Euthanasia dalam Pandangan Ilmu Kedokteran

37

BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN

INDONESIA

A. Euthanasia dalam Pandangan Ilmu Kedokteran

Ada dua masalah dalam bidang kedokterankesehatan yang berkatan dengan aspek hukum yang selalu aktual untuk dibicarakan dari waktu ke waktu sehingga dapat digolongkan ke dalam masalah klasik dalam bidang kedokteran, yaitu tentang Arbortus provokatus dan Euthanasia. Dalam lafal sumpah dokter disusun oleh Hippokrates 460-377 SM, kedua masalah ini telah ditulis dan diingatkan, sampai kini, tetap saja persoalan yang timbul berkaitan dengan masalah ini tidak dapat diatasi dan diselesaikan dengan baik, atau dicapainya kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak. Di satu pihak, tindakan Arbortus provokatus dan Euthanasia pada beberapa kasus dan keadaan memang diperlukan. Sementara di lain pihak, tindakan ini tidak dapat diterima, bertentangan dengan hukum, moral dan agama. Kedua masalah ini setiap waktu dihadapai oleh kalangan kedokteran dan masyarakat, bahkan diperkirakan akan semakin meningkat di masa yang akan datang. 57 Karena naluri terkuat daripada manusia adalah mempertahankan hidupnya, dan ini juga termasuk salah satu tugas seorang dokter, maka menurut etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan: 58 1. Menggugarkan kandungan abortus provocatus 57 M.Jusuf Hanafiah, Amri Amir, Op.Cit, Hal 120 58 Kode Etik Kedokteran Indonesia-Lampiran III Declaration of Genewa Oleh panitia redaksi musyawarah kerja susila kedokteran nasional, Yayasan Penerbitan IDI, Jakarta,1969. Universitas Sumatera Utara 2. Mengakhiri hidup seseorang pasien, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak mungkin akan sembuh lagi euthanasia 1. Arbortus provocatus: Tidak hanya dalam dunia kedokteran, ternyata masalah arbortus provocatus ini pun dalam hukum pidana kita juga dilarang, dapat kita lihat dalam pasal 346 KUHP, yang menyatakan sebagai berikut:. “seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”. Disamping pasal 346 KUHP, masih banyak pasal-pasal lain yang menyatakan bahwa abortus provocatus ini merupakan tindak pidana, misalnya pasal-pasal 347, 348, dan pasal 349 KUHP. Walaupun abortus provocatus ini merupakan perbuatan terlarang, namun hal ini masih dapat diterobos oleh seorang dokter, dengan pertimbangan untuk pengobatan, dan apabila perbuatan itu hanya merupakan satu-satunya jalan untuk menolong jiwa si ibu dari bahaya maut. Keputusan untuk melakukan abortus provocatus ini harus diambil sekurang- kurangnya oleh dua dokter, dengan persetujuan tertulis dari pada perempuan yang hamil dan suaminya, atau keluarga yang terdekat. Abortus jenis inilah yang disebut sebagai: arbortus provocatus therapeuticus. 59 Pelubang seorang dokter dapat melakukan tindakan aborsi dan bersifat legal dilakukan oleh tenaga kesehatan atau tenaga medis yang berkompeten berdasarkan indikasi medis. 59 Djoko Prakoso, Op.Cit,Hal 81-82 Universitas Sumatera Utara Persyaratannya adalah 1. Aborsi hanya dilakukan sebagai tindakan teraputik. 2. Disetujui secara tertulis oleh dua orang dokter yang berkompeten. 3. Dilakukan di tempat pelayanan kesehatan yang diakui oleh suatu otoritas yang sah. Dasar hukum aborsi adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan pasal 15: “dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya dapat dilakukan tindakan medis tertentu”. Kemudian dalam UU Kesehatan No.36 tahun 2009, dalam pasal 75 Ayat 1 dinyatakan dengan tegas bahwa “bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi”. Ketentuan tentang larangan aborsi ini dikecualikan berdasarkan UU Kesehatan No.36 tahun 2009 pasal 75 ayat 2, berdasarkan : 60 a. “Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu danatau janin, yang menderita penyakit genetik berat danatau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup diluar kandungan. b. “Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Di dalam rumusan Undang-undang Hukum Pidana, aborsi dilarang dan dapat dikenai sanksi pidana, namun berdasarkan pasal 75 ayat 2 Undang- Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, perbuatan aborsi mendapat pengecualian jika hal tersebut dilakukan dengan maksud kedaruratan medis yang dapat mengancam jiwa si ibu, yang sesuai dengan rumusan pasal tersebut. Dan tentunya hal tersebut harus dapat dibuktikan. Dan bagaimana halnya dengan Euthanasia. 