berdasarkan kenyataan-kenyataan yang terjadi sekarang, yang telah disesuaikan dengan perkembangan di bidang medis. Rumusan baru ini diharapkan dapat
memungkinkan atau memudahkan untuk mengadakan penuntutan terhadap kasus yang bersangkutan dengan masalah pengakhiran kehidupan atau Euthanasia.
B. Euthanasia dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sosiologi hukum menyimpulkan adanya “konsepsi masyarakat sedang bergerak, dan Bergerak jauh lebih cepat dari pada hukum”, sehingga selalu ada
kemungkinan, bahwa setiap bagian dari hukum memerlukan pemeriksaan kembali untuk menentukan apakah ia masih sesua
i dengan masyarakat”. konsepsi bahwa hukum itu selalu mengalir, bahwa hukum itu bergerak selalu adalah salah satu
konsekuensi saja dari kenyataan bahwa masyarakatlah yang melahirkan hukum dan bukanlah hukum yang melahirkan masyarakat.
136
Bahkan menurut W.J. van der Muelen SJ, dunia yang serba terikat oleh materi ini, segala-galanya selalu
beralih, berganti, bergerak. Gerakan itu bersifat kontinu, artinya setiap gerakan dilahirkan dan ditentukan oleh beberapa gerakan sebelumnya.
137
Pertanyaan ini menggaris bawahi bahwa kita tidak dapat diam tanpa mengadakan gerakan maju untuk tidak ketinggalan, termasuk hukum yang harus
mengikuti perkembangan masyarakatnya. Ukuran tercela atau tidaknya suatu tindakan dalam masyarakat dapat berubah seiring dengan perkembangan ilmu dan
136
Johnson, Alvin, Sosiologi Hukum, Jakarta: PT Rineka Cipta,1994.Hal.168.
137
W.J. van der Muelen SJ, Ilmu Sejarah Dan Filsafat, Yogyakarta: kanisius,1987, Hal 27.
Universitas Sumatera Utara
teknologi, terutama teknologi informasi yang cepat menularkan pengaruh budaya darisatu kawasan ke kawasan lain di dunia ini.
138
Begitu juga dengan hukum yang berkaitan dengan Euthanasia, dengan selalu bergeraknya masyarakat, sudah wajar kalau kita bertanya apakah bagian
dari hukum ini, yaitu yang berkaitan dengan Euthanasia tidak sudah sangat ketinggalan dengan masyarakat. Pertanyaan ini makin menguat jika kita melihat
perkembangan di bidang ilmu dan teknologi kesehatan, perkembangan hukum kesehatan atau hukum kedokteran sendiri yang sangat cepat yang terjadi juga di
Indonesia.
139
Bukti bahwa hukum kesehatan telah berkembang sangat jauh adalah di undangkannya UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, menggantikan UU No.
23 tahun 1992 tentang Kesehatan, yang ternyata terjadi lompatan yang jauh yaitu: pada pasal 75 memperlihatkan majunya pemikiran tentang aborsi. Dengan
berlakunya Undang-undang No. 36 tahun 2009, berarti pembunuhan terhadap janin yang menderita penyakit genetik berat atau cacat bawaan yang diperkirakan
akan sulit hidup sendiri setelah dilahirkan, boleh dilakukan.
140
Dengan mengingat hal tersebut maka pertanyaan berikutnya adalah apa bedanya dengan pembunuhan? Apa bedanya dengan jaman hitler yang membunuh
anak-anak cacat? Pasti mereka akan berargumen bahwa yang dibunuh hanya janin yang masih dalam kandungan yang masih ada kemungkinan dengan sebab lain
138
Sutarno.Op.cit.Hal.122.
139
Ibid.Hal.123.
140
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
juga akan mati dan tidak akan lahir normal. Jawaban ini kurang tepat mengingat penghilangan nyawa juga terjadi.
141
Euthanasia pada bayi-bayi yang baru lahir neonaat membawa kita pada permasalahan orang-orang yang tidak dapat mengungkapkan sesuatu karena tidak
mampu untuk itu, sebagai kebalikan dari kasus-kasus yang menyangkut orang- orang yang tidak dapat mengungkapkannya karena terlalu tua, lemah atau terlalu
parah penyakitnya. Perbedaan antara belum atau tidak lagi dapat mengungkapkan sesuatu. Perlu dikemukankan disini bahwa sesorang berada dalam keadaan baru
lahir, mempunyai arti bahwa ia masih sangat kecil, tetapi hal tersebut tidak mengahalang-halangi bahwa kita juga berhadapan dengan seorang manusia.
Mengapa seorang bayi yang baru lahir menjadi seorang manusia? Hanya ada satu jawaban yang tepat atas pertanyaan ini : apa yang lahir dari manusia adalah
manusia. Dari manusia tidak lahir seekor monyet, kucing, untuk mudahnya hanya manusia. Pada bayi yang baru lahir adalah manusia yang sebagai konsekuensi
harus dilayani sebagai manusia. Apakah mereka sakit atau lahir dengan satu atau lebih cacat, sama sekali tidak mempengaruhi statusnya sebagai manusia.
