Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban Pidana Dokter yang Melakukan Euthanasia Ditinjau dari Aspek Medis dan Hukum Pidana

90

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU

PELAKSANA TINDAK PIDANA EUTHANASIA

A. Pertanggungjawaban Pidana

Tanggung jawab dalam arti responsibility menurut kamus besar bahasa Indonesia dapat berarti wajib menanggung segala sesuatunya, kalau terjadi sesuatu dapat disalahkan, dituntut, dan diancam oleh hukuman pidana oleh penegak hukum didepan pengadilan, menerima beban akibat tindakan sendiri atau orang lain Sedangkan yang terakhir tanggung jawab dalam arti Liabilty berarti menanggung segala sesuatu kerugian yang terjadi akibat perbuatannya atau perbuatan orang lain yang bertindak untuk dan atas nama. 156 Pertanggungjawaban pidana, dalam bahasa asing disebut sebagai torekenbaarheid Belanda atau criminal responbility atau criminal lialibility Inggris. Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersangka atau terdakwa dapat dimintakan pertanggungjawaban atau tidak. Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada orang yang melakukan perbuatan pidana. Seseorang tidak akan dipidana jika tidak ada kesalahan. Hal ini sesuai dengan asas dalam hukum pidana yang berbunyi geen staf zonder schuld tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Asas ini tidak terdapat dalam hukum 156 Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI Universitas Sumatera Utara tertulis Indonesia, akan tetapi dalam hukum tidak tertulis Indonesia saat ini berlaku. 157 Dalam menjelaskan arti kesalahan, kemampuan bertanggung jawab dengan singkat diterangkan sebagai keadaan batin orang yang normal. Ia akan diminta pertanggungjawaban apabila perbutan tersebut melanggar hukum. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban. Pada umumnya seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab dapat dilihat dari beberapa hal yaitu: 158 A. Keadaan Jiwanya 1. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara. 2. Tidak cacat dalam pertumbuhan Gagu, Idiot, gila dan sebagainya 3. Tidak terganggu karena terkejut Hipnotisme, amarah yang meluap dan sebagainya. B. Kemampuan Jiwanya: 1. Dapat menginsyafi hakekat dari perbuatannya. 2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah dilaksanakan atau tidak. 3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut. 157 Moeljatno,Op,Cit, Hal 153. 158 Ibid Universitas Sumatera Utara Adapun menurut Van Hamel dalam Roeslan Saleh, seseorang baru bisa diminta pertanggungjawabannya apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 159 1 Orang tersebut harus menginsafi bahwa perbuatannya itu menurut tata cara kemasyarakatan adalah dilarang. 2 Orang tersebut harus dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya tersebut. Yang pertama merupakan faktor akal intelektual factor yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan atau tidak. Yang kedua adalah faktor perasaan dan kehendak volitional factor, yaitu dapat menyesuaikan tingkah-lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak. 160 Dalam hal pertanggungjawaban pidana, apakah jika seorang dokter yang melakukan tindakan Euthanasia terhadap pasiennya atau bahkan membiarkan pasiennya yang sudah tidak ada harapan untuk sembuh pulang dari rumah sakit untuk meninggal dirumah atau yang disebut Pseudo-Euthanasia, Dapat dibebankan tanggungjawab pidana? Maka perlu dikaji lebih mendalam dengan unsur-unsur pertanggungjawaban tindak pidana. 159 Roeslan Saleh, 1982. