Pasal 5 Staatsblad Nomor: 129 Tahun 1917 mengtur tentang siapa saja yang diperbolehkan mengangkat anak adalah sebagai berikut:
- Seoarng laki-laki beristri atau telah pernah beristri yang tidak mempunyai keturunan laki-laki, baik keturunan karena kelahiran
maupun keturunan karena pengangkatan anak, maka bolehlah ia mengangkat seoarng anak laki-laki sebagi anaknya. Ketentuan ini
hendak menyatakan bahwa pengangkatan anak hanya boleh dilakukan terhadap anak laki-laki, sedang pengangkatan anak
terhadap anak perempuan adalh tidak sah. Pada Ketentuan Pasal 5 ayat 2 Staatsblad 1917 Nomor: 129
disebutkan, pengangkatan anak yang demikian harus dilakukan oleh seorang laki-laki tersebut bersama-sama dengan istrinya atau
jika dilakukan setelah perkawinannya dibubarkan oleh dia sendiri.
- Ketentuan Pasal 5 ayat 3 Staatsblad 1917 Nomor: 129 menyatakan, apabila kepada seorang perempuan janda yang tidak
kawin lagi, oleh suaminya yang telah ,meninggal dunia, tidak ditinggalkan seorang keturunan sebagaimana termasuk ayat kesatu
pasal ini, maka bolehlah ia mengangkat seoarng laki-laki sebagai anak angkatnya. Sementara itu jika suami yang telah meninggal
dunia, dengan surat wasiat telah menyatakan tak menghendaki pengangkatan anak oleh iatrinya, maka pengangkatan itu tidak
boleh dilakukannya.
Dari ketentuan tersebut, maka yang boleh mngangkat anak adalah sepasang suami istri yang tidak memiliki anakanak laki-laki. Seorang janda
yang tidak mempunyai anak laki-laki ataupun seorang janda yang tidak mempunyai anak laki-laki, dengan catatan bahwa jand yang bersangkutan
tidak ditinggalkan berupa amanah, yaitu berupa surat wasiat adri suaminya yang menyatakan tidak mengehdaki pengangkatan anak. Dalam hal ini tidak
diatur secara konjret mengenai batasan usia dan apabila orang yang belum kawin melakukan perbuanatan pngangkatan anak.
2. Orang yang boleh diangkat menjadi anak angkat.
Dalam ketentuan Pasal 6 dan 7 Staatsblad 1917 Nomor: 129 mengatur tentang siapa saja yang dapat diangkat menjadi anak angkat. Pasal 6
menyebutkan: - Orang yang bokeh diangkat hanyalah orang-orang Tionghoa laki-
laki yang tidak beristri dan tidak beranaka, serta yang tidak telah diangkat pleh orang lain.
- Pasal 7, ayat 1 menyebutkan, orang yng diangkat harus paling sedikit harus berumur 18 delapan belas tahun lebih muda dari
pada suami dan paling sedikitnya pula 15 lima belas tahun lebih muda dari pada istri atau si janda yang mengangkatnya.
- Pasal 7 ayat 2 mengemukakan, bahwa apabila yang diangkat itu seorang keluarga sedarah, baik yang sah maupun keluarga yang
luar kawin, maka keluarga tadi karena angkatannya terhadap moyang kedua belah pihak bersama, harus memperoleh derajat
keturunan yang sama pula dengan derajat keturunannya, selama ia diangkat.
Dari ketentuan terebut, batasan usia hanya disebutkan selisih antara orang yang mengangkat dengan anak yang diangkat, sedangkan orang yang
dapat diangkat hanyalah mereka yang berbangsa Tionghoa laki-laki yang tidak beristri, apalagi beranak. Disyaratkan juga tidak boleh diangkat oleh
orang lain. Jadi untuk orang-orang perempuan tidak boleh diangkat. Tidak ada batasan, apakah yang diangkat itu harus anak dari keluarga
dekat atau diluar keluarga atau juga orang asing. Ditekankan bahwa manakala yang diangkat adalah orang dari keluarga sedarah, baik keluarga
yang sah maupun keluarga luar kawin, maka keluarga tadi karena angkatannya pada moyang kedua belah pihak bersama haruslah memperoleh
derajat keturunan yang sama pula dengan derajat keturunannya, karena kelahiran sebelum ia diankat.
Perihal aspek motivasi dari calon orang tua angkat yang memihak kepada masa depan anak tidak dikemukakan secara konkret dalam
Staatsblad 1917 Nomor: 129 ini. Sekedar sebagai pedoman, bahwa yang
boleh diangkat hanyalah anak laki-laki, sedangkan untuk anak perempuan dengan tegas Pasal 15 ayat 2 mengemukakan: “Pengangkatan terhadap
anak-anak perempuan dan pengangkatan dengan cara lain daripada cara membuat akta autentik adalah batal karena hukum”.
Ketentuan ini sebenarnya berangkat dari suatu sistem kepercayaan adat Tionghoa, bahwa anak laki-laki itudianggap oleh masyarakat Tionghoa
untuk melanjutkan keturunan mereka dikemudian hari.
71
Di samping itu yang terpenting, bahwa anak laki-lakilah yang dapat memelihara abu leluhur orang
tuanya. Kebanyakan masyarakat Tionghoa tidak mau anak laki-lakinya diangkt orang lain, kecuali apabila keluarga ini merasa tidak mampu lagi
memberikan nafkah untuk mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Selain motivasi di atas, juga dilatarbelakangi oleh suatu kepercayaan
bahwa dengan mengangkat anak ini, di kemudian hari akan mendapat anak kandung sendiri. Jadi sebagai pancingan untuk bisa mnedapatkan anak
kandung sendiri.
72
3. Syarat dan tata cara pengangkatan anak menurut Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917.