Sebaliknya, justru oleh karena bayi-bayi yang baru lahir dengan cacat atau dirundung sakit dan penyakit adalah manusia, maka pada mereka harus
ditunjukkan pelayanan, pengobatan dan perawatan yang sebaik mungkin.
142
141
Ibid.Hal.124
142
Tengker,Op.Cit,Hal 140-141.
Universitas Sumatera Utara
Sama dalam penghilangan nyawa manusia, akan mempunyai alasan yang jauh lebih kuat apabila peraturan perundangan tentang Euthanasia dengan syarat
ketat yang diberlakukan. Alasannya adalah ;
143
1. Penderitaan yang luar biasa yang dirasakan oleh pasien sudah jelas ada
dan sudah terjadi dan berlangsung terus-menerus. 2.
Ketergantungan pasien terhadap orang lain sudah jelas dan sudah terjadi.
3. Penderitaan keluarga pasien akibat dari kondisi pasien yang sudah dan
terus berlangsung, baik dari sisi fisik, psikis, dana dan lainnya, 4.
Secara ilmiah, menurut ilmu kedokteran penyakit pasien sudah tidak dapat disembuhkan lagi.
5. Tidak jelas kapan akan berakhir, dan
6. Dapat terjadi yang bersangkutan meminta hal tersebut, yang berarti
menghormati hak otonomi pasien. Pengaturan Euthanasia memang diperlukan, walaupun diatur dengan
persyaratan yang sangat ketat, hal ini akan memberikan perlindungan tehadap pasien maupun tenaga kesehatan. Disamping itu, sebagai tanggungjawab
pemerintah terhadap rakyatnya, seperti di tulis oleh Kuntjoro Purbopranoto, asas- asas umum pemerintahan yang baik adalah :
144
1. Asas kepastian hukum principle of legal secuirity
2. Azas keseimabangan principle of proportionality
3. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan principle of quality
4. Asas bertindak cermat principle of carefulness
143
Purnadi Purbacaraka,Soerjono
Soekanto, Menulusuri
Sosiologi Hukum
Negara,Jakarta, CV:Rajawali,1983,Hal 20
144
Purbopranoto,Kuntjoro,Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara,Bandung: alumni,1985,Hal 29-30.
Universitas Sumatera Utara
5. Asas motivasi untuk setiap keputusan principle of motivation
6. Asas jangan mencampuradukkan kewenangan principle of non
misuseof competence 7.
Asas permainan yang layak principle of fair play 8.
Asas keadilan atau kewajaran principle of reasonableness or prohibition of arbitrarines
9. Asas menanggapi pengharapan yang wajar principle of meating raised
expectation 10.
Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal principle of undoing the consequences of an annulled decision
11. Asas perlidungan pendangan hidup pribadi principle of protecting the
personal way of life 12.
Asas kebijaksanaan sapinta 13.
Asas penyelenggaraan kepentingan umum principle of public service Dari hal-hal yang dibicarakan diatas dapat disimpulkan bahwa:
145
Konsepsi masyarakat sedang bergerak, dan bergerak jauh lebih cepat dari pada hukum”, menyebabkan setiap bagian dari hukum memerlukan
pemeriksaan kembali apakah ia masih sesuai dengan masyarakat. Di Indonesia, setelah berakhirnya pemerintahan orde baru, maka usaha
pembaharuan hukum memperoleh ruang gerak yang begitu luas.
Sejak terbentuknya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sampai sekarang, belum ada kasus yang sampai ke pengadilan di Indonesia, yang
berhubungan dengan Euthanasia, yang diatur dalam pasal 344 KUHP. Dengan pencantuman pasal 344 ini, pengundang-undang pasti telah menduga
sebelumnya, bahwa Euthanasia, pernah terjadi di Indonesia dan akan terjadi pula dimasa yang akan datang, dalam arti Euthanasia yang aktif. Tetapi perumusan
pasal 344 KUHP menimbulakan kesulitan di dalam pembuktian, yakni dengan ada kata-kata
“atas permintaan sendiri”, yang di sertai pula dengan kata-kata “yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati”. Dapat dibayangkan bahwa orang
yang menyatakan dengan kesungguhan hati tersebut telah meninggal dunia.
145
Sutarno,Op.cit.Hal 127.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian kembali lagi kepada permasalahan bagaimana jika orang yang bersangkutan itu tidak mampu untuk berkomunikasi?
146
Perkembangan pengaturan masalah Euthanasia dalam RUU KUHP tahun 2005, dalam perkembangannya, ada beberapa perubahan-perubahan berkaitan
dengan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana setelah konsep RUU KUHP Tahun 19992000. Hal ini bertujuan agar nantinya RUU
KUHP ini dapat mengakomodir kepentingan-kepentingan yang terkait dengan ketentuan hukum pidana dimasa yang akan datang. Adanya perubahan RUU
KUHP tersebut berimplikasi pada perubahan pengaturan Euthanasia dalam RUU KUHP.
