Tinjauan Kepustakaan Pertanggungjawaban Pidana Dokter yang Melakukan Euthanasia Ditinjau dari Aspek Medis dan Hukum Pidana

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Euthanasia Kata Euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu “eu” baik dan “thanatos” maut, kematian yang apabila digabungkan berarti “kematian yang baik”. Euthanasia telah banyak dilakukan sejak jaman dahulu dan banyak memperoleh dukungan dari tokoh-tokoh besar dalam sejarah, seperti PLATO, yang mendukung suatu tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh orang-orang untuk mengakhiri penderitaan dari penyakit yang sedang dialaminya. Aristoteles yang membenarkan adanya membunuh anak yang berpenyakit dari lahir dan tidak dapat hidup menjadi manusia yang perkasa, Phytagoras dan kawan-kawan ikut juga menyokong perlakuan pembunuhan terhadap orang-orang yang lemah mental dan moral. 25 Hippokrates pertama kali menggunakan pengertian dan istilah Euthanasia pada “sumpah hippokrates” yang ditulis pada masa 400-300 SM. Sumpah tersebut berbunyi: “saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu” yang dikenal sebagai sebutan The Hippocratic Oath. 26 Euthanasia adalah Euthanathos yang berarti mati dengan baik tanpa penderitaan, ada yang menerjemahkan mati cepat tanpa derita. Hal tersebut dinyatakan oleh suetonis, seorang penulis dari yunani dalam bukunya yang berjudul “Vitacae sarum”. 27 25 Sutarno,.Op.Cit, Hal 32-33 26 Ibid. 27 Ibid. Hal 15-16. Universitas Sumatera Utara Kematian yang baik dan lembut adalah terjemahan istilah Euthanasia yang dijabarkan dari kata Yunani; “eu” laikbaik dan “thanatos” mati. Tampaknya tidak sedikit defenisi dan pembagian yang diberikan pada Euthanasia tersebut. Kematian yang lembut tidak memadai sebagai defenisi. Seayun-selangkah dengan ini misalnya kematian akut karena serangan jantung umumnya dianggap oleh lingkungan sekelilingnya juga sebagai kematian lembut yang dipilih. Kematian yang disengaja dibuat rupa-rupanya juga tidak memenuhi kriteria untuk pembatasan untuk defenisi Euthanasia. Kadang-kadang kematian seperti itu dapat berlangsung keras dan juga tergolong dasyat dan menyakitkan di dalam situasi yang sepi dan sunyi seperti halnya pengakhiran kehidupan bunuh diri. Pada Euthanasia kematian itu bukan hanya lembut, tulus dan mulus karena cara-cara pengakhiran kehidupan, namun di sini diperlukan bantuan. Dengan demikian pertolongan pihak lain merupakan faktor yang esensiil. Bahwa manusia adalah mahkluk sosial dan oleh karena itu tiada henti-hentinya ia akan mencari bantuan dan perhatian secara simpati dari sekitarnya. Bantuan dan rasa cinta kasih pada fase kematian ini, demikian pula adanya penyelenggaraan pengakhiran kehidupan oleh pihak lain, merupakan faktor-faktor yang tidak dapat tiada di dalam Euthanasia ini. 28 Kematian laik adalah demi kepentingan pasien semata-mata dan sama sekali bukan untuk kenyamanan orang-orang yang sehari-hari berada di sekitarnya keluarga, penyelenggara pelayan kesehatan, pengasuh. Dan penyelenggaraan di sini harus berlangsung atas dasar kesukarelaan, artinya setelah adanya permintaan 28 F.Tengker,Mengapa Euthanasia?, Kemampuan Medis Konsekueni Yuridis, Bandung,1990, penerbit; NOVA, Hal 4-5. Universitas Sumatera Utara yang diajukan secara tegas dan berulang-ulang dari pihak yang bersangkutan demi kepentingannya. Permintaan Euthanasia ini harus didorong oleh keinginan pasien agar terlepas dari penderitaan melalui satu-satunya jalan yang tersisa ialah: kematian. 