Analisis Pembiayaan Kesehatan di Pidie jaya

6.2 Analisis Pembiayaan Kesehatan di Pidie jaya

6.2.1 Analisis Pembiayaan Kesehatan di Pidie Jaya Berdasarkan Sumber Biaya

Sumber terbesar dari pembiayaan sektor kesehatan di Pidie Jaya berasal dari APBD kabupaten, persentasenya bahkan mencapai 88 persen. Jenis dana APBD sendiri terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Dikaitkan dengan tabel fiskal desentralisasi Pidie Jaya dapat disimpulkan bahwa APBD untuk kesehatan tersebut juga tertinggi berasal dari dana DAU, sedangkan laporan Kementerian Keuangan terkait penggunaan APBD Kabupaten/Kotamenyebutkan bahwa apabila SKPD menggunakan 80-90% sumber pembiayaan pemerintahnya dari dana perimbangan, maka sumber pembiayaan SKPD tersebut dapat disinyalir dalam keadaan dependable atau memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pusat dengan kata lain PAD nya sangat sedikit kontribusinya terhadap pembangunan (Kementerian keuangan 2011).

Menyikapi permasalahan rendahnya PAD yang berdampak terhadap rendahnya pembiayaan kesehatan di daerah, Tuasikal (2008) menambahkan bahwa untuk mewujudkan kemandirian Kabupaten/Kotadalam pengelolaan keuangan daerah, khususnya dalam hal pengalokasian untuk belanja modal, maka dalam jangka panjang penting untuk pemerintah Kabupaten/Kotadi Indonesia mengurangi ketergantungannya terhadap transfer dana perimbangan dari pemerintah pusat.

Sukirno dalam Santosa (2003) menambahkan bahwa dalam pembangunan di daerah, pemerintah daerah hendaknya dapat berperan sebagai katalisator yang mampu menggerakkan seluruh sumber daya anggaran belanja untuk meningkatkan pengeluaran agregat. Sehingga akhirnya hal ini akan dapat mendorong tingkat kegiatan ekonomi di masyarakat. Dengan demikian, maka seiring meningkatnya kegiatan ekonomi, maka dapat dipastikan aliran penerimaan pemerintah melalui PAD juga pasti akan meningkat.

Di sisi lain, dalam pedoman dan modul pelatihan District Health Accounts yang dipublikasikan oleh PEKEK FKM UI disebutkan bahwa sumber dana pemerintah untuk kesehatan terdiri dari dana bersumber kementerian kesehatan, kementerian pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) untuk program Upaya Kesehatan Sekolah (UKS), Kementerian dalam negeri (Kemendagri) untuk program PNPM mandiri, kementerian Sosial (Kemensos) untuk Program Keluarga Harapan (PKH), BKKBN, Kementerian Hankam untuk TNI, APBN Kepolisian untuk polisi, Badan Narkotika Nasional (BNN), Kementerian Pemberdayaan

Perempuan, Kementerian Percepatan Daerah Tertinggal untuk program pedesaan sehat, APBD provinsi dan kabupaten (Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan 2011).

Namun dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa di Pidie Jaya belum semua sumber pembiayaan tersebut terakses untuk dioptimalkan pengalokasian anggarannya untuk tujuan kesehatan. Beberapa sumber pembiayaan selain APBD dan APBN Kementerian kesehatan yang sudah menganggarkan anggarannya untuk kegiatan kesehatan adalah: (1) Kementerian Dalam Negeri untuk program PNPM mandiri berupa pembiayaan untuk sarana dan prasarana kesehatan desa seperti Polindes dan pembuatan kakus untuk masyarakat desa, (2) dan Kementerian Sosial (Kemensos) untuk program Keluarga Harapan (PKH) berupa pemberian isentif untuk menunjang kesehatan ibu hamil dan balitanya.

Maka, dari hasil penelitian tersebut dapat dianalisa bahwa masih adanya Kementerian atau lembaga yang masih bisa berkoordinasi dalam pembiayaan kesehatan di Pidie Jaya. antara lain Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk program Usaha Kesehatan sekolah (UKS), kementerian percepatan daerah tertinggal untuk dana perdesaan sehat dan Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk program penanggulangan obat-obatan terlarang.