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hal 77. 160 Moeljatno,Op,Cit, Hal 179. Universitas Sumatera Utara Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Tindak Pidana Agar dapat dimintai pertanggungjawaban pidana harus memenuhi 3 unsur, yaitu: 161 a. Adanya Kemampuan bertanggung jawab b. Kesalahan dolusculpa c. Tidak Ada alasan pemaaf. a Kemampuan bertanggung jawab. Tentang kemampuan bertanggung jawab ini terdapat beberapa batasan yang dikemukakan oleh para pakar, antara lain: 162 Menurut Simons: “kemempuan bertanggungjawab dapat diartikan suatu keadaaan psisikis sedemikian rupa, sehingga penerapan suatu upaya pemidanaan, baik ditinjau secara umum maupun dari sudut orangnya dapat dibenarkan. Seorang pelaku tindak pidana mampu bertanggung jawab apabila : a. Mampu mengetahuimenyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum; b. Mampu menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tadi.” Meneurut Van Hamel: “kemampuan bertanggung jawab adalah keadaan normalitas kejiwaan dan kematangan yang membawa tiga kemampuan, yaitu: a. Mengerti akibatnyata dari perbuatan sendiri; b. Menyadari bahwa perbuatannya tidak diperbolehkan oleh masyarakat bertentangan dengan ketertiban masyarakat; c. Mampu menentukan kehendaknya untuk berbuat.” Dalam KUHP memang tidak ada rumusan yang tegas tentang kemampuan bertanggung jawab pidana. pasal 44 ayat 1 KUHP justru merumuskan tentang kaadaan mengenai kapan sesorang tidak mampu bertanggung jawab agar tidak 161 Tongat,Op.Cit.Hal.225. 162 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta: PT Rineka Cipta,2008.Hal 85-86. Universitas Sumatera Utara dipidana, artinya merumuskan perihal kebalikan secara negatif dari kemampuan bertanggung jawab. Pasal 44 merumuskan : 163 1 Barang siapa mengerjakan suatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak dihukum. 2 Jika nyata perbuatn itu dapat dipertanggungkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan menempatkan dia di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa. 3 Yang ditentukan dalam ayat yang diatas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri. Dalam sejarah pembentukan WvS Belanda mengenai rumusan Pasal 44 tersebut, dimana pembentuk UU mengambil sikap sebagai prinsip, yaitu “bahwa setiap orang itu harus dianggap mampu bertanggung jawab”. Dengan berpegang teguh pada prinsip ini, setelah terjadinya tindak pidana, apabila ada keraguan tentang kemampuan bertanggung jawabnya, barulah hal ketidakmampuan bertanggung jawab ini justru harus dibuktikan agar orangnya tidak dipidana. Jadi, dalam hal ini yang harus dibuktikan adalah tentang ketidakmampuan bertanggung jawab pidana, bukan sebaliknya tentang kemampuan bertanggung jawab pidana. hal ini dimaksudkan agar putusan hakim benar-benar mencapai derajat keadilan yang setinggi-tingginya. 164 163 Adami Chazawi, Stelsel Pidana,Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Jakarta: PT. Raja Garafindo Persada,2011. Hal 146. 164 Ibid.Hal.147. Universitas Sumatera Utara a Kesalahan Pengertian kesalahan dalam hukum pidana sangat penting, karena dalam menentukan ada tidaknya dan macam kesalahan itu, akan menentukan pula berat ringannya pidana yang dijatuhkan kepada seseorang. Apalagi telah umum dianut Adagium yang berbunyi: tidak ada pemidanaan tanpa kesalahan. Pengertian kesalahan dapat dilihat dari bahasa sehari-hari, moral, hukum perdata dan hukum pidana. Tetapi dari sudut pandang manapun didalam kesalahan selalu terkandung ketercelaan tertentu. 