Analisis Belanja Kesehatan di Dinas kesehatan Pidie jaya
6.3 Analisis Belanja Kesehatan di Dinas kesehatan Pidie jaya
Sumber pembiayaan kesehatan terbesar di Dinas kesehatan Pidie Jaya adalah dana bersumber APBD. Belanja bersumber APBD tersebut mencapai Rp.39,895,252,982,- atau 91,15% dari total realisasi pembiayaan kesehatan Di Dinas kesehatan pada tahun 2013.
Realisasi belanja kesehatan untuk Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) hanya menghabiskan biaya sebesar Rp 512,012,057,-. Jumlah ini lebih rendah dari belanja kesehatan untuk Upaya Kesehatan Perorangan (Rp.1,045,254,000,.) dan untuk belanja penunjang (Rp.42,211,460,681). Proporsi belanja UKM yang rendah merupakan masalah di banyak Dinas kesehatan kabupaten/kota di Indonesia. Belanja kesehatan untuk promotif dan preventif di Dinas-Dinas kesehatan Kabupaten/Kotadi Indonesia masih belum proporsional.
Dalam merumuskan program kesehatan, terlihat penerapan subsistem upaya kesehatan dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) belum diterapkan sepenuhnya. Kondisi tersebut terlihat dari penyelenggaraan program di Dinas kesehatan yang belanja kesehatan terbesarnya masih ditujukan untuk kegiatan penunjang dan kuratif. Sedangkan, dalam Sistem Kesehatan Nasional disebutkan bahwa guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, maka Dinas kesehatan berperan penting dalam menyelenggarakan kegiatan promotif dan preventif.
Pembiayaan kesehatan untuk preventif dan promotif bisa dilihat dari penanggulangan Pembiayaan kesehatan untuk preventif dan promotif bisa dilihat dari penanggulangan
Padahal dari beberapa permasalahan kesehatan di Pidie Jaya seperti AKI, AKB dan permasalahan gizi masih termasuk ke dalam permasalahan kesehatan utama di tahun 2013. Oleh karena itu, hendaknya pemerintah Pidie Jaya khususnya Dinas kesehatan perlu mengupayakan anggaran yang memadai untuk penanggulangan permasalahan kesehatan ini.
Selain itu, Pembiayaan kesehatan berdasarkan mata anggaran dan jenis kegiatan di Dinas kesehatan terlihat bahwa Dinas kesehatan tampak telah membelanjakan biaya kesehatannya yang tinggi untuk operasional, namun disayangkan persentase tinggi untuk operasional tersebut (91,98%) adalah untuk kegiatan tidak langsung. Menurut Gani (2011) rendahnya pembiayaan untuk kegiatan operasional langsung akan berdampak rendahnya kinerja dari Dinas kesehatan yang akan mengakibatkan lemahnya pendanaan untuk program- program atau kegiatan kesehatan yang langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Dalam hal ini, penulis melihat perlu adanya peningkatan belanja kesehatan yang lebih besar pada upaya pencegahan oleh Dinas kesehatan kedepannya. Upaya pencegahan perlu didorong guna menghasilkan belanja kesehatan yang efektif. Peran serta pemerintah lintas sektor dan pemberdayaan masyarakat perlu dikedepankan untuk memperoleh pencapaian indikator yang lebih baik.
6.3.1 Belanja Kesehatan di RSUD Kab. Pidie Jaya
RSUD sebagai UPT Dinas kesehatan total belanja kesehatannya Rp 8,233,322,125,- dimana belanja kesehatan dialokasikan untuk pembiayaan Upaya Kesehatan Perorangan sebesar Rp 3,519,640,573,- atau 42,75 persen dan sisanya dibelanjakan untuk penunjang sebesar Rp. 4,713,681,552 atau 57,25% dari total belanja kesehatan RSUD pada tahun 2013 .
Tingginya jumlah pasien JKRA di RSUD Pidie Jaya menunjukkan pemanfaatan pelayanan kesehatan asuransi sosial JKRA di Pidie Jaya telah teroptimalkan pemanfaatannya. Namun, dari hasil wawancara mendalam dengan pihak RSUD Pidie jaya didapatkan bahwa ada permasalahan lain yang dihadapi oleh RSUD Pidie Jaya saat ini yaitu jumlah tempat tidur yang tersedia di Rumah Sakit masih sangat minim hanya sekitar 44 unit, dengan tempat tidur rawat inap sebanyak 35 unit. Bed Occupancy Rate (BOR) dari RSUD Pidie Jaya pada tahun Tingginya jumlah pasien JKRA di RSUD Pidie Jaya menunjukkan pemanfaatan pelayanan kesehatan asuransi sosial JKRA di Pidie Jaya telah teroptimalkan pemanfaatannya. Namun, dari hasil wawancara mendalam dengan pihak RSUD Pidie jaya didapatkan bahwa ada permasalahan lain yang dihadapi oleh RSUD Pidie Jaya saat ini yaitu jumlah tempat tidur yang tersedia di Rumah Sakit masih sangat minim hanya sekitar 44 unit, dengan tempat tidur rawat inap sebanyak 35 unit. Bed Occupancy Rate (BOR) dari RSUD Pidie Jaya pada tahun
Rendahnya tingkat BOR yang dicapai menggambarkan bahwa terdapat kemungkinan rendahnya tingkat kualitas pelayanan rumah sakit. Kondisi BOR yang rendah di RSUD Pidie Jaya tersebut lebih rendah dari rata-rata BOR di rumah sakit pemerintah di Aceh yang mencapai 51 persen pada tahun 2013. Demikian pula jika dibandingkan dengan RSUD di Kabupaten Pidie dengan BOR sebesar 97 persen atau RSUD di Kabupaten Bireuen dengan BOR sebesar 79 persen (PECAPPAceh 2014).
Di sini penulis melihat perlu adanya upaya riil dari pemerintah Pidie Jaya dalam meningkatkan kualitas dari RSUD-nya agar pasien di Pidie Jaya dapat berobat secara langsung di RSUD-nya sehingga untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik tidak lagi harus sampai ke kabupaten lainnya.