6.2.2 Analisis Pembiayaan Kesehatan di Pidie Jaya Berdasarkan Pengelola dan Pemberi Pelayanan Kesehatan

Dari hasil penelitian dapat ditelaah bahwa dua pengelola pembiayaan kesehatan terbesar di Pidie Jaya adalah Dinas kesehatan (71,99%) dan RSUD Pidie Jaya (13,54%). Melihat proporsi alokasi dana berdasarkan provider dan pengelola di Pidie Jaya ini, walaupun pada awalnya terlihat bahwa alokasi belanja kesehatan lebih banyak untuk Dinas kesehatan dibandingkan untuk RSUD-nya, namun kenyataaanya, setelah dianalisa lagi, pengelolaan dana kesehatan oleh Dinas kesehatan dan RSUD belum menunjukkan kinerja dan tugasnya masing-masing. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pembiayaan UKP pelayanan rawat jalan dan rawat inap sebagian besar didanai oleh APBD baik dari APBD murni maupun transfer dari kementerian kesehatan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar dana APBD untuk kesehatan belum dialokasikan sepenuhnya ke Dinas kesehatan yang memiliki tanggung jawab yang besar dalam hal pencegahan (preventive) dan promosi (promotive) kesehatan di masyarakat.

Hal ini patut dipertimbangkan dalam perencanaan kedepannya, mengingat adanya perubahan strukturisasi penyelenggaran sistem kesehatan nasional tahun 2014-2019.

Kedepannya, Dinas kesehatan Kabupaten/Kotadibiayai oleh APBD memiliki tanggung jawab mutlak untuk menyelenggarakan kegiatan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) di daerahnya. Sedangkan untuk upaya kesehatan perorangan tanggung jawab pembiayaannya diserahkan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional (APBN) yang diselenggarakan oleh RSUD Kabupaten/Kota(Junadi 2014)

Adanya restrukturisasi pembiayaan untuk upaya kesehatan masayarakat dan upaya kesehatan perorangan ini akan memberi arah yang lebih jelas kedapannya dalam hal wewenang dan tanggung jawab masing-masing Dinas kesehatan dan RSUD dalam mengupayakan peningkatan derajat kesehatan di masyarakat.

Apabila anggaran yang teralokasikan untuk upaya kesehatan masyarakat masih rendah selama ini, maka patut dipertanyakan komitmen pemerintah daerah terhadap pembiayaan kesehatannya. Hasil telaah, peneliti menemukan bahwa dalam RPJMD Pidie Jaya tercantum jelas bahwa sektor kesehatan adalah prioritas pemerintah Pidie Jaya, namun ironis, kenyataannya, komitmen pemerintah daerah tersebut belum mampu dijalankan sepenuhnya. Pemerintah patut dipertanyakan posisi dan komitmennya dalam menanggapi minimnya anggaran untuk UKM di Pidie Jaya selama ini, apalagi mengingat pembiayaannya merupakan tanggung jawab dan wewenang penuh daerah dalam era desentralisasi ini.

6.2.3 Analisis Pembiayaan Kesehatan di Pidie Jaya Berdasarkan Program

Hasil penelitian terkait analisis pembiayaan kesehatan berdasarkan program menunjukkan bahwa program Upaya Kesehatan Masyarakat (4,69%) tidak mendapatkan proporsi pembiayaan yang cukup memadai selama ini dibandingkan biaya untuk Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) dan program penunjang yang memakan biaya lebih besar.

Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa pelayanan kuratif (pengobatan rawat jalan dan rawat inap) menghabiskan anggaran Pidie Jaya sebesar Rp. 5,591,245,358,- yaitu 9,20% dari total biaya anggaran Pidie Jaya tahun 2013. Persentase ini meningkat. Hal ini dilihat dari jumlah pembiayaan upaya kesehatan perorangan di RSUD yang meningkat setiap tahunnya (Laporan RSUD Pidie Jaya, 2013).

Dari hasil penuturan pihak pengelolan Jaminan Kesehatan Sosial didapat informasi bahwa dari tahun 2010 pembiayaan kesehatan untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan terus meningkat setiap tahunnya. Apabila dianalisa lebih lanjut terkait pelayanan UKP di RSUD Pidie Jaya berdasarkan jaminan kesehatan yang dikelola dapat dijelaskan sebagai berikut:

Tabel 6.1 Pembiayaan pemerintah untuk program Jaminan Kesehatan

No

Jaminan Kesehatan

Total %

PP.1.2.1.3 Pelayanan Kesehatan oleh RSUD Pidie Jaya 842,977,547 1 pelayanan Askes untuk pegawai pemerintah

28,569,008 3.39% 2 Pelayanan Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) RSUD

814,408,539 96.61% Grand Total

Dari hasil analisa didapat bahwa pasien JKA yang mengakses pelayanan di RSUD Pidie Jaya lebih besar daripada pasien Askes pegawai negeri. Pengelola Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh (JKRA) RSUD Pidie Jaya mengatakan bahwa berdasarkan pengalamannya selama ini, yang sering terjadi adalah pasien pengguna kartu Askes pegawai negeri banyak yang memilih memanfaatkan pelayanan menggunakan fasilitas pelayanan Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh (JKRA) dikarenakan manfaat yang didapat (benefit package) dengan menggunakan kartu JKRA lebih besar dari penggunaan kartu Askes pegawai negeri.