29 Menurut study group dari KNMG ikatan dokter Belanda, Euthanasia diartikan dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri. Sedangakan dalam Black’s Law dictionary, euthanasia is “the act or practice of killing or bringing about the death of a person who suffers from an incurable disease or condition. Euthansia is sometimes regarded, by law, as second deggre murder, menslaugher , or criminally negligent bomicide”. Jadi Euthanasia adalah suatu tindakan atau praktik pembunuhan atau membuat seseorang yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkkan menjadi mati. 30 Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia istilah Euthanasia dipergunakan dalam 3 pengertian, yaitu: 31 1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan, untuk yang beriman dengan nama Allah di bibir. 2. Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberikan obat penenang. 3. Mengakhiri derita dalam hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya. Menurut kamus besar bahasa Indonesia KBBI, Euthanasia merupakan tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan mahkluk, baik orang atau hewan 29 Ibid.Hal.5 30 Sutarno, Op.Cit, Hal 16. 31 M. Achadiat, Loc.Cit. Universitas Sumatera Utara piaraan yang sakit berat atau luka parah dengan kematian yang tenang dan mudah atas dasar kemanusiaan. 32 Euthanasia bisa didefenisikan sebagai a good death atau mati dengan tenang. Hal ini dapat terjadi karena dengan pertolongan dokter atas permintaan dari pasien ataupun keluarganya sendiri, karena penderitaan yang sangat hebat, dan tiada akhir, ataupun tindakan membiarkan saja oleh dokter kepada pasien yang sedang sakit tanpa menentu tersebut, tanpa memberikan pertolongan pengobatan yang diperlukan. 33 Masalah Euthanasia biasanya dikaitkan dengan masalah suicide atau bunuh diri. Dalam hukum pidana, masalah suicide yang perlu dibahas adalah apakah seseorang yang ingin mencoba bunuh diri atau membantu orang lain untuk melakukan bunuh diri itu dapat dipidana, karena telah dianggap melakukan suatu kejahatan. 34 Euthanasia dan bunuh diri pada hakikatnya tidak terlalu jauh berbeda pemahamannnya, yang keduanya mempunyai arti melakukan suatu tindakan untuk mengakhiri hidup sendiri akibat dari keputus-asaan dan kekecewaan yang berlarut-larut. Dalam kasus Euthanasia terjadi tindakan untuk meminta atau memohon menghilangkan nyawa akibat menderita penyakit dan rasa sakit yang tidak tertanggungkan dan kemungkinan tak mungkin dapat disembuhkan dan biasanya hal tersebut dilakukan dengan melibatkan seseorang, dalam hal ini ialah dokter yang menanganinya. Sementara dalam kasus bunuh diri, lebih disebabkan oleh kekecewaan atau penyesalan hidup baik dalam hal karier, rumah tangga, 32 Ibid.Hal 16 33 Djoko Prakoso,Op.Cit, Hal 55. 34 . Ibid.Hal 63 Universitas Sumatera Utara masalah ekonomi dan sebagainya yang ingin keluar dari derita kehidupan dengan melakukan berbagai cara untuk menghilangkan nyawa. 35 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Euthanasia merupakan suatu tindakan membunuh pasien atau membiarkan meninggalnya seorang pasien secara alamiah, dimana pasien tersebut menderita penyakit yang menurut ilmu medis sudah tidak dapat disembuhkan, dan dengan tujuan tidak memperpanjang penderitaan sang pasien yang bersangkutan. Dari pengertian-pengertian tersebut, defenisi konseptual pengertian Euthanasia seperti yang dirumuskan menurut Study Group dari Iktan Dokter Belanda adalah: 36 “dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien ataupun sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan demi kepentingan pesien sendiri”. Secara umum Euthanasia pada dasar dan pelaksanaanya dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu: 37 1. Euthanasia Aktif: adalah serangkaian