60 Soekidjo Notoatmodjo.Op,Cit.Hal 137 Universitas Sumatera Utara 2. Euthanasia Karena penderitaan yang tidak tertahankan lagi, bukan mustahil pasien yang penyakitnya sudah tidak mungkin disembuhkan itu, minta agar hidupnya diakhiri saja. Begitu kira-kira penafsirannya, sampai sebegitu jauh, tidak semua orang sejutu akan prinsip Euthanasia. Para dokter pun demikaian halnya. Pada umumnya kelompok yang menentang, mengemukakan alasan yang bertitik tolak dari segi religius. Pada pokoknya kelompok ini menyatakan, segala sesuatu yang dialami manusia memang dijadikan oleh Tuhan dan harus dipikul oleh manusia, karena hal itu mengandung makna dan tujuan tertentu. Dengan demikian berarti penderitaan seseorang dalam sakit yang di deritanya, walau bagaimanapun keadaanya, memang sudah terjadi kehendak Tuhan oleh sebab itu, mengakhiri hidup seseorang yang sedang menerima cobaan Tuhan tentunya tidak dibenarkan. Argumentasi demikian tadi juga dikemukakan dalam penjelasan Kode Etik Kedokteran Indonesia, Bab II, pasal 9, yang sekaligus juga mencermikan sikap atau pandangan para dokter di Indonesia. Sebaliknya kelompok yang menyetujui adanya Euthanasia itu, disertai argumentasi bahwa perbuatan demikian, terpaksa dilakukan atas dasar prikemanusiaan. Mereka tidak tega melihat penderitaan yang dialami oleh pasiennya, dan telah berulang kali minta kepadanya agar penderitaanya diakhiri saja. 61 Pada kenyataanya, perdebatan tentang Euthanasia memang telah diperkirakan oleh beberapa ahli, bersama beberapa masalah lain, yakni transplantasi organ tubuh manusia, inseminasi buatan, sterilisasi, bayi tabung dan 61 Djoko Prakoso, Op.Cit,Hal 82-83 Universitas Sumatera Utara arbortus provocatus pengguguran kandungan. Perdebatan atau kontroversi masalah-masalah tersebut lebih terfokus pada soal moralitas, etika maupun hukumnya. Perkembangan teknologi dan ilmu kedokteran yang begitu pesat akhir- akhir ini, ternyata tidak di ikuti dengan kemajuan dibidang hukum dan etika. 62 “contemporary development have posed a whole series of new problem. One could even say: if medicine is in of trouble because of too much change, law is in trouble because of too little change”. Tugas seorang dokter begitu mulia dalam pengabdiannya kepada sesama manusia dan tanggung jawab dokter makin tambah berat akibat kemajuan- kemajuan yang dicapai oleh ilmu kedokteran. Dengan demikian, maka setiap dokter perlu menghayati etik kedokteran, sehingga kemulyaan profesi dokter tersebut tetap terjaga dengan baik. Hal tersebut diinsyafi oleh para dokter di seluruh dunia, dan hampir tiap Negara telah mempunyai Kode Etik Kedokterannya masing-masing. Pada umunya kode etik tersebut didasarkan pada sumpah Hippocrates, yang dirumuskan kembali dalam pernyataan himpunan Dokter se-Dunia di London bulan Oktober 1949 dan diperbaiki oleh Sidang ke-22 Himpunan tersebut di Sydney bulan agustus 1968. 63 Sejak permulaan sejarah kedokteran pula para dokter berkeyakinan bahwa suatu etik kedokteran sudah sewajarnya dilandaskan atas etik yang mengatur hubungan antara manusia pada umumnya. Disamping itu harus memiliki akar- akarnya dalam filsafat masyarakat yang diterima dan dikembangkan terus dalam masyarakat itu secara universal, kewajiban dokter tersebut telah tercantum dalam 62 Crisdiono M.Achadiat,Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman, Jakarta;EGC,2007 Hal.180. 63 Djoko Prakoso, Op.Cit,Hal 79-80. Universitas Sumatera Utara Declaration Of Genewa yang merupakan hasil musyawarah Ikatan Dokter se- Dunia di genewa pada bulan September 1948, didalam deklarasi tersebut antara lain dinyatakan sebagai berikut: 64 “I will maintain the utmost respect for human life from the time of conception, eve under threat, I will not use my medical knowledge contrary to the laws of humanity”. Khusus untuk di Indonesia, pertanyaan semacam ini secara tegas telah dicantumkan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, yang mulai berlaku sejak tanggal 29 Oktober 1969, berdasarkan Surat Keputusan Mentri Kesehatan RI tentang: pernyataan berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia, tertanggal 23 Oktober 1969. Kode Etik Kedokteran Indonesia ini dibuat Bedasarkan Peraturan Mentri Kesehatan RI tanggal 30 Agustus 1969 No. 55WSKN1969. 