Seni Tauhid: Ekspresi Estetika Islam.
3. Seni Tauhid: Ekspresi Estetika Islam.
Sebagaimana disebutkan di atas, menurut Faruqi, seni adalah merupakan ekspresi estetika yang ditangkap oleh indra perasa dan intuisi manusia dalam bentuk karya. Faruqi mengklasifikasikan produk estetis (seni) Islam menjadi: (1) Seni Sastra; (2) Kaligrafi; (3) Ornamentasi; (4) Seni Ruang; dan (5) Seni suara.
a. Seni Sastra Menurut Faruqi, seni sastra Islam, banyak dipengaruhi oleh Alqur’an. Alqur’an sebagai wahyu Ilahi memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak bisa ditandingi oleh siapapun, terutama dalam bidang sastra. Di dalamnya terkandung rahasia keindahan dan kemu'jizatan yang disebut awjuh atau dala'il al-ijaz, yaitu aspek-aspek yang menyebabkan Alqur’an sangat menarik dan tidak bisa disamai (Isma’il, 1999: 36).
Bangsa Arab pra-Islam telah memiliki seni sastra yang amat tinggi dan sulit ditandingi. Dengan turunnya Alqur’an yang memiliki nilai sastra tinggi, menyadarkan mereka dari kesombongan itu. Ternyata syair-syair hasil karya mereka bukan apa-apa dibanding de- ngan Alqur’an. Setelah mereka masuk Islam, Alqur’an kemudian
dijadikan sebagai dasar untuk mengembangkan seni sastra mereka. Hal ini dapat dipahami, karena menurut Faruqi, turunnya Alqur’an telah membakukan bahasa arab, serta kategori-kategori logika, pemahaman dan keindahan bahasa yang terkandung di dalamnya. Di samping itu dalam waktu yang relatif singkat, bahasa arab Alqur’an menjadi kriteria dan norma bahasa arab, meliputi kosa kata, sintaksis, tata bahasa dan kefasihan (balaghah atau fashahah) (Isma’il, 1999: 53-54). Hal demikian kemudian ditransformasikan ke dalam kesusasteraan Islam, yaitu sastra baru yang disesuaikan dengan arus intelektual mereka (Isma’il, 1999: 55).
Jenis kesusasteraan Islam bersifat universal, meliputi khutbah (orasi), risalah (esai), maqamah (cerita pendek tentang legenda atau pahlawan), qishsah ( . kisah), qasidah (syair), dan maqalah (esai yang membahas satu tema sebagai sentral). Di antara jenis sastra yang menonjol adalah prosa dan syair.
Menurut Faruqi prosa Muslim juga mengikuti prosa Arab. Prosa ini termasuk siyaghah, penggabungan kata-kata terpilih untuk mengungkapkan makna tertentu; almuqabalah atau tawazun, pengimbangan, ungkapan atau makna secara simetris; altarassul, penyajian tema atau bagian atau bab-bab secara berurutan tanpa keterkaitan organik, ada pembuka dan penutup setiap uraian, yang menghasilkan momentum menuju penerusan yang tak terbatas; al-ijaz, menggunakan kata-kata sesedikit mungkin dengan makna yang Menurut Faruqi prosa Muslim juga mengikuti prosa Arab. Prosa ini termasuk siyaghah, penggabungan kata-kata terpilih untuk mengungkapkan makna tertentu; almuqabalah atau tawazun, pengimbangan, ungkapan atau makna secara simetris; altarassul, penyajian tema atau bagian atau bab-bab secara berurutan tanpa keterkaitan organik, ada pembuka dan penutup setiap uraian, yang menghasilkan momentum menuju penerusan yang tak terbatas; al-ijaz, menggunakan kata-kata sesedikit mungkin dengan makna yang
Syair Islam, menurut Faruqi, juga mengikuti aturan yang sama dengan syair Arab. Di antara aturannya adalah, abhur, aturan bersajak, pembagian bait menjadi dua, tiga, empat dan lima; dan qafiyah, kebebasan penuh dalam bait atau maqta' (bagian) (Isma’il, 1999: 56).
b. Kaligrafi Faruqi menyebutkan, bahwa pengaruh Alqur’an telah menjadikan kaligrafi sebagai sebuah bentuk seni budaya Islam, yang paling luas tersebar, dinikmati dan dihargai umat Islam. Sebagaimana diketahui, bangsa Arab pada waktu itu telah memiliki seni menulis. Seni menulis ini kemudian dikembangkan pada zaman Islam untuk menulis Alqur’an. Hal ini dilakukan oleh Zayd ibn Tsabit atas perintah Nabi. Dengan cara ini Alqur’an terdokumentasi (Isma’il, 1999: 93-95).
