Hasil Penelitian Hanifah POTRET PEMBIAYA

UNIVERSITAS INDONESIA POTRET PEMBIAYAAN KESEHATAN BERSUMBER PEMERINTAH: CONTOH KASUS KABUPATEN PIDIE JAYA TESIS HANIFAH HASNUR NPM. 1306429244 FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM PASCA SARJANA DEPOK SEPTEMBER 2014

ABSTRAK

Nama

: Hanifah Hasnur

Program Studi

: Ilmu Kesehatan Mayarakat

Judul Tesis : Potret Pembiayaan Kesehatan Bersumber Pemerintah-Contoh Kasus

Kabupaten Pidie Jaya

Tesis ini membahas gambaran pembiayaan kesehatan bersumber pemerintah di Kabupaten Pidie Jaya, mulai dari gambaran berdasarkan sumber, pengelola, pemberi pelayanan, program kesehatan, jenis kegiatan, mata anggaran, jenjang kegiatan dan penerima manfaat, gambaran pembiayaan kesehatan di Dinas Kesehatan dan RSUD dan pembiayaan kesehatan program Prioritas. Gambaran Pembiayaan Kesehatan ini dikaji untuk dijadikan evidence based untuk perencanaan anggaran kesehatan di Pidie Jaya tahun berikutnya. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif analitik. Pengumpulan data dilakukan dengan: (1) melaah realisasi anggaran untuk kesehatan di seluruh SKPD, dan (2) wawancara mendalam dengan beberapa informan terpilih (purposive sampling). Hasil yang didapat menggambarkan bahwa: (1) kondisi fiskal kabupaten Pidie Jaya memberi kesempatan untuk stakeholder kesehatan mengupayakan penambahan untuk pembiayaan program/kegiatan kesehatannya ke depannya dengan memanfaatkan dana perimbangan dari Pusat dan sisa anggaran sebelumnya yang setiap tahunnya meningkat. Selain itu mobilisasi dana kesehatan juga dapat diupayakan dengan menjalin kerjasama dengan semangat kemitraan antar semua pelaku pembangunan di Pidie Jaya terutama Dinas Kesehatan untuk program UKS yang masih rendah pendanaannya, (2) Terlihat bahwa dalam realisasi alokasi belanja kesehatan di Dinas Kesehatan masih belum berbasis kinerja sehingga butuh pembaharuan dalam hal alokasi anggaran kedepan dengan meningkatkan pembiayaan untuk mata anggaran operasional kegiatan langsung, (3) Program prioritas KIA walau sudah ada penigkatan dalam hal pembiyaannya namun amsih sangat tergantung dari pembiayaan dari Pusat sehingga dibutuhkan komitmen dari pemerintah daerah kedepannya dalam penyelenggaraan program KIA sert program prioritas gizi yang masih menjadi permasalahan kesehatan di Pidie Jaya hendaknya dapat ditingkatkan pembiayaannya kedepan dalam rangka meningkatkan derajaan kesehatan masyarakat setinggi-tingginya kedepan.

Kata kunci: pembiayaan kesehatan, desentralisasi, perencanaan anggaran kesehatan.

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penerapan sistem pemerintahan desentralisasi di suatu negara telah mendorong terjadinya reformasi birokrasi pada setiap sektor pemerintahan. Desentralisasi telah mengalihkan kekuasaan dari tingkat pemerintahan yang tinggi ke tingkat yang lebih rendah dalam satu kesatuan teritorial (Mills, 1990).

Di Indonesia, desentralisasi dimulai sejak awal tahun 2001. Maka, sejak ditetapkan desentralisasi tersebut, telah terjadi pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke tingkat kabupaten/kota di Indonesia. Sehingga, sampai sekarang pemerintah kabupaten/kota memegang wewenang dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurusi urusan pemerintahan di daerahnya masing-masing.

Sejalan dengan itu, dalam UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah disebutkan seiring dengan penerapan desentralisasi tersebut, maka setiap kepala daerah di tingkat Kabupaten/Kotabertanggung jawab untuk menyusun perencanaan pembangunan yang sesuai dengan permasalahan dan potensi di daerahnya salah satunya perencanaan pembangunan kesehatan.

Salah satu komponen yang sangat berperan dalam perencanaan pembangunan kesehatan adalah pembiayaan kesehatan, terutama yang berkaitan dengan belanja pemerintah untuk kesehatan. Dalam UU nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan disebutkan bahwa guna mencapai pemenuhan pembiayaan kesehatan di daerah, dibutuhkan sekurang-kurangnya 10 persen dari total Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) tersebut. Namun, faktanya, beberapa penelitian menjelaskan bahwa pengalokasian dana dari APBD kabupaten untuk kesehatan selama ini masih dibawah persentase yang diamanahkan oleh Undang-Undang tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pujianto menunjukkan bahwa belanja kesehatan rata-rata daerah hanya sekitar 2,23% (1,02%-3,01%) dari total pendapatan APBD (Pujianto 2005).

Menurut Adisasmito (2008) dalam salah satu studi kasusnya tentang RUU perubahan UU nomor 33 tahun 2004 menyebutkan bahwa permasalahan lain terkait perencanaan anggaran kesehatan yang muncul adalah rendahnya persentase dari penyerapan dana bersumber pemerintah untuk kesehatan dikarenakan: (1) kurang sejalannya perencanaan Menurut Adisasmito (2008) dalam salah satu studi kasusnya tentang RUU perubahan UU nomor 33 tahun 2004 menyebutkan bahwa permasalahan lain terkait perencanaan anggaran kesehatan yang muncul adalah rendahnya persentase dari penyerapan dana bersumber pemerintah untuk kesehatan dikarenakan: (1) kurang sejalannya perencanaan

Oleh karena permasalahan tersebut, Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2014 tentang perencanaan dan penganggaran bidang kesehatan menyebutkan bahwa guna melaksanakan kegiatan pemerintahan yang didasarkan pada prinsip pencapaian efisiensi, maka perlu adanya perencanaan anggaran yang bersifat terpadu. Perencanaan dan penganggaran terpadu ini dilakukan dengan mengintegrasikan seluruh proses perencanaan dan penganggaran di lingkungan Kementerian/Lembaga (K/L). Hal ini bertujuan untuk menghasilkan Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga yang klasifikasi anggaranya sesuai dengan organisasi, fungsi, dan jenis belanjanya.

Harmana dan Adisasmito (2006) menambahkan bahwa dalam rangka menyusun perencanaan anggaran kesehatan yang bersifat terpadu, perlu diterapkannya sebuah konsep yang analitis dan konseptual. Akhirani dan Trisnantoro (2004) juga menyebutkan bahwa untuk bisa membuat perencanaan anggaran yang efisien, efektif dan akuntabel, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) kesehatan membutuhkan sejumlah data mengenai informasi biaya kesehatan yang digunakan selama satu tahun (Akhirani 2004).

