitian Hidrolisis ... 24

3.8 Analisa Kadar Glukosa ... 25

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 35

4.1 Proses Delignifikasi terhadap Ampas Tebu ... 35

4.1.1 Perbandingan Kadar Lignin yang Tertinggal didalam Holoselulosa Hasil Proses Delignifikasi Tanpa ChCl dan Menggunakan ChCl ... 36

4.1.2 Perbandingan Proses Delignifikasi Tanpa ChCl dan Menggunakan ChCl Terhadap Kadar Selulosa ... 37

4.1.3 Perbandingan Proses Delignifikasi Tanpa ChCl dan Menggunakan ChCl Terhadap Kadar Hemiselulosa ... 38

4.1.4 Pengaruh Jumlah Kolin Klorida (ChCl) dan Waktu Delignifikasi Terhadap Kadar Lignin yang Tertinggal di Dalam Holoselulosa Hasil Delignifikasi ... 39

4.1.5 Pengaruh Jumlah Kolin Klorida (ChCl) dan Waktu Delignifikasi Terhadap Kadar Selulosa ... 41

4.1.6 Pengaruh Jumlah Kolin Klorida (ChCl) dan Waktu Delignifikasi Terhadap Kadar Hemiselulosa ... 42

4.2 Proses Hidrolisa terhadap Ampas Tebu ... 43

4.2.1 Pengaruh Perubahan Waktu Reaksi Dan Konsentrasi Kolin Klorida Terhadap Kadar Glukosa ... 43


(2)

4.2.2 Perbandingan Proses Hidrolisis Tanpa Menggunakan Cairan

Ionik Dengan Menggunakan Cairan Ionik ... 45

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 47

5.1 Kesimpulan ... 47

5.2 Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48

LAMPIRAN 1 ... 51


(3)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Tanaman Tebu ... 9

Gambar 2.2 Ampas Tebu ... 10

Gambar 2.3 Struktur Selulosa ... 14

Gambar 2.4 Struktur Hemiselulosa ... 15

Gambar 2.5 Struktur Molekul Lignin... 15

Gambar 2.6 Struktur Kolin Klorid ... 19

Gambar 3.1 Flowchart Persiapan Bahan Baku ... 27

Gambar 3.2 Flowchart Proses Delignifikasi ... 29

Gambar 3.3 Flowchart Analisa Selulosa, Hemiselulosa, dan Lignin ... 32

Gambar 3.4 Flowchart Pembuatan Kurva Standar Glukosa ... 34

Gambar 3.5 Flowchart Proses Hidrolisa ... 32

Gambar 3.6 Flowchart Analisa Kadar Glukosa ... 34

Gambar 4.1 Perbandingan Kadar Lignin yang Tertinggal didalam Holoselulosa Hasil Proses Delignifikasi Tanpa ChCl dan Menggunakan ChCl ... 36

Gambar 4.2 Perbandingan Kadar Selulosa Hasil Proses Delignifikasi Tanpa ChCl dan dengan Menggunakan ChCl ... 37

Gambar 4.3 Perbandingan Kadar Hemiselulosa Hasil Proses Delignifikasi Tanpa ChCl dan Menggunakan ChCl ... 38

Gambar 4.4 Pengaruh Jumlah Kolin Klorida (ChCl) dan Waktu Delignifikasi Terhadap Kadar Lignin yang Tertinggal di Dalam Holoselulosa Hasil Delignifikasi... 40

Gambar 4.5 Pengaruh Jumlah ChCl dan Waktu Delignifikasi Terhadap Kadar Selulosa ... 41

Gambar 4.6 Pengaruh Jumlah ChCl dan Waktu Delignifikasi Terhadap Jumlah Kadar Hemiselulosa ... 43

Gambar 4.7 Pengaruh Waktu Reaksi Dan Konsentrasi Kolin Klorida Terhadap Kadar Glukosa... 45

Gambar 4.8 Perbandingan Kadar Glukosa Proses Hidrolisis Dengan Menggunakan Cairan Ionik dan Tanpa Menggunakan Cairan Ionik ... 45


(4)

Gambar L2.1 Penghancuran (penggilingan) Ampas Tebu Menggunakan Ball

Mill ... 59

Gambar L2.2 Pengayakan Serbuk Ampas Tebu Menggunakan Ayakan 60 mesh ... 59

Gambar L2.3 Serbuk Ampas Tebu yang Sudah Diayak ... 60

Gambar L2.4 Hasil Proses Pemasakan Menggunakan ChCl ... 60

Gambar L2.5 Proses Penyaringan Serbuk Ampas Tebu Hasil Pemasakan Menggunakan Kertas Saring ... 60

Gambar L2.6 Proses Pemasakan Menggunakan Oven ... 61

Gambar L2.7 Hasil Delignifikasi Menggunakan ChCl ... 61


(5)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Data Hasil Penelitian Tentang Delignifikasi Menggunakan

Cairan Ionik ... 2

Tabel 1.2 Data Hasil Penelitian Tentang Hidrolisis Menggunakan Cairan Ionik ... 6

Tabel 2.1 Komposisi Kimia Ampas Tebu ... 12

Tabel 3.1 Rancangan Acak Lengkap (RAL) untuk Proses Delignifikasi ... 21

Tabel 3.2 Rancangan Acak Lengkap (RAL) untuk Proses Hidrolisis ... 22

Tabel L1.1 Hasil Analisa Kadar Selulosa, Hemiselulosa dan Lignin ... 52

Tabel L.1.2 Penetapan gula menurut Luff Schoorl berdasarkan SNI ... 55

Tabel L.1.3 Hasil Analisa Kadar Glukosa ... 58


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 PERHITUNGAN DAN DATA HASIL PENELITIAN... 51

Perhitungan di Proses Delignifikasi ... 51

1.1 Perhitungan kadar Hemiselulosa ... 51

1.2 Perhitungan Kadar Selulosa ... 52

1.3 Perhitungan Kadar Lignin ... 53

Perhitungan di Proses Hidrolisa ... 54