Seni menulis ini pada mulanya masih sangat sederhana. Baru kemudian ketika digunakan untuk menulis Alqur’an dalam bentuk mushaf, telah dilakukan perbaikan dan penyempurnaan. Pada perkembangan selanjutnya, seni tulis Arab ini dikembangkan juga gaya
tulisannya. Di antara gaya tulisan Arab adalah kufi (populer di daerah Basrah dan Kufah). Gaya tulisan ini mempunyai ciri berbentuk sudut. Faruqi membedakan ada tiga varian kufi, yaitu (1) kufi berbunga, garis vertikal diberi bentuk daun dan bunga; (2) kufi jalin atau anyaman, garis vertikal dibuat bagaikan anyaman; dan (3) kufi hidup, huruf- hurufnya diakhiri dengan gambar stilisasi binatang atau manusia. Gaya kufi ini untuk beberapa abad digunakan untuk menulis Alqur’an. Di samping itu digunakan juga untuk membuat hiasan pada tekstil, keramik, mata uang, alat-alat makan, batu nisan dan bangunan arsitektur (Isma’il, 1999: 110-111).
Gaya yang lain adalah gaya naskhi (diciptakan oleh Ibnu Muqlah dan disempurnakan oleh Ibn al-Bawwah (w. 423 H/1032 M); gaya sittah, bentuk tulisan kursif "enam" (diciptakan oleh Yaqut ibn Abd Allah al-Mu'tasimi (w. 698 H/1298 M); gaya tsuluts, tulisan dekaratif yang dipakai untuk dekorasi arsitektur, benda-benda kecil, judul dekoratif, dan solofon (emblem) untuk Alqur’an dan naskah lainnya (Isma’il, 1999: 100-101).
Varian kufi, naskhi, dan tsuluts meskipun dipakai di semua wilayah Muslim, namun terdapat juga gaya khas daerah, diantaranya adalah maghribi (di Spanyol Islam dan Afrika Utara), Qaryawani, Sudani, dan di kalangan kaligrafer Iran dikenal pula gaya ta'liq, Nasta'liq dan Syikastah. Gaya Syikastah terutama dipakai untuk surat- menyurat pribadi dan bisnis atau resmi dalam bahasa Parsi dan Urdu.
Tulisan lain yang banyak dipakai secara luas di dunia Islam adalah tulisan Diwani. Gaya tulisan ini terutama dipakai untuk dokumen- dokumen resmi (Isma’il, 1999: 105).
Faruqi mengkategorikan kaligrafi kontemporer menjadi lima kategori, (1) Kaligrafi "tradisional". Menekankan pada tradisi abstrak, pesan diskursif dan huruf-huruf yang indah, bukan pada penggambaran benda-benda alam. Kaligrafi jenis ini sudah ada sejak abad ke-7 H/13 M. Tokoh-tokohnya adalah 'Adil al-Saghir, Muhammad Sa'id as- Saggar, Muhammad Ali Shakir dan Isam al-Sa'id. (2) Kaligrafi figural. Kaligrafi jenis ini mengkombinasikan motif-motif figural dengan unsur-unsur kaligrafi dalam berbagai gaya. Unsur-unsur figural terbatas pada motif daun dan bunga yang distilisasi menyesuaikan dengan sifat abstrak dari seni Islam. Bentuk binatang dan manusia tidak didapatkan pada naskah Alqur’an, dekorasi Masjid, madrasah atau mebeler, tetapi terdapat pada mangkuk, alat-alat makan dan alat rumah tangga. Tokohnya adalah Sayyid Naquib al-'Attas (Isma’il, 1999: 109-110). (3) Kaligrafi ekspresionis. Gaya ini merupakan hasil akulturasi antara seni Muslim dengan seni Barat. Kaligrafi jenis ini lebih menampilkan unsur-unsur emotif, yaitu menyampaikan emosi-- emosi subyektif kepada audiens mengenai penggambaran tanggapannya terhadap personal, visual, dan emosional benda, orang atau kejadian. Gaya ini dipandang oleh Faruqi sebagai gaya yang tidak sesuai bahkan berlawanan dengan sifat abstrak dan universal seni
Islami. (4) Kaligrafi simbolik. Jenis kaligrafi ini, orientasi dan proses artistiknya dipengaruhi oleh Barat. Simbolisme literal sendiri, dalam Islam hampir tidak mungkin, namun kaligrafer Muslim telah mencobanya. Desain kaligrafer simbolik menggunakan huruf atau kata tertentu sebagai simbol suatu gagasan atau kelompok gagasan (Isma’il, 1999: 112).
