Perbuatan hukum pengangkatan anak seperti itu, dapat diterima sebagai bagian dari bentuk amal saleh yang sangat dianjurkan dalam Islam,
maka bentuk pengangkatan anak dalam pengertian yang pertama sebagai didefinisikan oleh Mahmud Syaltut tersebut tidak bertentangan dengan hukum
Islam. Faturrahman memberikan komentar terhadap bentuk pengangkatan
anak yang pertama sebagaimana diutarakan Mahmud syaltut tersbut, sebagai berikut:
“Pengangkatan anak dalam pengertian ta’awun, dengan menaggung nafkah anak sehari-hari, memelihara dengan baik, memberikan
pakaian,pelayanan kesehatan, demi masa depan anak lebih baik, justru merupakan amal yang baik yang dilakukan oleh sebagian
orang yang mampu menggantikan baik hati yang tidak tidak dianugerahi anak oleh Allah Swt. Mereka mematrikan perbuatan
pengangkatan anak senagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dengan mendidik, memelihara anak-anak dari kalangan
fakir miskin yang terabaikan hak-haknya sebagai anak karena kefakiran dan kemiskinan orang tuanya. Tidak diragukan lagi, bahwa
usaha-usaha semacam itu merupakan suatu amal yang disukai dan dipuji oleh Islam”.
77
Definisi kedua sebagaimana diutarakan Mahmud Syaltut tersebut menggambarkan pengangkatan anak sebagaimana terjadi pada jaman
jahiliyah, danatau pengangkatan anak yang dikenal oleh masyarakat Tionghoa yang mempersamakan status anak angkat sebagai anak kandung
dan memutuskan hubungan darah dengan orang tua kandungnya, serta masuk klan keluarga orang tua angkat dengan memakai nama orang tua
angkatnya.
2. Hukum pengangkatan anak dalam Islam.
Para ulama fikih sepakat menyatakan bahwa Hukum Islam tidak mengakui lembaga pengangkatan anak yang mempunyai akibat hukum
77
Faturrahman, Ilmu Waris, Al-ma’arif, Bandung, 1984, hal.22.
seperti yang pernah dipraktekkan masyarakat jahiliyah, dalam arti terlepasnya anak angkat dari hukum kekerabatan orang tua kandungnya dan masuk
kedalam hukum kekerabatan orang tua angkatnya. Hukum Islam hanya mengakui, bahkan menganjurkan, pengangkatan anak dalam arti
pemungutan dan pemeliharaan anak, sehingga status kekerabatannya tetap berada di luar lingkungan orang tua angkatnya dan dengan sendirinya tidak
mempunyi akibat hukum apa-apa. Anak angkat tetap anak dan kerabat orang tua kandungnya, berikut dengan segala akibat hukumnya.
Larangan pengangkatan anak dalam arti benar-benar diajdikan anak kandung berdasarkan firman Allah Swt, dalam surat Al-Ahzab 33 ayat 4-5,
yang artinya: “... Dia tidak menjadikan anak-anak anhkatmu sebagai anak
kandungmu sendiri, yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia
menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka anak-anak angkat itu dengan memakai nama bapak-bapak mereka; itulah
yang lebih adil disisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak- bapak mereka, maka panggillah mereka sebagai saudara-
saudaramu seagama dan maula-maulamu..”.
78
Para ahli fikih sepakat menyatakan bahwa Hukum Islam melarang praktek pengangkatan anak yang mempunyai implikasi-implikasi yuridis
seperti pengngkatan anak seperti yang dikenal oleh Hukum Barathukum sekuler dan praktek masyarakat jahiliyah, dalam pengertian pengangkatan
anak yang menjadikan anak angkat menjadi anak kandung, anak angkat terputus hubungannya dengan orang tua kandung.
Hukum Islam menggariskan bahwa hubungan hukum antara orang tua angkat dengan anak angkat terbatas sebagai hubungan antara orang tua
78
Alqur”an, Surat Al-ah-zab ayat 4-5.
asuh yang diperluas dan sama sekali sama sekali tidak menciptakan maupun memutuskan hubungan nasab.
79
Akibat yuridis dari pengangkatan anak dalam Islam adalah terciptanya hubungan kasih sayang dan hubungan
tanggung jawab sesama manusia. Konsekwensi lainnya adalah antara orang tua angkat dengan anak angkat harus menjaga mahram, dan karena tidak
ada hubungan nasab, maka keduanya dapat melangsungkan perkawinan.
3. Akibat hukum pengangkatan anak yang dilarang dalam Islam.