Latar Belakang Pertanggungjawaban Pidana Dokter yang Melakukan Euthanasia Ditinjau dari Aspek Medis dan Hukum Pidana

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Suatu keinginan kematian, bagi sebagian besar umat manusia merupakan suatu hal yang tidak menyenangkan dan mungkin tidak dikehendaki. Manusia sebagai salah satu ciptaan Tuhan yang paling sempurna karena dilengkapi dengan akal, pikiran dan rasa. Dengan menggunakan akal dan pikirannya tersebut manusia mampu menciptakan teknologi untuk mempermudah dalam menjalankan aktifitasnya sehari-hari. 1 Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut yang semakin pesat perkembangannya dengan banyaknya penemuan-penemuan yang bermanfaat bagi kepentingan umat manusia, khususnya dalam bidang ilmu kedokteran banyak penemuan obat-obatan dan alat-alat medis yang serba modern. Walaupun demikian, manusia tetap tidak dapat melepaskan diri dari berbagai persoalan yang dialaminya seperti juga halnya Kesehatan, Kelahiran dan Kematian. 2 Berbicara mengenai kematian, kematian secara alamiah, dapat selalu diterima sebagai suatu hal yang wajar, sebab pada akhirnya manusia akan mati, tetapi mati yang tidak secara alamiah adalah mati yang tidak diharapkan oleh manusia itu sendiri. 3 1 Ni Made Puspasutari Ujianti et.al, “Perlindungan Hak Cipta dalam Perspektif Hak Asasi M anusia” Jurnal Ker-tha Wicaksana,Vol. 19 No. 1 Januari 2013, Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Warmadewa 2013, hlm. 41 2 Suwarto ,”Euthanasia dan Perkembangannya Dalam KUHP” Vol 27 No2, oktober 2009. Hal 169. 3 Wila Chandarawila,Supriadi, Hukum Kedokteran, Bandung; penerbit Bandar maju 2001 hal. 102. Universitas Sumatera Utara Pada Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis Dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat dan Jaringan Tubuh Manusia, menyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru- paru. Konsep mati yang dianut dalam aturan hukum ini tidak bisa lagi dipertahankan, karena teknologi kedokteran telah memungkinkan jantung dan paru-paru yang semua berhenti bisa dapat dipacu untuk berdenyut kembali dan paru-paru dapat dipompa untuk berkembang kempis kembali. 4 Ikatan Dokter Indonesia IDI pada tahun 1990 mengeluarkan pernyataan bahwa manusia dinyatakan mati jika batang otaknya tidak berfungsi kembali. Konsep ini dijadikan pernyataan resmi dari Ikatan Dokter Indonesia IDI tersebut berlandaskan pada alasan bahwa batang otaklah terletak sebagai pusat penggerak nafas dan jantung. Sehingga apabila batang otak telah mati maka jantung dan paru-paru hanya bisa bergerak dengan bantuan alat-alat penopang. 5 Menyinggung masalah kematian, menurut cara terjadinya, maka ilmu pengetahuan membedakannya kedalam tiga jenis kematian yaitu diantaranaya; 6 1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena suatu proses alamiah. 2. Dysthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi secara tidak wajar. 3. Euthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter. Jenis penggolongan kematian yang ketiga yaitu; Euthanasia, Euthanasia ini mulai menarik perhatian dan mendapat sorotan dunia, mengapa demikian? 4 Haryadi, “Masalah Euthanasia Dalam Hubungannya Dengan HAM”, Hal 122. 5 Ibid. 6 Djoko Prakoso, Djaman Andhi Nirwanto, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, Hal 10. Universitas Sumatera Utara Hal mengenai Euthanasia mulai menjadi suatu pembicaraan dan perdebatan yang menarik dikalangan ahli berbagai bidang dunia, setelah diadakannya Konferensi Hukum Sedunia yang diselenggarakan oleh World Peace Through Law Center di manila Filipina, tanggal 22 dan 23 Agustus 1977, dimana dalam konferensi tersebut diadakan Sidang Semu mengenai Hak manusia untuk mati the right to die 7 Hak yang paling utama dari manusia adalah “hak untuk hidup” atau “the right to life”. Didalam pengertian hak untuk hidup tercakup pula adanya “hak untuk mati ” atau “the right to die” yang telah diakui dunia dengan dimasukkannya kedalam rumusan Universal Declaration of Human Right oleh PBB tanggal 10 Desember 1948. 