Informasi biaya yang dibutuhkan ini terdiri dari informasi biaya yang bersifat non keuangan dan informasi biaya yang bersifat keuangan. Informasi biaya bersifat non keuangan dihasilkan oleh akuntansi manajemen, sedangkan informasi biaya yang bersifat keuangan dihasilkan oleh akuntansi keuangan. Akuntansi keuangan bersumber pemerintah salah satunya bisa diperoleh melalui pendekatan District Health Accounts (DHA). DHA diartikan sebagai proses yang dilakukan guna mencatat, menganalisis dan melaporkan situasi pembiayaan kesehatan di suatu wilayah di tingkat Kabupaten/Kota(Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan 2011).

Informasi biaya dari akuntansi keuangan Kabupaten/Kotamelalui pendekataan DHA ini dapat memberikan gambaran tentang jenis kegiatan kesehatan yang dilakukan apakah hasil yang diperoleh telah sesuai dengan yang diharapkan serta memberi gambaran terkait mobilisasi alokasi sumber-sumber ekonomi yang dapat menghasilkan sumber ekonomi lain (Murti, dkk 2006).

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Akhirani dan Trisnantoro (2004). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pemanfaatan data akuntansi keuangan kabupaten dengan menggunakan pendekatan District Health Accounts telah mampu memberikan gambaran yang lebih akurat terkait penganggaran dan pembiayaan kesehatan di Provinsi dan Kabupaten/Kotadi Indonesia.

Oleh karena itu, Kabupaten/Kotadi provinsi Aceh sebagai Kabupaten/Kotadi Indonesia yang memperoleh dana yang besar dalam bentuk dana Otonomi khusus (Otsus) perlu melakukan kajian terkait pembiayaan kesehatannya guna merencanakan anggaran kesehatan yang efektif, efisien dan akuntabel (PECCAP Aceh 2014). Dana Otonomi khusus yang diperoleh oleh provinsi Aceh tiap tahunnya mencapai 6 sampai 8,1 triliun. Provinsi Aceh juga mendapatkan kekhasan dengan ditetapkannya UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa segenap Satuan Kerja Peringkat Daerah Aceh dituntut untuk mampu menyusun perencanaan anggarannya yang efektif, efisien dan terpadu di tingkat provinsi, kabupaten dan kotanya (Bappeda Aceh 2011).

Kabupaten Pidie Jaya sebagai kabupaten yang berdiri pada tahun 2007 merupakan kabupaten termuda di Provinsi Aceh. Alokasi untuk belanja kesehatan kabupaten Pidie Jaya terus meningkat setiap tahunnya. Seperti pada tahun 2013 belanja kesehatannya mencapai 55 milyar dari 474 miliyar total APBD. Namun, 11% dana APBD untuk kesehatan ini merupakan persentase termasuk gaji. Hal ini tidak sejalan dengan UU Kesehatan nomor 36 tahun 2009 yang mengamanatkan untuk mengalokasikan 10% APBD untuk kesehatan di luar gaji (PECCAPP Aceh 2014).

Belanja kesehatan di kabupaten Pidie Jaya juga masih menekankan pembangunan program fisik dimana tercatat bahwa sebagian besar dana otsus kesehatan dari tahun 2009 sampai tahun 2014 teralokasikan untuk belanja modal berupa pembangunan Rumah Sakit Daerah. Salah satu akibat dari belanja kesehatan tersebut adalah tidak ada lagi dana otsus yang tersedia untuk program kegiatan non fisik.

Meskipun selama ini perencanaan anggaran kesehatannya telah disusun dengan memperhatikan keterkaitan antara kebijakan dan ketersediaan dana (input) terhadap program dan capaian yang diharapkan (outcomes). Namun, klasifikasi pengeluaran tersebut belum sepenuhnya memberikan fleksibilitas yang luas bagi SKPD kesehatan sebagai pelaksana anggaran untuk menentukan anggarannya.

Berdasarkan kajian terhadap data sekunder Dinas kesehatan Kabupaten Pidie Jaya terutama dari dokumen rencana program dan anggaran kegiatan indikatif, selama beberapa tahun terakhir dari mulai tahun 2010 sampai dengan tahun 2013 didapat bahwa perencanaan anggaran kesehatan di Dinas kesehatan Pidie Jaya sejauh ini masih kurang efektif dan efisien. Hal ini bisa dilihat dari sistem perencanaan anggaran yang menetapkan jumlah anggaran kesehatan masih menggunakan pendekatan historical budgeting dengan tambahan 10% untuk setiap programnya. Misalnya untuk program pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana Puskesmas/Pustu dan jaringannya pada tahun 2010 dianggarkan sejumlah Rp. 9,287,850,000,-, untuk program yang sama di tahun 2011 meningkat sekitar 10% menjadi Rp. 10,216,635,00 dan di tahun 2013 penambahan 10% nya meningkat menjadi Rp. 11,238,299,000,- (Dinas kesehatan Pidie Jaya 2014).

Perencanaan anggaran yang menetapkan jumlah anggaran per program ditentukan dengan menambah atau menguragi berdasarkan total jumlah anggaran tahun sebelumnya ini cendrung mendorong kepada praktek pergeseran angka anggaran. Permasalahan ini dikenal dengan istilah “rutin yang diproyekkan” yang dapat menimbukan masalah kesinambungan pembiayaan dan memberi dampak terhadap keterbatasan akuntabilitas. Sehingga dapat berakibat pula terhadap pencapaian unit kerja yang masih dilihat dari sisi kemampuan instansi menyerap anggaran bukan berdasarkan tingkat kinerja yang dicapai (Cipta 2011).

Permasalahan lain terkait penganggaran kesehatan di kabupaten Pidie jaya

adalah total biaya yang diberikan untuk pencapaian indikator SPM kesehatan. Peraturan Bupati Pidie Jaya Nomor 23 Tahun 2012 menetapkan anggaran sebesar 54 miliyar untuk pelaksanaan SPM kesehatan. Namun, yang diberikan ternyata hanya sebesar 17% atau 9,1 miliyar dari target yang dibutuhkan (PECCAPP Aceh 2014).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa masih terbatasnya anggaran kesehatan di Pidie Jaya dan kurang efektifnya realisasi belanja kesehatan salah satunya dikarenakan permasalahan perencanaan anggarannya. Sehingga, perencanaan anggaran kesehatan yang berdasarkan evidence based berupa kajian pembiayaan kesehatan tahun sebelumnya menjadi penting untuk dilakukan.

