Sadisme Dalam Fotojurnalistik (Analisis Ikonografi Foto – Foto Kematian Moammar Khadafi Di Harian Waspada)

(1)

SADISME DALAM FOTOJURNALISTIK

(Analisis Ikonografi Foto-Foto Kematian Moammar Khadafi

Di Harian Waspada)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan

Sarjana (S-1)

Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Disusun Oleh

RICHKA HAPRIYANI

080904029

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

MEDAN

2014


(2)

Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

LEMBAR PERSETUJUAN Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh :

NAMA : Richka Hapriyani

NIM : 080904029

JUDUL SKRIPSI : Sadisme Dalam Fotojurnalistik (Analisis

Ikonografi Foto – Foto Kematian Moammar

Khadafi Di Harian Waspada)

Medan, Juli 2013

Pembimbing Ketua Departemen

(Yovita Sabarina Sitepu, S.Sos, M.Si) (Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A)

NIP: 198011072006042002 NIP: 196208281987012001

Dekan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

(Prof. Dr. Badaruddin, M.Si) NIP: 196805251992031002


(3)

Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dengan segala kerendahan hati saya ucapkan puji syukur kepada Allah SWT karena atas rahmat dan karuniaNya saya dapat menyelesaikan

Skripsi ini. Penulisan skripsi yang berjudul “Sadisme Dalam Fotojurnalistik”

(Analisis Ikonografi Foto-Foto Kematian Moammar Khadafi Di Harian Waspada) ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) di Universitas Sumatera Utara (USU).

Dalam menyelesaikan skripsi ini banyak bantuan dari berbagai pihak, baik dorongan moril maupun materil, yang membantu saya untuk menambah wawasan berfikir dan semangat untuk mengerjakan skripsi ini. Oleh karena itu saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Maimon A Dalimunthe dan Ibunda

Habibah, S.Pd, Serta kedua saudariku Richky Hidayani, S.Pd dan Richna Handriyani, yang selalu dan tak henti-hentinya memberikan dukungan dan selalu mendoakan sehingga saya mampu menghadapi semua proses akademik dan merasakan kasih sayang yang tak terhinggga.

2. Atok, (Almh) Nenek, (Alm) Opung Doli, dan (Almh) Opung, terima

kasih atas segala kasih sayang dan kebahagiaan yang kalian berikan.

3. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M.&H, M.Sc. (C.T.M),

Sp.A.(K), Selaku Rektor USU.

4. Bapak Prof. Dr. Drs. Badaruddin, M. Si, selaku Dekan FISIP USU.

5. Bapak Drs. Edward, M.SP, selaku PD III FISIP USU, yang banyak

membantu saya selama menjalani kuliah.

6. Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, MA selaku Ketua Departemen Ilmu

Komunikasi FISIP USU.

7. Ibu Dra. Dayana, M. Si, Selaku Sekertaris Departemen Ilmu Komunikasi


(4)

Universitas Sumatera Utara

8. Ibu Yovita Sabarani Sitepu, S.Sos, M.Si, selaku dosen pembimbing yang

tak hanya membimbing saya selama mengerjakan skripsi, tetapi juga dengan kesabaran yang tulus menunggu dan memberikan motivasi yang luar biasa dalam mengerjakan skripsi saya yang memakan waktu cukup lama.

9. Ibu Dra. Mazdalifah, M.Si, Ph.D selaku dosen yang banyak memberikan

saran dan motivasi, agar saya selalu bersemangat dan sukses.

10. Bang Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm, selaku dosen yang selalu

meluangkan waktu untuk diskusi terutama dalam bidang fotografi.

11. Seluruh dosen pengajar yang telah mendidik dan membimbing saya

selama menjadi mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

12. Om dan Ibu Hisar Harahap, yang sudah seperti orang tua saya, yang

selalu memberikan perhatian, dukungan dan omelan-omelan agar saya selalu fokus untuk menyelesaikan kuliah.

13. Sahabat-sahabat saya tersayang: Sofni Sarliani Harahap, Hijri Rizki,

Novita Vestiana, Ihsan Hanafi, Prima Irawan, M. Alsya Rinaldhi, Bang Afif Rangkuti, kalian adalah orang-orang yang selalu ada tak hanya dalam keadaan bahagia tetapi juga dalam masa-masa sulit.

14. Terima kasih yang besar saya sampaikan untuk SUARA USU, tempat

dimana saya belajar pertama kalinya kehidupan jurnalistik. Atas semua ilmu, proses pembelajaran dan pendewasaan diri, kerja sama, kegembiraan, dan kekecewaan yang dilalui selama tiga tahun. Untuk kakanda, Liston Damanik, Eka Ryantika, Ade Marza, Desfa Maulani, Sidriani Desky, Ima Silaban, M. Arif, Khairil Hanan, Untuk teman-teman seperjuangan, Ahmad Hidayat, Wan Ulfa, Shahnaz Asnawi, Erni S, Sandra Cattelya, Moyang Kasih, Sri Yanti dan yang lainnya. Terima kasih atas semua cerita dan hari-hari yang pernah kita lalui.

15. Rekan-rekan di YP2M, Kak Nuri, Kak Yola, Kak Eka, Suci, Devi, dan

kelompok Permai.

16. Kakak - kakak di Laboratorium Departemen Ilmu Komunikasi FISIP


(5)

Universitas Sumatera Utara

17. Seluruh Staf Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU yang telah

banyak membantu mengurus administrasi saya selama masa kuliah. Kak Icut dan kak Maya.

18. Grup ERBE LKBN ANTARA Sumut, Kak Evalisa (mamake), Uni Eva,

Kak Inun, Bang Ribut, Bang Akung, Bang Jo dan Bang Fai. Yang selalu memberikan jalan dalam setiap permasalahan yang saya hadapi dan tiada henti memberi perhatian. Dan kepada Mbak Sizuka (Jakarta), Mbak Mitha (Makassar), Bang Hengky (Riau) dan Mas Mulyana (Banten).

19. Kak Wismi (Kompas), terima kasih atas kebersamaan selama liputan

serta semangat yang kakak tularkan. Dan terima kasih juga kepada seluruh rekan jurnalis di Medan.

20. Keluarga besar Bapak Ipnu Subroto, Bapak Yusuf dan Bapak Subadi,

terima kasih atas keikhlasan membimbing dan menjaga saya selama pendidikan SMA. Juga kepada seluruh keluarga besar SMA MATAULI Angkatan X, XI dan XII yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

21. Pada teman-teman Ilmu Komunikasi FISIP USU tahun 06, 07, dan 08.

22. Pada yayasan KIPPAS, yang telah meminjamkan koran dan jurnal untuk

keperluan penelitian ini.

23. Pada Uda Denni Perdana Putera, terima kasih atas cinta dan

kesabaranmu, dalam menjalani hari - hari selama 2 tahun ini.

Saya menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Untuk itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.

Akhir kata, saya berharap semoga Allah SWT membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini dapat menambah khasanah pengetahuan kita semua. Amin.

Medan, Juli 2013


(6)

Universitas Sumatera Utara HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Richka Hapriyani

NIM : 080904029

Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Soial dan Ilmu Politik

Universitas : Sumatera Utara Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royaliti Non Eksklusif (Non eksclusive

Royality- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

“Sadisme Dalam Fotojurnalistik (Analisis Ikonografi Foto-Foto Kematian

Moammar Khadafi Di Harian Waspada)”

Beserta perangkat yang ada ( jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royaliti Non

ekslusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan,

mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),

merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.


(7)

Universitas Sumatera Utara Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan

Pada Tanggal : Juli 2013

Yang Menyatakan


(8)

Universitas Sumatera Utara HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah karya saya sendiri, Semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika dikemudian hari saya

terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Nama : Richka Hapriyani

NIM : 080904029

Tanda Tangan :


(9)

Universitas Sumatera Utara ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui unsur sadis yang terdapat dalam

foto-foto kematian Moammar Khadafi di Harian Waspada pada 22 – 26 Oktober 2011.

Dengan cara melihat tanda-tanda/ ikon yang terdapat dalam foto, mengungkap cerita dibalik peristiwa kekerasan yang dialami Moammar Khadafi, sehingga makna dibalik foto tewasnya Moammar Khadafi dapat diketahui melalui analisis semiotika. Oleh karena itu, peneliti merumuskan penelitian ini dengan judul Sadisme Dalam Fotojurnalistik (Analisis Ikonografi Foto-Foto Kematian Moammar Khadafi Di Harian Waspada). Tipe penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan analisis ikonografi dari Erwin Panofsky. Panofsky

memberi tiga tahapan dalam menganalisis, yaitu tahap preiconography,

iconography, iconology. Data dalam penelitian ini diperoleh dari studi

kepustakaan dan literatur-literatur yang relevan dengan objek penelitian.

Hasil dari penelitian mengungkapkan fakta bahwa Moammar Khadafi mendapatkan perlakuan tidak manusiawi menjelang ajalnya dan keterlibatan negara barat untuk penggulingan Moammar Khadafi. Foto-foto yang dimuat

Harian Waspada dengan tampilan full color dan tanpa proses edit gambar,

mengggambarkan kesadisan yang dialami Moammar Khadafi. Hal tersebut tentu saja melanggar Kode Etik Jurnalistik yang tertuang dalam pasal 4. Namun, dengan menampilkan foto sadis sebagai berita utama selama sepekan, tentu saja ada tujuan untuk meningkatkan oplah penjualan Harian Waspada.

Kata Kunci:

Fotojurnalistik, Moammar Khadafi, Ikonografi, Sadisme, Kode Etik Jurnalistik, Harian Waspada


(10)

Universitas Sumatera Utara ABSTRACT

This study aims to determine the sadistic elements contained in the photographs Moammar Gaddafi's death in the Harian Waspada on October 22 to 26, 2011. By way of looking at the signs/ icons contained in an image, uncovering the story behind the violence experienced by Moammar Gaddafi, so that the meaning behind the death of Moammar Gaddafi photo can be seen through semiotic analysis. Therefore, we propose the study titled Sadism In photojournalism (Analysis Iconography Photographs Moammar Gaddafi Death Harian Waspada). This type of research is a qualitative approach using the analysis of the iconography of Erwin Panofsky. Panofsky gave three stages in the analysis,

preiconography stage, iconography and iconology. The data in this study were

obtained from the literature study and the literature relevant to the research object. The results of the study revealed the fact that Moammar Gaddafi get inhuman treatment on his deathbed and involvement of western countries to overthrow

Moammar Gaddafi. The photos published by the Harian Waspada and full color

display with no image-editing process, depicts sadism experienced Moammar Gaddafi. This, of course violate the Code of Journalistic Ethics set forth in Article 4. However, with a sadistic display photos as headlines for a week, of course there is the goal to increase sales circulation Harian Waspada.

