Kematian dan Hak Mati dalam Ilmu Kedokteran

kehidupan adalah suci, anugrah Tuhan Yang Maha Kuasa, yang memberi dan mengambilnya kembali, suatu yang berada di luar kekuasaan manusia. 76 Menghormati kehidupan insani juga dipompa ke dalam keyakinan dokter sejak ia mengikuti pendidikan medisnya, secara berkesinambungan ia belajar mengupayakan peningkatan kualitas dan kuantitas kehidupan. Penyakit dan kematian adalah musuh-musuh. Suatu tindakan yang diarahkan kepada kematian pada hakekatya tidak sejalan dengan jalur pemeriksaan medis 77 .

B. Kematian dan Hak Mati dalam Ilmu Kedokteran

Apabila di pengadilan seorang hakim dapat menentukan kematian seseorang melalui pidana mati yang dijatuhkannya, dalam dunia medis, seorang dokter bahkan diwajibkan senantiasa melindungi mahkluk insani, sebagaimana ditetapkan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia. Masalah “hak untuk mati” di dunia, terutama di Negara-negara maju, masa kini sangat intensif dipermasalahkan. Seorang pasien yang sudah tidak ada harapan untuk hidup lagi dari segi medis, kemudian diminta oleh keluarganya supaya penderitaanya dihentikan saja oleh dokter, sering terjadi di Negara-negara maju dewasa ini. Bahkan keluarga pasien yang sudah tidak ada harapan lagi itu, mengajukan permintaan kepada pengadilan atau pejabat yang berwenang supaya memberikan legalisasi untuk mati. 78 Masalah “hak untuk mati” atau the right to die ini berhubungan erat dengan definisi dari pada kematian. Hal ini timbul sehubungan dengan adanya 76 Ibid. 77 Ibid. 78 Djoko Prakoso,Op.Cit.Hal 93 Universitas Sumatera Utara kenyataan bahwa profesi medis dewasa ini, sudah mampu untuk menciptakan alat-alat ataupun mengambil tindakan-tindakan yang dapat memungkinkan seseorang yang mengalami kerusakan otak brain death, tetapi jantungnya tetap hidup dan berdetak dengan bantuan sebuah “respirator”. Di negara-negara maju sudah banyak yang memberikan definisi tentang kematian, tetapi definisi yang diajukan itu hanya bersifat khusus. Jadi sampai sekarang belum ada yang memberikan definisi kematian secara umum, dan untuk segala tujuan yang bersifat umum. Definisi khusus itu biasanya akibat kemajuan yang telah dicapai dalam bidang medis, sehingga hanya merupakan salah satu kriteria saja, dan terbatas untuk tujuan-tujuan operasi transplantasi organ tubuh Anatomical Gifts. 79 Sebagai suatu contoh dapat disebutkan definisi kematian yang telah diterima oleh The American Association tahun 1975, yang menyatakan kematian adalah “for all legal purpose, a human body with irreversible cassation of total brain function, accrding to medical practice, shall be considered dead”. Definisi kematian ini diterima sebagai akibat dripada perkembangan ilmu kedokteran, sehubungan dengan “organtransplants”, mencabut alat-alat untuk menopang kehidupan seseorang dan menghentikan segala tindakan untuk menghidupkan kembali. 80 Perkembangan Euthanasia tidak lepas dari perkembangan konsep tentang kematian. Usaha manusia memperpanjang kehidupan dan menghindari kematian dengan menggunakan kemajuan iptek kedokteran telah membawa masalah baru 79 Ibid,Hal 94 80 Ibid. Universitas Sumatera Utara dalam Euthanasia, terutama berkenaan dengan penentuan kapan seseorang dinyatakan mati. 81 Kebutuhan akan defenisi baru tentang kematian berkembang sebagai akibat langsung daripada makin meningkatnya kemampuan profesi medis untuk mempertahankan kehidupan seseorang yang jantungnya terus berdetak, tetapi otaknya telah tidak berfungsi secara permanen, berhubung adanya kerusakan yang parah. 