perbuatan yang dilakukan dengan sengaja secara medis melalui intervensi aktif oleh seseorang petugas kesehatan atau dokter dengan tujuan untuk mengakhiri hidup manusia pasien. Dengan perkataan lain euthanasia aktif adalah suatu 35 Nina Surteritna dan Rachmat Taufiq Hidayat, Euthanasia untuk Penderita HIVAIDS, diakses dari situs : httpwww.pikiran-rakyat.com 36 Sutarno,op.cit, Hal 16 37 Dr.Soekidjo Notoatmodjo,Etika Hukum Kesehatan,Jakarta, Penerbit : Rineka Cipta, Hal 146 Universitas Sumatera Utara tindakan medis secara sengaja melalui obat atau cara lain sehingga menyebabkan pasien tersebut meninggal. Euthanasia aktif ini juga dibedakan atas: a. Euthanasia Aktif Langsung direct adalah dilakukannya dengan tindakan medik secara terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien, yaitu memperpendek hidup pasien. Jenis Euthanasia ini dikenal juga sebagai mercy killing. b. Euthanasia Aktif Tidak Langsung indirect adalah saat dokter dan tenaga kesehatan melakukan tindakan medik untuk meringankan penderitaan pasien, namun mengetahui adanya resiko tersebut dengan memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. 38 2. Euthanasia Pasif: adalah menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang sedang berlangsung untuk mempertahankan hidupnya. Seseorang pasien yang sedang menjalani perawatan, guna kelangsungan hidupnya dilakukan tindakan medis melalui berbagai cara termasuk memberikan obat. Apabila tindakan medis ini diberhentikan, maka sudah barang tentu pasien ini meninggal, oleh sebab itu, tenaga kesehatan atau dokter ini sesungguhnya melakukan Euthanasia Pasif. 39 38 M. Yusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Edisi 4, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta, 1999. Hal 120 39 Soekidjo,Op.cit, Hal 46. Universitas Sumatera Utara 3. Auto-Euthansia: pasien menolak secara tegas dan sadar untuk menerima bantuan atau perawatan medik terhadap dirinya, di mana ia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. 40 Berdasarkan penolakan tersebut, pasien membuat suatu codicil pernyataan tertulis tangan. Beberapa kalangan menyamakan auto-euthanasia ini dengan Euthanasia pasif atas permintaan pasien. 41 Bila ditinjau dari permintaan, bagi pasien yang sudah sampai pada tahap terminal, tetapi pasien tersebut mengalami penderitaan yang berkepanjangaan, maka seorang pasien dapat mengajukan permintaan kepada petugas untuk mengakhiri hidupnya. Berdasarkan kondisi ini, maka Euthanasia dibedakan menjadi: 42 1. Euthanasia voluntir Adalah Euthanasia yang dilakukan oleh petugas medis berdasarkan atas permintaan si pasien sendiri. Permintaan pasien ini dilakukan dalam kondisi sadar atau dengan kata lain permintaan pasien secara sadar dan berulang-ulang, tanpa tekanan dari siapapun juga. 2. Euthanasia involuntir Adalah Euthanasia involuntir ini dilakukan oleh petugas medis kepada pasien yang sudah tidak sadar. Permintaan biasanya dilakukan oleh 40 Ibid. 41 C.M.Achadiat, Melindungi Pasien dan Dokter, Jakarta 1996 ,penerbit; Widya Medika,Hal 49 42 Soekidjo,Op.Cit, Hal 146. Universitas Sumatera Utara keluarga pasien, dengan berbagai alasan, antara lain: biaya perawatan, kasihan terhadap penderitaan pasien, dan sebagainya. Kedua jenis pembagian Euthanasia tersebut dapat digabungakan, dengan demikian dapat dikenal dengan Euthanasia pasif voluntir, pasif involuntir, Euthanasia aktif voluntir dan aktif involuntir. Ada yang melihat pelaksanaan Euthanasia dari sudut lain dan membaginya atas 4 empat kategori, yaitu: 43 1. Tidak ada bantuan dalam proses kematian tanpa maksud memperpendek hidup pasien. 