65 Dalam Bab II pasal 9 dari Kode Etik Kedokteran Indonesia tersebut, dinyatakan bahwa: 66 “seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi makhluk insani”. Pada pasal ini yang mengharuskan seorang dokter untuk selalu memberikan pelayanan kesehatan yang sebaik mungkin kepada si pasien yang bersumber pada “Lafal sumpah dokter” yang berlaku saat ini, hasil penyempurnaan Rakernas MKEK tahun 2012 khusus lafal sumpah dokter pada pasal ke-5,6,7, yakni: 67 64 Ibid. 65 Ibid. 66 Ibid. 67 Kode Etik Kedokteran Indonesia. 2012 Universitas Sumatera Utara 1. Saya tidak akan menggunakan pengetahuan saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan prikemanusiaan, sekalipun diancam. 2. Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai saat pembuahan. 3. Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan si pasien, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat. Juga bila dilihat dari sumpah janji dokter yang dinyatakan sebagaimana telah diubah dan ditambah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1951 Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1951 Nomor 46 berbunyi sebagai berikut: 68 Saya bersumpahberjanji bahwa: - Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan; - Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang berhormat dan bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaan saya; - Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran; - Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai Dokter; - Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan; - Dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan Keagamaan, Kebangsaan, Kesukuan, Politik Kepartaian atau Kedudukan Sosial; - Saya akan memberikan kepada Guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima kasih yang selayaknya; - Teman-sejawat saya akan saya perlakukan sebagai saudara kandung; - Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan; - Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan Kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan; - Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya. 68 http:www.hukumonline.compusatdatadownloadfileparent21310 diakses pada tanggal 30 agustus 2016, jam 19:25 Universitas Sumatera Utara Dengan demikian, berarti di Negara manapun di dunia ini seorang dokter mempunyai kewajiban untuk “menghormati setiap hidup insani mulai saat terjadinya pembuahan”. Dalam hal ini berarti bahwa bagaimanapun gawatnya sakit seseorang pasien, setiap dokter harus tetap melindungi dan mempertahankan hidup pasien tersebut. 69 Dalam keadaan demikian mungkin pasien ini sebenarnya sudah dalam keadaan sekarat berbulan-bulan lamanya. Akan tetapi dalam hubungan ini dokter tidak boleh melepaskan diri dari kewajiban untuk selalu melindungi hidup manusia, sebagaimana yang diucapkan dalam sumpahnya. Dalam hal Euthanasia indikasi medis untuk mencapai tujuan yang konkret tidak ada, kecuali hanya menghentikan penderitaan rasa sakit. Dilakukan menurut aturan-aturan yang berlaku di dalam ilmu kedokteran dapat terpenuhi bila ada standar of procedure yang dibuatnya, dan untuk persetujuan pasien dapat terjadi. Dengan demikian Euthanasia pasti bertentangan dengan hukum. Euthanasia berarti kematian yang membahagiakan atau mati cepat tanpa derita. Tetapi kemudian pengertian ini berkembang menjadi pembunuhanpengakhiran hidup karena belas kasihan mercy killing dan membiarkan seseorang seseorang untuk mati secara menyenangkan mercy death. 70 Kode Etik Kedokteran Indonesia KODEKI mengenai Euthanasia dalam 3 pengertian yakni: 71 1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan, untuk yang beriman dengan nama Allah di bibir. 69 Djoko Prakoso,Op.Cit.Hal 80. 