Keywords:

Photojournalism, Moammar Gaddafi, Iconography, Sadism, Code of Journalistic Ethics, Harian Waspada


(11)

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………

LEMBAR PENGESAHAN ………...

KATA PENGANTAR ………..……….. i

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ……. v

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ………. vi

ABSTRAK ...……….. vii

DAFTAR ISI ………. ix

DAFTAR TABEL ………. xi

DAFTAR GAMBAR ………. xii

DAFTAR FOTO ………. xiii

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

1.1. Konteks Masalah ………..…….. 1

1.2. Fokus Masalah ………. 13

1.3. Tujuan Penelitian ………. 14

1.4. Manfaat Penelitian ……… ……… 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA ……….. ………….. 16

2.1. Paradigma Kajian ………. 16

2.2. Kajian Pustaka ……….... ………… 22

2.2.1 Semiotika Dan Kajian Tanda Pierce ………. 22

2.2.2 Ikonografi Dalam Analisis Semiotika ………. 27

2.2.3 Sadisme Dan Etika Fotojurnalistik ………... 33

2.2.4 Fotografi ………. 42

2.2.5 Fotojurnalistik ………. 48

2.2.6 Foto Headline ………. 52

2.2.7 Media Massa Dan Surat Kabar ………. 53

2.2.8 Jenis - Jenis Huruf Dan Gaya Bahasa ………. 61

2.3. Model Teoritik ...……….. 71

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………. 74

3.1. Metode Penelitian ………. 74

3.2. Objek Penelitian ……….... ……… 75

3.2.1 Sejarah Singkat Harian Waspada ………. 75

3.2.2 Objek Penelitian ………. 77

3.3. Subjek Penelitian ………. 77

3.4. Kerangka Analisis ………. 77

3.5. Teknik Pengumpulan Data ………. ……… 79

3.6. Teknik Analisis Data ……….. ……….. 79

3.6.1 Unit Analisis ………. 80

3.6.2 Keabsahan Data ………. 80

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 81

4.1. Hasil Penelitian ………. 81

4.1.1 Foto Hari Sabtu, 22 Oktober 2011 ………. 81

4.1.1 a Cuplikan Video 1 ………. 82

4.1.1.b Cuplikan Video 2 ………. 89

4.1.1.c Cuplikan Video 4 ………. 98


(12)

Universitas Sumatera Utara

4.1.3 Foto Hari Senin, 24 Oktober 2011 ………. 106

4.1.4 Foto Hari Selasa, 25 Oktober 2011 ………. 110

4.1.5 Foto Hari Rabu, 26 Oktober 2011 ………. 114

4.2. Pembahasan ………. 118

BAB V PENUTUP ………. 124

5.1. Kesimpulan ………. 124

5.2. Saran ………. 125

DAFTAR PUSTAKA ………. 126 LAMPIRAN


(13)

Universitas Sumatera Utara DAFTAR TABEL

Tabel 1. Strata Penafsiran atas Karya Visual dari Panofsky ………. 32


(14)

Universitas Sumatera Utara DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Model Teoritik ………. 72


(15)

Universitas Sumatera Utara DAFTAR FOTO

Foto 1. Foto Hari Sabtu, 22 Oktober 2011 (Cuplikan Video 1) …… 82

Foto 2. Foto Hari Sabtu, 22 Oktober 2011 (Cuplikan Video 2) …… 89

Foto 3. Foto Hari Sabtu, 22 Oktober 2011 (Cuplikan Video 4) …… 98

Foto 4. Foto Hari Minggu, 23 Oktober 2011 ……… 102

Foto 5. Foto Hari Senin, 24 Oktober 2011 ………. 106

Foto 6. Foto Hari Selasa, 25 Oktober 2011 ……….... 109


(16)

Universitas Sumatera Utara ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui unsur sadis yang terdapat dalam

foto-foto kematian Moammar Khadafi di Harian Waspada pada 22 – 26 Oktober 2011.

Dengan cara melihat tanda-tanda/ ikon yang terdapat dalam foto, mengungkap cerita dibalik peristiwa kekerasan yang dialami Moammar Khadafi, sehingga makna dibalik foto tewasnya Moammar Khadafi dapat diketahui melalui analisis semiotika. Oleh karena itu, peneliti merumuskan penelitian ini dengan judul Sadisme Dalam Fotojurnalistik (Analisis Ikonografi Foto-Foto Kematian Moammar Khadafi Di Harian Waspada). Tipe penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan analisis ikonografi dari Erwin Panofsky. Panofsky

memberi tiga tahapan dalam menganalisis, yaitu tahap preiconography,

iconography, iconology. Data dalam penelitian ini diperoleh dari studi

kepustakaan dan literatur-literatur yang relevan dengan objek penelitian.

Hasil dari penelitian mengungkapkan fakta bahwa Moammar Khadafi mendapatkan perlakuan tidak manusiawi menjelang ajalnya dan keterlibatan negara barat untuk penggulingan Moammar Khadafi. Foto-foto yang dimuat

Harian Waspada dengan tampilan full color dan tanpa proses edit gambar,

mengggambarkan kesadisan yang dialami Moammar Khadafi. Hal tersebut tentu saja melanggar Kode Etik Jurnalistik yang tertuang dalam pasal 4. Namun, dengan menampilkan foto sadis sebagai berita utama selama sepekan, tentu saja ada tujuan untuk meningkatkan oplah penjualan Harian Waspada.

Kata Kunci:

Fotojurnalistik, Moammar Khadafi, Ikonografi, Sadisme, Kode Etik Jurnalistik, Harian Waspada


(17)

Universitas Sumatera Utara ABSTRACT

This study aims to determine the sadistic elements contained in the photographs Moammar Gaddafi's death in the Harian Waspada on October 22 to 26, 2011. By way of looking at the signs/ icons contained in an image, uncovering the story behind the violence experienced by Moammar Gaddafi, so that the meaning behind the death of Moammar Gaddafi photo can be seen through semiotic analysis. Therefore, we propose the study titled Sadism In photojournalism (Analysis Iconography Photographs Moammar Gaddafi Death Harian Waspada). This type of research is a qualitative approach using the analysis of the iconography of Erwin Panofsky. Panofsky gave three stages in the analysis,

preiconography stage, iconography and iconology. The data in this study were

obtained from the literature study and the literature relevant to the research object. The results of the study revealed the fact that Moammar Gaddafi get inhuman treatment on his deathbed and involvement of western countries to overthrow

Moammar Gaddafi. The photos published by the Harian Waspada and full color

display with no image-editing process, depicts sadism experienced Moammar Gaddafi. This, of course violate the Code of Journalistic Ethics set forth in Article 4. However, with a sadistic display photos as headlines for a week, of course there is the goal to increase sales circulation Harian Waspada.

Keywords:

Photojournalism, Moammar Gaddafi, Iconography, Sadism, Code of Journalistic Ethics, Harian Waspada


(18)

Universitas Sumatera Utara BAB I

PENDAHULUAN

1.1Konteks Masalah

Media massa (media cetak, media elektronik, media online, dan media

lainnya) sangat berperan penting dalam terjadinya proses komunikasi massa dalam masyarakat. Media massa adalah alat dari jurnalisme yang digunakan dalam penyampaian pesan-pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio, TV (Cangara, 2006: 122).

Menurut Littlejohn (2002), dalam komunikasi massa terjadi proses dimana organisasi media massa memproduksi dan menyampaikan pesan kepada masyarakat dan proses dimana pesan tersebut dicari, digunakan, dipahami, dan dipengaruhi oleh masyarakat. Melalui media massa, segala bentuk informasi akan sangat dengan mudah diterima oleh masyarakat tanpa ada batasan ruang dan waktu. Hal ini tidak dapat lepas dari fungsi dasar media massa itu sendiri, yaitu (McQuail, 1987:3) :

1. Media massa merupakan industri yang berubah dan berkembang yang

menciptakan lapangan kerja, barang dan jasa, serta menghidupkan industri lain yang terkait.

2. Media massa merupakan sumber kekuatan, alat kontrol, manajemen, dan

inovasi lain dalam masyarakat yang dapat digunakan sebagai pengganti kekuatan atas sumber daya lainnya.

3. Media merupakan lokasi (forum) yang semakin berperan untuk

menampilkan peristiwa kehidupan masyarakat, baik yang bertaraf nasional maupun internasional.

4. Media sering kali berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan,

bukan saja dalam pengertian pengembangan bentuk seni dan simbol, tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata cara, metode, gaya hidup, dan norma-norma.


(19)

Universitas Sumatera Utara

5. Media telah menjadi sumber dominan bukan saja bagi individu untuk

memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif.

Khalayak yang menjadi sasaran media massa yakni manusia, sehingga keberadaan media massa senantiasa dituntut untuk mengikuti gerak dan dinamika individu sebagai kesatuan dalam masyarakat. Namun, kehadiran media massa akan dinilai berbeda-beda oleh setiap individu. Untuk memberikan pelayanan informasi kepada masyarakat, media massa (pers) diharapkan mampu mencerdaskan masyarakat melalui muatan informasi yang memiliki kebenaran, kepentingan dan manfaat untuk masyarakat. Salah satu media massa yang sangat popular di masyarakat yakni surat kabar. Sebuah surat kabar tak hanya memuat deretan kata-kata. Ada foto, ilustrasi, grafik, dan lain-lain.

Fungsi foto dalam media cetak bukan hanya sebagai ilustrasi sebuah berita. Penyajian foto dalam surat kabar telah membuat pemberitaan menjadi lebih lengkap, akurat dan menarik, karena foto digunakan untuk menyalurkan ide, berkomunikasi dengan masyarakat, mempengaruhi orang lain, hingga menghadirkan kenangan lama. Foto dalam media massa tidak hanya berfungsi sebagai pelengkap pesan yang ingin disampaikan komunikator, tapi ia merupakan pesan itu sendiri. Sebuah foto yang disajikan dalam surat kabar (media massa cetak) tidak lepas dari tujuan jurnalistik, yaitu menyebarkan berita seluas-luasnya. Fotografi tumbuh seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Perkembangan dari waktu ke waktu yang membutuhkan proses evolusi yang cukup panjang. Sejak fotografi ditemukan tahun 1839, dalam perkembangannya kini telah jauh meninggalkan generasi awalnya. Teknologi digital yang saat ini sudah mulai masuk pada berbagai sendi-sendi kehidupan manusia, turut membawa fotografi ke era digitalisasi.