82 Sekarang timbul pertanyaan, bagaimana dengan istilah kematian dalam ilmu hukum? Pengertian mati menurut hukum adalah lepasnya atau hilangnya nyawa dari tubuh seseorang. 83 1. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 1988, mati dan d idefenisikan “berhentinya darah mengair”. Berhentinya darah mengalir ini berarti jantung dan paru-paru berhenti bekerja oleh sebab itu menurut batasan ini, mati atau kematian itu terjadi apabila “jantung berhenti berdenyut”. Jantung berhenti berdenyut, berarti darah tidak dapat mengalir keseluruh tubuh yang berakibat semua fungsi tubuh berhenti total karena tidak ada aliran darah. Namun dengan demikian, dengan berkembangnya ilmu kedokteran tampaknya konsep ini sudah tidak dapat digunakan lagi, karena dengan teknologi resusitasi nafas buatan telah memungkin jantung dan paru- paru yang terhenti dapat berdenyut kembali. Dengan bekerjanya kembali 81 Sutarno,Op.Cit,Hal 91 82 Djoko Prakoso,Op.Cit.Hal 98 83 Soekidjo Notoatmodjo.Op,Cit.Hal 144-145 Universitas Sumatera Utara jantung dan paru-paru ini maka akan terjadi aliran darah lagi keseluruh tubuh dan kembali hidup. 2. Mati saat terlepasnya nyawa dari tubuh. Konsep ini juga tidak dapat dipakai lagi, karena dengan teknologi resusitasi seperti disebutkan, seakan- akan nyawa dapat dikembalikan lagi. 3. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen untuk menjalankan fungsinya secara terpadu. Bahwa organ-organ tubuh kita berfungsi secara terpadu, yang dikendalikan oleh otak kita. Apabila semua organ tubuh kita masih berfungsi secara terpadu yang dikendalikan oleh otak, berarti kita masih hidup. Namun konsep ini juga diragukan dan dipertanyakan. Karena tampaknya organ-organ tubuh berfungsi sendiri, dengan atau tanpa dikendalikan oleh otak kita. Hal ini dapat dibuktikan dengan peristiwa transplantasi, organ tubuh seseorang dapat dipindahkan ke tubuh orang lain. Dalam proses pemindahan atau transplantasi pada tahap tertentu organ tubuh yang ditransplantasi masih tetap berfungsi, meskipun sudah tidak di bawah kendali otak orang yang bersangkutan. 4. Batang otak telah mati brain stem death: bahwa otak merupakan pusat penggerak dan pengendali baik secara fisik maupun sosial. Oleh sebab itu, bila batang otak telah mati maka diyakini bahwa manusia itu telah mati secara fisik maupun sosial. Mati menurut konsep ini adalah hilangnya “hidup” manusia secara permanen, sehingga fisik dan sosialnya sudah tidak berfungsi lagi. Universitas Sumatera Utara 5. Menurut undang-undang kesehatan No. 36 Tahun 2009, pasal 117, seseorang dikatakan mati apabila fungsi sistem jantung, sirkulasi dan sistem pernafasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila kematian batang otak telah dapat dibuktikan. Apabila kita memperhatikan batasan kematian menurut undang-undang ini, sebenarnya merupakan suatu bentuk akomodasi dari berbagai batasan tentang kematian atau mati, yang sebelumnya telah ada atau dirumuskan. Plato mengatakan jiwa manusia bukan merupakan substansi lengkap, jiwa merupakan formasi yang menjiwai materi, yaitu badan, tetapi jiwa melakukan aktivitas yang melebihi-melebihi aktivitas-aktivitas badani belaka, yaitu berfikir, berkehendak dan bercita-cita. 84 Pernyataan Ikatan Dokter Indonesia tentang mati : 85 1. Mati adalah proses yang berlangsung secara berangsur. Tiap sel dalam tubuh manusia mempunyai daya tahan yang berbeda-beda terhadap adanya oksigen dan oleh karenanya, mempunyai saat kematian yang berbeda pula. 2. Bagi Dokter, kepentingan bukan terletak pada tiap butir sel tersebut, tetapi pada kepentingan manusia itu sebagai kesatuan