70 M.Achadiat,Op.Cit.Hal.189 71 Ibid. Universitas Sumatera Utara 2. Ketika Hidup berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberikan obat penenang. 3. Mengakhiri derita dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya. Kode Etik Kedokteran tentang proses dan Eksistensi Kematian pasien dengan Euthanasia. secara garis besar, Euthanasia dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu Euthanasia aktif dan Euthanasia pasif. Pandangan yang mengelompokan Euthanasia sebagai aktif dan pasif mendasarkan pada cara Euthanasia itu dilakukan. Menurut Kartono Muhammnad, Euthanasia aktif adalah suatu tindakan mempercepat proses kematian, baik dengan memberikan suntikan maupun melepaskan alat-alat pembantu medika, seperti saluran asam, melepas pemacu jantung dan sebagainya. Termasuk tindakan mempercepat proses kematian disini adalah jika kondisi pasien, berdasarkan ukuran dan pengalaman medis masih menunjukkan adanya harapan hidup. Dengan kata lain tanda-tanda kehidupan masih terdapat pada penderita ketika tindakan itu dilakukan. Sedangkan Euthansaia pasif, baik atas permintaan ataupun tidak atas permintan pasien, yaitu, ketika dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak lagi memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup kepada pasien catatan bahwa perawatan rutin yang optimal untuk mendampingimembantu pasien dalam fase terakhirnya diberikan. R. Soeprono dalam suatu diskusi panel tentang Euthanasia mengatakan bahwa segala perbuatan dokter terhadap si sakit bertujuan memelihara kesehatan dan kebahagiannya. Dengan sendirinya ia harus mempertahankan dan menerima kehidupan manusia. Harus diingat, meringankan penderitaan juga menjadi kewajiban seorang dokter. Mungkin dari segi inilah sehingga beberapa ahli ada yang menerima satu macam Euthanasia dan ada pula yang menerima kedua-duanya dengan beberapa pertimbangan tertentu. Terlepas dari benar atau tidaknya praktek Euthanasia telah terjadi Indonesia, masalah ini penting dikaji untuk medapatkan solusinya sebab sebagai Universitas Sumatera Utara Negara hukum, tentu saja ada konsekuensi pertanggungjawaban terhadap suatu perbuatan yang dijalankan oleh setiap warga Negara atas dasar profesinya. Pengertian tanggung jawab menurut kamus hukum adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya, kalau suatu terjadi dapat dilakukan penuntutan. Menurut Black Law Dictionery , istilah liability dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang terikat secara hukum atau keadilan untuk melaksanakan sesuatu tindakan. Tanggungjawab hukum tenaga kesehatan dimaksudkan sebagai keterkaitan tenaga kesehatan terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya. 72 Kajian dan telaah dari sudut medis, etika dan moral maupun hukum oleh masing-masing pakarnya, akhirnya menyimpulkan adanya beberapa bentuk pengakhiran kehidupan yang sangat mirip dengan Euthanasia, tetapi sebenarnya ternyata bukan Euthanasia, Oleh professor Leenen kasus-kasus demikian ini akan disebut sebagai Psuedo-Euthanasia dan secara hukum tidak dapat diterapkan sebagai Euthanasia, dalam bahasa Indonesia, mungkin istilah yang tepat adalah Euthanasia semu. 73 Bentuk-bentuk Pseudo-Euthanasia diuraikan Leenen ialah diantaranya: 74 1. Pengakhiran perawatan medik karena gejala mati batang otak: Ialah fungsi berpikir atau merasakan pada manusia dapat berlangsung jika otak masih berfungsi. Walaupun pernapasan dan detak jantung masih ada, namun jika otak tidak lagi berfungsi maka kehidupan secara intelektual dan psikis kejiwaan telah berakhir. Mati otak menjadi tanda bahwa seorang telah meninggal dunia dalam proses kematian. 72 Arifin Rada,Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Islam, Volume XVIII No. 2 Tahun 2013 73 . M.Achadiat,Op.Cit Hal.184 74 Ibid.Hal 184-187. Universitas Sumatera Utara 2. Pasien menolak perawatan atau bantuan medik terhadap dirinya : Undang-undang perdata telah mengatur tentang perikatanperjanjian, demikian pula syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut pasal 1320. Salah satu syarat yang harus dipenuhi ialah kehendak bebas, artinya perjanjian itu bebas dari paksaan, tipuan atau salah pengertian. Selain itu suatu tindakan yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat dikategorikan sebagai penganiayaan sebagaimana diatur dalam pasal 351 KUHP. Secara umum dapat dikatakan bahwa dokter tidak berhak melakukan tindakan apapun terhadap pasien jika tidak diizinkan atau dikehendaki oleh pasien tersebut. 