Penjabaran yang tepat dan sistematis terkait pembiayaan kesehatan di kabupaten Pidie Jaya dapat dilakukan dengan menelusuri realisasi belanja kesehatan bersumber pemerintah menggunakan pendekatan District Health Accounts (DHA).

1.2 Masalah Penelitian

Dalam laporan yang dikeluarkan oleh Public Expenditure Analysis and Capacity Strengththening Program (PECCAPP) Aceh tahun 2013 didapatkan bahwa total belanja kesehatan untuk pencapaian indikator SPM tahun 2013 masih jauh dari cukup. Hal ini bisa dilihat dari Peraturan Bupati Nomor 23/2012 yang menyebutkan bahwa total belanja yang dibutuhkan untuk seluruh program-program SPM tahun 2013 adalah 54 miliyar. Namun, dari hasil evaluasi didapat bahwa, hanya 9,1 miliyar atau hanya berkisar sekitar 17 persen yang direalisasikan. Salah satu penyebabnya adalah karena anggaran ini belum mampu dimenangkan agar diprioritaskan oleh tim anggaran untuk SPM kesehatan sehingga akhirnya dana teralokasi untuk dinas lainnya (PECCAPP Aceh 2014).

Dari penelitian yang pernah dilakukan oleh Ahmad, dkk pada tahun 2006 didapatkan bahwa tidak disetujuinya sejumlah anggaran yang diusulkan untuk program kesehatan Dinkes Kabupaten/Kotadisebabkan oleh dua kemungkinan, yaitu, pertama rendahnya pengetahuan tim anggaran eksekutif tentang kesehatan sehingga penganggaran yang dilakukan tidak sesuai dengan kebutuhan pendanaan untuk program kegiatan. Kedua, dikarenakan ketidakmampuan dari tim perencana Dinkes dalam meyakinkan tim eksekutif untuk mengalokasikan anggaran yang cukup untuk program kesehatan yang diusulkan (Ahmad dkk 2006).

Padahal di sisi lain, perencanaan anggaran kesehatan yang efisien dan efektif bisa dimanfaatkan untuk meyakinkan tim anggaran eksekutif akan pentingnya pembiayaan untuk beberapa program kesehatan yang menjadi prioritas.

Dari permasalahan di atas, dapat disimpulkan bahwa lemahnya perencanaan anggaran kesehatan dapat memberi dampak terhadap rendahnya dana yang teralokasikan untuk belanja kesehatan. Keterbatasan ini akan berdampak pula terhadap rendahnya capaian beberapa program prioritas. Oleh karena itu penelitian terkait perencanaan anggaran kesehatan dengan menggunakan data pembiayaan kesehatan bersumber pemerintah akan sangat dibutuhkan sebagai dasar yang akurat untuk perencanaan anggaran kesehatan di tahun berikutnya.

Data pembiayaan kesehatan bersumber pemerintah yang akan dikumpulkan untuk merumuskan perencanaan anggaran untuk tahun berikutnya berdasarkan: sumber, agen pembiayaan, provider kesehatan, program, jenis kegiatan, mata anggaran, jenjang kegiatan, dan penerima manfaat.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian yang hendak dikaji untuk ditemukan jawabannya melalui penelitian ini, yaitu:

1) Bagaimana kondisi fiskal kabupaten Pidie Jaya dan belanja kesehatannya?

2) Bagaimana pembiayaan kesehatan bersumber pemerintah di kabupaten Pidie Jaya?

3) Bagaimana realisasi belanja kesehatan di Dinas kesehatan dan RSUD Pidie Jaya?

4) Bagaimanakah perencanaan anggaran kesehatan untuk tahun berikutnya di kabupaten Pidie Jaya?

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk dapat dirumuskannya perancanaan anggaran kesehatan bersumber pemerintah di Kabupaten Pidie Jaya.

1.4.2 Tujuan Khusus

Berdasarkan pertanyaan penelitian diatas, maka penelitian ini mempunyai tujuan khusus yaitu:

1) Menganalisa kondisi fiskal kabupaten Pidie Jaya dan belanja kesehatannya

2) Menganalisa pembiayaan kesehatan bersumber pemerintah di kabupaten Pidie Jaya.

3) Menganalisasi realisasi belanja kesehatan di Dinas kesehatan dan RSUD Pidie Jaya.

4) Merumuskan perencanaan anggaran kesehatan untuk tahun berikutnya di kabupaten Pidie Jaya.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pemerintah kabupaten Pidie Jaya dalam merumuskan kebijakan yang tepat untuk perencanaan anggaran kesehatan guna mencapai sasaran-sasaran pembangunan kesehatan di Pidie Jaya serta dapat dimanfaatkan

anggaran untuk Kabupaten/Kotalainnya di Indonesia.

rujukan perencanaan

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan oleh peneliti dengan dibatasi beberapa hal:

1. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan mengumpulkan data sekunder berupa dokumen realisasi anggaran di setiap SKPD Pemerintahan kabupaten Pidie Jaya yang berkaitan dengan pembiayaan kesehatan bersumber pemerintah di

Kabupaten pidie Jaya dan data primer yang diperoleh dengan cara wawancara mendalam (in depth interview).

2. Pengumpulan data dan wawancara akan dilakukan pada bulan Oktober 2014 s.d Desember 2014 di wilayah kabupaten Pidie Jaya.

3. Sasaran penelitian adalah Stakeholder yang terdiri dari: pihak Bappeda, pihak DPRK, pihak Dinas kesehatan, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana, Badan Lingkungan Hidup dan Pertamanan, pihak Dinas Sosial, dan pihak RSUD

kabupaten.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perencanaan dan Penentuan Program Prioritas

2.1.1 Perencanaan Kesehatan

Menurut Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional disebutkan bahwa perencanaan merupakan suatu proses yang dilakukan untuk menentukan segala sesuatu yang akan dilakukan di masa yang akan datang, perencanaan disusun dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber daya yang tersedia.

Perencanaan dapat juga didefinisikan sebagai suatu bentuk agenda yang dilakukan bersama-sama oleh segenap stakeholder dari sejumlah institusi pemerintah maupun non pemerintah di suatu daerah. Perencanaan selalu berkaitan dengan potensi atau sumber daya yang dimiliki baik itu sumber daya manusianya, keuangan, maupun pelaksanaannya (Murti dkk 2006).

Menurut Dewi dkk (2011), perencanaan kesehatan adalah suatu proses yang dilakukan guna merumuskan masalah-masalah kesehatan di masyarakat, menetapkan kebutuhan akan sumber daya yang dibutuhkan serta menetapkan tujuan dari program dan merumuskan langkah-langkah yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut.