8 Mengenai “hak untuk mati”, karena tidak dicantumkan secara tegas dalam deklarasi dunia, maka masih merupakan perdebatan dan pembicaraan di kalangan ahli dalam berbagai bidang di dunia. Ada beberapa Negara yang berpendapat bahwa masalah hidup dan mati itu adalah merupakan hak dari pada Tuhan Yang Maha Esa, bukan hak daripada manusia. Pada umumnya pendapat ini didasarkan atas pertimbangan segi religious. Di samping itu beberapa Negara maju, seperti Amerika Serikat masalah hak untuk mati, sudah diakui dan bahkan Negara bagian sudah ada mengatur dengan jelas dalam berbagai perundang-undangan. Walaupun begitu, namun masih diakui pula bahwa hak untuk mati itu tidak berifat mutlak. Jadi terbatas dalam suatu keadaan tertentu, misalnya bagi penderita suatu penyakit yang sudah tidak dapat diharapkan lagi penyembuhannya dan pengobtan yang diberikan sudah tidak 7 Ibid. 8 Ibid. Universitas Sumatera Utara berpotensi lagi. Sehubungan dibicarakan hak untuk hidup dan hak untuk mati tersebut, akan menyangkut masalah hukum pidana yang disebut sebagai Euthanasia atau mercy killing. 9 Di Indonesia, Hak Asasi Manusia diatur dalam Undang-undang no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Euthanasia dalam perspektif HAM adalah suatu pelanggaran, karena hak untuk hidup seseorang pasien haruslah dilindungi. Dilihat dari segi perundang-undangan saat ini, tidak ada aturan yang lengkap tentang Euthanasia. Hak untuk menentukan Nasib Sendiri tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan Euthanasia, karena dalam rumusan Undang-undang 39 tahun 1999 mengabaikan “hak untuk mati”. Relevansi etika medis dan hak asasi manusia mengenai dokter, sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki, harus berusaha untuk melindungi dan mempertahankan hidup seorang pasien. 10 Kaidah hukum diperlukan dalam mengatur hubungan antar manusia disegala aspek kehidupannya, sehingga tidak mengherankan jika masalah hukum sering masuk dibidang profesi kesehatan. Dalam melaksanakan profesinya, tenaga kesehatan tidak dapat melepaskan diri dari lingkup hukum yang berlaku. Hal tersebut sudah pasti terjadi, mengingat tenaga kesehatan juga manusia biasa yang tidak luput dari pengaruh-pengaruh negatif, yang masih memungkinkan berbuat kesalahan dalam menjalankan profesinya. Untuk mengurangi masalah akibat pengaruh negatif, tenaga kesehatan harus meningkatkan profesionalismenya 9 Ibid Hal 18-19. 10 Lisnawaty Badu, Euthanasia dan Hak Asasi Manusia. Vol 05, No 01, 2012 Publisher: Jurusan Ilmu Hukum Universitas Negeri Gorontalo,Hal 1. Universitas Sumatera Utara dengan menambah ilmu dibidangnya secara terus-menerus sesuai dengan perkembangan zaman, juga meningkatkan keterampilan dan “attitude”. Pengertian profesionalisme juga dapat dioptimalkan dengan memahami peraturan perundangan dan hukum yang lain oleh para praktisi bidang kesehatan. 11 Sebagai contoh kasus, di Indonesia, Kasus yang terjadi di Indonesia terkait dengan Euthanasia yaitu kasus Siti Julaeha, seorang pasien wanita yang telah koma selama setahun. Tidak sadarnya Siti Julaeha sejak manjalani operasi kandungan di sebuah rumah sakit Jakarta Timur. Suaminya, Rudi Hartono mengajukan permohonan Euthanasia terhadap istrinya. Menurut pengakuan Rudi Hartono, pengambilan keputusan Euthanasia merupakan keputusan keluarga besarnya yang merasa tidak tega melihat istrinya tersiksa terus. Keputusan ini semakin diperkuat setelah dia mendengar pernyataan seorang dokter Rumah Sakit Dokter Cipto Mangunkusumo yang menyatakan bahwa istrinya telah mengalami keadaan vegetatif state, tipis kemungkinan harapan Siti Julaeha untuk sembuh. Hal tersebut adalah contoh dari Euthanasia yang atas permintaan dilakukan secara aktif Euthanasia Aktif oleh medis. Berbeda dengan Euthanasia yang dalam proses tersebut tidak dilakukan tindakan secara aktif medis bersikap pasif oleh seorang medis dan contohnya sebagai berikut. Seorang calon dokter spesialis, menderita kanker ganas atap tenggorok yang dalam ilmu kedokteran disebut Carsinoma Nasopharinx. Pasien