Kehadiran piranti fotografi berteknologi tinggi tentunya berpengaruh pada

outputnya. Karya foto yang dihasilkan dapat dibuat atau dirubah sedemikian rupa

sesuai kehendak sang fotografer. Dengan kekuatan visualisasi yang otentik, sebuah foto akan sangat representatif dipakai sebagai perpajangan dari tujuan


(20)

Universitas Sumatera Utara kegiatan jurnalistik. Perkembangan fotografi baik secara langsung maupun tidak, selaras dengan perkembangan bidang jurnalistik. Teknologi digital yang berkembang pesat saat ini pun memberi sumbangsih yang signifikan. Foto yang merekam sebuah peristiwa dapat dengan segera disebarluaskan dalam hitungan detik saja dengan menggunakan kamera digital serta perangkat komputer yang memiliki fasilitas internet.

Foto yang tersaji dalam media massa disebut sebagai fotojurnalistik. Fotojurnalitik lahir di kota New York, Amerika Serikat, pada hari Senin tanggal

16 April 1877. Surat kabar bernama The Daily Graphic memuat foto kebakaran

hotel dan salon pada halaman satu. Terbitan inilah yang menjadi cikal bakal adanya fotojurnalistik di media cetak, dimana sebelumnya hanya berupa sketsa. Foto sebagai elemen berita, berkembang secara besar-besaran saat terbitnya

majalah Life di Amerika Serikat, sekitar tahun 1930-an. Wilson Hick, yang

menjadi redaktur foto pertama majalah tersebut selama 20 tahun lebih, dianggap sebagai perintis kemajuan fotojurnalistik dunia. Lewat didikannya, lahir beberapa fotografer kelas dunia, seperti Elliot Ellisofon, Edward Steichen, Robert Capa, dan lainnya. Hick pula yang melahirkan dasar-dasar fotojurnalistik (Wijaya, 2011: 1).

Karya fotojurnalistik yang dihasilkan oleh fotografer (kerap disebut pewarta foto, jurnalis foto, atau wartawan foto) yang dianggap dapat mengekspresikan sudut pandang sang fotografer namun pesan komunikasinya memiliki arti yang jauh lebih luas daripada hanya sekadar arti dari sudut pandang sang fotografer. Foto berita atau fotojurnalistik mempunyai paling sedikit dua

wajah: pertama sebagai ilustrasi pendukung berita, kedua sebagai „berita‟ itu

sendiri (Soedjono, 2007: 133). Fotojurnalistik memenuhi kaidah-kaidah fotografis dan punya daya tarik secara visual. Karya foto apa pun mengkomunikasikan pesan, tetapi dalam hal ini berita foto berisi pesan yang terarah.

Penggunaan foto dalam surat kabar adalah penting karena beberapa sebab. Pertama, foto merupakan unsur pertama yang menangkap mata pembaca. Kedua, foto dalam surat kabar bisa digunakan untuk berkomunikasi dengan pembaca yang mempunyai latar belakang beraneka ragam, karena foto bersifat universal


(21)

Universitas Sumatera Utara

(Flournoy, 1989:183). James Nachtwey dalam buku fotografinya berjudul Inferno,

menyatakan sebuah foto dapat memasuki fikiran dan menjangkau hati dengan kekuatan kesegaran. Hal ini mempengaruhi bagian jiwa dimana makna hanya sedikit bergantung pada kata-kata dan membuat satu dampak mendalam, lebih mendasar, lebih dekat dengan pengalaman mentah. Sementara menurut editor

majalah Life, Wilson Hicks, fotojurnalistik adalah kombinasi dari kata dan gambar

yang menghasilkan satu kesatuan komunikasi saat ada kesamaan antara latar belakang pendidikan dan sosial pembacanya (Wijaya, 2011: 9). Jadi foto yang merekam suatu peristwa adalah fotojurnalistik. Foto peristiwa, wajib dan senantiasa menghiasi pemberitaan-pemberitaan surat kabar setiap harinya, apakah

foto berita tentang olah raga, seni, fashion, ataupun kejadian kejadian luar biasa

lainnya.

Pada saat yang sama foto harus memenuhi standar tertentu dari media cetak yang memuatnya, memiliki nilai berita, memancing rasa ingin tahu

pembaca, dan seyogyanya tergolong di dalam peringkat “teks berita yang terbit

tanpa foto, akan berkurang bobotnya.” Sebuah pameo ternama menggambarkan

bahwa selembar foto lebih berbicara dari seribu kata. Hal ini mempunyai arti bahwa dalam menyampaikan pesan seorang manusia ikhwalnya tidak hanya selalu dengan menggunakan kata-kata konvensional yang verbal atau nonverbal. Bahkan, media massa tanpa ada gambar/foto, hanya akan menjadi lembaran-lembaran yang membosankan (Wijaya, 2009: 5).

Oscar Matuloh salah seorang ikon fotografi jurnalistik Indonesia

mengatakan dalam sebuah wawancara dengan majalah fotografi The Light

Magazine, “Ketika seseorang membaca Koran, yang membuat berita jadi

menarik dibaca selain tulisannya adalah fotonya. Dan memang itu tugas fotografer jurnalis, yaitu menarik perhatian pembaca untuk membaca lebih

jauh lagi. Untuk itu hal paling penting dalam fotojurnalistik adalah eye

catching. Semakin foto tersebut eye catching semakin ia berhasil

menjalankan tugasnya”.

Fotojurnalistik adalah karya foto biasa tetapi memilki nilai berita atau pesan yang layak untuk diketahui orang banyak dan disebarluaskan lewat media massa. Fotojurnalistik mengandung unsur 5W dan 1H seperti halnya berita tulis.

Jadi dalam sebuah foto menjelaskan What (apa). “Apa” menyangkut sebuah


(22)

Universitas Sumatera Utara bukti, senjata yang dibawa tentara, mobil dan sepeda motor yang bertabrakan.

Sedangkan Who berarti siapa yang menyangkut tentang orang. Where ditandai

dengan latar belakang penunjangannya yang hadir bersama When, Why, dan How.

Photo caption atau teks foto adalah kata-kata yang menjelaskan tentang sebuah

foto. Foto yang dilengkapi dengan caption nantinya akan mempermudah

fotografer dan editor serta memerlihatkan profesionalisme seorang foto jurnalis

dalam membuat caption foto.

Teks foto tidak perlu berpuluh-puluh paragraf. Idealnya cukup singkat, padat, namun sudah dapat menjelaskan maksud foto tersebut. Suatu fotojurnalistik bisa dikatakan tidak lengkap pemahamannya tanpa teks foto. Untuk itu, teks foto sangat diperlukan untuk melengkapinya. Upaya untuk melengkapinya unsur 5W dan 1H tersebut disesuaikan dengan gambar yang ditampilkan.

Media melalui fotografi tidak sekedar menjadikan foto sebagai media komunikasi informasi atas sebuah peristiwa, tetapi lebih dari itu fotografi juga berupaya membangun citra dan menarik perhatian masyarakat untuk menikmatinya. Sehingga, persaingan pasar dalam memilih media pun ikut bermain andil disini. Seiring perkembangan teknologi dan informasi, menjamur pula industri media. Persaingan bebas memaksa media massa memunculkan kreativitasnya agar tetap eksis. Akibatnya media massa cenderung mengacu pada peluang komersialisasi media, yang terlepas dari prinsip media yang sehat, cerdas dan mencerdaskan.

Kebebasan pers telah dilindungi oleh undang-undang. Insan pers dan pelaku bisnis media merasa mendapat angin segar atau jaminan untuk mengekspresikan karya atau tulisannya tanpa peduli layak atau tidak layak. Media massa relatif bebas dari kontrol kekuasaan pemerintah, tetapi dalam kenyataan yang sebenarnya media tidak pernah bebas dari institusi yang memiliki budaya

bisnis, dan industri-industri pemilik modal yang bekerja dengan imbalan profit

yang mendewakan keuntungan.

Industri media massa menjadi ajang persaingan satu sama lain dalam merebut perhatian khalayak. Media cetak, termasuk surat kabar, tidak terlepas dari


(23)

Universitas Sumatera Utara fenomena ini. Surat kabar saat ini, dituntut memberikan lebih banyak hal daripada sekadar melaporkan berita, sehingga merebut perhatian khalayak melalui sajian menarik menjadi tugas besar dari pekerja-pekerja media tersebut.

Seorang jurnalis yang melaksanakan profesinya, baik itu wartawan tulis, foto, maupun video, menaati aturan-aturan dasar yang harus dijalankan. Aturan tersebut antara lain tertuang dalam, Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik yang disahkan melalui Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 Tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers. Namun terkadang foto-foto yang mengandung unsur kekerasan, peperangan, darah, dianggap lebih menarik perhatian pembaca dan mampu meningkatkan oplah surat kabar tersebut.

Lahirnya Undang-Undang Pers, membuat angka kelahiran wartawan juga meningkat, sehingga jumlah wartawan melonjak menjadi sekitar 30 ribu. Data tersebut diambil dari jumlah penerbitan yang lahir pasca reformasi. Terakhir, bulan Maret tahun 2006, ketika Dewan Pers memfasilitasi pembuatan Kode Etik Jurnalistik, Standar Organisasi Wartawan dan penguatan peran Dewan Pers, tercatat 26 organisasi kewartawanan (Sukardi, 2012: 36).

Semakin menjamurnya wartawan di Indonesia, memunculkan masalah mutu profesional wartawan. Hal tersebut juga berimbas pada kurangnya penghayatan wartawan terhadap etika profesinya. Hal yang cukup mengejutkan

ketika Dewan Pers melakukan survei Close Up Seperempat Abad Kode Etik

Jurnalistik, yang diterbitkan dalam sebuah buku di tahun 2007, terungkap

rata-rata 80 persen wartawan belum pernah membaca isi seluruh Kode Etik Jurnalistik yang diputuskan Dewan Pers. Dalam survei Dewan Pers berikutnya di tahun 2011, menunjukkan angka yang semakin baik. Jumlah wartawan yang sudah membaca Kode Etik Jurnalistik melonjak menjadi 48 persen (Sukardi, 2012: 37).