2. Ada bantuan dalam proses kematian tanpa maksud memperpendek hidup pasien. 3. Tidak ada bantuan dalam proses kematian dengan tujuan memperpendek hidup pasien. 4. Ada bantuan dalam proses kematian dengan tujuan memperpendek hidup pasien. Antara Euthanasia Aktif dan Euthanasia Pasif, seolah-olah ada perbedaan, dimana pada euthanasia pasif dokter membiarkan pasien meninggal, sedangkan pada Euthanasia yang aktif dokter bisa dituduh melakukan pembunuhan. Namun dalam hal membiarkan meninggal dan membunuh, menurut James F. Childress, secara moral tidak ada bedanya. Senada dengan childress, Bonnie Steinbock berpendapat tidak ada bedanya antara penghentian perawatan untuk memperpanjang hidup untuk terminasi kehidupan seseorang manusia secara 43 Jusuf Hanafiah, Amri Amir, Op.cit, Hal 120. Universitas Sumatera Utara sengaja oleh orang lain, yang berarti antara Euthanasia aktif dan pasif adalah sama. 44 Sedangkan menurut Fletcher tindakan Euthanasia dapat dilakukan melalui beberapa cara seperti berikut: 45 a. Langsung dan sukarela, cara memberi jalan kematian yang dipilih pasien, tindakan ini dianggap sebagai bunuh diri. b. Sukarela berarti tidak langsung, cara ini dikerjakan dengan jalan pasien diberi tahu bahwa harapan untuk hidup kecil sekali sehingga pasien ini berusaha agar ada orang lain yang dapat mengakhiri penderitaan dan hidupnya. c. Langsung tetapi tidak sukarela, cara ini dilakukan tanpa sepengetahuan pasien, misalnya dengan memberikan dosis lethal pada anak yang lahir cacat dan. d. Tidak langsung dan tidak sukarela, cara ini merupakan Euthanasia pasif yang paling mendekati moral. Tanpa melihat legalitas, menurut Fred Ameln dalam beberapa literatur didapatkan beberapa cara untuk mengakhiri hidup: 46 a. Hidup diakhiri dengan permintaan sendiri, dilakukan dengan motivasi kasihan, b. Hidup diakhiri atas permintaan orang tuakeluarga, dilakukan dengan motivasi kasihan dengan tindakan aktif, 44 Sutarno, Op.cit, Hal 35-36. 45 Ibid, Hal 38 46 Ibid. Universitas Sumatera Utara c. Hidup diakhiri tidak atas permintaan, dilakukan dengan motivasi kasihan dengan membiarkan pasien mati, d. Hidup diakhiri tidak atas permintaan, dilakukan dengan motivasi kasihan dengan tindakan aktif e. Bunuh diri tanpa bantuan, dan f. Bunuh diri dengan bantuan orang lain.” 2. Pengertian Aspek Medis Upaya peningkatan kualitas hidup manusia di bidang kesehatan, merupakan suatu usaha yang sangat luas dan menyeluruh, usaha tersebut meliputi peningkatan kesehatan masyarakat, baik secara fisik maupun non-fisik. Dalam sistem kesehatan nasional disebutkan, bahwa kesehatan menyangkut semua segi kehidupan yang ruang lingkup dan jangkauanya sangat luas dan kompleks. Hal ini sejalan dengan pengertian kesehatan yang diberikan oleh dunia internasional sebagai: 47 A state of complete physical, mental, and social, well being and not merely the absence of desease or irfirmity. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa pada dasarnya masalah kesehatan menyangkut semua segi kehidupan dan melingkupi sepanjang waktu kehidupan manusia, baik kehidupan masa lalu, kehidupan sekarang, maupun di kehidupan masa yang akan datang. Dilihat dari sejarah perkembangannya, telah terjadi perubahan orientasi nilai dan pemikiran dimaksud selalu berkembang 47 Bahder Johan Nasution,SH, Hukum Kesehatan, Pertanggungjawaban Dokter, Jakarta 2005, penerbit : rineka cipta, Hal 1-2. Universitas Sumatera Utara sejalan dengan perkembangan teknologi dan sosial budaya. Kebijakan pembangunan dibidang kesehatan yang semula berupa upaya penyembuhan penderita, secara berangsur-angsur berkembang kearah kesatuan upaya pembangunan kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan peran serta masyarakat yang bersifat menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan yang mencakup: 48 1. Upaya peningkatan promotif ; adalah suatu kegiatan dan atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan. 2. Upaya pencegahan preventif ; adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan penyakit. 