Citra Perempuan dalam Media Semiologi Barthes

Universitas Sumatera Utara Relasi antara ‘sesuatu’, ‘peta konseptual’ dan ‘bahasa atau simbol’ tersebut merupakan jantung dari produksi makna. Proses ini terjadi secara bersamaan dan inilah yang kita sebut dengan representasi. John Fiske menjelaskan bahwa untuk menampilkan representasi tersebut paling tidak ada tiga proses yang meliputinya. Level pertama, peristiwa yang ditandakan yaitu saat kita menganggap dan mengkonstruksi peristiwa tersebut sebagai sebuah realitas. Level kedua, saat kita memandang sesuatu sebagai realitas, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana realitas itu digambarkan. Dalam level ini digunakanlah alat berupa kata, kalimat, grafik dan sebagainya. Pemakaian kata, kalimat, atau grafik tertentu akan membawa makna tertentu pula ketika diterima khalayak. Level ketiga, bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial seperti kelas social, kepercayaan dominan dan sebagainya yang ada dalam masyarakat Eriyanto, 2001:14.

II.2.2.2 Citra Perempuan dalam Media

Altenbernd mengatakan mengenai citraan yaitu gambar-gambar angan atau pilkiran, sedangkan setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji. Sementara citra perempuan adalah gambaran yang dimiliki setiap individu mengenai pribadi perempuan. Yaitu berupa semua wujud gambaran mental dan tingkah laku yang diekspresikan oleh tokoh perempuan. Wujud citra perempuan ini dapat digabungkan dengan aspek fisis, psikis, dan sosial budaya dalam kehidupan perempuan yang melatarbelakangi terbentuknya wujud citra perempuan Sugihastuti 2000:43. Kebebasan dalam mengaktualisasikan diri memang merupakan hak semua orang, sudah menjadi naluri yang alamiah jika manusia merupakan makhluk yang ingin diakui keberadaannya dan tidak ada strata baik gender ataupun status sosial dalam hal ini. Akan tetapi keindahan sosok perempuan sering kali dijadikan objek yang sangat menguntungkan bagi pelaku media. Sehingga posisi perempuan sangat potensial untuk dieksploitasi menjadi konsumsi masyarakat dalam media masa. Universitas Sumatera Utara Dalam Tomogola 1998, citra perempuan yang berhasil dibentuk dalam media massa tersebut antara lain yaitu:  Citra Pigura : Perempuan sebagai sosok sempurna dengan bentuk tubuh ideal.  Citra Pilar : Perempuan sebagai penyangga keutuhan dan penata rumah tangga.  Citra Peraduan : Perempuan sebagai objek seksual  Citra Pinggan : Perempuan sebagai sosok yang identik dengan dunia dapur.  Citra Pergaulan : Perempuan sebagai sosok yang kurang aktif dalam bergaul.

II.2.2.3 Tinjauan tentang daya tarik Daya tarik menurut Onong Uchjana Effendy adalah kekuatan atau