Kode Etik Jurnalistik merupakan mahkota pekerjaan jurnalistik. Pendidikan dan pelatihan kode etik, bukan hanya mengenali rambu-rambu etik atau sistem nilai pekerjaan jurnalistik. Lebih dari itu, pendidikan dan pelatihan


(24)

Universitas Sumatera Utara menghargai dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan, terlatih berfikir dan bekerja keras atas dasar objektivitas, berkembang, dari sikap-sikap membenci dan menghakimi, menjadi berhati-hati (Manan, 2011: 26).

Kode Etik Jurnalistik juga bukan berarti mengekang kebebasan pers, justru untuk menjaga dan mempertahankan kemerdekaan pers. Sesuai dengan sifat etika profesi yang dibuat dari oleh dan untuk kalangan profesi itu sendiri, Kode Etik Jurnalistik dibuat sudah sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan jurnalis (wartawan) sehingga keberadaan Kode Etik Jurnalistik justru mampu mempertahankan harkat dan martabat pekerjaan wartawan. Dengan adanya Kode Etik Jurnalistik bukan saja wartawan dapat terhindar dari anarki, malpraktek dan persaingan tidak sehat sesama wartawan, tetapi juga wartawan memperoleh semacam perlindungan atau tameng dari kemungkinan tindakan-tindakan publik atau siapapun yang mencoba merongrong dan membatasi kemerdekaan pers dengan berbagai cara yang tidak sesuai Kode Etik Jurnalistik.

Terdapat tujuh pasal dalam Kode Etik Jurnalistik. Pasal yang secara jelas, melarang wartawan untuk membuat karya jurnalistik yang mengandung unsur

kekerasan, darah dan unsur sadis lainnya, terdapat dalam pasal 4 yaitu “Wartawan

Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul”. Dalam

fotojurnalistik, kita bisa mengetahui foto yang mengandung unsur sadis dari respon spontan pembaca. Seperti, menunjukkan ekspresi ngeri, takut, mengerutkan wajah, dan lain-lain. Namun, beberapa fotografer menilai, foto sadis adalah foto yang menunjukkan secara utuh darah, luka parah yang tak layak untuk dilihat, ataupun gambar-gambar yang menunjukkan korban pembantaian.

Kode Etik Jurnalistik sudah melarang menampilkan foto yang mengandung unsur sadis. Namun, aturan seakan menjadi barisan kalimat yang tak memiliki kekuatan. Tetap saja, ada media yang menampilkan foto-foto tersebut. Isu internasional yang sempat menguncang dunia, salah satunya mengenai peristiwa kematian Moammar Khadafi. Berita itu langsung menyebar di seantero dunia, tak terkecuali Indonesia. Bahkan, kisah pemerintahan Moammar Khadafi menjadi topik utama media lokal, nasional dan internasional.


(25)

Universitas Sumatera Utara Dibawah kepemimpinan Moammar Khadafi, Libya menerapkan sistem pemerintahan tanpa adanya partai politik. Moammar Khadafi menetapkan sistem

pemerintahan “Jamahiriya” atau negara rakyat atau “a state of the masses”, yang

dalam teorinya merupakan tipe pemerintahan oleh rakyat melalui Dewan Lokal (local councils), tetapi pada prakteknya merupakan pemerintahan otoriter.

Moammar Khadafi juga menghapus semua ideologi berbau asing dari tanah Libya, terutama kapitalisme dan komunisme (Adnan, 2008: 37).

Kepemimpinan Moammar Khadafi mengantarkan Libya sebagai suatu negara yang berpengaruh dalam konstalasi politik melawan dominasi Amerika Serikat, khususnya di wilayah Timur Tengah dan Afrika. Moammar Khadafi berhasil menanamkan pemikiran politik dan pemerintahan anti-Barat di dalam negaranya dengan menempuh kebijakan sebagai negara tertutup diawali dengan keputusan menutup pangkalan militer Amerika Serikat di Libya. Amerika Serikat kemudian memasukkan Libya dalam daftar negara yang mendukung terorisme internasional. Libya dikaitkan dengan beberapa aksi terorisme internasional, di antaranya, pemboman sebuah diskotik pada tahun 1986 di Berlin, pemboman

pesawat Prancis (French Airliner) pada tahun 1989, dan yang paling fenomenal

adalah pemboman pesawat Pan Am Flight 103 di Lockerbie, Skotlandia. Hasilnya, Libya menjadi negara yang disegani dan berulang kali menjadi sasaran

embargo Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa

(http://www.aljazeera.com/news/middleeast/2011/04/201141912643168741.html) . Moammar Khadafi bahkan berada pada garis depan mendukung perlawanan Palestina terhadap Israel. Kiprah Moammar Khadafi yang seringkali bertolak belakang dengan keinginan Amerika Serikat dan Sekutunya, menyebabkan hubungan yang sangat buruk antara Libya dengan negara Barat.

Moammar Khadafi dalam memimpin Libya juga memaksakan

pemikirannya tentang direct democracy yang sesungguhnya, melalui sistem

pemerintahan “Jamahiriya” tersebut. Menurutnya, demokrasi yang dikenal saat

ini bukanlah esensi dari demokrasi yang sesungguhnya. Sistem pemilihan dengan menganggap hasil pilih dengan suara mayoritas sebagai perwakilan rakyat yang sah, menafikkan suara minoritas yang menghendaki perwakilan yang lain.


(26)

Universitas Sumatera Utara Berdasarkan atas hal tersebut, Moammar Khadafi kemudian menjalankan pemerintahan di Libya tanpa adanya partai politik, maupun kelompok kepentingan. Bahkan, Moammar Khadafi mencanangkan, bahwa semua orang yang terlibat dalam partai politik, merupakan sebuah bentuk pengkhianatan terhadap negara. Hal ini tidak saja berkisar hanya dalam pidato Moammar Khadafi, tetapi juga dituangkan dalam undang-undang No. 71 tahun 1972, disebutkan bahwa partai politik merupakan tindakan kriminal dan merupakan bentuk kegiatan yang membahayakan negara.

Moammar Khadafi selalu mengambil peranan dalam setiap masalah-masalah sentral di Afrika dan Timur Tengah, serta berusaha untuk menggalang persatuan kekuatan negara-negara Arab, melalui piagam dan perjanjian-perjanjian dengan negara Arab lainnya. November 1969, Moammar Khadafi menyusun Piagam Tripoli untuk mengaitkan kepentingan Libya dan Sudan, tahun 1961 dibentuk perjanjian Benghazi antara Libya, Suriah, dan Mesir, tahun 1973

dibentuk Hassi Messaoud Accords antara Libya dan Aljazair (Adnan, 2008: 37).

Meskipun pada kenyataannya tindakannya tersebut justru mendatangkan perpecahan di kalangan negara-negara Arab sendiri, antara yang mendukung Moammar Khadafi, dan yang tidak setuju dengan pandangan serta idenya.

Moammar Khadafi mulai goyang dalam panggung politik Libya ketika pada tahun 2010, dunia internasional diwarnai dengan munculnya gejolak demokrasi di Timur Tengah. Negara-negara dengan cap otoriter di Timur Tengah, mulai mendapatkan tekanan dari rakyatnya, yang menginginkan sistem pemerintahan yang demokratis. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya efek domino dari krisis politik yang terjadi di Tunisia dan Mesir ke negara-negara lain seperti Bahrain, Suriah dan Libya.

Ada beberapa faktor penyebab keinginan rakyat Libya untuk mengakhiri kepemimpinan Moammar Khadafi. Antara lain, kondisi sosial dalam masyarakat Libya yang tidak memuaskan secara financial dan angka pengangguran di Libya mencapai 30 persen dengan total penduduk sebanyak 6.597.960 Jiwa (sensus Juli 2011) (https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/ly.html). Meskipun satu dekade terakhir, Moammar Khadafi mulai melunak dalam


(27)

Universitas Sumatera Utara kebijakan luar negerinya, misalnya dengan membatalkan program senjata pemusnah massal dan menjalin kembali hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat pada tahun 2004 (Adnan, 2008: 40) untuk memperbaiki kondisi ekonomi Libya. Moammar Khadafi bahkan mengizinkan kembali adanya penanaman modal asing terutama di bagian perminyakan bagi para pengusaha asal Amerika Serikat. Akan tetapi, hal ini ternyata tidak cukup mampu membendung arus demokratisasi yang diinginkan rakyatnya.

Ketidakpuasan rakyat Libya semakin diperparah dengan tindakan para putra Moammar Khadafi, yang dituding memperkaya diri sendiri dengan penyalahgunaan aset kekayaan negara. Putra Moammar Khadafi merupakan objek nyata kekecewaan rakyat terhadap Pemimpin Revolusi Libya yang memicu reaksi internasional yang negatif. Misalnya, tindakan Hannibal Moammar Khadafi, putra keempat Moammar Khadafi yang ditangkap di Genewa, Swiss, karena penyiksaan terhadap pembantunya. Hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh putra dari pemimpin sebuah negara ini, malah dijadikan alasan untuk kebijakan politik luar negeri yang tidak strategis, berupa pemboikotan produk Swiss, pencabutan hak usaha bagi para pengusaha Swiss di Libya, dan bahkan penarikan diplomat Libya dari Swiss.

(http://m.news.viva.co.id/news/read/255022-terkuak--foto-seksi---vulgar-menantu-khadafi). Hal ini tentu saja merupakan tindakan yang tidak

didasarkan pada kepentingan rakyat Libya tetapi lebih kepada egoisme pribadi. Pengaruh Moammar Khadafi terlalu dominan dalam setiap hal mengenai Libya. Hampir di semua sudut kota Libya terdapat potret Moammar Khadafi. Dia

menyebut dirinya sebagai The Brother Leader, Guide of the Revolution dan King

of Kings. Termasuk dengan berbagai tindakannya yang ekstrim seperti pemaksaan

ideologi pribadinya yang dituangkan dalam buku hijau tentang “Teori Ketiga dari

Dunia”.

Revolusi Libya yang kemudian dimulai pada 17 Februari 2011, akhirnya berhasil menumbangkan Moammar Khadafi. Trias Kuncahyono, dalam sebuah

artikel berjudul “Gorong-gorong Sirte” di Harian Kompas, menuliskan kondisi Moammar Khadafi sebagaimana Alexander Agung pernah disindir oleh seorang


(28)

Universitas Sumatera Utara

filsuf Roma bernama Seneca, Armis Vicit, vitiis victus est, dia yang menang

dengan senjata, tetapi dikalahkan oleh kejahatan-kejahatannya sendiri.