Ada dua hal yang menjadi permasalahan mendasar di sini. Pertama, kebutuhan biaya untuk peningkatan kualitas sistem informasi peserta jaminan sosial yang lebih terpadu kedepannya agar tidak terjadi tumpang tindih pembiayaan. Kedua, permasalahan total jumlah pasien yang berobat di RSUD Pidie Jaya yang terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Pembiayaan kesehatan kuratif yang terus mengalami peningkatan setiap tahunnya ini bisa mengakibatkan pengeluaran pembiayaan kesehatan yang tidak efektif dan efisien. Bahkan ini akan berpotensi menimbulkan permasalahan pada kecukupan dan optimalisasi pemanfaatan pembiayaan kesehatan kedepannya.

Dalam Renstra Kementerian Kesehatan 2009-2014 disebutkan guna menyikapi hal tersebut, penting untuk pemerintahan daerah melakukan UKBM (Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat) dengan mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam memelihara kesehatannya sendiri, meningkatkan kesadaran masyarakat untuk melakukan upaya pro aktif atau tidak menunggu sampai jatuh sakit, karena ketika sakit mereka akan kehilangan daya produktifnya (Renstra Kementerian Kesehatan 2009-2014).

Menurut Gani (2010) dalam teori Dimensi Supply side (teori jaring laba-laba), pelayanan kesehatan secara menyeluruh (universal health coverage) tidak hanya mencakup 100% pasien terlindungi jaminan sosial (% population coverage), bebas biaya (% of cost sharing), dan manfaat pelayanan menyeluruh (medical care benefit package). Tetapi, ada dua unsur penting lainnya yang perlu diperhatikan yaitu akses ke faskes (acsess to medical care) Menurut Gani (2010) dalam teori Dimensi Supply side (teori jaring laba-laba), pelayanan kesehatan secara menyeluruh (universal health coverage) tidak hanya mencakup 100% pasien terlindungi jaminan sosial (% population coverage), bebas biaya (% of cost sharing), dan manfaat pelayanan menyeluruh (medical care benefit package). Tetapi, ada dua unsur penting lainnya yang perlu diperhatikan yaitu akses ke faskes (acsess to medical care)

Gani (2010) menambahkan bahwa access to public health merupakan alternatif dalam hal penurunan biaya kesehatan (cost reduction) di daerah, dengan meningkatkan anggaran untuk public health intervention seperti yang dituangkan dalam SPM bidang kesehatan tahun 2015 yaitu: promosi kesehatan di sekolah-sekolah, puskesmas dan jaringannya, melakukan skrining dan pelayanan kesehatan berdasarkan daur hidup, pemeriksaan penyakit menular dan inspeksi kesehatan lingkungan serta penanggulangan KLB, maka penyakit-penyakit yang menyebabkan catastrophic seperti kanker dan penyakit-penyakit degeneratif lainnya pun bisa dihindari, sehingga kedepannya akan dapat mengurangi pula pembiayaan yang besar untuk Upaya Kesehatan Perorangan di kabupaten/kota.

6.2.4 Analisis Pembiayaan Kesehatan di Pidie Jaya Berdasarkan Mata Anggaran Dan Jenis Kegiatan

Dari hasil penelitian di dapat bahwa realisasi pembiayaan kesehatan terbesar dialokasikan untuk belanja operasional pada kegiatan tidak langsung yaitu Rp. 44,097,941,408 atau sebesar 72,53% dari total pembiayaan kesehatan di Pidie Jaya tahun 2013. Sedangkan persentase operasional untuk belanja langsung hanya 9,57% dari total pembiayaan kesehatan di Pidie Jaya.

Hal tersebut disayangkan mengingat jumlah biaya operasional langsung adalah pembiayaan yang manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Menurut Gani (2010) anggaran kesehatan dikatakan efisien kalau telah dialokasikan pada program prioritas sesuai kebijakan rencana strategis nasional serta dialokasikan pada jenis kegiatan yang cost effective seperti untuk upaya promosi kesehatan dan upaya pencegahan penyakit misalnya imunisasi, TB/DOTS, dan lainnya. Selain itu, pembiayaan kesehatan baru dikatakan efektif apabila kebutuhan anggaran untuk kegiatan operasional langsungnya tercukupi.