penampilan komunikator yang dapat memikat perhatian komunikan Onong,

1989: 33. Sedangkan menurut Kotler dalam Sindoro 1996 adalah: Daya tarik isi

pesan sebuah tayangan meliputi daya tarik rasional, emosional dan moral. Daya tarik rasional menunjukan bahwa kegiatan tersebut menghasilkan manfaat, sedangkan daya tarik emosional mencoba membangkitkan motivasi terhadap suatu kegiatan atau produk, dan daya tarik moral diarahkan pada perasaan seseorang sehingga sering digunakan untuk mendorong orang mendukung masalah-masalah sosial. Berdasarkan dari dua definisi mengenai daya tarik diatas, maka peneliti mengambil kesimpulan bahwa daya tarik merupakan kekuatan yang dapat memikat perhatian, sehingga seseorang mampu mengungkapkan kembali pesan yang ia peroleh dari media komunikasi. Selain itu, daya tarik merupakan kekuatan mutlak yang harus diperhatikan, karena berhubungan dengan kemampuan komunikator dalam hal menyita perhatian komunikan sebagai langkah awal dalam menyampaikan pesan. Daya tarik dapat menjadi suatu proses psikologis yang dapat berkembang menjadi pemberian respon positif maupun respon negatif terhadap pesan komunikasi yang diberikan. Universitas Sumatera Utara Daya tarik adalah proses awal terhadap kesan dari suatu bentuk komunikasi dan sangat berperan dalam membentuk animo komunikan Buchori, 1988: 135. Oscar Matuloh, salah seorang ikon fotografi jurnalistik Indonesia dalam sebuah wawancara dengan majalah fotografi The Light Magazine mengatakan, “Ketika seseorang membaca koran, yang membuat berita jadi menarik dibaca selain tulisannya adalah fotonya. Dan memang itu tugas fotografer jurnalis, yaitu menarik perhatian pembaca untuk membaca lebih jauh lagi. Untuk itu hal paling penting dalam fotojurnalistik adalah eye catching. Semakin foto tersebut eye catching semakin ia berhasil menjalankan tugasnya”.

II.2.3 Semiotika

Secara etimologis, semiotika berasal dari kata yunani, “semeion” yang berarti tanda dan secara terminologis, semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan seggala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda Sobur, 2004:15. Alex Sobur mengemukakan pendapatnya mengenai semiotika yang dalam pandangannya adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Dengan ungkapan lain, semiotika berperan untuk melakukan interogasi terhadap kode-kode yang ada agar pembaca bisa memasuki bilik-bilik makna yang tersimpan. Dalam semiotika, pesan merupakan suatu konstruksi tanda yang melalui interaksinya dengan penerima, menghasilkan makna. Dan membaca adalah proses menemukan makna yang terjadi ketika pembaca berinteraksi atau bernegosiasi dengan teks. Negosiassi terjadi karena pembaca membawa aspek-aspek pengalaman budayanya untuk berhubungan dengan tanda yang menyusun teks Fiske, 2007. Fisske dalam Bungin, 2007:167 membagi tiga bidang utama dari semiotika yaitu ; 1 Tanda itu sendiri. Yaitu studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda yang berbeda dalam menyampaikan makna, dan cara tanda terkait dengan manusia yang menggunakannya. Universitas Sumatera Utara Tand a merupakan konstruksi manusia, makanya bias dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya. 2 Kode atau Sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini meliputi bagaimana berbagai kode dikembangkan dalam memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya untuk mengekpolitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mengirimkannya. 3 Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Bergantung bagaimana kode- kode dan tanda-tanda itu digunakan untuk keberadaan dan bentuknya sendiri. Ada dua pendekatan penting terhadap tanda-tanda yang biasanya dijadikan rujukan para ahli. Yang pertama adalah pendekatan tanda yang didasarkan pada pandangan Charles Sanders Pierce. Pierce menandaskan bahwa tanda berkaitan dengan obyek yang menyerupainya, keberadaanya memilki hubungan sebab akibat dengan tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda Pierce melihat tanda, acuannya dan penggunanya sebagai tiga titik dalam segitiga. Gambar 2 Unsur Makna Pierce Ikon Indeks Objek Sumber : Bungin, 2007:168 Berdasarkan objeknya, Pierce membagi tanda menjadi tiga, yaitu tandaikon, indeks, dan objeksimbol. Ikon adalah sesuatu yang berfungsi sebagai penanda yang mengisyaratkan petandanya. Sedangkan simbol adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebgai penanda oleh kaidah secara konvensi telah lumrah digunakan dalam masyarakat Bungin, 2007:166. Universitas Sumatera Utara Panah dua arah menekankan bahwa masing-masing istilah dapat dipahami hanya dalam relasinya dengan yang lain. Tanda adalah sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal. Tanda menunjuk pada seseorang yakni menciptakan di benak orang tersebut suatu tanda yang setara atau tanda yang lebih berkembang. Tanda yang diciptakan tersebut merupakan interpretasi dari tanda pertama. Tanda itu menunjukkan sesuatu, yaitu objeknya. Yang kedua adalah pendekatan yang didasarkan pada pandangan Ferdinan de Saussure yang mengatakan bahwa tanda disusun dari dua elemen yaitu aspek citra tentang bunyi dan sebuah konsep dimana bunyi disandarkan. Menurut Saussure, tanda merupakan objek fisik dengan sebuah makna. Sebuah tanda terdiri atas penanda Signifier dan petanda signified Fiske, 2007. Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan bermakna yang meliputi aspek material . Signified adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa. Bila dianalogikan keduanya merupakan dua sisi dari sekeping mata uang Sobur, 20004:125. Penanda mewakili bentuk isi, sedangkan petanda mewakili bentuk konsep atau makna. Berikut gambar elemen- elemen makana Saussure: Gambar 3 Unsur Makna Saussure Sign Composed of Signification Signifier Signified External Reality of Meaning Phsycal Existence Mental Concept Sumber : John Fiske, Introduction to Communication Studies dalam Sobur, 2004:125 Universitas Sumatera Utara Pada dasarnya, apa yang disebut sebagai signifier dan signified merupakan produk kultural yang mana hubungan diantara keduanya bersifat arbitrer atau berada dalam dua hal yang sama dan hanya berdasarkan pada konvensi, kesepakatan atau peraturan dari kultur pemakai bahasa tersebut. Signifikasi merupakan hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental. Dapat dikatakan signifikasi adalah upaya untuk memberikan makna terhadap dunia Sobur, 2004:125.