Detik-detik kematian sang diktator begitu tragis. Nampaknya tidak ada penghormatan sedikit pun terhadapnya. Moammar Khadafi yang dalam keadaan lemah dan penuh luka menjadi bulan-bulanan rakyatnya. Beberapa jam setelah tertangkap oleh Dewan Transisi Nasional (NTC), Khadafi akhirnya tewas ditembak, pada 20 Oktober 2011.

Gerakan massa yang diwarnai konflik bersenjata selama delapan bulan, mampu menumbangkan diktator yang telah berkuasa selama 42 tahun itu. Tak ayal, kematian orang kuat di Afrika tersebut disambut suka cita rakyat Libya. Pemimpin Dunia Barat memandang kematian Moammar Khadafi sebagai berakhirnya kekuasaan tirani, dan awal baru bagi masa depan Libya yang lebih baik. Puluhan ribu warga berbondong-bondong turun ke jalan untuk merayakannya.

Jenazah Moammar Khadafi kemudian dipamerkan di sebuah toko daging di Pusat Perbelanjaan, Misrata. Disana, ratusan warga mendatangi untuk melihat lebih dekat mayatnya. Mereka diperbolehkan mendekati dan mengambil foto. Ketika itu, mayat Moammar Khadafi dalam kondisi terbaring dengan dada terbuka. Ia diletakkan di atas kasur tipis. Ia menjadi tontonan warganya sendiri. Akhirnya, di hari Selasa, 25 Oktober 2011, Moammar Khadafi dimakamkan

secara diam-diam di gurun pasir yang dirahasiakan

(http://news.detik.com/read/2011/10/25/094525/1751739/1148/khadafi-akan-dikubur-di-gurun-pasir-yang-dirahasiakan?nd771104bcj).

Cuplikan video dan beberapa foto mayat Moammar Khadafi yang masih berlumuran darah tersebut menghiasi halaman surat kabar lokal di Medan, bahkan

menjadi headline. Surat kabar lokal yang memuat foto-foto tersebut salah satunya

Harian Waspada.

Untuk menganalisa foto, peneliti menggunakan teori semiotika dengan analisis ikonografi. Salah satu ahli yang mendefinisikan semiotika yakni seorang filsuf dan pemikir Amerika, Charles Sanders Pierce (1839-1914). Menurut Pierce,


(29)

Universitas Sumatera Utara tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Sedangkan objek adalah sesuatu yang menjadi referensi dari tanda. Sementara interpretan adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda (Sobur 2009: 41).

Foto merupakan bagian dari karya seni visual yakni seni gambar. Dalam bidang seni, untuk mengkaji aspek-aspek representasional dari karya seni gambar (seni piktoral) atau seni lukis, terdapat teori ikonografi-ikonologi dari sejarawan seni Erwin Panofsky. Teori ikonografi-ikonologi melihat kenyataan bahwa di samping memiliki kekayaan data-data indrawi pada dirinya sendiri, seperti warna, tekstur, garis, bidang, dan sebagainya dalam satu kesatuan komposisi bentuk

(form), karya seni gambar juga umumnya digunakan untuk merepresentasikan

realitas lainnya di luar karya itu sendiri. Itulah yang dinamakan representasional

yang juga memberikan andil kepada keseluruhan nilai isi intrinsik (content)

sebuah karya seni (Holly, 1985: 146).

Winfried Noth memasukkan teori Panofsky ini ke dalam kelompok semiotik untuk seni lukis. W.J.T Mitchell menyebut teori ikonografi Panofsky

sebagai kajian tentang “what images say?” dan “what to say about images?”.

Mitchell menyatakan bahwa rupa dan verba bukanlah dua fakta yang berbeda secara ontologis. Kedua kategori itu dibedakan hanya karena memiliki relasi khusus antara keduanya sebagai alat representasi. Rupa dan verba masing-masing meredefinisikan satu sama lainnya secara terus menerus, sejalan dengan perubahan sosial dan budaya, dan merupakan indikasi yang tajam tentang ideologi masyarakat serta seniman yang hidup dalam zaman itu. Dengan demikian, representasi visual maupun verbal, serta relasi keduanya akan mampu merepresentasikan struktur nilai dan minat masyarakat yang hidup pada satu

zaman tertentu (Noth, 1995:419).

Foto-foto mengenai tewasnya Moammar Khadafi menarik perhatian penulis. Melalui kajian ikonografi, diharapkan mampu memahami dan memaknai karya-karya fotografi yang mandiri maupun yang dimanfaatkan dalam berbagai media, yang masing-masing memiliki kerangka wacana konteks dan tujuan yang


(30)

Universitas Sumatera Utara berbeda. Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti merasa perlu mengeksplorasi

permasalahan ini lewat skripsi dengan mengangkat judul “Sadisme Dalam Foto

Jurnalistik (Analisis Ikonografi Foto-Foto Kematian Moammar Khadafi Di Harian

Waspada)”.

1.2Fokus Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

”Bagaimanakah Pemaknaan Sadisme Dalam Foto Jurnalistik (Analisis

Ikonografi Foto-Foto Kematian Moammar Khadafi Di Harian Waspada)?”

Agar tidak terjadi ruang lingkup penelitian yang terlalu luas yang menyebabkan kaburnya penelitian, maka perlu dibuat pembatasan masalah. Pembatasan masalah yang akan diteliti adalah:

1. Penelitian ini menggunakan model analisis ikonografi oleh Erwin

Panofsky.

2. Penelitian dilakukan pada Harian Waspada.

1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis isi foto yang mengandung

unsur sadisme di Harian Waspada.

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan dunia foto

jurnalistik.

3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana surat kabar di


(31)

Universitas Sumatera Utara

1.4Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat, yakni:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan berguna dalam memperluas

pengetahuan peneliti dalam bidang jurnalistik, khususnya mengenai fotojurnalistik.

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah dan

memperkaya khazanah penelitian bidang komunikasi, terutama yang berkaitan dengan kajian tentang media massa di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

3. Sebagai bahan yang dapat dijadikan informasi dan menambah

wawasan pembaca tentang studi media cetak dan foto berita.

4. Secara praktis, diharapkan menjadi bahan masukan untuk perbaikan

serta meningkatkan kualitas pemberitaan surat kabar yaitu Harian


(32)

Universitas Sumatera Utara BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Kajian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang memungkinkan seorang peneliti untuk menginterpretasikan dan menjelaskan suatu fenomena secara menyeluruh dengan menggunakan kata-kata, tanpa harus bergantung pada sebuah angka. Menurut Bodgan dan Taylor, metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi tidak boleh mengisolasi individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan (Bodgan & Taylor, 1975: 4).

Suparlan menjelaskan bahwa penelitian kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia atau pola-pola. Gejala-gejala sosial dan budaya dianalisis dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku, dan pola-pola yang ditemukan tadi dianalisis lagi dengan menggunakan teori yang objektif (Suparlan, 1994: 6). Secara teoritis, ada beberapa paradigma yang sangat besar pengaruhnya terhadap pengembangan penelitian kualitatif. Paradigma tersebut yakni, fenomenologi, etnografi, interaksi simbolik, etnometodologi, dan kontruktivisme (Irawan, 2006: 13).

Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epitemologis yang panjang (Mulyana, 2003: 19).


(33)

Universitas Sumatera Utara Paradigma membantu memberikan definisi tentang apa yang harus dipelajari, pertanyaan apa yang harus dikemukakan, bagaimana pertanyaan itu dikemukakan, dan peraturan apa yang harus dipatuhi dalam menginterpretasi jawaban yang diperoleh. Paradigma merupakan suatu konsensus yang paling luas dalam suatu ilmu pengetahuan dan membantu membedakan satu komunitas ilmiah (atau subkomunitas) dari yang lain.

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivis. Paradigma konstruktivis yaitu paradigma yang hampir merupakan antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan. Paradigma ini memandang ilmu

sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action melalui

pengamatan langsung dan memelihara/ mengelola dunia sosial mereka (Hidayat, 2003: 3).

Menurut Patton, para peneliti konstruktivis mempelajari beragam realita yang terkonstruksi oleh individu dan implikasi dari konstruksi tersebut bagi kehidupan mereka dengan yang lain. Dalam konstruktivis, setiap individu memiliki pengalaman yang unik. Dengan demikian, penelitian dengan strategi seperti ini menyarankan bahwa setiap cara yang diambil individu dalam memandang dunia adalah valid, dan perlu adanya rasa menghargai atas pandangan tersebut (Patton, 2002: 96-97).

Konstruktivis beranggapan bahwa pengetahuan merupakan konstruksi

(bentukan) dari “skema” diri yang dimiliki pembelajar. Oleh karena itu,

pengetahuan ataupun pengertian dibentuk oleh siswa secara aktif, bukan hanya diterima secara pasif dari guru mereka. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang (guru) ke kepala orang lain (subyek belajar) karena pengetahuan bukanlah barang yang dapat ditransfer begitu saja dari pikiran seseorang kepada orang lain, subjek yang mengartikan apa yang telah diajarkan dengan penyesuaian terhadap pengalaman-pengalaman mereka.

Guba menyatakan “Finally, it depicts knowledge as the outcome or


(34)

Universitas Sumatera Utara certifiable as ultimately true but problematic and ever changing” (Guba,

1990:26), yang berarti “pengetahuan dapat digambarkan sebagai hasil atau

konsekuensi dari aktivitas manusia, pengetahuan merupakan konstruksi manusia, tidak pernah dipertanggungjawabkan sebagai kebenaran yang tetap tetapi

merupakan permasalahan dan selalu berubah.”

Dari beberapa penjelasan Guba yang dikutip di atas dapat disimpulkan bahwa realitas itu merupakan hasil konstruksi manusia. Realitas itu selalu terkait dengan nilai jadi tidak mungkin bebas. Nilai dan pengetahuan hasil konstruksi manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang terus.

Konstruktivis ini secara embrional bertitik tolak dari pandangan Rene

Descartes (1596-1690) dengan ungkapannya yang terkenal: “Cogito Ergo Sum,”

yang artinya “Aku berpikir maka aku ada.” Ungkapan Cogito Ergo Sum adalah

sesuatu yang pasti, karena berpikir bukan merupakan khayalan. Menurut Descartes pengetahuan tentang sesuatu bukan hasil pengamatan melainkan hasil pemikiran rasio. Pengamatan merupakan hasil/ kerja dari indera (mata, telinga, hidung, peraba, pengecap/ lidah), oleh karena itu hasilnya kabur. Untuk mencapai sesuatu yang pasti menurut Descartes kita harus meragukan apa yang kita amati dan kita ketahui sehari-hari.