Pengaturan Euthanasia dalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang- undang Hukum Pidana RUU KUHP terdapat dalam pasal 574 RUU KUHP dan
575 RUU KUHP, antara lain:
147
Pasal 574 RUU KUHP berbunyi : “ setiap orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang
lain tersebut yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas permintaan keluarganya dalam hal orang lain tersebut tidak sadar,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 dua tahun dan paling lama 9 Sembilan tahun”
Pasal 575 RUU KUHP berbunyi :
146
Djoko Prakoso,Op.Cit,Hal 102.
147
Pasal 574-575 Ruu KUHP 2005 beserta penjelasanya.
Universitas Sumatera Utara
“dokter yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalm pasal 574 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun dan
paling lam 12 dua belas tahun”. Menurut penjelasan RUU KUHP pengaturan pasal 574 RUU KUHP diatas
ditujukan untuk menjerat perbuatan Euthanasia aktif. Bentuk “Euthanasia pasif”
tidak diatur dalam ketentuan tersebut karena masyarakat maupun dunia kedokteran tidak menganggap perbuatan tersebut sebagai perbuatan anti.
Meskipun Euthanasia aktif dilakukan atas permintaan orang yang bersangkutan yang dinyatakan dengan kesungguhan hati, namun perbuatan tersebut tetap
diancam dengan pidana. Hal ini berdasarkan suatu pertimbangan karena perbuatan tersebut dinilai bertentangan dengan moral agama. Disamping itu juga untuk
mencegah kemungkinan yang tidak dikehendaki, misalnya oleh pembuat tindak pidana justru diciptakan suatu keadaan yang sedemikian rupa sehingga timbul
permintaan untuk mengakhiri nyawa dari yang bersangkutan. Ancaman pidana di sini tidak ditujukan terhadap kehidupan seseorang,
melainkan ditujukan terhadap penghormatan kehidupan manusia pada umumnya, meskipun dalam kondisi orang tersebut sangat menderita, baik jasmani maupun
rohani. Jadi motif pembuat tidak relevan untuk dipertimbangkan dalam tindak pidana. Pengertian
“tidak sadar” dalam ketentuan pasal ini harus diartikan sesuai dengan perkembangan dalam dunia kedokteran.
148
Mengenai perumusan Euthanasia yang tercantum dalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tahun 2005 tersebut,
148
Suwarto.Op.cit, Hal 175
Universitas Sumatera Utara
ancaman perbuatan ini dapat dikatakan relatif lebih ringan bila dibandingkan dengan KUHP yang berlaku sekarang. Hal ini disebabkan dalam rumusan pasal
574 RUU KUHP tersebut dalam keadaan coma atau tidak sadar. Sedangkan dalam pasal 344 KUHP yang berlaku saat ini tidak disebutkan mengenai hal tersebut,
sehingga ancaman hukumannya pada saat itu 12 tahun penjara.
149
Ancaman pidana yang relatif ringan menunjukkan bahwa tindak pidana Euthanasia ini dilakukan atas permintaan si pasien atau keluargannya dan dokter
yang melakukan perbuatan tersebut, karena alasan kemanusiaan untuk menghilangkan penderitaan yang berat karena penyakit pasien tidak lagi dapat
disembuhkan, serta pasien tersebut mungkin sudah berada dalam situasi yang harus menentukan pilihan dalam konflik kepentingan, yaitu mempertahankan
hidup untuk memperpanjang penderitaan atau mempercepat kematian untuk menghilangkan penderitaan.
150
Menurut John Lorber dari American Medicine Assosoation yang dikutip oleh Suwarto dalam Jurnalnya, Mengungkapkan:
“antara membunuh dengan membiarkan mati dapat dibedakan dengan tegas. perbedaan
pembunuhan adalah
menyebabkan kematian,
sedangkan membiarkan mati adalah membolehkan kematian terjadi. Yang kedua adalah sebab terjadinya kematian oleh penyakit yang
dideritanya atau oleh tidak adanya pengobatan”.
Jadi euthanasia di Indonesia tetap dilarang, larangan ini terdapat dalam pasal 344 KUHP, yang sampai saat dan sekarang ini masih berlaku. Akan tetapi
perumusan dalam pasal 344 KUHP yang sekarang ini, dapat menimbulkan kesulitan bagi jaksa untuk menerapkannya atau mengadakan penuntutan
149
Ibid.
150
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan ketentuan tersebut. Oleh karena itu, maka sebaiknya bunyi pasal 344 KUHP tersebut dapatlah kiranya untuk dirumuskan kembali, berdasarkan atas
kenyataan-kenyataan yang terjadi sekarang, yang telah disesuaikan dengan perkembangan di bidang medis. Rumusan baru ini diharapkan dapat
memungkinkan atau memudahkan atau mengadakan penuntutan terhadap kasus yang bersangkutan dengan masalah Euthanasia.
C. Perbandingan Pengaturan Euthanasia dalam Pasal 344 KUHP dengan RUU KUHP Indonesia