Pertanggungjawaban Hukum Pidana Pelaku Tindak Pidana Euthanasia

1. Pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat menurut hukum tertulis maupun tidak tertulis, sehingga sebenarnya ia telah melakukan suatu perbuatan termasuk tidak berbuat yang melawan hukum. 2. Pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh, dan kurang berpikir panjang 3. Perbuatan pelaku tidak dapat dicela, oleh karenanya pelaku harus bertanggung jawab atas akibat perbuatannya tersebut.

B. Pertanggungjawaban Hukum Pidana Pelaku Tindak Pidana Euthanasia

Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana dapat diberi arti perbuatan yang dilarang yang diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut. Jadi larangan ditujukan pada perbuatannya, sedangkan ancaman ditujukan pada orangnya, yaitu barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan erat. Untuk menyatakan hubungan yang erat tersebut, maka dipakai istilah perbuatan pidana. Perbuatan adalah suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkret : pertama, adanya kejadian yang tertentu, dan kedua, adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu. 183 Hoffman, seperti dinyatakan oleh Komariah Emong Sapardjaja, secara ringkas menerangkan bahwa untuk suatu perbuatan melawan hukum harus dipenuhi empat unsur, yaitu: 184 1. Harus ada yang melakukan perbuatan 183 Moeljatno, ed rev,Op.Cit,Hal 59-60 184 Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Pidana Indonesia, Bandung ;alumni,2002, Hal 34. Universitas Sumatera Utara 2. Perbutan itu harus melawan hukum 3. Perbutan itu harus menimbulkan kerugian pada orang lain 4. Perbuatan itu karena kesalahan yang dapat dicelakan kepadanya. Kejahatan terhadap tubuh dan nyawa terdiri dari kejahatan terhadap tubuh dan penganiayaan yaitu mulai pasal 351 sampai dengan pasal 361, dan kejahatan terhadap nyawa atau pembunuhan, mulai pasal 338 sampai dengan pasal 350. Dalam hal Euthanasia, dapat terjadi pelakunya diancam dengan pasal 338 tentang pembunuhan, pasal 340 tentang pembunuhan berencana, pasal 344 tentang pembunuhan yang dilakukan karena permintaan si korban dan pasal 345 tentang bantuan bunuh diri. KUHP tidak menyebutkan sama sekali istilah Euthanasia. 185 Ditinjau dari sisi hukum, kasus Euthanasia dapat dianggap suatu pembunuhan. Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; seseorang dapat dipidana atas dihukum apabila ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kekurang hati-hatinya. Ketentuan pelanggaran pidana yang berkaitan langsung dengan Euthanasia aktif terdapat pada pasal 344 KUHP. 186 Ketentuan ini harus diingat oleh kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat banyak alasan yang kuat untuk membantu pasien, namun ancaman pidana ini harus tetap dihadapinya. Namun dalam hal berat ringannya pidana yang diputuskan oleh Hakim akan terdapat disparitas yang cukup beragam, jika ini 185 Sutarno.Op.cit.Hal 73 186 Ibid. Universitas Sumatera Utara ditetapkan pada kasus Euthanasia. Hal ini dapat dimengerti, bahwa menurut Diamond, terjadinya disparitas pidana karena: 187 a. Tidak konsistennya barang bukti persidangan yang disebabkan rendahnmya kredibilitas saksi dan perbedaan persepsi hakim terhadap bukti persidangan. b. Tidak ada standar proses pembuatan putusan. Akan lain halnya bila pembunuhan itu dilaksanakan dengan sengaja, seperti yang dirumuskan pada pasal 338 KUHP atau bahkan direncanakan terlebih dahulu seperti yang tercantum dalam pasal 340 KUHP. 188 Dalam hal Euthanasia Aktif langsung dimana permintaanya oleh karena suatu hal misalnya karena pasien sudah tidak sadar dalam jangka waktu yang lama, dilakukan oleh keluarga pasien, maka pasal 338 atau bahkan pasal 340 dapat diancamkan kepada dokter yang melakukannya. 189 Dalam naskah rancangan KUHP 1992 pasal 445 mengenai Merampas Nyawa, pembunuhan atas permintaan sendiri: 190 “Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas permintaan keluarga dalam hal orang itu sendiri tidak sadar, dipidana dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun”. Dalam penjelasannya pasal ini menunjuk pada bentuk Euthanasia aktif. Tidak dirumuskan bentuk Euthanasia pasif, oleh karena dunia kedokteran dan 187 Yusti Probowati Rahayu, Dibalik Putusan Hakim, Sidoarjo ; cv. Citramedia,2005, Hal 45. 188 Sutarno.Op.cit.Hal 74. 