Selanjutnya menurut Guba (1990: 27) sistem keyakinan dasar pada peneliti Konstruktivisme, yaitu:

Asumsi ontologi: “Realitivis – realitas-realitas ada dalam bentuk konstruksi mental yang bersifat ganda, didasarkan secara sosial dan pengalaman, lokal dan khusus bentuk dan isinya, tergantung pada mereka

yang mengemukakannya.”

Asumsi epistimologi: “Subjektif – peneliti dan yang diteliti disatukan ke

dalam pengetahuan yang utuh dan bersifat tunggal (monistic).

Temuan-temuan secara harafiah merupakan kreasi dari proses interaksi antara

peneliti dan yang diteliti.”

Asumsi metodologi: “Hermeneutik – dialektik – konstruksi-konstruksi individual dinyatakan dan diperhalus secara hermeneutik dengan tujuan menghasilkan satu atau beberapa konstruksi yang secara substansial disepakati”.


(35)

Universitas Sumatera Utara Konstruktivisme bukan merupakan satu teori yang berdiri sendiri, tapi lebih dari itu ia seringkali digambarkan sebagai suatu rangkaian kesatuan. Secara khusus rangkaian kesatuan konstruktivisme ini dibagi dalam tiga katagori besar yaitu konstruktivisme kognitif, konstruktivisme sosial dan konstruktivisme radikal (Suparno, 1997: 25).

Konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dunia nyata. Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksi suatu realitas ontologis obyektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individu yang mengetahui dan tdak dapat ditransfer kepada individu lain yang pasif karena itu konstruksi harus dilakukan sendiri olehnya terhadap pengetahuan itu, sedangkan lingkungan adalah saran terjadinya konstruksi itu.

Konstruktivisme kognitif tidak bertujuan mengerti realitas, tetapi lebih hendak melihat bagaimana menjadi tahu akan sesuatu. Sedangkan mengenai kebenaran, bagi kaum konstruktivis kebenaran diletakkan pada kemampuan suatu konsep atau pengetahuan dalam beroperasi. Artinya, pengetahuan yang dikonstruksi dapat digunakan dalam menghadapi macam-macam fenomena dan persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan itu. Dengan kata lain, pengetahuan itu bukan barang mati yang sekali jadi, melainkan suatu proses yang terus berkembang. Sebagai teori belajar, konstruktivisme kognitif seringkali

mempertimbangkan “kelemahan” konstruksi. “Kelemahan” dalam kasus ini tidak

mempunyai nilai keputusan, seperti baik atau jelek, tapi cukup hanya pada indikasi kesetiaan pada asumsi yang mendasar. Jadi, konstruksi pengetahuan adalah mempertimbangkan secara khusus proses teknik atau mengkreasi struktur mental, tapi mempunyai sedikit hubungan pada tujuan pengetahuan secara alamiah dalam otak. Namun demikian, konstruktivisme kognitif dan hubungan secara historisnya dengan pemrosesan informasi, mempunyai peran penting yang sangat signifikan dalam menemukan secara empiris berkenaan dengan belajar, ingatan, dan kognisi.


(36)

Universitas Sumatera Utara Tidak seperti konstruktivisme kognitif dan konstrukvisme radikal, konstruktivisme sosial menekankan pada menetapkan prinsip-prinsip dalam memelihara pengetahuan alamiah sosial, dan percaya bahwa pengetahuan itu adalah hasil dari interaksi sosial dan menggunakan bahasa, jadi pengetahuan didapat lebih banyak dari hasil tukar pendapat daripada pengalaman individu (Prawatt & Floden, 1994: 37). Konstruktivisme sosial pada umumnya mengecilkan konstruksi mental pada pengetahuan (bukan karena konstruksi sosial tidak percaya pada konstruksi mental, tapi karena melihatnya relatif mudah) dan menekankan pada konstruksi arti dalam aktivitas sosial. Jadi, konstruktivisme sosial lebih memperhatikan konstruksi arti daripada struktur.

Dari ketiga macam konstruktivisme, terdapat kesamaan dimana konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di sekitarnya. Individu kemudian membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihat itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya, inilah yang oleh Berger dan Luckmann disebut dengan konstruksi sosial. Berger dan Luckman (Bungin, 2009: 195) mulai

menjelaskan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman „kenyataan dan pengetahuan‟. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam

realitas-realitas yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung

kepada kehendak kita sendiri. Sementara, pengetahuan didefinisikan sebagai

kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang

spesifik.

Pada hakikatnya isi media adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Bahasa bukan saja sebagai alat dalam mempresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan bentuk seperti apa yang ingin diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Akibatnya media massa mempunyai peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikannya. Manakala konstruksi realitas media berbeda dengan realitas yang ada di masyarakat, maka


(37)

Universitas Sumatera Utara hakikatnya telah terjadi kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik bisa mewujud melalui penggunaan bahasa penghalusan, pengaburan, bahkan pengasaran fakta.

Media sesungguhnya memainkan peran khusus dalam mempengaruhi budaya tertentu melalui penyebaran informasi media. Peran media sangat penting karena menampilkan sebuah cara dalam memandang realitas. Para produser mengendalikan isi medianya melalui cara-cara tertentu untuk menjadikan pesan-pesan. Media tidak bisa dianggap berwajah netral dalam memberikan jasa informasi dan hiburan kepada khalayak pembaca. Media massa tidak hanya dianggap sekedar hubungan antara pengirim pesan pada satu pihak dan pihak lain sebagai penerima pesan. Lebih dari itu media dilihat sebagai produksi dan pertukaran makna. Titik tekannya terletak pada bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang untuk memproduksi makna berkaitan dengan peran teks dalam kebudayaan. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan strukturalisme yang dikontraskan dengan pendekatan proses atau pendekatan linear (Fiske, 1990: 39).

Gagasan konstruksi sosial telah dikoreksi oleh gagasan dekonstruksi yang melakukan interpretasi terhadap teks, wacana dan pengetahuan masyarakat. Gagasan ini dimulai Deridda (1978) yang terkenal dengan gagasan

deconstruction. Gagasan ini kemudian melahirkan tesis-tesis keterkaitan antara

kepentingan (interest) dan metode penafsiran (interpretation) atas realitas sosial.

Gagasan Deridda sejalan dengan Habermas (1972), bahwa terdapat hubungan strategis antara pengetahuan manusia dengan kepentingan, walau tidak dapat disangkal bahwa pengetahuan adalah produk kepentingan.

Dengan demikian gagasan-gagasan tersebut membentuk dua kutub dengan satu garis linear atau garis vertikal. Kajian-kajian mengenai realitas sosial dapat dimulai dengan gagasan dekonstruksi sosial dari Deridda dan Habermas ataupun dari Berger dan Luckmann tentang konstruksi sosial. Kajian dekonstruksi menempatkan konstruksi sosial sebagai objek yang didekonstrusksi, sedangkan kajian konstruksi sosial menggunakan dekonstruksi sebagai bahan analisanya tentang bagaimana individu memaknakan konstruksi sosial tersebut. Dengan


(38)

Universitas Sumatera Utara demikian maka dekonstruksi dan konstruksi sosial merupakan dua konsep yang senantiasa hadir dalam satu wacana perbincangan mengenai realitas sosial.

Realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu, baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial itu memiliki makna, manakala realitas sosial di konstruksi dan dimaknai oleh individu lain sehingga memantapkan realitas sosial itu secara objektif. Individu mengonstruksi realitas sosial, dan merekonstruksikannya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya.

2.2 Kajian Pustaka

2.2.1 Semiotika

Basis dari seluruh komunikasi adalah tanda-tanda (signs) (Littlejohn, 1996: 64). Manusia dengan perantara tanda-tanda dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya. Dasar segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut benda. Sebuah bendera kecil, isyarat tangan, sebuah kata, keheningan, kebiasaan makan, gejala mode, gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, bicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan semuanya itu dianggap sebagai tanda.

Tanda yang digunakan untuk menyampaikan pikiran, informasi dan perintah serta penilaian, memungkinkan kita untuk mengembangkan persepsi dan pemahaman terhadap sesama dalam dunia ini. Misalnya, suatu hari saya dan beberapa teman SMA mengadakan reuni di Medan. Ditengah obrolan, kami merinci keberadaan beberapa teman, seperti siswa populer, teman satu kelas dan lainnya. Seorang teman dekat saya kemudian menceritakan tentang Irma yang satu kampus dengannya di Solo. Irma yang dikenal sebagai anak pendiam dan jarang bergaul, ternyata saat kuliah ia aktif di kampus dan menjadi anggota senat


(39)

Universitas Sumatera Utara

mahasiswa. Selepas kuliah, kabarnya Irma menjadi aktivis Non Government

Organization (NGO) internasional. Untuk mengetahui kebenaran mengenai Irma,

saya membutuhkan informasi yang berasal dari dua sumber, yang pertama informasi dari sesorang yang mengetahui Irma adalah aktivis dan kedua, informasi yang saya ketahui langsung atau dalam istilah semiotika tanda-tanda yang saya lihat. Beberapa bulan setelah reuni, saya liburan ke Jakarta. Saya

memanfaatkan busway sebagai transportasi yang murah dan praktis. Sekitar 200

meter sebelum melewati Bundaran Hotel Indonesia (tanda simbolik) gerak bus melambat. Posisi duduk saya didekat jendela menghadap ke arah bundaran, saya melihat ternyata sedang ada aksi/ demontrasi.

Pandangan saya tertuju pada seorang wanita memakai baju putih bergambar hewan, memakai ikat kepala, yang sedang berteriak-teriak kepada pengguna jalan menggunakan pengeras suara (tanda ikonik) ditengah kerumunan demonstran (tanda indeksikal). Saya merasa mengenal wanita itu. Dia seperti teman saya Irma. Karena jarak pandang yang cukup jauh, sehingga wajahnya samar-samar. Dari banyaknya spanduk/ poster (tanda verbal) yang mereka pegang, mereka melakukan aksi penyelamatan hutan Indonesia dan meminta kepada presiden untuk serius mengusut pihak-pihak atau perusahaan lokal maupun asing yang melakukan eksploitasi berlebihan pada hutan. Apa yang telah saya lihat, membuat saya mengambil kesimpulan bahwa Irma yang pendiam, sekarang menjadi aktivis. Meskipun tidak menutup kemungkinan, bisa saja Irma adalah masyarakat yang hanya berpartisipasi dan mendukung aksi penyelmatan hutan.