yang juga seorang dokter masuk dan dirawat dirumah sakit karena pendarahan ber-ulang- ulang, sehingga sering memerlukan tindakan untuk menghentikan pendarahan dan 11 Sutarno, Hukum Kesehatan, Euthanasia, Keadilan Dan Hukum Positif Di Indonesia, Penerbit : Setara Press, Malang 2014 hal.1-2. Universitas Sumatera Utara transfusi darah karena terjadi kekurangan darah yang berat. Dalam perawatannya, dia dimasukkan kamar operasi untuk usaha penghentian pendarahan. Setiap pendarahan hebat menyebabkan pasien ini tidak sadar atau shock, bahkan berkali- kali nafas dan jantung berhenti. Karena dokter ahli dari berbagai macam spesialis selalu siap maka selalu saja jantung yang berhenti tersebut dapat ditolong sehingga berdenyut kembali. Setelah berkali-kali hal tersebut terjadi dan pasien selalu berlumuran darah, darah segar selalu dimasukkan untuk penggantinya, sebagian besar dokter ahli mulai merasa sangat kasihan kepada pasien yang juga seorang dokter. Akhirnya diadakan rapat kilat dan diambil keputusan bahwa: bila nanti terjadi henti nafas dan henti jantung lagi tidak akan ditolong, dengan dalih pasien sudah sangat menderita. 12 Proses ini dapat dikatakan sebagai Euthanasia pasif yang tidak diketahui dan diberitakan kepada masyarakat. Kemudian, salahkah tindakan yang diambil oleh para dokter ini? J.E. Sahetapy., membedakan Euthanasia kedalam tiga 3 jenis, yaitu; 13 1. Action to permit death to occur; kematian dapat terjadi karena pasien dengan sungguh-sungguh dan secara cepat menginginkan untuk mati. Kematian pasien itu terjadi seolah-olah merupakan kerja sama antara si pasien dan dokter yang semula merawatnya. Jenis Euthanasia yang disebut dalam arti pasif permission 2. Failure to take action to prevent death; kematian terjadi karena kelalaian atau kegagalan dari seorang dokter dalam menggambil suatu tindakan untuk mencegah adanya kematian. 3. Positive action to cause death; merupakan suatu tindakan yang positif dari dokter untuk mempercepat terjadinya kematian, jadi berbeda dengan jenis yang pertama diatas, yang bersifat pasif, maka pada jenis ketiga ini bersifat aktif causation 12 Ibid.Hal 4-5. 13 Djoko Prakoso, Op.cit, Hal 72-75 Universitas Sumatera Utara Antara Euthanasia jenis yang pertama dan ketiga ini, sama-sama didasarkan atas permintaandesakan kepada dokter dari si pasien ataupun keluarganya. Hanya saja pada jenis yang pertama dokter bersifat pasif, sedangkan pada jenis yang ketiga dokter lebih bersifat aktif dalam mengambil tindakan untuk mempercepat proses terjadinya kematian. 14 Pada jenis yang kedua hal tersebut terjadi bilamana dokter akan mengambil suatu tindakan guna mencegah kematian, akan tetapi ia tidak mengerjakan sesuatu apa-apa, karena ia tahu bahwa pengobatan yang akan diberikan kepada pasien itu adalah sia-sia belaka. Jika ia akan memberikan pengobatan, maka di pandang sebagai suatu tindakan yang tidak berarti, sehingga sudah tidak ada lagi untuk penyembuhan secara normal. Akhirnya pasien dibiarkan begitu saja, sampai ajalnya tiba dengan sendirinya. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh dokter merupakan jenis Euthanasia pasif. 15 Maka timbul suatu pertanyaan, bagaimana jika yang bersangkutan pasien tidak mampu lagi dapat berkomunikasi dalam bentuk dan dengan cara apapun, sehingga tidak dapat menyatakan dengan kesungguhan hati? Berkembangnya ilmu pengetahuan, menjadi tuntunan tersendiri bagi pelayan kesehatan untuk memberi layanan kesehatan semakin baik dan dengan keadaan pasien yang kompleks pula, bahkan cenderung kritis. Hal tersebut tidak lepas dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, terutama yang berhubungan dengan pengobatan dan diagnosis yang tidak dapat 14 Ibid, Hal 74 15 Ibid, Hal 73 Universitas Sumatera Utara luput dari alat-alat modern yang sebelumnya tidak dikenal. Selain itu kesadaran kaum masyarakat saat ini semakin meningkat seiring dengan derasnya arus informasi, reformasi, dan kemajuan pendidikan. Kaidah hukum diperlukan dalam mengatur hubungan antar manusia di segala aspek kehidupannya, sehingga tidak mengherankan jika akhir-akhir ini masalah hukum sering masuk di bidang profesi kesehatan. Dalam melaksanakan profesinya, tenaga kesehatan tidak dapat melepaskan diri dari lingkup hukum yang berlaku. 