3. Upaya penyembuhan kuratif ; adalah suatu kegiataan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin. 4. Upaya pemulihan rehabilitative ; adalah kegiatan dan atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya Untuk mewujudkan derajat kesehatan setinggi-tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan bagi masyarakat. Upaya 48 Ibid.Hal.1-2. Universitas Sumatera Utara kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dan pendekatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan. Dewasa ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, telah berkembang dengan pesat dan didukung oleh sarana kesehatan yang semakin canggih, perkembangan ini turut mempengaruhi jasa professional dibidang kesehatan yang dari waktu ke waktu semakin berkembang pula. Berbagai cara perawatan dikembangan sehingga akibatnya juga bertambah besar, dan kemungkinan untuk melakukan kealahan semakin besar pula. Dalam banyak hal yang behubungan dengan masalah kesehatan sering ditemui kasus-kasus yang merugikan pasien. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila profesi kesehatan ramai diprbincangkan baik di kalangan intelektual maupun masyarakat awam dan kalangan pemerhati kesehatan. 49 3. Pengertian Hukum Positif Indonesia Hukum positif atau ius constitutum, adalah hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu, singkatnya hukum yang berlaku bagi suatu masyarakat pada suatu waktu, dalam suatu daerah tertentu. 50 Hukum positif dibuat dengan tujuan untuk menciptakan kepastian hukum, kedamaian, kejelasan status, kepastian kepemilikan, kepastian hak dan kewajiaban warga Negara, serta melindungi semua kepentingan yang ada dalam 49 Ibid,Hal 4 50 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,Jakarta :bali pustaka:1989,Hal 73. Universitas Sumatera Utara suatu Negara, seperti kepentingan rakyat, kepentingan Negara, kepentingan warga Negara asing. Hukum positif merupakan unsur riil dalam unsur hukum sedangkan ilmu hukum merupakan suatu idiil. Unsur rill ini terdiri dari manusia, kebudayaan materil dan lingkungan alam, sedangakan unsur idiil mencakup hasrat susila dan rasio manusia. Hasrat susila menghasilkan asas-asas hukum, sedangkan rasio manusia menghasilkan pengertian-pengertian hukum, misalnya subjek hukum, hak, kewajiaban, dan seterusnya. 51 Istilah positif itu berarti kebetulan, ialah menurut bahasa latin yang dipergunakanoleh rakyat,bukan oleh orang rum asli. Dengan begitu hukum positif bersifat kebetulan ia dipengaruhi oleh pelbagai factor kebetulan. Akan disebutkan beberapa uraian tentang arti kata hukum positif : 52 a. Mr.J. Valkhoff menyatakan di dalam E.N.S.I.E jilid III, hal. 423 dan 434, “hukum positif atau hukum ytang berlaku sungguh- sungguh”,”hukum positif kemanusian yang berubah-ubah itu merup akan suatu tertib yang tegas buat kebaikan umum”, “hukum positif atau hukum isbat, ialah hukum yang berlaku di dalam Negara”. b. Soal hukum positif ditinjau dari sudut wujudnya dan asalnya, diketemukan didalam karangan L.Bender, “Het Recht” 1948, hlm. 254: “hukum positif ialah hukum yang disajikan khusus oleh suatu perbuatan manusia ; oleh sebeb itu, hukum positif itu didalam wujudnya tergantung pada perbuatan manusia itu sendiri”. c. Mr. J.H Carpientier Alting, “Grondslagen der Rechtsbedeling” 1926, mengatak an “perkataan “hukum” di dalam arti positif dan obyektif harus diartikan sebagai suatu kelompok peraturan yang merupakan satu rukun ; kelompok peraturan itu menguasai hidup bersama di dalam masyarakat, ketaatan terhadap peraturan- peraturan itu dapatlah dipaksakan oleh suatu kuasa zahiri, maupun dijamin oleh kemungkinan bahwa pengabaian peraturan-peraturan 51 Purnadi Pubacaraka,Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum,Bandung:Almuni,1985, Hal 14. 