Maka, dari definisi yang dipaparkan dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam perencanaan kesehatan sangat penting untuk memperhatikan tiga hal berikut ini, yaitu: (1) perencanaan kesehatan harus melihat sumber daya finansial yang dimiliki daerah; (2) perencana kesehatan haruslah berorientasi kepada program-program kegiatan yang memiliki nilai manfaat yang lebih besar ke depan; dan (3) perencanaan kesehatan hendaknya diselaraskan dengan permasalahan kesehatan di daerah, namun tetap memperhatikan prioritas masalah kesehatan nasional.

2.1.1.1 Langkah-Langkah Perencanaan Kesehatan

Menurut PMK nomor 7 tahun 2014, langkah-langkah yang harus dilakukan dalam perencanaan kesehatan meliputi tahap-tahap seperti yang dijelaskan di bagan di bawah ini.

Bagan 2.1 Langkah-langkah Perencanaan Anggaran Kesehatan

1. Persiapan Pada awal mula persiapan perencanaan perlu dibuat sebuah kerangka acuan berupa

suatu usulan kegiatan yang memberikan gambaran secara singkat terhadap rencana kegiatan yang akan dilakukan. Kerangka acuan disesuaikan dengan kaidah-kaidah dan sistematika yang berlaku supaya dapat dipahami dengan baik oleh yang membacanya. Dengan adanya kerangka acuan ini, diharapkan informasi yang diberikan bisa sedetail mungkin kepada para pemangku kebijakan, sehingga akhirnya memperoleh persamaan visi, misi, dan tujuan.

Syarat lainnya yang harus dipatuhi di sini adalah, perencanaan hendaknya dibuat dengan sistematis, terjadwal dan mengikuti konsep ilmiah berupa analisis situasi.

2. Analisis situasi dengan kecendrungan upaya-upaya kesehatan Dalam analisis situasi ini dijelaskan secara jelas akan permasalahan yang hendak

diselesaikan serta perkembangan situasi dan kondisi riilnya. Analisis situasi dapat dimulai dengan mengidentifikasi gap (kesenjangan) yang terjadi antara kondisi riil di lapangan dengan harapan ideal yang hendak dicapai. Selain itu, dalam analisis situasi juga dijelaskan mengenai akibat atau dampak yang dapat muncul akibat kesenjangan tersebut. Syarat-syarat dalam analisis situasi adalah menggunakan data (evidence based) dan melalui proses konsensus tim yang dibentuk dan bertanggung jawab untuk analisis situasi.

3. Analisis situasi dengan kecendrungan lingkungan Analisis situasi dan kecenderungan lingkungan memaparkan keadaan atau situasi

yang mendasari kegiatan tersebut diusulkan dan berkaitan dengan permasalahan yang sedang dihadapi. Analisis situasi harus dilakukan secara berurutan dalam mendapatkan gambaran tentang yang sudah dan akan dilakukan, pentingnya kegiatan tersebut dilakukan, proses dalam pencapaian target, segala faktor yang mendukung dan yang menghambat berdasarkan faktor internal dan eksternal yang disimpulkan berdasarkan data (Evidence Based) dan interaksi unsur lain (hukum, sosial, politik dan lain-lain). Dalam melakukan analisis situasi perlu dilakukan identifikasi terhadap peluang dan ancaman. Secara geografis Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Sebagai negara kepulauan, kebijakan pembangunan yang diterapkan di setiap provinsi atau daratan hendaknya berbeda, karena masing-masing pulau memiliki karakteristik geografis tersendiri, sehingga perlu penyelesaian dan penyesuaian dengan kondisi lokal.

4. Perumusan dan pengkajian alternatif Dalam hal menentukan alternatif pemecahan masalah, hendaknya masalah spesifik

yang akan diatasi ditentukan terlebih dahulu. Alternatif pemecahan masalah ini akan terdiri dari beberapa alternatif yang memungkinkan untuk dilakukan dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut. Alternatif pemecahan akan dikaji untuk melihat alternatif mana yang memberikan daya ungkit yang tinggi (efektif dan efisien) dalam mengatasi masalah. Alternatif tersebut dapat berdasarkan teori, data, fakta dan/atau pengalaman.

5. Penentuan strategis Visi, misi, dan tujuan dari strategi adalah hal terpenting yang harus ditentukan dalam penentuan strategis. Selanjutnya, semua itu diuraikan dalam bentuk kebijakan dan kegiatan

riil dengan tujuan output yang hendak dicapai. Uraiannya dapat terdiri dari beberapa elemen berikut ini: (a) kegiatan riil dengan output yang jelas; (b) target merupakan perincian detail dari tujuan; (c) sasaran/peserta menjelaskan tentang objek atau siapa yang akan mengikuti kegiatan tersebut; (d) waktu dan tempat pelaksanaan dimana dan kapan kegiatan tersebut akan dilaksanakan; (e) jadwal kegiatan yang berisikan rencana pelaksanaan kegiatan dan kapan akan dilaksanakan, sesuai dengan perencanaan kalender kegiatan; (f) sumber daya yang diperlukan, dan (g) adanya pengendalian pelaksanaan.

6. Pengendalian pelaksanaan Pengendalian adalah serangkaian kegiatan manajemen yang dimaksudkan untuk

menjamin agar suatu program/kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana yang ditetapkan. Sedangkan pemantauan adalah kegiatan mengamati perkembangan pelaksanaan rencana pembangunan, mengidentifikasi serta mengantisipasi permasalahan yang timbul dan/atau akan timbul untuk dapat diambil tindakan sedini mungkin. Apabila dalam pelaksanaan pengendalian dan pemantauan terdapat penyimpangan atau diperkirakan tujuan tidak akan tercapai maka perlu diberikan saran untuk tindakan koreksi.

7. Penilaian hasil pelaksanaan Tahapan penilaian hasil pelaksanaan kegiatan/program meliputi penyusunan desain,

proses penilaian, dan penyusunan laporan serta saran tindak lanjut. Pimpinan K/L dan Kepala SKPD mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melakukan evaluasi kinerja pelaksanaan rencana pembangunan periode sebelumnya. Laporan evaluasi tersebut disampaikan kepada Menteri PPN atau Kepala Bappeda. Menteri/Kepala Bappeda menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi pimpinan K/L dan evaluasi SKPD. Hasil evaluasi tersebut menjadi bahan bagi penyusunan rencana pembangunan Nasional/Daerah untuk periode berikutnya (Kementerian Kesehatan RI 2014).