yang utuh. 3. a. Dalam tubuh manusia, ada tiga organ penting yang selalu dilihat dalam penentuan kematian seseorang, yaitu jantung, paru-paru dan otak khususnya batang otak. b. Diantara ketiga organ tersebut, kerusakan permanen pada batang otak tidak dapat dinyatakan hidup lagi. 4. Defenisi mati, seseorang dinyatakan mati bilamana : a. Fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau irreversible, atau b. Bila terbukti telah terjadi kematian batang otak. 5. Untuk tujuan transplantasi organ, penentuan mati didasarkan pada mati batang otak. Sebelum dilakukan pengambilan organ, semua tindakan medis diteruskan agar organ tetap baik. 6. Sadar bahwa pernyataan tentang kematian ini akan mempunyai implakasi hukum dan implikasi teknis lapangan, maka dengan ini Ikatan Dokter 84 Gunawan Setiardja, Manusia dan Ilmu. Telaaah Filsafat Atas Manusia Yang Menekuni Ilmu Pengetahuan.cet.3, semarang:2005, Hal 24. 85 Tercantum dalam Lampiran SK PB IDI No.23 1PBA.40790. Universitas Sumatera Utara Indonesia mengajukan usul perubahan dan penambahan PP No. 18 tahun 1981, terutama yang berkenaan dengan defenisi seperti yang tercantum dalam pasal 1 ayat 9 dari Peraturan Pemerintah tersebut. 7. Pada situasi dan keadaan penderita belum mati, tetapi tindakan terapeutikpaliatif tidak ada gunanya lagi, sehingga bertentangan dengan tujuan ilmu kedokteran, maka tindakan terapeutikpaliatif dapat dihentikan. Penghentian tindakan terapeutikpaliatif sebaiknya dikonsultasikan dengan sedikitnya dengan seorang dokter-dokter yang lain. Jadi Ikatan Dokter Indonesia merumuskan bahwa seseorang dinyatakan mati apabila : fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti, berarti irreversible atau apabila terbukti telah terjadi kematian batang otak. Penyataan tersebut dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang, seperti Elektro Kardiogram atau EKG dan Elektro Ensepalogram atau EEG. Upaya mengembalikan berfungsinya fungsi jantung dan pernafasan ini,yang sering disebut resusitasi dalam kejadian ini tidak memberikan banyak arti lagi 86 . Upaya resusitasi darurat dapat diakhiri apabila terjadi hal berikut : 1. Sesudah resusitasi paling sedikit setengah sampai dengan satu jam terbukti tidak ada lagi nadi pada normotermia tanpa resusitasi jantung dan paru, 2. Ada tanda-tanda klinis mati otak, 3. Garis datar pada EKG selama paling sedikit 30 menit meskipun telah dilakukan resusitasi dan pengobatan optimal, 4. Penolong terlalu lelah sehingga tidak dapat melanjutkan resusitasi.” Sebetulnya, kelahiran dan kematian yang alami atau kematian ada ditangan Allah, namun F. Tengker mempertanyakan masih ada kematian kumlah tersebut. Sejak dari kandungan, kehidupan kita telah ditentukan oleh jaringan 86 Samil, Ratna Suprapti, Kode Etik Kedokteran Indonesia, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,1980.Hal 93. Universitas Sumatera Utara kerja oleh pelayanan kesehatan yang begitu luas jangkauannya seperti vaksinasi, higiena, pelayanan medis dan sebagainya, sehingga kehidupan manusia tidak dapat lagi disebut alami. Hal ini berlaku juga dan barangkali lebih terasa dalam masalah pengakhiran kehidupan. 87 Dengan demikian mungkin Tengker menganggap bahwa hampir semua kematian juga tidak alami, tetapi dalam prosesnya sudah banyak campur tangan manusia lain. Bahwa dalam Euthanasia para ahli hukum kurang bisa leluasa mengikuti perkembangan proses pengobatan atau perawatan pasien di Rumah Sakit karena problem yang rumit. Pada kasus Euthanasia, dokternya dapat dikenai pidana karena pada saat ini belum ada hukum positif yang melindungi tindakan tersebut. Kesalahan-keselahan dokter dapat terjadi pada saat merawat atau mengobati pasiennya, maka pernyataan bahwa hal-hal diatas tidak dapat digunakan pasal- pasal dalam KUHP merupakan pernyataan yang kurang tepat. Persoalan ini tergantung dari hasil pendalaman peristiwanya, oleh karena itu penerapan pasal- pasal dalam KUHP masih dapat digunakan untuk kasus Euthanasia tertentu. 