Tanda-tanda adalah perangkat yang digunakan manusia dalam berusaha mencari jalan di dunia ini, di dalam kehidupan antar sesama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi pada dasarnya hendak mempelajari

bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to

signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan

(to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa

informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga


(40)

Universitas Sumatera Utara Dengan tanda-tanda, kita mencoba mencari keteraturan di tengah-tengah dunia yang karut-marut ini, setidaknya agar kita sedikit punya pegangan. Pines

mengungkapkan “apa yang dikerjakan oleh semiotika adalah mengajarkan kita

bagaimana menguraikan aturan-aturan tersebut dan membawanya pada sebuah

kesadaran” (Berger, 2000a: 14). Manusia mempunyai kecendrungan untuk

mencari makna dan arti serta berusaha memahami segala sesuatu yang ada disekelilingnya. Seluruh hal yang ada disekelilingnya disebut sebagai tanda, tanda tersebutlah yang kemudian akan diungkapkan melalui metode penelitian menggunakan teori semiotika.

Penerima pesan ataupun pembaca memainkan peranan yang lebih aktif dalam model teori semiotika dibandingkan model proses lainnya. Semiotika lebih

suka memilih arti ”pembaca” mewakili pernyataan penerima pesan bahkan untuk

sebuah foto ataupun gambar. Karena hal tersebut secara tidak langsung menunjukkan derajat aktivitas yang lebih besar dan juga pembacaan merupakan sesuatu yang kita pelajari untuk melakukannya. Maka dari itu, pembacaan tersebut ditentukan oleh pengalaman kultural pembacanya. Pembaca membantu menciptakan makna teks dengan membawa pengalaman, sikap dan emosinya terhadap teks tersebut.

Secara etimologis, semiotika berasal dari bahasa Yunani “semeion” yang

berarti “tanda” atau “seme” yang berarti “penafsir tanda”. Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poetika. “Tanda” pada

masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Contohnya asap yang menandai adanya api (Sobur, 2009: 16-17). Secara terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Sobur, 2006: 95).

Beberapa ahli yang mengungkapkan pengertian semiotika antara lain, John Lechte menyatakan semiotika adalah teori tentang tanda dan penandaan. Lebih jelas lagi, semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk

komunikasi yang terjadi dengan sarana signs „tanda-tanda‟ dan berdasarkan pada


(41)

Universitas Sumatera Utara sebagai ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi. Chales Sanders Peirce mendefinisikan semiotika sebagai suatu hubungan diantara tanda, objek dan makna (Sobur, 2009: 16).

Scholes menyebutkan, semiotika yang biasanya didefinisikan sebagai

pengkajian tanda-tanda (the study of science), pada dasarnya merupakan sebuah

studi atas kode-kode, yaitu sistem apapun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna (Budiman, 2004: 3). Bahkan Eco menyatakan, semiotika pada prinsipnya merupakan disiplin ilmu yang mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mendustai, mengelabui, atau mengecoh (Sobur, 2009: 18). Maksud dari pernyataan Eco adalah, jika tanda dapat digunakan untuk berkomunikasi, maka tanda juga dapat digunakan untuk mengkomunikasikan kebohongan.

Kajian semiotika sampai sekarang telah membedakan dua jenis semiotika, yakni semiotika signifikasi yang tidak bisa terlepas dari Ferdinand de Saussure dan semiotika komunikasi yang identik dengan Charles Sanders Pierce. Namun, menurut Yasraf Amir Piliang, pembacaan ulang yang dilakukan oleh Umberto Eco dan Paul J. Thibault terhadap karya Saussure dan Pierce sesungguhnya tidak saling beroposisi atau berseteru, melainkan saling melengkapi seperti sebuah totalitas teori bahasa yang saling menghidupi. Seperti yang dikatakan Eco,

bagaimanapun juga „tanda‟ adalah asal usul dari „proses semiosis‟, sehingga

dengan demikian tidak ada oposisi atara aktivitas interpretasi Pierce dan kekakuan tanda Saussure (Sobur, 2009: vi).

Semiotika signifikasi yang berakar pada pemikiran bahasa Saussure, meskipun lebih menaruh perhatian pada tanda sebagai sebuah sistem dan struktur, akan tetapi tidak berarti mengabaikan penggunaan tanda secara konkret oleh individu-individu di dalam konteks sosial. Semiotika komunikasi yang jejaknya ada pada pemikiran Pierce, meskipun menekankan produksi tanda secara sosial dan proses interpretasi yang tanpa akhir, akan tetapi tidak berarti mengabaikan sistem tanda. Kedua semiotika ini justru hidup dalam relasi saling mendinamisasi. Akhirnya, Eco memberikan sebuah elaborasi yang komprehensif dan kritis


(42)

Universitas Sumatera Utara

dalam buku A Theory of Semiotics (1979). Perdebatan mengenai semiotika yang

akhirnya diredam oleh Eco, membuat orang-orang yang akan menggunakan pandangan Saussure maupun Pierce ataupun para ahli lainnya, akan merangkai sendiri sistem tanda dan penggunaan tanda secara sosial dalam berbagai media komunikasi (iklan, sastra, film, komik, karikatur, dan sebagainya) yang disesuaikan dengan penelitian yang dilakukan.

Beberapa tokoh yang menggeluti bidang semiotik atau semiotika diantaranya (Sobur, 2009: 39-63) :

a) Charles Sander Peirce. Pierce terkenal karena teori tandanya. Di dalam lingkup semiotika, Pierce sebagaimana dipaparkan Lechte, seringkali mengulang-ulang bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang. Berdasarkan objeknya, Pierce membagi

tanda atas icon (ikon), index (index) dan symbol (simbol). Dijelaskan, ikon

adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan, misalnya foto dan peta. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau kenyataan. Contoh, asap sebagai tanda adanya api. Dan simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya.

b) Ferdinand de Saussure. Sedikitnya ada lima pandangan Saussure yang di kemudian hari menjadi peletak dasar dari strukturalisme

Levi-Strauss, salah satunya ialah signifier (penanda) dan signified (petanda).

Dengan kata lain penanda adalah “bunyi ysng bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Bisa juga disebut aspek material dari bahasa: apa yang

dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Sedangkan petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Bisa juga disebut aspek mental dari bahasa. Yang harus diperhatikan adalah bahwa dalam tanda bahasa yang konkret, kedua unsur tadi tidak dapat dilepaskan.

“penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure.


(43)

Universitas Sumatera Utara c) Roman Jakobson. Jakobson adalah salah seorang dari teoritikus yang pertama-tama berusaha menjelaskan komunikasi teks sastra. Pengaruh Jakobson pada semiotika berawal pada abad ke-20. Menerangkan adanya fungsi bahasa yang berbeda, yang merupakan faktor-faktor pembentuk

dalam setiap jenis komunikasi verbal: addresser (pengirim), message

(pesan), addresse (yang dikirimi), context (konteks), code (kode), dan

contact (kontak).

d) Louis Hjelmslev. Hjelmslev mengembangkan sistem dwi pihak (dyadic system) yang merupakan ciri sistem Saussure. Sumbangan

Hjelmslev terhadap semiologi Saussure adalah dalam menegaskan

perlunya sebuah “sains yang mempelajari bagaimana tanda hidup dan

berfungsi dalam masyarakat. Dalam pandangan Hjelmslev, sebuah tanda tidak hanya mengandung sebuah hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. e) Roland Barthes. Barthes dikenal sebagai seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussure. Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda

adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat

asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem

pemaknaan tataran ke-dua yang ia sebut dengan konotative, yang di dalam

mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem

pemaknaan tataran pertama.

2.2.2Ikonografi dalam Analisis Semiotika

Dalam analisis visual, ada dua pendekatan yang biasa digunakan yakni semiotika Roland Barthes dan ikonografi. Kedua pendekatan ini meminta dua pertanyaan mendasar yang sama, yakni: pertanyaan tentang representasi gambar mewakili apa dan bagaimana? dan pertanyaan tentang 'makna tersembunyi' dari gambar (apa ide-ide dan nilai-nilai yang dilakukan orang, tempat, dan sesuatu yang diwakili dalam gambar). Namun, studi semiotika visual Barthes yang hanya


(44)

Universitas Sumatera Utara seputar gambar itu sendiri, dan memperlakukan makna budaya sebagai mata uang yang diberikan yang dibagi oleh semua orang yang terakulturasi dengan budaya populer kontemporer, dan yang kemudian dapat diaktifkan dengan gaya dan isi gambar, ikonografi juga memperhatikan konteks dimana foto tersebut diproduksi dan diedarkan, serta bagaimana dan mengapa makna budaya dan ekspresi visual mereka terjadi secara historis (Van Leeuwen, 2001: 92). Untuk menganalisis sadisme dalam fotojurnalistik, peneliti menggunakan pendekatan ikonografi. Alasan peneliti yakni, selain karena masih minimnya mahasiswa/i yang menggunakan pendekatan ini dalam penelitiannya, ikonografi tidak hanya terbatas pada analisis tekstual (semiotika visual Barthes) tetapi juga menggunakan analisis yang didasarkan pada perbandingan intertekstual dan penelitian latar belakang sejarah.

Istilah ikonografi (iconography) berasal dari istilah Yunani eikonographia

yang merupakan gabungan dari kata eikon yang berarti “citraan” atau “gambar”

dengan graphia yang berarti “menulis”. Secara harfiah ikonografi berarti

“penulisan gambar”. Dalam pemakaiannya sehari-hari, istilah ikonografi seringkali merujuk pada kegiatan mendeskripsikan dan mengklasifikasikan gambar. Ada pula masanya ketika istilah tersebut cenderung dikaitkan pada pengkajian atas gambar-gambar yang bernuansa keagamaan. Namun sesungguhnya ikonografi merupakan disiplin keilmuan yang menganalisis dan menafsirkan karya-karya visual dalam suatu tinjauan yang implikasinya sangat luas.

Dilihat dari awal kemunculannya, ikonografi erat berpaut pada bidang seni rupa, teristimewa menyangkut ilustrasi buku. Istilah tersebut mulai digunakan pada abad ke-18. Pada waktu itu istilah tersebut mengacu pada kajian atas

karya-karya visual yang berupa engraving (produksi ilustrasi buku seni).