3. Berakhirnya kehidupan akibat keadaan darurat karena kuasa tidak terlawan force majure : Hal ini diatur dalam pasal 48 KUHP. Misal si suatu RS hanya ada 2 buah alat bantu napas rispirator yang telah terpakai oleh pasien yang membutuhkan. Jika kemudian datang pasien ketiga yang juga memerlukan respirator, dokter harus memilih kepada siap respirator harus dipasang. Namun harus diingat bahwa dokter tidak berhak melepaskan respirator dari kedua pasien pertama tanpa izin. 4. Penghentian perawatan pengobatan bantuan medik yang diketahui tidak ada gunanya lagi : Dengan demikian seorang dokter tidak memulai atau meneruskan suatu perawatanpengobatan, jika secara medik telah diketahui tidak dapat diharapkan suatu hasil apapun, walaupun langkah ini mengakibatkan kematian pasien. Penghentian perawatan seperti ini tidak dimaksudkan untuk mengakhirimemperpendek hidup pasien, melainkan untuk menghindari dokter bertindak diluar kompetensinya. Dapat dikatakan bahwa langka tersebut mencegah terjadinya penganiyayaan terhadap pasien, berdasarkan pasal 351 KUHP. Kita di Indonesia, sebagai Negara yang ber-Agama dan ber-Pancasila, percaya kepada kekuasaan mutlak daripada Tuhan Yang Maha Esa. Segala sesuatu diciptakan-Nya, dan penderitaan yang dibebankan kepada mahkluk manusia, ada arti dan maksudnya. Oleh sebab itu, dokter harus mengerahkan segala kepandaian dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup, tidak untuk mengakhiri hidup dari pada sesama manusia. Adalah tugas ilmu kedokteran membantu meringankan penderitaan pasien, atau bahkan menyembuhkan penyakit selama masih dimungkinkan. Pasien yang benar- Universitas Sumatera Utara benar menderita atas penyakitnya, sudah menjadi tugas dokter untuk ikut membantu meringankan penderitaanya. Walaupun kadang-kadang dari tindakan peringanan tersebut dapat mengakibatkan hidup pasien diperpendek secara perlahan-lahan euthanasia tidak langsung. Jadi, jelas bahwa Kode etik kedokteran Indonesia melarang tindakan euthanasia aktif. Dengan kata lain, dokter tidak boleh bertindak sebagai Tuhan don’t play god. Medical ethics must be pro life, not pro death. Dokter adalah orang yang menyelamatkan atau memelihara kehidupan, bukan orang yang menentukan kehidupan itu sendiri life savers, not life judgers. Kiranya tidak memerlukan penjelasan lagi betapa permasalahan sekitar Euthanasia bagi pihak yang terlibat adalah problematik yang tampaknya tidak begitu saja dapat diatasi dan dilampaui. Penerapan penyelenggara Euthanasia pada pasien-pasien terminal semata-mata merupakan tindakan yang mengalir dari sumber rasa kemanusiaan yang dalam dan demi menghormati keinginan orang lain. Keterlibatan emosionil dokter merupakan satu-satunya alasan mengapa ia menyediakan diri memberikan bantuan yang nyata kepada pasien yang dalam sakratul maut. 75 Namun bilamana ia cenderung bersikap positif terhadap permintaan pasien seraya melakukan tindakan-tindakan aktif, maka diatas kepalanya mengancam peristiwa tindak pidana. Ada pula sejumlah dokter yang mengindahkan dan menjunjung tinggi pertimbangan-pertimbangan keagamaan. Bagi mereka 75 F.Tengker, Mengapa Euthanasia?,penerbit, NOVA,Bandung 1990 Hal.59. Universitas Sumatera Utara kehidupan adalah suci, anugrah Tuhan Yang Maha Kuasa, yang memberi dan mengambilnya kembali, suatu yang berada di luar kekuasaan manusia. 76 Menghormati kehidupan insani juga dipompa ke dalam keyakinan dokter sejak ia mengikuti pendidikan medisnya, secara berkesinambungan ia belajar mengupayakan peningkatan kualitas dan kuantitas kehidupan. Penyakit dan kematian adalah musuh-musuh. Suatu tindakan yang diarahkan kepada kematian pada hakekatya tidak sejalan dengan jalur pemeriksaan medis 77 .

B. Kematian dan Hak Mati dalam Ilmu Kedokteran