88 Pada umunya seseorang yang menderita sakit yang tidak tertahankan akan berusaha untuk menghindari penyebab rasa sakitnya, namun apabila tidak memungkinkan, apalagi ditambah dengan faktor lain dan cukup berat, maka tidak menutup kemungkinan pasien tersebut akan bunuh diri. Pada pasien yang mengalami keadaan seperti itu, bunuh diri dengan bantuan dokternya Euthanasia dapat menjadi hal yang paling mungkin untuk dilakukan. 89 87 F.Tengker,Kematian Yang Digandrungi, Euthanasia dan Hak Menetukan Nasib Sendiri, Bandung; Penerbit Nova,1991, Hal 108. 88 Sutarno,Op.Cit,Hal 97. 89 Ibid. Universitas Sumatera Utara Dokter ataupun keluarga pasien, kalaupun ada kehendak untuk melaksanakan Euthanasia, umunya dikarenakan faktor kasian melihat pasien yang bersangkutan, walaupun ada kemungkinan alasan yang lain. Seperti biaya perawatan atau yang lainnya. 90 Dilihat dari segi perdata, dokter dalam melakukan tindakan medik berdasar pada permintaan pasien atau keluarganya, diikuti dengan tanya jawab, pemeriksaan pada pasien dan upaya-upaya untuk memperoleh penyembuhan 91 . Jadi sebetulnya telah terjadi kontrak yang tidak tertulis anatara dokter dan pasien. Dalam hal ini, apabila ada wanprastasi dalam kontrak tersebut maka pihak yang melakukannya dapat digugat. Dalam hal Euthanasia, sengketa-sengketa perdata tidak atau jarang terjadi. Dalam kasus Euthanasia, sengketa perdata tidak atau jarang terjadi, karena umumnya kehendak untuk dilakukannya Euthanasia berasal dari pihak pasien dan keluarganya. Dalam hal kontrak, teori kontrak yang modern cenderung untuk menghapuskan syarat-syarat formal bagi kepastian hukum dan lebih menekankan kepada terpenuhinya rasa keadilan. Bahkan janji-janji prakontrak dapat dikenakan akibat hukum, berdasarkan asas-asas etikad baik yang ditekankan pada tahap perundingan. 90 Ibid.Hal 99 91 Mokh. Khoirul Huda. Transaksi Terapeutik Sebagai Dasar Hubungan Hukum Dokter dan Pasien. Dalam Perspektif Hukum, Vol.3,November 2003, Hal 1 Universitas Sumatera Utara Selanjutnya secara materiil, suatu tindakan medis sifatnya tidak bertentangan dengan hukum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 92 a. Mempunyai indikasi medis, untuk mencapai tujuan yang konkret, b. Dilakukan menurut aturan-atauran yang berlaku di dalam ilmu kedokteran, c. Sudah mendapat persetujuan dahulu dari pasien. Kemungkinan kedua adalah menyatakan bahwa euthanasia merupakan perbuatan yang tidak terlarang, dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat ini misalnya : 93 a. Bagi pasien yang sudah tidak dapat diharapkan lagi akan kehidupannya menurut ukuran medis, yang dinyatakan oleh dokter yang merawatnya, b. Usaha penyembuhan yang dilakukan selama ini sudah tidak berpotensi lagi, c. Pasien dalam keadaan in a persistent vegetative state. Dengan demikian “hak untuk mati” juga dihormati adanya, walaupun hak ini tidak secara tegas dicantumkan sebagaimana “hak untuk hidup”. Dalam kondisi yang demikian itu pula, seseorang yang mempergunakan “hak untuk mati”-nya. Jadi pengakuan terhadap “hak untuk mati” ini tidak bersifat mutlak, tetapi dalam keadaan yang memaksakan untuk mengakuinya.

C. Malpraktek Medis Euthanasia