2.1.1.2 Pendekatan dalam Perencanaan Kesehatan

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2014 tentang Perencanaan dan Penganggaran Bidang Kesehatan disebutkan bahwa pelayanan publik hendaknya dapat berjalan secara terintegrasi. Beberapa model pendekatan perencanaan yang patut dijadikan pertimbangan dalam membuat perencanaan di daerah di antara lain:

a) Pendekatan politik Pada saat kampanye politik, para politisi seperti calon presiden, calon kepala daerah,

calon legislatif biasanya memperkenalkan visi misinya, agenda-agenda yang ditawarkan oleh para politisi ini hendaknya dapat dijadikan gambaran dalam hal pembuatan perencanaan.

b) Pendekatan teknokratik Pendekatan perencanaan ini bisa dijalankan oleh lembaga-lembaga fungsional

perencanaan dengan metode dan kerangka pikir yang alamiah.

c) Pendekatan partisipatif Pendekatan perencanaan yang partisipatif bermaksud membuat perencanaan dengan

melibatkan segenap pihak-pihak terkait dalam rangka menjaring segala bentuk aspirasi dan komitmen mereka terhadap proses pembangunan nasional dan daerah.

d) Pendekatan atas ke bawah (top-down) Pendekatan ini lebih cendrung membuat pendekatan-pendekatan perencanaan mulai dari tingkat pemerintah yang lebih tinggi ke tingkat tata pemerintahan yang lebih

rendah.

e) Pendekatan bawah ke atas (buttom-up) Pendekatan perencanaan ini mengusungkan segenap kepentingan di tingkat pemerintah yang lebih rendah ke tingkat pemerintahan tertinggi.

2.1.2 Penentuan Masalah dan Program Prioritas

Murti, dkk (2006) menyatakan bahwa instrumen yang digunakan dalam menentukan masalah kesehatan prioritas haruslah memenuhi persyaratan validitas dan reliabilitas. Salah satunya dengan validasi isi (content) yang digunakan untuk menguji apakah kriteria yang telah dipilih relevan dengan permasalahan kesehatan yang sedang terjadi sehingga apabila ada kriteria yang tidak relevan bisa dihilangkan dari list.

Penentuan prioritas masalah kesehatan akan sangat ditentukan oleh perencanaan dan segenap kepentingan-kepentingan pihak yang saling berkaitan di dalamnya. Namun, agar instrumennya bisa tepat sasaran perlu dipertimbangkan beberapa karakteristik berikut ini:

a. Menentukan prioritas berdasarkan perspektif yang dipilih

b. Menentukan kriteria

c. Mengukur dan menentukan skor serta pembobotan kriteria

d. Menetapkan peraturan dalam pengambilan keputusan akhir akan dimasukkan masalah sebagai prioritas atau suatu tindak intervensi

Berikut ini beberapa contoh perspektif dan kriteria dalam penentuan masalah kesehatan prioritas di suatu daerah.

Tabel 2.1 Perspektif dan Kriteria Dalam Penentuan Masalah Kesehatan Prioritas

Perspektif

Kriteria

Burden of disease

1. Morbiditas tinggi 2. Mortalitas tinggi 3. Dampak kecacatan yang akan terjadi

Cost of illness

4. Dampak biaya terhadap masyarakat 5. Dampak produktivitas dari sisi ekonomi

Faktor risiko

6. Merupakan salah satu faktor risiko kesehatan

Keadilan

7. Kesenjangan derajat kesehatan 8. Berhubungan dengan beberapa kelompok populasi 9. Rendahnya akses pelayanan untuk mengatasi masalah

10. Rendahnya cakupan pelayanan untuk mengatasi masalah

Sistem Kesehatan

11. Adanya teknologi yang efektif untuk mengatasi masalah kesehatan

12. Sektor lain dapat ikut menangani

Sumber daya

13. Sumber daya keuangan lokal tinggi

Sosiologi 14. Modal sosial (social capacity) dari masyarakat tinggi Politik

15. Merupakan salah satu isu politik yang tersebar di masyarakat 16. Merupakan isu bagi para politisi

17. Merupakan isu bagi para birokrat 18. Merupakan isu bagi para kelompok kepentingan

Selain itu, Pemerintah Daerah juga didorong agar mampu menyusun perencanaan anggaran yang berbasis kondisi dan situasi di daerah dengan tidak melupakan prioritas nasional. Salah satu prioritas nasional yang menjadi acuan pemerintah Kabupaten/Kotadi tahun 2015 mendatang adalah Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang kesehatan tahun 2015. Pemerintah Aceh sendiri sebelumnya telah mempertegas penerapan SPM melalui UU Pemerintah Aceh nomor 11 tahun 2006 pasal 224 ayat (2) dan (3) dimana setiap warga masyarakat diwajibkan memelihara dan mengupayakan peningkatan derajat kesehatannya baik kesehatan perorangan, keluarga maupun lingkungannya yang mengacu kepada SPM yang telah ditetapkan (UUPA 2006).

2.1.2.1 Standar Pel.ayanan Minimal (SPM) 2015

Standar Pelayanan Minimal (SPM) adalah ketentuan-ketentuan terkait jenis dan mutu pelayanan dasar minimal yang berhak diperoleh oleh warga negara dalam kehidupannya. Indikator kinerja dan target SPM kesehatan 2015 di tingkat Kabupaten/Kota ditetapkan sebagai berikut:

1) Promosi Kesehatan

(a) Promosi Kesehatan di pendidikan dasar: minimal satu kali dalam satu tahun di wilayah kerja).

(b) Promosi Kesehatan di Puskesmas dan Jaringannya (c) Promosi pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan minimal sebulan sekali oleh

Puskesmas

2) Skrining dan pelayanan kesehatan berdasar daur kehidupan

(d) Paket pelayanan kesehatan ibu hamil di Puskesmas dan Jaringannya (e) Paket pertolongan persalinan oleh tenaga puskesmas dan jaringannya (f) Paket pertolongan bagi Bayi Baru Lahir di Puskesmas dan Jaringannya (g) Paket Pelayanan Kesehatan Usia Bawah Lima Tahun (Balita) di Puskesmas dan

jaringannya (h) Skrining kesehatan siswa pendidikan dasar (i) Skrining kesehatan penduduk remaja di Puskesmas (j) Skrining kesehatan penduduk dewasa dan deteksi dini kanker di Puskesmas.

(k) Skrining kesehatan lansia (usia 60 th Keatas) di Puskesmas dan RSUD.

3) Pemeriksaan Penyakit Menular

(l) Pemeriksaan dan pengobatan tuberkulosis di Puskesmas dan RSUD. (m) Pemeriksaan Terduga HIV dan AIDS di Puskesmas dan RSUD .