165 Makna kesalahan yang dianut dulu adalah memandang kesalahan semata- mata dari masalah keadaan psikologis pscyhologis schuldbegrip, tetapi dengan perkembangan waktu, pemaknaannya agak kearah normatif nomatief schuldbegrip. Dalam pandangan normatif ini kesalahan di defenisikan sebagai dapat dicelanya pembuat tindak pidana, karena dilihat dari segi masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika ia tidak ingin melakukan perbuatan tersebut. 166 Dalam hukum pidana, pengertian kesalahan telah banyak diteorikan, dan Simons menempatkan kesalahan sebagai salah satu unsur dari tindak pidana, tetapi ada yang menempatkannya sebagai unsur dari pertanggungjawaban pidana yaitu Roeslan saleh dan Moeljatno, beberapa pembahasan para sarjana antara lain: 167 165 Sutarno.Op.cit.Hal 84-85. 166 Chairul huda,”dari tiada pidana tanpa kesalahan” menuju kepada “tiada pertanggungjawaban pidana tanpakesalahan”,Jakarta, kencana predana media,2006, Hal 74. 167 S.R.Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta:Penerbit Alumni AHAEM-PETEHAEM,19986,Hal.161-166. Universitas Sumatera Utara Simons menyatakan bahwa isi dari pengertian kesalahan masih tetap berbeda dan tidak pasti. Sebagai dasar pertanggung jawab adalah kesalahan yang terdapat dalam jiwa pelaku dan hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana, dan berdasarkan kejiwaaanya itu pelaku dapat dicela karena kelakuan itu. Menurut beliau kesalahan adalah merupakan unsur subjektif dari tindak pidana. Noyon mengatakan bahwa ada ketidak pastian tentang sejauh mana ciri- ciri dari kesalahan berlaku yang berhubungan dengan hukum positif Indonesia adalah: a. Pelaku mengetahui atau harus dapat mengetahui hakekat dari kelakuannya dan kadaaan yang bersamaan dengan kelakuan itu, sepanjang keadaan-keadaan itu ada hubungannya; b. Pelaku mengetahui atau patut harus menduga bahwa kelakuannya itu bertentangan dengan hukum atau on-rechtmatig; c. Kelakuannya dilakukan bukan karena suatu keadaan jiwa yang tidak normal, seperti yang dimaksud dalam pasal 44 KUHP; d. Kelakuannya itu dilakukan bukan karena pengaruh dari sesuatu keadaan darurat atau paksa. Sedangakan Pompe menyatakan bahwa kesalahan itu bagian dalam dari kehendak pelaku, dan sifat melawan hukum merupakan bagian luarnya, artinya kesalahan merupakan kelakuan yang bertentangan dengan hukum, yang dapat dihindari atau seterusnya dapat dihindari, yaitu penggangguan ketertiban hukum yang dapat dihindarkan. Sedangakan sifat melawan hukum merupakan kelakuan yang bertentangan dengan hukum, untuk kelakuan mana dia dicela. Menurut Schreuder; pengertian kesalahan menurut hukum pidana menuntut adanya tiga ciri-ciri atau unsur-unsur, yaitu: a. Kelakuan yang bersifat melawan hukum; b. Dolus atau culpa; c. Kemampuan bertanggungjawab dari pelaku. Dalam penentuan kesalahan pidana, tidak dipersoalkan norma-norma kesusilaan atau Etbische normen, walaupun pembuat undang-undang harus menghormati norma kesusilaan, tetapi dia berhak membuat yang wajib ditaati oleh setiap orang, walaupun akan bertentangan dengan kata hatinya. Universitas Sumatera Utara Roeslan Salaeh bersesuaian dengan Moeljatno, mengatakan bahwa: 168 “perbuatan pidana dan pertanggung jawab dalam pidana bagi kami tidaklah hanya sekedar perhubungan dengan soal “strafbaar feit” belaka. Kami katakan bahwa perbuatan pidana dan pertanggung jawab pidana merupakan dua pengertian dasar dalam hukum pidana. Diatas dua hal inilah dibangun seluruh hukum pidana Indonesia” Perbuatan pidana