189 Ibid. 190 Lampiran II naskah Rancangan KUHP buku II TAHUN 1992. Universitas Sumatera Utara masyarakat tidak menganggap hal itu sebagai suatu perbuatan anti sosial. Meskipun ada kata-kata “atas permintaan orang itu sendiri dengan jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati” namun perbuatan itu tetap diancam dengan pidana. Hal ini untuk mencegah kemungkinan yang tidak dikehendaki, misalnya si pembuat justru diciptakan suatu keadaan yang sedemikian rupa sehingga timbul suatu permintaan untuk merampas nyawa dari yang bersangkutan. 191 Ancaman pidana di sini paling lama sembilan tahun. Ancaman pidana ini tidak ditujukan terhadap hilangnya kehidupan seseorang, melainkan ditujukan terhadap penghormatan kehidupan manusia pada umumnya, meskipun orang tersebut sudah sangat menderita, baik secara fisik maupun rohani. Ternyata motif dari si pelaku untuk melaksanakan perbuatan itu, tidak ada hubungannya untuk dipertimbangkan di sini. Maka “tidak sadar” dalam redaksi pasal ini haruslah diartikan sesuai perkembangan dalam dunia kedokteran. 192 Pada Euthanasia aktif tidak langsung, seorang dokter yang walaupun tujuan utamanya mengurangi penderitaan pasien dengan menyuntikkan pengurang rasa sakit yang dilakukan dengan dosis tinggi, tetapi dokter yang bersangkutan juga pasti mengetahui bahwa dengan dosis setinggi itu pasien dapat meninggal. Perbuatan Euthanasia jelas ini bukan suatu kelalaian tetapi kesengajaan, mengingat ada tiga hal jenis kesengajaan, yaitu : sengaja sebagai maksud, sengaja dengan keinsyafan pasti dan sengaja dengan keinsyafan kemungkinan atau dolus evaluantis. 193 191 Sutarno.Op.Cit.Hal 75. 192 Ibid. 193 Ibid.Hal.76. Universitas Sumatera Utara Pasal 55 KUHP : 194 Ayat 1 Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana; 1e. Orang yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan perbutan itu; 2e. orang dengn pemberian, perjanjian, salaah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan sengaja membujuk untuk melakukan suatu perbuatan KUHP 163 bis, 263s 2. Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub 2e itu yang boleh dipertanggungkan kepadanya hanyalah perbuatan yang dengan sengaja dibujuk oleh mereka itu, serta dengan akibatnya KUHP 51,57-4,58 Persoalan Euthanasia, dokter atau tenaga kesehatan lain yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan akan dihukum sebagai orang yang melakukan pidana, atau juga sebagai orang yang salah memakai kekuasaan atau pengaruh. Pasal 56 KUHP : 195 “dipidana sebagai pembantu kejahatan: 1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; 2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.” Pasal 57 KUHP: 196 194 Pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum Pidana 195 Pasal 56 Kitab Undang-undang Hukum Pidana 196 Pasal 57 Kitab Undang-undang Hukum PIdana Universitas Sumatera Utara 1 Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepetiga. 2 Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. 3 Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri. 4 Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungakan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau dipelancar olehnya, beserta akibat-akibatnya. Dalam hal membantu Euthanasia, maka kalau Euthanasia dianggap sebagai suatu kejahatan maka yang membantu akan dikenakan pasal 66 dan 57 KUHP tersebut. Ini dapat saja dilakukan oleh dokter perawat ataupun keluarga pasien. Pasal 55 sampai dengan pasal 62 KUHP, Moeljatno menulis di bukunya sebagai pasal-pasal mengenai persyaratan. Dikatakan bahwa ada penyertaan apabila bukan satu orang saja yang tersangkut dalam terjadinya perbutan pidana, akan tetapi beberapa orang. Yang dapat dinamakan peserta harus memenuhi syarat-syarat yaitu sebagai orang yang melakukan atau turut serta melakukan perbutaan pidana atau membantu melakukan perbutan pidana. 197 Pasal 345 KUHP : 198 197 Moeljatno, Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan, Jakarta: bina aksara, 1985, Hal 63-64. 198 Pasal 345 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara “Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri, menolongnya dalam perbutan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama- lamanya empat tahun” Pasal ini mengingatkan kepada dokter, jangankan melakukan Euthanasia aktif yang menurut pendapat kebanyakan orang merupakan pembunuhan, menolong atau memberikan daya upaya kearah perbuatan itu saja sudah mendapat ancaman pidana. Kata-kata menolongnya atau memberikan daya upaya dapat dihubungkan dengan peristiwa munculnya kemauan untuk melakukan Euthanasia. Seorang pasien atau keluarganya pasti kurang mengetahui cara-cara atau jalan untuk melepaskan diri dari penderitaan. Tenaga medis atau tenaga kesehatan inilah yang lebih mengetahuinya, jika dihubungkan dengan peristiwa Euthanasia, dalam hal pasien atau keluarga kebingungan, maka kata-kata yang menurut mereka merupakan nasehat untuk melakukan Euthanasia guna menyelesaikan masalahnya, akan sangat berarti bagi mereka. Perbuatan tenaga kesehatan tersebut jelas dapat digongkan dalam pengertian menolong atau memberikan daya upaya. 