4) Inspeksi Kesehatan Lingkungan dan penanggulangan KLB

(n) Inspeksi Kesehatan Lingkungan di Sekolah Dasar. (o) Inspeksi Kesehatan Lingkungan di pasar tradisional. (p) SKDR dalam waktu kurang dari 24 Jam.

2.2 Perencanaan Anggaran Kesehatan

Diamond dalam Cipta (2011) menyebutkan bahwa perencanaan anggaran (budgeting phase) merupakan bagian dari fungsi manajemen yang berguna untuk menerjemahkan masing-masing program ke dalam rencana tahunan dengan menentukan siapa melakukan apa serta menetapkan sumberdaya yang dibutuhkan.

Ditinjau dari kebijakan desentralisasi yang telah diselenggarakan di Indonesia sejak tahun 2001, bentuk pengganggaran pemerintah pusat terhadap daerah untuk pendanaan sektor kesehatannya terdiri dari: Dana Alokasi Umum (DAU), yang diberikan dalam bentuk dana Otonomi Khusus, dan Dana Alokasi Khusus (DAK) (Andayani dalam Thabrany, 2005).

Menurut Abimanyu dalam Trisnantoro (2001), di era desentralisasi, pemerintah daerah memiliki beberapa sumber dana rutin, yaitu (1) Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terdiri dari pajak dan retribusi lokal, giral dan aset-aset penjualan serta dari perusahaan Pemerintah Daerah; (2) dana perimbangan yang berupa dana desentralisasi daerah otonomi khusus: pajak bumi dan bangunan, minyak, gas, hutan; tambang dan perikanan; dan Dana Alokasi Khusus (DAK); (3) pinjaman dari pihak tertentu; serta (4) penerimaan lainnya.

Pola perencanaan pemerintah daerah berdasarkan UU nomor 25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan dan pembangunan nasional dan pola penganggaran pemerintah daerah berdasarkan UU Nomor 17 tahun 2003tentang Keuangan Negara sebagai berikut:

Tabel 2.1 Alur Perencanaan Anggaran Pemerintah Daerah

2.2.1 Pendekatan dalam Perencanaan Anggaran

Arief dalam Murti (2006) menjabarkan beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam perencanaan anggaran kesehatan antara lain: (1) perencanaan anggaran berbasis item (Line Item Budgeting); (2) perencanaan anggaran yang berdasarkan kinerja (performance- based budgeting); (3) perencanaan anggaran berbasis nol (zero-based budgeting); dan (4) perencanaan anggaran berdasarkan sistem fungsi manajemen perencanaan, pemograman dan penganggaran (planning, programming, and budgeting system)

2.2.1.1 Line Item Budgeting

Penganggaran dengan pendekatan line item budgeting melakukan penganggaran berdasarkan urutan kegiatan masukan (input), penerimaan dan keluaran (output) misalnya dalam perencanaan anggaran untuk pelatihan pegawai, gaji, obat-obatan dan lain sebagainya. Kelebihan pendekatan ini dibandingkan dengan pendekatan yang lain adalah kemudahan dalam penyusunan sehingga memungkinkan tim perencana anggaran untuk dengan mudah mengaplikasikannya dan mudah pula dipahami oleh pelaksana anggaran.

Kelemahan dari pendekatan line item budgeting adalah bentuk informasi yang digunakan dimana dalam pendekatan ini hanya menyajikan informasi terkait input, proses (kegiatan yang dijalankan) dan output namun tidak mampu mengkaitkan kaitan antara ketiganya, sehingga dikhawatirkan ini akan berdampak terhadap rendahnya motivasi para pelaksana anggaran dalam hal pemilihan input yang relevan untuk pencapaian output tertentu. Di sisi lain, para atasan juga akan sulit mengevaluasi capaian dari pelaksanaan kegiatan (proses) (Murti dkk 2007).

Menurut Shah (2006) historical budgeting merupakan contoh penggaran dengan line- item yang muncul dikarenakan adanya kepedulian terhadap kurangnya kontrol terhadap pengeluaran yang berkontribusi pada terciptanya lingkungan yang mendorong kepada tindak korupsi. Penganggaran dengan pendekatan ini menyajikan pengeluaran-pengeluaran berdasarkan sumber daya-sumber daya yang digunakan dimana sumber daya tersebut dalam proses pengalokasiannya ditetapkan batas atasnya sehingga unit kerja tidak dapat melakukan pengeluaran melebihi plafon atau batas atasnya tersebut.

Rasul dalam Cipta (2011) menyatakan bahwa sistem penganggaran line-item budgeting menimbulkan beberapa permasalahan utama, yaitu:

- Orientasi pada pengendalian pengeluaran (expenditure control oriented) yang mengakibatkan akuntablitias yang terbatas, yaitu hanya pada besar dan cara

pengeluaran sesuai dengan yang dialokasikan bukan pada hasil yang hendak dicapai - Dikotomi rutin dan pembangunan tidak jelas (ambiguity on distinction between capital and revenue expenditure) yang menimbulkan praktek pergeseran anggaran (budgeting shifting) dan masalah kesinambungan pembiayaan (sustainable financing)

- Basis alokasi yang tidak jelas (allocation based is not clear) dimana target penaikan dan penurunan anggaran hanya berdasarkan persentase realisasi anggaran tahun

sebelumnya atau berdasarkan kemampuan masing-masing instansi pemerintah untuk menyerap anggaran bukan berdasarkan tingkat kinerja yang dicapai

- Cendrung tidak fleksibel (rigid) dimana pada jenis-jenis pengeluaran tertentu terdapat kewenangan yang terbatas pada pimpinan instansi untuk melakukan pergeseran mata

anggaran tertentu yang menunjukkan adanya kelemahan dalam penerapan akuntabilitas dimana pemimpin organisasi hanya berakuntablitas terhadap uang yang dibelanjakan terhadap anggaran bukan terhadap hasil yg dicapai

- Orientasi hanya satu tahun anggaran sehingga rencana pembiayaan tahunan sering tidak dihubungkan dengan sistem penganggaran yang diterapkan.

2.2.1.2 Performance-based Budgeting Perencanaan anggaran menggunakan performance-based budgeting merupakan proses

penganggaran yang digunakan untuk meningkatkan manfaat dari sumber daya input guna menghasilkan sebaik-baik outcome (pencapaian hasil) dan output (keluaran) dengan memanfaatkan 3 key performance indicator: (1) pengukuran kinerja, (2) pengukuran biaya, dan (3) penilaian keefektivan dan efisiensi (Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Aceh, 2011).

Arizti dalam laporan analisis efektivitas penganggaran Bappeda Aceh (2011) menyebutkan bahwa Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) ini berfungsi menjawab pertanyaan: “what public sector is accomplishing with resources provided, lebih dari sekedar pertanyaan dari di Line-item budget: “how much money is being spent in any area.”