Sebagai disiplin keilmuan tersendiri, ikonografi berkembang pada abad ke-19. Ketika itu perhatian utama para ahli ikonografi seperti Adolphe Napoleon Didron (1806-1867), Anton Heinrich Springer (1825-1891) dan Émile Mâle (1862-1954) dicurahkan pada karya-karya visual yang dibuat dalam kerangka ekspresi iman Kristiani. Sementara pada abad ke-20 disiplin ini terus berkembang,


(45)

Universitas Sumatera Utara antara lain melalu kajian-kajian para ahli seperti Aby Warburg (1866-1929), Fritz Saxl (1890-1948) dan Erwin Panofsky (1826-1968). Mereka tidak hanya mengobservasi isi gambar, melainkan juga mengiterpretasikan makna gambar. Pada gilirannya kajian-kajian ikonografi tidak hanya berkisar di sekitar sejarah seni, melainkan juga merambah kebidang-bidang lainnya. Lagipula sebagaimana

yang dikatakan Panofsky, “ahli sejarah kehidupan politik, puisi, agaman, filsafat,

dan keadilan sosial patut menerapkan cara kerja yang analog dengan cara yang

diterapkan atas karya seni” (Panofsky, 1939: 16).

Sebagai salah satu kajian mengenai interpretasi sebuah makna dalam karya

seni rupa adalah iconography (iconografi) dan iconology (iconologi). Melalui

pendekatan iconography (ikonografis)-iconology (ikonologi) maka sebuah pesan

piktorial dapat diinterpretasikan makna yang terkandung didalamnya. Sebagai salah satu kajian tentang interpretasi makna karya seni rupa, ikonografi merupakan pendekatan yang mempertanyakan representasi dan makna yang tersembunyi dari sebuah karya visual (Van Leeuwen, 2001: 93).

Erwin Panofsky sendiri dikenal sebagai salah seorang perintis kajian

ikonografi dalam sejarah seni. Dalam salah satu bukunya yang utama, Studies in

Iconology (1939), Panofsky mendefinisikan bidang keilmuan ini dengan mengatakan bahwa “Ikonografi merupakan cabang dari sejarah seni yang

memiliki pokok kajian yang berkaitan dengan sisi manusia (subject matter) atau

makna dari suatu karya seni, sebagai sesuatu yang bertolak belakang dengan

bentuk karya tersebut (sisi formalisnya)” (Panofsky, 1939: 3). Ketika Panofsky

merumuskan metode kerjanya, disiplin sejarah seni cenderung didominasi oleh

kajian-kajian yang memusatkan perhatian pada bentuk (form) dan penggayaan

(stylistic). Dengan kata lain, metode yang diajukan oleh Panofsky, yang terfokus

pada makna gambar, turut memperbaharui minat intelektual dibidang sejarah seni.

Metode Panofsky pada intinya berupa “tiga strata yang menyangkut pokok atau makan” (three strata of subject matter of meaning) karya visual. Ketiga

tingkatan makan yang terkandung dalam karya visual itu secara berurutan terdiri

atas tingkatan praikonografi (pre-iconography), ikonografi (iconography) dan


(46)

Universitas Sumatera Utara

kerangka pemahaman dan cakupan pengalamannya sendiri – memperhatikan

bagian-bagian tertentu gambar yang dianggap menarik. Pada lapisan ikonografi pengamat memperhatikan pertautan antara motif gambar dan maknanya. Sedangkan pada lapisan ikonologi pengamat berupaya menafsirkan atau menggali makna intrinsik dari gambar yang diamati. Penjelasan Panofsky mengenai ketiga lapisan makna yang dapat digali dari karya visual serta syarat-syaratnya, yaitu (Panofsky, 1939:5-8) :

1. Makna primer atau alamiah, yang terbagi dalam makna faktual dan

ekspresional

Makna ini digali dengan mengidentifikasi bentuk murni, yaitu : susunan garis dan warna tertentu, atau bongkahan perunggu atau batu yang dipahat sedemikian rupa sebagai representasi dari objek alamiah semisal manusia, binatang, tumbuhan, rumah, perkakas dan sebagainya, dengan mengidentifikasi hubungan timbal balik diantara objek-objek itu sebagai peristiwa, serta dengan memperhatikan kualitas-kualitas ekspresional

semisal watak yang sedih dari suatu pose atau gerak-gerik, atau suasana

yang menyenangkan dan menentramkan dari suatu interior. Pemerincian atas motif-motif ini merupakan deskripsi praikonografis atas karya seni.

2. Makna sekunder atau konvensional

Makna ini digali dengan memahami bahwa sosok wanita yang memegang sebutir buah persik adalah personifikasi dari kejujuran, bahwa sekelompok figur yang duduk mengahadapi sebuah meja makan dengan tata letak dan

pose tertentu merepresentasikan perjamuan terakhir, atau bahwa dua sosok

yang sedang bertarung dengan cara tertentu merepresentasikan perlawanan antara kebaikan dan kejahatan. Dalam hal ini kita menghubungkan motif-motif artistik dan menggabungkan motif-motif-motif-motif artistik (komposisi) dengan tema atau konsep. Motif-motif yang kemudian dipahami sebagai penghantar makna sekunder atau konvensional dapat disebut citraan, dan gabungan citraan tiada lain dari apa yang oleh para ahli teori masa silam

disebut “invenzioni”, kita biasa menyebutnya cerita dan alegori.

Identifikasi atas citraan, cerita dan alegori merupakan wilayah ikonografi dalam pengertian yang lebih sempit. Sebenarnya, ketika kita secara

longgar berkata tentang „makna yang dapat dibedakan dari bentuk‟ hal

yang kita maksudkan adalah wilayah makna sekunder atau konvensional, yakni tema atau konsep khusus yang diwujudkan melalui citraan, cerita dan alegori, yang dapat dibedakan dari makna primer atau alamiah yang diwujudkan melalui motif-motif artistik. Jelas, analisi ikonografis dalam arti sempit yang benar mengandaikan adanya identifikasi yang tepat atas motif-motif. Makna pada tahap ini juga bisa digali melalui literatur-literatur, baik secara alamiah maupun informasi dari mulut ke mulut.


(47)

Universitas Sumatera Utara Makna ini digali dengan memastikan prinsip-prinsip mendasar yang mengungkapkan sikap dasar suatu bangsa, kelas, persuasi keagamaan atau

filosofis – yang secara tidak sadar dikualifikasikan oleh suatu kepribadian

dan dipadatkan dalam suatu karya. Tidak perlu dikatakan bahwa

prinsip-prinsip tersebut diungkapkan dan karena itu diarahkan pada, „metode kompensional‟ dan „signifikansi ikonografi‟. Interpretasi yang benar-benar mendalam atas makan atau isi intrinsik bahkan dapat menunjukkan bahwa prosedur-prosedur teknis yang khas di negeri tertentu, dalam periode tertentu, atau pada seniman tertentu, misalnya Michelangelo lebih suka membuat patung dengan batu ketimbang dengan perunggu, bersifat simptomatik pada sikap dasar yang kentara dalam seluruh kualitas khusus lain pada gayanya. Maka dengan memperhatikan bentuk-bentuk murni, motif, citraan, cerita dan alegori sebagai perwujudan dari prinsip-prinsip yang mendasarinya, kita menafsirkan seluruh elemen tersebut sebagai apa

yang oleh Ernst Caissar disebut nilai-nilai „simbolis‟. Penemuan dan

penafsiran nilai-nilai ‟simbolis‟ ini (yang pada umumnya tidak diketahui

oleh seniman itu sendiri bahkan secara empatik dapat berbeda dari apa yang secara sadar ingin dia ungkapkan) adalah tujuan dari apa yang dapat

kita sebut ikonografi dalam arti mendalam: menyangkut suatu metode

penafsiran yang muncul sebagai suatu sintetis ketimbang analisis. Dan sebagaimana idntifikasi yang tepat atas motif-motif merupakan syarat

mutlak bagi analisis ikonografi dalam arti sempit yang benar, analisis

yang tepat atas citraan, cerita dan alegori merupakan syarat mutlak bagi


(1)

Universitas Sumatera Utara b. Harian Waspada Edisi Hari Minggu, 23 Oktober 2011, Halaman 1


(2)

Universitas Sumatera Utara c. Harian Waspada Edisi Hari Senin, 24 Oktober 2011, Halaman 1


(3)

Universitas Sumatera Utara d. Harian Waspada Edisi Hari Selasa, 25 Oktober 2011, Halaman 1


(4)

Universitas Sumatera Utara e. Harian Waspada Edisi Hari Rabu, 26 Oktober 2011, Halaman 1


(5)

Universitas Sumatera Utara BIODATA PENELITI

RICHKA HAPRIYANI

Alamat : Komp. Perum. PT. INALUM, Jalan Salak, S-34-10, Tg. Gading Kode Pos : 21257

Batu Bara - Sumatera Utara HP : +62812 6582 2744 Email : richkyani@gmail.com

Data Pribadi

Nama Lengkap : Richka Hapriyani Nama Panggilan : Rizka

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir : Tg, Gading, 15 Oktober1989 Kebangsaan : Indonesia

Universitas : Universitas Sumatera Utara

Fakultas : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Konsentrasi : Jurnalistik – Ilmu Komunikasi (2008)

IPK : 3,57

Hobi : Fotografi


(6)

Universitas Sumatera Utara Pendidikan Formal

 2008 – 2014 : Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik FISIP USU

 2007 – 2004 : SMAN 1 MATAULI PANDAN, Tapanuli Tengah

 2001 – 2004 : SMP N 1 Sei Suka, Batu Bara

 2001 – 1995 : SD Negeri 016396 Sei Suka, Batu Bara

Pengalaman Organisasi

 Bendahara Umum Pers Mahasiswa SUARA USU (2011)

 Redaktur Foto Pers Mahasiswa SUARA USU (2010)

 Fotografer Mahasiswa SUARA USU (2009)

 Tenaga Pendamping Lapangan (TPL) Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kota Medan (YP2) (2010 – 2013)

 Sekretaris Majelis Permusyawaratan Kelas (MPK) SMAN 1 MATAULI PANDAN (2005)

PELATIHAN JURNALISTIK

 Pelatihan Jurnalistik Tingkat Dasar (PJTD) se-Kota Medan di Universitas Negeri Medan (2009)

 Workshop Foto Jurnalistik, Lembaga Pendidikan Jurnalistik Antara (LPJA) di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara – Medan (2009)

 Simposium Pers Mahasiswa Nasional “Jurnalisme Investigasi” di Universitas

Kristen Satya Wacana, Salatiga – Jawa Tengah (2010).

 Workshop Menulis Narasi “Eka Tjipta Foundation” di Padang Halaban,

Sumatera Utara (2010).