B A B I P E N D A H U L U A N
1.1. Latar Belakang
Kota Bau-Bau merupakan pusat Kesultanan Buton yang telah menjadi tujuan beberapa masyarakat dari berbagai daerah. Pendatang dari kerajaan Gowa,
Ternate, Tidore dan daerah lain banyak membawa perubahan yang sangat berarti terutama di daerah pesisir.
Sebagai pusat Kesultanan Buton, Kota Bau-Bau awalnya di sebut Wolio dalam perkembangan permukimannya menyesuaikan dengan budaya yang
berkembang saat itu. Dengan kemajemukan masyarakatnya, pada satu sisi dapat membuka kesempatan untuk saling mengenal berbagai latar belakang perbedaan,
saling memotivasi satu dengan yang lain, saling bertukar informasi, pengetahuan dan kearifan yang pada gilirannya menjadikan dinamika masyarakat lebih dinamis
dan terbuka Zahari, 2002. Namun di sisi lain, masing-masing komponen masyarakat yang berbeda latar belakang tersebut memerlukan kemampuan
penyesuaian diri satu sama lain untuk dapat membina keserasian sosial dalam kebersamaan dan kehidupan bersama. Menurut Bachtiar 1988, konsep
keserasian sosial seperti itu masih merupakan hal yang baru, pengertian dan unsur-unsurnya, faktor-faktor penentu dan cara-cara pengukurannya masih
memerlukan pengembangan dan pemikiran. Menurut Sujarto 1996, pada dasarnya kelahiran suatu kota melalui
proses sejarah yang panjang dengan memperlihatkan perkembangan dan perubahan baik pada kondisi fisik maupun nonfisik. Perubahan fisik kota dapat
dilihat pada bangunan dan perkampungan lama masyarakat, sementara perubahan
nonfisik kota dapat dilihat pada perkembangan ekonomi dan politik masyarakat kota.
Aktivitas ekonomi, budaya, politik dan sosial pada masa lalu banyak dilakukan melalui laut sehingga menyebabkan kota berkembang di wilayah
pantai dan pinggir sungai. Sejarah membuktikan bahwa perdagangan paling ramai dan mudah dilakukan adalah melalui sungai dan laut. Akibatnya
muncul permukiman-permukiman di sekitar sungai dan pantai.
Permukiman itu pada perkembangannya berubah menjadi kota seiring dengan adanya interaksi antara penduduk asli dengan pendatang setelah melalui proses
yang panjang. Hal ini dapat dilihat pada dinamika suku yang mendiami kota dengan kepentingan yang berbeda-beda. Adanya variasi jenis pekerjaan atau
profesi di kota sebagai gejala kekotaan yang lebih kompleks. Sejak awal berdirinya permukiman Wolio sebagai pusat Kesultanan
Buton dan dalam proses perkembangan lingkungan permukimannya tidak banyak mengalami perubahan baik itu dari penataan ruang, bentuk bangunan, jumlah
rumah, aspek sosial ekonomi dan budaya. Wilayah Wolio sebagai pusat Kesultanan Buton merupakan wilayah permukiman elite pemerintahan dan
kawasan pinggiran yang melingkarinya adalah permukiman masyarakat biasa dan pusat perdagangan. Kedua wilayah permukiman memperlihatkan struktur dan
konstruksi permukiman yang berbeda yang satu merepresentasikan gaya hidup urban atau perkotaan, sedang yang lain gaya hidup tradisional. Dalam
pertumbuhan kota lebih lanjut, kawasan pinggiran kota telah menyerap pendatang dan perantau yang berasal dari berbagai kawasan sub-budaya nusantara. Ini
ditandai dengan mengalirnya arus urban ke kota melalui saluran famili, kerabat dan teman sekampung. Perkembangan perkampungan pinggiran kota yang cepat
tersebut menimbulkan pengaruh sosial budaya khususnya peranan rumah sebagai tempat tinggal.
Dengan perkembangan permukiman yang cepat dengan dinamika yang kompleks mengakibatkan berubahnya permukiman tradisional yang ada. Dari
perkembangannya yang ada lambat laun ciri khas tradisionalnya mulai memudar. Perubahan ini ditandai dengan berubah bentuk yang tadinya berupa rumah
panggung kayu berubah menjadi rumah modern dengan material dari beton dengan ciri eropa, spanyol dan atau campuran keduanya. Walaupun demikian
beberapa kawasan terutama permukiman Wolio di Kelurahan Melai masih tetap mempertahankan keaslian kawasannya sebagai kawasan permukiman tradisional.
Kondisi permukiman dan bentuk rumahnya tidak mengalami perubahan yang berarti, corak sebagai rumah panggung tetap utuh dengan interior dan eksterior
budaya Buton tetap melekat.
1.2. Rumusan Permasalah