16 Bagi penyelenggara kesehatan ataupun seorang dokter, masalah Euthanasia merupakan suatu dilema yang menempatkan pada posisi yang serba sulit. Di satu pihak teknologi kedokteran telah semakin maju, sehingga mampu mempertahankan hidup seseorang walaupun hidup yang vegetative atau vegetative state; sedangkan disisi lain, pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap hak-hak individu juga berkembang tidak kalah pesat. Dengan demikian, konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini telah dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral dan hukum disatu pihak; dengan kemampuan, ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang sedemikian majunya, dipihak lain sehingga mungkin untuk mempertahankan hidup vegetative tadi. 17 Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia KODEKI, dikenal tiga 3 pengertian yang berkaitan dengan Euthanasia, yaitu: 18 1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan amam, tanpa penderitaan, untuk yang beriman dengan nama Allah dibibir; 16 Sutarno, Op.cit, Hal 1 17 M. Achadiat, Dinamika Etika Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Jaman, Jakarta; penerbit buku kedokteran EGC, 2007 Hal 180 18 Ibid. Hal 181 Universitas Sumatera Utara 2. Ketika hidup berakhir, diringankan penderiataan si sakit dengan memberikan obat penenang; dan 3. Mengakhiri derita dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya Lafal Sumpah Dokter maupun Kode Etik Kedokteran KODEKI dengan jelas melarang dokter untuk melakukan Euthanasia, sebagaimana halnya dengan abortus provokatus pengguguran kandungan. Dari sudut hukum pidana, KUHP mengatur masalah Euthanasia ini melalui beberapa pasalanya khususnya pasal 344 KUHP yang sering disebut sebagai “pasal Euthanasia”. 19 Persoalan mengenai pengakhiran kehidupan Euthanasia semakin berkembang, namun tidak diimbangi dengan kepastian hukumnya, hal inilah yang melatar belakangi penulis untuk membahas di dalam penulisan skripsi ini. Negara kita Indonesia secara tegas menolak Euthanasia. Menurut Farid Anfasal Moeloek selaku Ketua Hukum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Euthanasia sampai saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan Euthanasia tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum pidana positif di Indonesia. Selama ini Ikatan Dokter Indonesia telah memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk tidak melakukan Euthanasia di Indonesia. Memperhatikan kondisi riil di masyarakat, banyak pasien yang dalam keadaan sangat menderita maupun keuangan tidak mampu ditanggung lagi oleh keluarga pasien, maka sudah 19 Ibid. Hal 182. Universitas Sumatera Utara seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk meringankan beban pengobatan bagi keluarga pasien. Di Indonesia secara yuridis formal, Euthanasia, baik aktif maupun pasif belum diatur. Dengan demikian selalu saja menimbulkan polemik dan diskusi panjang bila ada kasus yang berkaitan dengan Euthanasia. Mulai dari undang- undang 23 tahun 1992 36 tahun 2009 tentang kesehatan, Undang-undang no 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran tidak mengatur dengan jelas hal mengenai Euthanasia, mana yang boleh, yang dilarang, yang diharuskan, maupun sanksinya. Penggunaan pasal-pasal dalam KUHP untuk kasus Euthanasia tentu tidak dapat diterapkan begitu saja. Karena pasal-pasal yang mendekati merupakan pasal-pasal Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa. 20 Dengan kondisi masyarakat yang sangat cepat berubah ini, maka perubahan hukumpun harus mengikutinya. Dapat dikatakan bahwa hukum sering ketinggalan terhadap perubahan masyarakat, hal ini memang sulit atau bahkan tidak mungkin dihindari, karena salah satu tugas hukum bersifat mengatur masyarakat tersebut. Dalam hal tertinggalnya hukum, Soerjono soekanto menyebutkan bahwa tertinggalnya perkembangan hukum baru terjadi dalam situasi-situasi yang dinamis, yaitu dimana terjadi perubahan-perubahan sosial yang tidak diikuti dengan perubahan- perubahan atau penyesuaian-penyesuaian hukum secara pararel terhadap perubahan-perubahan sosial tersebut. 