mempunyai unsur formil, yaitu mencocoki rumusan undang-undang, dan unsur materil yaitu sifat melawan hukum. Menurut Wirjono Prodjodikoro, dua unsur pokok hukum pidana adalah; 169 1. Adanya suatu norma, yaitu suatu larangan atau suruhan, 2. Adanya sanksi atas pelanggaran norma itu berupa ancaman dengan hukuman pidana. Sedangakan unsur kesalahan sendiri tidak masuk dalam pengertian perbuatan pidana lagi, dan harus merupakan unsur bagi pertanggungjawaban dalam hukum pidana, dan kesalahan juga mempunyai unsur yang demikian: 170 a. Kemampuan bertanggung jawab; b. Kesengajaan atau kealpaan; c. Tidak ada alasan pemaaf. Tolak pangkal dari memasukkan kesalahan sebagai unsur dari pertanggungjawab pidana adalah: orang hanya akan dipidana jika ia mempunyai pertanggung jawab pidana. Dan dasar dari dipidananya sipelaku adalah atas asas “tidak dipidana jika tiada kesalahan” 171 1 Kesengajaan atau dolus 168 Ibid.Hal 164. 169 Prodjodikoro,Op.Cit.Hal 12. 170 Sutarno.Op.Cit.Hal 87 171 Ibid. Universitas Sumatera Utara Kesengajaan atau dolus pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang erat terhadap suatu tindakan baik terlarang maupun keharusan, dibanding dengan kelalaian atau culpa, karenanya ancaman pidanananya juga lebih berat. 172 Kesengajaan menurut memori penjelasan : kesengajaan adalah “mengkehendaki dan menginsyafi”. Artinya orang yang melakaukan suatu tindakan dengan sengaja harus menghendaki dan menginsyafi tindakan tersebut dan atau akibatnya. Kesengajaan dari sudut terbentuknya : dalam rangka mewujudkan kehendaknya itu, ada tiga tingkatan atau stadia yang dilaluinya yaitu : 173 a. Adanya peransang; b. Adanya kehendak; c. Adanya tindakan. Jadi kesengajaan adalah suatu kehendak atau keinginan unruk melaksanakan suatu tindakan yang didorong oleh pemenuhan nafsu. Teori kehendak dan teori perkiraan : Simons mengatakan bahwa kesengajaan itu adalah merupakan kehendak, ditujukan kepada perwujudtan dari suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang. Sarjana lain mengatakan untuk suatu akibat yang akan timbul, dari perbuatan itu tidak mungkin secara tepat menghendakinya, kemungkinan terbesar hanya dapat mengharapkan atau memperkirakan. 174 Teori Determinisme dan Inderterminisme mengakhiri kehendak. Determinisme adalah suatu ajaran yang mengatakan bahwa kehendak manusia itu 172 Ibid. 173 Ibid.Hal 88 174 Ibid. Universitas Sumatera Utara sebernanya sudah ditentukan terlebih dulu oleh suatu pengaruh, sedangkan Indeterminisme walaupun mengakaui adanya pengaruh dari keadaan-keadaan lingkungannya, namun manusia tetap dapat menentukan kehendaknya. 175 Sifat kesengajaan ada dua macam, yang pertama dolus malus dimana seseorang melakukan tindak pidana tidak saja hanya menghendaki tindakan itu, tetapi juga menginsyafi bahwa tindakan itu dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana. Sedangkan yang kedua : kesengajaan yang mempunyai sifat tertentu, cukup jika hanya menghendaki tindakannya itu. Gradasi kesengajaan ada tiga macam: 176 a. Kesengajaan sebagai maksud, terjadinya suatu tindakan dan akibatnya adalah betul-betul sebagai perwujudan dari maksud atau tujuan dan pengetahuan dari pelaku. b. Kesengajaan dengan kesadaran pasti atau keharusan, terjadinya akibat dari suatu tindakan yang seharusnya disadari oleh pelakunya yang pasti akan terjadi. c. Kesengajaan dengan menyadari kemungkinan atau dolus eventualis, kesengajaan dengan kesadaran mungkin atau kesadaran bersyarat. Gradasinya paling rendah dan bahkan kadang-kadang agak sulit membedakannya dengan kealpaan. 