199 Elisabeth Kubler-Ross dalam bukunya Questions anda Answer on Death and Dying, terjemahan Maria Andriana S.A., menyatakan bahwa sejumlah pasien cenderung bunuh diri dalam menghadapi kenyataan kematian. Pada pasien-pasien jenis ini, jika perawat atau dokternya memberikan “nasehat” atau sesuatu kalimat yang cenderung kearah Euthanasia pasti segera disambut setuju oleh 199 Sutarno.Op.Cit.Hal 78 Universitas Sumatera Utara pasien. Dalam kasus semacam ini jelas pelayan kesehatan ini membantu terjadinya bunuh diri dari pasien yang bersangkutan. 200 Pasal 304 KUHP ; 201 “barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diiancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Pasal 306 KUHP: 202 2. Jika salah satu perbuatan berdasarkan pasal 304 dan 305 mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun enam bulan. 3. Jika mengakibatkan kematian pidana penjara paling lama Sembilan tahun.” Pasal 531 KUHP ; 203 “barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam, jika kemudian oranag itu meninggal, dengan pidana 200 Ibid.Hal.78-79. 201 Pasal 304 Kitab Undang-undang Hukum Pidana 202 Pasal 306 Kitab Undang-undang Hukum Pidana 203 Pasal 531 Kitab Undang-undang Hukum PIdana Universitas Sumatera Utara kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Perbuatan melakukan Euthanasia pasif dapat dikaitkan dengan keberadaan pasal-pasal ini, bahkan juga untuk peristiwa pulang paksanya seorang pasien yang sakit parah, yang kemudian diizinkan oleh dokternya atau sering disebut sebagai Euthanasia semu. Memang keadaan terakhir ini pasti tenaga kesehatan pasti beralasan menghormati hak pasien, padahal yang lebih mengetahui akibat dari peristiwa pulang paksanya pasien tersebut adalah dokternya. Sebetulnya keadaan ini dapat diperingan dengan usaha perawatan dirumah. Peristiwa seperti ini jika terjadi akan dapat dikatakan sebagai melaksanakan Euthanasia pasif atau Euthanasia semu dan berarti terjadi pembiaran sehingga pasien meninggal dunia. Kejadian ini akan dapat dikenakan pasal-pasal ini, sedangkan untuk pasal 531, berkaitan dengan pelanggaran tehadap orang yang memerlukan pertolongan. 204 Dari semua analisis diatas, secara yuridis, Euthanasia, terutama Euthanasia aktif memang merupakan tindak pidana, namun tidak semua orang yang melakukan tindak pidana harus dihukum. Dalam KUHP Bab III tentang hal- hal yang Menghapuskan, Mengurangi atau memberatkan Pidana, terutama pasal 48, yang berbunyi : “barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana”. Dalam hal pasien yang sudah tidak dapat disembuhkan secara medis, tentu dokter yang merawatnya akan sangat kasihan bahkan dapat menderita batinnya, sudah tidak ada cara lain yang dapat digunakan untuk mengentaskan penderitaan pasiennya. Ini merupakan suatu pengaruh daya paksa 204 Sutarno.Op.Cit.Hal 80 Universitas Sumatera Utara secara psikis. Istilah daya paksa dalam pasal 48 KUHP umumnya ditafsirkan sebagai daya paksa secara fisik, tetapi melihat perkembangan situasi dan kondisi serta ilmu dan teknologi kedokteran yang makin maju, maka akan memakai cara penafsiran secara “extension”, pengaruh daya paksa ini dapat ditafsirkan sebagai daya paksa fisik dan psikis. Merujuk pada pernah dilakukannya penafsiran secara extension pula terhadap benda yang tadinya hanya benda yang berujut menjadi benda yang berujut dan benda yang tidak berujut, misalnya pada pencurian arus listrik. 205 Dengan demikian dokter yang melakukan Euthanasia dapat dianggap telah melakukan pelanggaran pidana atau telah melakukan tindak pidana, tetapi dokter yang bersangkutan tidak dibebani tanggungjawab pidana, atau mendapatkan keringanan bahkan pembebasan hukuman berasarkan penafsiran pasal 48 KUHP secara extension. Atas dasar pemikiran tersebut harus ada peraturan perundangan yang cukup kuat yang mengatur tentang Euthanasia, baik syarat-syarat pemberlakuannya maupun sanksi jika dilanggarnya. 206 Barder Johan Nasution menyatakan bahwa adanya kode etik kedokteran bertujuan untuk mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien, menjamin bahwa profesi kedokteran senatiasa dilaksanakan dengan niat luhur dan dengan cara yang benar. 207

C. Pertanggungjawaban Etika dan Profesi Kedokteran