52 Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta :rajawali press, 1983 Hal,167-169. Universitas Sumatera Utara itu dapat mengadakan tindakan-tindakan secara langsung, maupun tidak langsung dari pihak kekusaan zahiri tersebut”. Dalam pada itu, kedalam defenisi itu dimasukkan unsur “ketaatan”, yakni ketaatan dengan paksaan. Maka definisi yang dapat dibulatkan adalah sebagi berikut, hukum positif adalah suatu penyususnan terhadap hidup kemasyarakatan, yang ditetapkan atas kuasa masyarakat itu, dan beralaku untuk masyarakat itu; hukum positif terbatas menurut tempat dan waktu. 4. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dapat dikatakan mempunyai kesalahan menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. 53 Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya 53 Roeslan Saleh, Perbuatan dan Pertanggungjawaban Pidana,Jakarta : aksara baru, 1983,Hal. 75. Universitas Sumatera Utara merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atau “kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu. 54 Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana Agar dapat dimintai pertanggungjawaban pidana harus memenuhi 3 unsur, yaitu: 55 a. Adanya Kemampuan bertanggung jawab b. Kesalahan c. Tidak Ada alasan pemaaf. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di seluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab. Yang diatur adalah kebalikannya, yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab. a Mampu bertanggungjawab Menurut KUHP seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan pidana yang dilakukannya dalam hal : 56 1. Karena kurang sempurna akal atau karena sakit berupa akal Pasal 44 KUHP; 2. Karena belum dewasa Pasal 45 KUHP. Mampu bertanggungjawab dalam hal ini adalah mampu menginsyafi sifat melawan hukumnya dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk menentukan 54 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, cetakan kedua Jakarta: kencana, 2006, Hal.68 55 Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan malang : UMM Press, 2009, Hal.225. 56 Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum,Bandung: Alumni, 1982,Hal.44. Universitas Sumatera Utara kehendaknya. Dalam hal kasus pelanggaran merek maka kemampuan bertanggungjawab tersebut timbul disebabkan : 1 Seseorang memakai dan menggunakan merek yang sama dengan merek pihak lain yang telah terdaftar. 2 Memperdagangkan barang atau jasa merek pihak lain yang dipalsukan. 3 Menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau asal jasa. 4 Seseorang tanpa hak menggunakan tanda yang sama keseluruhan dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang atau jasa yang sama. b Kesalahan Kesengajaan dalam hukum pidana dan kealpaan itu dikenal sebagai bentuk dari kesalahan. Si pelaku telah dianggap bersalah jika ia melakukan perbuatan pidana yang sifatnya melawan hukum itu dengan sengaja atau karena kealpaannya. c Tidak adanya alasan pemaaf Tidak adanya alasan pemaaf berarti tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan dari terdakwa. Universitas Sumatera Utara

F. Metode Penulisan