2 KelalaianKealpaan culpa Dalam hal kealpaan, pada diri pelaku terdapat : 177 a. Kekurangan pemikiran yang diperlukan; 175 Ibid. 176 Ibid.Hal 88-89. 177 Ibid. Universitas Sumatera Utara b. Kekurangan pengetahuan yang diperlukan; c. Kekurang bijaksanaan yang diperlukan.. Kealpaan, seperti halnya kesengajaan juga merupakan bentuk dari kesalahan, hanya derajadnya lebih rendah dari pada kesengajaan. Sedangkan gradasi kealpaan dapat dibedakan menjadi dua hal, yaitu menurut kecerdasan dan kekuatan ingatan pelaku dan menurut kesadarannya. Menurut kecerdasan atau kekuatan ingatan digradasikan sebagai kealpaan yang berat dan kealpaan yang ringan, sedangkan menurut kesadarannya, digradasikan kealpaan yang disadari dan kealpaan yang tidak disadari. 178 c Tidak ada alasan pemaaf Alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan. 179 Dari pengertian alasan pemaaf ini dapat ditarik pengertian tentang tiada alasan pemaaf yaitu tidak adanya alasan yang mengahapuskan kesalahan terdakwa. Karena perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa bersifat melawan hukum dan mengandung unsur kesalahan. Tanggung jawab pidana disini dapat dibuktikan dengan adanya kesalahan yang bertolak pada kesengajaan dolus atau kelalaian culpa yang menghendaki dan menginsyafi tindakan dan atau akibatnya dari perbuatannya. Berdasarkan analisis terhadap unsur-unsur pertanggungjawaban pidana diatas maka pelaku euthanasia ataupun dokter yang melakukan euthanasia dapat dimintai 178 Ibid. 179 Moeljatno,Op.Cit.Hal 137. Universitas Sumatera Utara pertanggungjawaban pidana. Bahwa melakukan euthanasia dapat digolongkan dengan melakukan malpraktek medis yang disengaja atau malpraktek medis criminal. Disebut atau dinyatakan malpraktek Kriminal criminal malpractice jika perbuatan tersebut memenuhi unsur aduan pidana batin, alasan pemaaf hubungan batin dengan perbuatan. Dalam kriminal malpraktek dapat berupa kesengajaan intentional, kecerobohan recklessness atau kelapaan negligence contoh malpraktek criminal yang bersifat kesengajaan dintaranya: 180 1. Melakukan Euthanasia aktif, pasif, volunter, maupun involunter. 2. Melakukan Arbortus Provocatus tanpa memenuhi unsur hukum. 3. Menerbitkan surat-surat pada pasien yang tidak benar. 4. Membuka rahasia pasien tanapa alasan yang memenuhi unsur hukum. Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai criminal malpractice apabila memenuhi rumusan delik pidana yaitu : Perbuatan tersebut harus merupakan perbuatan tercela dan dilakukan sikap batin yang salah yaitu berupa kesengajaan, kecerobohan atau kelapaan. 181 Jika hal ini terjadi, maka kesalahan tersebut disebabkan karena tindakan dokter berupa kesengajaan, karena ia telah bersikap kurang hati-hati dan ceroboh. Dengan demikian dari pembahasan diatas, dapat disimpilkan bahwa kealpaan itu paling tidak memuat tiga unsur: 182 180 Ns.Ta’adi, Loc.Cit.HAL 61. 181 Endang Kusumah Astuti, Op.cit.Hal,14 182 Laden Marpaung, loc.Cit.Hal 59. Universitas Sumatera Utara 1. Pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat menurut hukum tertulis maupun tidak tertulis, sehingga sebenarnya ia telah melakukan suatu perbuatan termasuk tidak berbuat yang melawan hukum. 2. Pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh, dan kurang berpikir panjang 3. Perbuatan pelaku tidak dapat dicela, oleh karenanya pelaku harus bertanggung jawab atas akibat perbuatannya tersebut.

B. Pertanggungjawaban Hukum Pidana Pelaku Tindak Pidana Euthanasia