Tujuan dari penganggaran menggunakan pendekatan ini adalah sarana yang dapat digunakan dalam rangka meningkatkan kualitas dari pelayanan umum dengan cara konsisten mengalokasikan resource (sumber daya) untuk tujuan sosial dan politik, efisiensi, ekonomi dan efektivitaas dalam hal penggunaan sumber daya dan akuntabilitas.

IDG (1999) dalam Bappeda Aceh (2011) mengidentifikasikan penggunaan sumberdaya bisa dikatakan efektif dan ekonomis jika:

• “They are clearly justified and aligned to achieve the desired development outcomes • They are sufficient in quantity and quality to provide for all the inputs/outputs required

for the desired outcomes • They avoid waste, unnecessary inputs, or duplication both within the project and relative

to other work • Rates or prices paid are market based or otherwise assessed to be fair and reasonable.”

Efisiensi bermakna adanya perbedaan nilai harga satuan output dengan jumlah nilai input yang digunakan untuk melihat kesesuaian antara rencana dengan hasil yang dicapai baik itu kesesuaian waktu, prosedur dan sebagainya, sehingga jumlah pemanfaatan sumber daya yang dimiliki dapat diukur dengan nilai satuan.

Efektivitas didefinisikan sebagai perbandingan antara output dan outcome, efektivitas mengukur tingkat capaian yang diperoleh dengan output tertentu, semakin besar andil output dalam mencapai hasil program maka semakin efektif kinerja program tersebut.

Dalam ABK mengukur efektivitas sama halnya dengan mengukur kesesuaian antara pelaksanaan suatu program dengan kebijakan Undang-Undang yang berlaku, oleh karena untuk mengetahui efektif tidaknya suatu program, maka pada saat perencanaan awal penting untuk menentukan secara jelas indikator capaian yang hendak dicapai untuk dimasukkan ke dalam dokumen anggaran.

Kelemahan perencanaan anggaran dengan menggunakan pendekatan ini adalah: (1) jika dilakukan secara agregat di tingkat nasional dan daerah, perkiraan target indikator kerja nantinya tidak akan jauh lebih baik dari hasil perencanaan anggaran menggunakan pendekatan Line-item budgeting, (2) tidak mudah mengidentifikasi indikator pencapaian hasil (outcome), dampak dan manfaat dari suatu program yang dianggarkan, (3) tidak sesuai apabila diterapkan untuk program kegiatan jangka panjang.

2.2.1.3 Zero-based Budgeting Perencanaan anggaran berbasis nol biasanya digunakan untuk menaikkan atau menurunkan nilai uang dari pos-pos anggaran tertentu untuk periode penganggaran

berikutnya sehingga setelah melalui proses evaluasi yang dilakukan bersama-sama oleh tim anggaran dan pengesah anggaran, memungkinkan untuk adanya pos anggaran yang dihapus dari dokumen perencanaan anggaran.

Sebenaranya sistem perencanaan anggaran menggunakan pendekan zero-based budgeting hampir sama dengan line-item budgeting hanya saja ia lebih cocok jika diterapkan dalam organisasi-organisasi yang sedang mengalami krisis ekonomi atau kekurangan sumber daya yang tersedia yang dapat digunakan.

Dalam zero-based budgeting pengusul anggaran diwajibakan untuk mampu mengidentifikasi setiap unit pengambil keputusan dan keputusan-keputusan yang sesuai untuk unit-unit tersebut, juga pengusul anggaran harus mampu mengevaluasi terkait alternative untuk belanja paket unit-unit tersebut.

2.2.1.4 Planning, Programming, and Budgeting System Perencanaan anggaran dengan pendekatan ini menuntut para penyusun anggaran agar mampu menghubungkan ketiga fungsi manajemen yaitu perencanaan, pemograman, dan

penganggaran secara sekaligus dengan melakukan anlisis ekonomi yang bersifat multiyears. PPBS muncul sebagai bentuk kritikan terhadap pendekatan penganggaran sebelumnya yaitu line-item budgeting dimana dalam PPBS yang berbeda adalah perencanaan anggaran lebih menekankan kepada hubungan rasional antara besaran anggaran yang ditetapkan dengan hasil atau tujuan yang ditetapkan.

2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perencanaan Anggaran Kesehatan

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Adisasmito tahun 2006 menunjukkan bahwa beberapa faktor penting yang menunjang pendanaan sektor kesehatan suatu daerah adalah sebagai berikut:

2.2.2.1 Kemampuan Perencanaan Anggaran

Perencanaan anggaran yang diusulkan oleh Dinas kesehatan mengacu kepada Kebijakan Umum Anggaran (KUA), dokumen perencana ini berbentuk pagu sementara (PPAs) yang biasanya dibuat oleh tim anggaran tujuannya agar tim perencanaan dari tim instansi pengusul dapat membuat perencanaan mengacu kepada dokumen perencanaan dari KUA. Dalam penelitiannya, Harmana, dkk menyebutkan bahwa kemampuan perencanaan anggaran sangat ditentukan oleh komitmen pemerintah untuk sektor kesehatan, kemampuan dalam mengadvokasi, penetapan prioritas masalah kesehatan, cara dalam mengintervensi masalah kesehatan, dan keseimbangan antara setiap mata anggaran.

Kaitan komitmen pemerintah dengan kemampuan perencanan terletak pada kesesuaian proporsi anggaran yang telah ditentukan oleh para pembuat kebijakan daerah (decision maker), sehingga dengan adanya pemahaman yang baik akan komitmen tersebut Kaitan komitmen pemerintah dengan kemampuan perencanan terletak pada kesesuaian proporsi anggaran yang telah ditentukan oleh para pembuat kebijakan daerah (decision maker), sehingga dengan adanya pemahaman yang baik akan komitmen tersebut

Kemampuan mengadvokasi oleh tim pengusul juga mempengaruhi proses perencanaan anggaran karena advokasi adalah proses membuat para pengambil kebijakan yakin bahwa anggaran usulan yang disusun adalah untuk sesuatu yang patut dijadikan prioritas dan merupakan follow up dari dinas terhadap komitmen pemerintah daerah.

Hal lainnya yang mempengaruhi proses perencanaan adalah penetapan prioritas terhadap program kegiatan, semakin banyak program prioritas yang tertuang dalam rencana anggaran, maka akan semakin besar nominal anggaran yang diusulkan. Tentunya program kegiatan yang menjadi prioritas akan disertai intervensi-intervensi yang urgen dan bersifak mendesak sehingga berdampak pula terhadap peningkatan nominal usulan dalam dokumen anggaran.