Di sini bisa dilihat tingginya biaya operasional tidak langsung terutama untuk manajerial koordinasi mencakup untuk gaji pegawai atau honorarium (65,82%) dan untuk kegiatan tidak langsung mata anggaran investasi (20,17%).

Tingginya nilai investasi di Pidie Jaya tidak lain dikarenakan adanya prioritas dalam RPJMD untuk peningkatan pembangunan fisik guna meningkatkan pelayanan kesehatan di Pidie Jaya seperti pembangunan Rumah Sakit Daerah, Poskesdes dan Polindes.

Di sisi lain, biaya kesehatan yang dialokasikan untuk pemeliharaan terlihat tidak proporsional yaitu hanya Rp. 659599370, atau hanya 1,08 persen dari total pembiayaan kesehatan di Pidie Jaya. Padahal menurut Kemenkes Nomor 4 tahun 2003 salah satu strategi desentralisasi bidang kesehatan adalah upaya penataan manajemen kesehatan. Salah satu langkah kuncinya yaitu menyediakan pembiayaan yang cukup untuk mata anggaran pemeliharaan (maintenance) guna mengoptimalkan pemanfaatan sarana prasarana kesehatan. Keberhasilan penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan dapat tercapai bila tersedianya biaya operasional dan pemeliharaan sarana dan dan alat kesehatan yang memadai.

Dalam hal ini, penulis melihat masih adanya euphoria pemekaran dalam perencanaan anggaan kesehatan di Pidie Jaya. Pemekaran kabupaten yang baru tidak selamanya memberikan keuntungan untuk masyarakat. Terlihat bahwa pembiayaan kesehatan yang tinggi untuk investasi seperti gedung dan alat-alat medis seringkali tidak disertai perhitungan nilai cost-effectiveness-nya seperti pembeliaan alat-alat medis berteknologi tinggi yang tidak disertai dengan kualitas SDM yang memadai untuk pemnfaatannya serta tidak dilakukannya survey terlebih dahulu terhadap urgensi kebutuhannya di masyarakat. Sehingga, hal ini cendrung mendorong kepada inefisiensi pemanfaatan belanja investasi. Padahal pembiayaan kesehatan untuk nilai investasi tidaklah sedikit. Tingginya total anggaran untuk investasi ini akan semakin tidak efisien dan efektif apabila ternyata program-program yang cost-effective nya selama ini juga belum mendapat alokasi anggaran yang memadai.

6.2.5 Analisis Pembiayaan Kesehatan di Pidie Jaya Berdasarkan Jenjang Kegiatan dan Penerima Manfaat

Dari hasil penelitian pembiayaan kesehatan berdasarkan penerima manfaat terlihat bahwa pembiayaan kesehatan untuk kelompok umur 1-4 tahun atau balita (0,10%) mendapatklan alokasi anggaran yang sangat rendah padahal alokasi anggaran untuk balita adalah salah satu upaya investasi dini yang sangat penting.

Menurut Saragih (2011) berhasil tidaknya suatu bangsa atau daerah mengupayakan pembangunan nasionalnya sangat ditentukan oleh ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang akhirnya meningkatkan produktivitas.

Investasi SDM sangat penting dilakukan di umur bayi dan balita yakni sebelum beranjak 5 tahun karena di saat itulah anak sedang membutuhkan asupan kalori dan gizi yang cukup untuk menunjang pertumbahan tubuh dan otaknya.

Setelah ditelaah lebih lanjut, ternyata Puskesmas hampir tidak memiliki anggaran langsung khusus yang dikelolanya untuk program-program kesehatan bayi dan balita. Di tingkat desa, sudah ada dana yang dikelola langsung desa untuk program kesehatan bayi dan balita namun nilainya masih sangat kecil. Hal tersebut menunjukkan fakta yang bertentangan dengan semangat revitalisasi fungsi Puskesmas, dimana Puskesmas sebagai ujung tobak pelayanan kesehatan dan Pusat Pelayanan kesehatan pertama yang berhubungan langsung dengan masyarakat dikembalikan fungsinya untuk melayani masyarakat secara prima dalam hal mengupayakan peningkatan status kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.

Dalam hal ini, penulis melihat perlu adanya perhatian khusus dari pemerintah daerah Pidie Jaya mengingat Puskesmas seharusnya mendapat dana yang cukup yang langsung dikelolanya agar dapat optimal dalam menjangkau masyarakat hingga ke desa-desa.