21 20 Sutarno, Op.Cit, Hal 12 21 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangaka Pembangunan Di Indonesia suatu tujuan secara sosiologis,Jakarta: UI Press, 198, Hal 160. Universitas Sumatera Utara Philippe Nonet dan Philip Selznick menyatakan bahwa semakin kokoh suatu teori berpijak pada kenyataan, maka semakin besar pula kekuatannya, sehingga hukum tidak boleh hanya terpaku pada pandangan yang konvensional, tetapi harus lebih fleksibel, responsif, dan yang paling penting memiliki semangat pembaharuan. 22 Masalah Euthanasia merupakan masalah yang umum bagi masyarakat aparat penegak hukum, dokter, dan semua pihak yang bertanggungjawab terhadap masa depan perkembangan hukum pidana kita. Untuk itu, akan dilihat bagaimana perkembangan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia. Di Indonesia, yang menjadi patokan umum dan dasar, sebagai kodifikasi hukum pidana adalah KUHP, pasal 344 yang menyebutkan; “barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama- lamanya 12 tahun”. tetapi baik dalam KUHP maupun hukum positif yang lain belum ada yang mengatur Euthanasia secara eksplisit, sehingga penerapan hukum positif ini masih perlu banyak dipikirkan, dengan kata lain sebetulnya dimana tempat Euthanasia ini dalam hukum positif di Indonesia?. Kondisi seperti tersebut diatas menyebabkan perlunya diadakan pengkajian dan penelitian lebih lanjut guna mendapatkan dasar-dasar pengertian secara yuridis, sosiologis dan filosofis sehingga dapat dipakai bahan rujukan bagi para ilmuwan bidang hukum pidana dan legislator. Rujukan yang dimaksud 22 Sutarno,Op.Cit.,Hal 13 Universitas Sumatera Utara adalah dalam rangka memikirkan perlunya pengaturan secara khusus perihal Euthanasia dalam hukum positif Indonesia, selain itu, dapat pula sebagai pertimbangan para hakim dalam memutus perkara yang berkaitan dengan Euthanasia. 23 Hal ini penting, mengingat sampai saat ini belum jelas bagaimana hukum positif Indonesia dapat diterapkan pada kasus Euthanasia, dan bagaimana seharusnya hukum positif Indonesia mengatur secara khusus kasus Euthanasia, karena banyak macam Euthanasia dan tindakan-tindakan sejenis Euthanasia atau Euthanasia semu yang terjadi. Dengan makin maju dan berkembangnya hukum kesehatan dan hukum kedokteran di Indonesia, maka hubungan dokter dan pasien berkembang dari vertikal paternalistik kearah horizontal kontraktual, dan makin banyaknya macam masalah menyebabkan rumah sakit pemerintah cenderung berubah dari sifat semula sosial filantropis menjadi sosial ekonomis. 24 Keadaan- keadaan tersebut diatas menyebabkan makin diperlukan perlindungan hukum terhadap pasien, tenaga kesehatan yang merupakan pemikiran kearah ius constentuendum. Euthanasia menjadi suatu persoalan yang rumit, hal tersebut dikarenakan menyangkut hak hidup seorang manusia. Apapun alasanya serta tujuannya, Euthanasia merupakan suatu persoalan dan problematika manusia dengan hukum. Walaupun manusia diberi kebebasan untuk bertindak dan menetukan sendiri nasibnya dalam melakukan suatu hal, namun kebebasan tersebut tak serta-merta 23 Ibid. 24 Benyamin Lumenta, Hospital, Citra, Peran dan Fungsi, Tinjauan Fenomena Social, Yogyakarta: kanisius,1989, Hal 69 Universitas Sumatera Utara digunakan tanpa melihat aturan serta norma-norma yang ada dalam kehidupan manusia. Bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang mulia dan mempuyai akal dan pikiran yang dapat bertidak menurut pengertian hukum. Karena atas keadaan- keadaan tersebut diatas maka penulisan ini di beri judul: “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DOKTER YANG MELAKUKAN EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK MEDIS DAN HUKUM PIDANA ” Universitas Sumatera Utara

B. Perumusan Masalah