Sedangkan keseimbangan antara setiap mata anggaran akan disesuaikan dengan jumlah kebutuhan akan pembiayaan pada setiap mata anggaran, dapat dipastikan bahwa nilai dan nominal setiap mata anggaran tidaklah sama dikarenakan perbedaan kebijakan umum Anggaran (KUA) dan skala prioritas.

2.2.2.2 Pendapatan Asli Daerah

Faktor lainnya yang mempengaruhi pendanaan dalam sektor kesehatan adalah jumlah PAD yang dihasilkan oleh daerah dalam periode waktu satu tahun. Pendapatan Asli Daerah yang kemudian disingkat menjadi PAD adalah semua hak daerah yang diakui sebagai nilai tambah untuk kekayaan bersih dalam satu periode tahun anggaran (UU No. 33/2004).

PAD pada tiap-tiap daerah akan berbeda tergantung kepada jumlah kekayaan alam yang dimiliki serta kemampuan daerah dalam memberdayakan potensi yang ada (Lestari, 2006). PAD yang tinggi berdampak terhadap pendanaan sektor kesehatan dikarenakan persentase PAD untuk mendukung upaya-upaya kesehatan meningkat.

2.2.2.3 Dana Perimbangan

Dana Perimbangan yang terdiri Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang dimiliki tiapa-tiap daerah berbeda-beda disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan setiap daerah. Semakin besar dana perimbangan yang didapat suatu daerah maka semakin besar pula kesempatan daerah tersebut untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakatnya.

2.2.2.4 Pendapatan Lain-lain yang Sah

Pendapatan lain-lain bisa didapat dari pusat dalam bentuk dana hibah, bantuan Luar negeri dan bantuan LSM baik dalam bentuk dana segar atau pembiayaan program kegiatan.

2.3 Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK)

Murti, dkk (2006) menyebutkan bahwa Rencana Anggaran Satuan kerja (RASK) merupakan bagian awal yang sangat dasar dalam penyusunan sebuah rancangan anggaran pendapatan dan belanja yang memuat segala sesuatu yang berhubungan dengan anggaran dari setiap unit kerja.

Rencana anggaran dari setiap unit kerja tersebut akan dianalisis oleh tim anggaran eksekutif dengan mempertimbangkan beberapa hal berikut ini:

1) Rencangan anggaran yang diusulkan akan dilihat kesesuaiannya dengan rencana program dan kegiatan dari setiap unit kerja

2) Rencana program dan kegiatan dari setiap unit kerja tersebut akan dilihat lagi kesesuaiaanya dengan Tugas Pokok Fungsi (Tupoksi) masing-masing dari setiap unit

kerja

3) Rasionalitas dari rancangan anggaran yang diusulkan dengan target kinerja yang ingin dicapai berdasarkan analisa SAB (Standar Analisis Belanja).

Gambar 2.1 Skema penyusunan dokumen Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) Alur Kegiatan

Alur Anggaran

Visi, Misi, Tujuan,

Ringkasan

2.4 Anggaran

sasaran dan Tupoksi

Unit Kerja

Anggaran Belanja

Program

Pendapatan

Unit Kerja

Pendapatan Per

Anggaran Belanja

Anggaran Belanja

Kegiatan

Langsung

Tidak Langsung

Kegiatan Per Program

Anggaran Belanja Unit Kerja

Anggaran belanja

Langsung Per Kegiatan

Tidak Langusng Per Kegiatan

Tabel 2.2. Alur kegiatan dan Anggaran RASK

2.4 Peraturan Perundangan Penyusunan Anggaran

Dalam Permendagri No. 37/2014 dijelaskan tentang sumber serta pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, yaitu sebagai berikut:

2.4.1 Sumber Pendanaan Kabupaten/Kota

Pendapatan daerah yang dianggarkan dalam APBD merupakan pentaksiran nilai yang terukur secara rasional dan memiliki kepastian berlandaskan dasar hukum penerimaannya, yaitu bersumber dari:

a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Penganggaran pendapatan daerah yang bersumber dari PAD sangat ditentukan oleh beberapa hal berikut:

1) Penganggaran pajak dan retribusi lokal

2) Penganggaran hasil pengelolaan kekayaan sumber daya alam daerah

3) Penganggaran PAD lainnya, yaitu; pendapatan dari hasil pengelolaan dana bergulir yang

merupakan bentuk investasi jangka panjang non permanen yang dianggarkan ke dalam akun pendapatan, kelompok PAD, jenis Lain-lain PAD Yang Sah, obyek Hasil Pengelolaan Dana Bergulir, rincian obyek Hasil Pengelolaan Dana Bergulir dari Kelompok Masyarakat Penerima.

b. Dana Perimbangan Penganggaran pendapatan daerah yang bersumber dari dana perimbangan

memperhatikan hal-hal berikut ini:

1) Penganggaran Dana Bagi Hasil (DBH):

2) Penganggaran Dana Alokasi Umum (DAU): pengalokasian DAU haruslah sejalan dengan Peraturan Presiden (PP) tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi, Kabupaten/kota

3) Penganggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) juga berlandaskan alokasi DAK daerah provinsi dan Kabupaten/Kotayang biasanya diinformasikan secara resmi oleh

Kementerian Keuangan.

4) Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah

2.4.2 Pembelanjaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)

a. Belanja Tidak Langsung

Penganggaran untuk semua belanja tidak langsung akan memperhatikan hal-hal berikut:

1) Belanja Pegawai

a) Penganggaran untuk gaji pokok dan tunjangan Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) dengan terlebih dahulu memperkirakan rencana kenaikan gaji pokok dan tunjangan PNSD serta pemberian gaji ketiga belas.

b) Penganggaran belanja pegawai untuk kebutuhan pengangkatan Calon PNSD yang baru sesuai formasi pegawai Tahun berikutnya.

c) Penganggaran belanja pegawai untuk kebutuhan kenaikan gaji berkala, kenaikan pangkat, tunjangan keluarga dan mutasi pegawai dengan memperhitungkan acress

yang besarnya maksimum 2,5% dari jumlah belanja pegawai untuk gaji pokok dan tunjangan.

d) Penganggaran penyelenggaraan jaminan kesehatan bagi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Pimpinan dan Anggota DPRD serta PNSD

e) Penganggaran penyelenggaraan jaminan kecelakaan kerja dan kematian bagi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Pimpinan dan Anggota DPRD serta PNSD

dibebankan pada APBD

f) Penganggaran Tambahan Penghasilan PNSD harus memperhatikan kemampuan keuangan daerah dengan persetujuan DPRD

g) Penganggaran Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah g) Penganggaran Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

2) Belanja Bunga Bagi daerah yang belum memenuhi kewajiban pembayaran bunga pinjaman, baik