Kehidupan Ekonomi Sosial Budaya

Dampak dari konflik itu adalah ditinggalkannya permukiman asal dan pembukaan permukiman baru oleh kelompok masyarakat Bugis-Makassar di wilayah pantai Pulau Buton, dengan nama pulau Makassar. Bukti lain yang menunjukkan adanya peristiwa itu adalah adanya nama kampung yang disebut dengan kampung Bone-bone, Wadjo atau Bajo. Nama itu berasal dari sebutan penduduk Bone dan Wajo di Sulawesi Selatan dan penduduk Bajau yang sekarang dikenal dengan nama Sama Bajau. Komunitas penduduk lainnya seperti Eropa, Jawa, Melayu, Cina, dan Arab turut juga menambah heterogenitas penduduk kota Buton. Suku lain yang tinggal di Buton adalah Tolaki, Muna, Tukang Besi, dan Kabaena La Ode Rabani, 2004. Setelah berakhirnya masa Kesultanan Buton tahun 1960, maka pemerintah Indonesia membentuk Kabupaten Buton. Pusat kegiatan Pemerintahan Kabupaten Buton berpusat di Bau-Bau. Pada masa itu wilayah Wolio di mekarkan menjadi beberapa desa yang salah satunya desa Melai dan kemudian menjadi Kelurahan Melai. Perkembangan permukiman di Kelurahan Melai pada saat ini, mulai berkembang dengan adanya prasarana jalan, listrik, air bersih, telepon, sampah, dan sanitasi. Pada masa ini di kelurahan Melai mulai ditetapkan sebagai daerah cagar budaya berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1992 pasal 15, yang masuk dalam Undang-undang ini yaitu, Benteng, Mesjid Keraton Buton, Makam dan situs-situs lainnya. Pembangunan permukiman pada masa ini lebih diutamakan renovasi pada bangunan yang ada. Pembangunan rumah baru dilakukan oleh masyarakat berupa rumah panggung sebagai rumah tinggal, dan yang dibangun oleh pemerintah ada beberapa bangunan yang berfungsi sebagai tempat pendidikan Sekolah Dasar dan Kantor Kelurahan.

3.4. Kehidupan Ekonomi, Sosial Budaya dan Hukum

3.4.1. Kehidupan Ekonomi

Dalam bidang ekonomi, kehidupan berjalan dengan baik berkat relasi perdagangan dengan negeri sekitarnya. Dalam negeri Buton sendiri, telah berkembang suatu sistem perpajakan sebagai sumber pendapatan kerajaan. Pejabat yang berwenang memungut pajak di daerah kecil adalah pejabat pemungut pajak tunggu weti. Dalam perkembangannya kemudian, terjadi perubahan dengan ditingkatkan statusnya menjadi Menteri Besar Bonto Ogena. Dengan perubahan ini, maka Bonto Ogena tidak hanya berwenang dalam urusan perpajakan, tapi juga sebagai kepala Siolimbona setara dengan lembaga legislatif saat ini. Sebagai alat tukar dalam aktifitas ekonomi, Buton telah memiliki mata uang yang disebut Kampua. Panjang Kampua adalah 17,5 cm, dan lebarnya 8 cm, terbuat dari kapas, dipintal menjadi benang kemudian ditenun menjadi kain secara tradisional. Pola ekonomi masyarakat Melai setelah masa Kesultanan berakhir dan beralih menjadi Kabupaten Buton mulai berangsur angsur mengikuti perkembangan kota, sumber mata pencaharian yang pada awalnya hanya berupa petani, nelayan atau pedagang mulai berkembang dalam berbagai bidang. Perubahan ekonomi ini ditunjang dari kepedulian pemerintah dalam penyediaan sarana dan prasarana kebutuhan permukiman. Prioritas utama adalah penyediaan air bersih, listrik dan telepon serta transportasi. Pertumbuhan ekonomi masyarakat kota Bau-Bau sangat berkembang setelah terbentuknya Bau-Bau sebagai daerah otonom, pembangunan sektor ekonomi terus ditingkatkan dengan di bangunnya tempat usaha ekonomi masyarakat diberbagai kawasan seperti Pantai Kamali, Pasar Buah, Pujaserata yang diperuntukan untuk masyarakat berpenghasilan menengah kebawah.

3.4.2. Sosial Budaya

Sebagai kerajaan Islam yang tumbuh dari hasil transmisi ajaran Islam di Nusantara, Kerajaan Buton juga sangat dipengaruhi oleh model kebudayaan Islam yang berkembang di Nusantara, terutama dari tradisi tulis menulis. Peninggalan naskah Buton sangat berarti untuk mengungkap sejarah negeri ini, dan dari segi lain, keberadaan naskah-naskah ini menunjukkan bahwa kebudayaan Buton telah berkembang dengan baik. Naskah-naskah tersebut mencakup bidang hukum, sejarah, silsilah, upacara dan adat, obat-obatan, primbon, bahasa dan hikayat yang ditulis dalam huruf Arab, Buri Wolio dan Jawi. Secara umum, ada empat prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat Buton dalam kehidupan sehari-hari saat itu yakni: 1. Yinda Yindamo Arata somanamo Karo Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri 2. Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri 3. Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah 4. Yinda Yindamo Sara somanamo Agama Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama

3.4.3. Hukum