II.2.3.1 Semiologi Barthes

Saussure tidak begitu memperhitungkan makna sebagai proses negosiasi antara pembacapenulis dengan teks. Ia tidak menekankan cara tanda-tanda di dalam teks berinteraksi dengan penagalaman kultural penggunanya. Maka dari itu Roland Barthes, pengikut Saussure mengembangkan terori makna milik Saussure lewat gagasan tentan dua tatanan pertandaan order of signification Fiske, 2007. Menurut Barthes, semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan humanity memaknai hal-hal things. Memaknai to signify dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan to communicate. Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda Sobur, 2006. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca The Reader. Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran kedua,yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama. Untuk memperjelas signifikasi dua tahap, Barthes menciptakan peta bagaimana tanda bekerja sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara Gambar 4 Peta Tanda Roland Barthes 1. Signifier 2. Signified Penanda Petanda 3. Denotatie Sign Tanda Denotatif 4. Connotative Signifier 5. Connotative Signified Penanda Konotatif Petanda Konotatif 6. Connotative Sign Tanda Konotatif Sumber : Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, 2006:69 Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif 3 terdiri atas penanda 1 dan petanda 2. Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif 4. Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dipahami oleh Barthes, yaitu Sobur, 2006 ; • Denotasi Tatanan ini merupakan hubungan anatara signifier dengan signified dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, makna paling nyata dari tanda. Makna denotatif pada dasarnya meliputi pada hal-hal yang ditunjuk. Sifatnya langsung dan umum. • Konotasi Konotasi merupakan signifikasi tahap kedua yang berubungan dengan bentuk. Konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Makna konotatif sifatnya subjektif, dalam pengertian ada pergeseran dari makna umum karena sudah ada penambaan rasa dan nilai tertentu. • Mitos Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Universitas Sumatera Utara Mitos adalah cerita yang digunakan suatu kebudayaan untuk menjelaskan atau memahami bebeapa aspek dari realitas atau alam. Menurut Barthes, mitos adalah cara berpikir kebudayaan tentang sesuatu atau sebuah cara memahami suatu hal. “tak ada mitos yang universal pada satu kebudayaan. Yang ada adalah mitos yang dominan Fiske, 2007. Dapat dikatakan bahwa dari mitoslah kita kemudian menemukan ideologi.

II.2.3.1 Semiotika MK.Halliday