Kaligrafi semu atau Abstrak murni. Istilah abstrak murni adalah istilah gerakan seni Barat abad kedua yang digunakan untuk menamakan karya estetika Muslim. Kaligrafer Muslim tipe ini menjadikan huruf, bentuk geometris atau motif-motif lain, sebagai bentuk murni, yang terpisah dari makna tradisionalnya. Pandangan ini nampaknya dipengaruhi oleh Piet Mondrian, seorang abstraksionis Belanda. Melihat bentuknya yang demikian, gaya ini nampak mengingkari esensi dan fungsi kaligrafi Islami, yaitu menyampaikan pesan dialogis dalam bentuk visual yang indah dari pola ketakterhinggaan, sehingga Faruqi menolak gaya ini untuk dimasukkan dalam seni Islami (Isma’il, 1999: 114-116).
c. Ornamentasi Ornamentasi adalah motif-motif dan tema-tema yang dipakai pada benda seni yang ditimbulkan pada komponen hasil seni. Ornamentasi dalam pandangan seniman Barat hanya digunakan sebagai pelengkap saja dan tidak ada hubungannya dengan sebuah karya seni. Menurut Faruqi, ornamentasi dalam seni Islam tidak hanya
pengisi ruang kosong, melainkan memiliki fungsi yang khusus. Menurutnya, ornamentasi memiliki empat fungsi, (1) Mengingatkan kepada tauhid. Ornamentasi merupakan tambahan penting dalam karya seni Islam, karena mengingatkan kepada ajaran tauhid. Oleh karena itu, ornamentasi dapat ditemukan di setiap tempat, seperti lingkungan, tempat kerja, rumah dan masjid. (2) Transfigurasi bahan. Hal ini dilakukan untuk menstilisasi, mendenaturalisasi dan memperindah bahan-bahan yang dipakai dalam karya seni mereka (Isma’il, 1999: 130). Hal itu dilakukan dengan metode: (a) Overlay, menutup permukaan bahan dasar suatu benda dengan hiasan dekoratif dengan pola infinitif; (b) Menyembunyikan sifat-sifat bawaan bahan; (c) Kurang memperhatikan pada nilai bahan yang digunakan; (d) Transfigurasi struktur; dan (e) Pengindahan (Isma’il, 1999: 130-135).
Bentuk ornamen diantaranya adalah arabesk. Arabesk merupakan pola infinit dari sejumlah kategori struktural yang memiliki berbagai variasi. Arabesk ini banyak dipakai dalam dekorasi naskah Alqur’an, desain permadani, improvisasi pada lut (sejenis gitar bunting), dan ornamentasi keramik pada bangunan (Isma’il, 1999: 143).
Faruqi membagi arabesk ke dalam empat pola yang disusun secara disjungtif (terputus, munfashilah) dan konjungtif (kontinyu, muttasilah). Keempat pola tersebut adalah (1) Struktur multiunit. Struktur ini terdiri dari berbagai bagian atau modul yang berbeda, yang
digabungkan dengan cara penambahan atau pengulangan. Struktur ini termasuk struktur disjungtif (munfashilah). Struktur ini didapati pada dekorasi wadah keramik atau logam, senjata atau baju besi prajurit, halaman dekoratif Alqur’an atau buku lain, desain mebelair, permadani, kain dan lapisan hias penutup pada bangunan arsitektural. Model arabesk ini berupa susunan simetris unit-unit ke arah kiri dan kanan atau atas dan bawah, dari suatu titik tengah, atau membentuk kombinasi modul dengan struktur cincin atau rantai; (Isma’il, 1999: 146-147), (2) Struktur saling-mengunci (mutadakhilah, interlocking). Struktur ini digambarkan adanya unsur-unsur desain yang saling menganyam (kunci-mengunci). (3) Struktur berbelok. Struktur ini termasuk struktur konjungtif (muttasilah) yang paling tidak rumit. Bentuk-bentuk kaligrafi, daun, bunga, sulur-suluran, dan/atau bentuk- bentuk abstrak digambarkan berurutan hampir tidak berhenti, yang satu mengikuti yang lain dan seterusnya (Isma’il, 1999: 149), (4) Struktur mengembang. Jenis struktur ini memberi kesan suatu desain bagaikan sinar yang merekah. Pola semacam ini didapati pada bidang pembatas halaman buku, tepi piring, tepi panel dinding, permukaan dinding, yang diakhiri tanpa kesan telah selesai atau berakhir. Kesan tanpa akhir ini merupakan esensi pola Islam (Isma’il, 1999: 150).
Demikian Faruqi menerangkan ornamentasi dalam seni Islam. Menurutnya ornamentasi bukan sekedar tambahan yang diberikan pada benda seni, sebagaimana pendapat seniman Barat. Melainkan, Demikian Faruqi menerangkan ornamentasi dalam seni Islam. Menurutnya ornamentasi bukan sekedar tambahan yang diberikan pada benda seni, sebagaimana pendapat seniman Barat. Melainkan,
d. Seni Ruang Satu hal lagi yang dapat diambil dari seni Islam adalah "seni ruang" (spatial art). Faruqi dengan kemampuan yang luas dan mendalam telah mendeskripsikan bagaimana seni ruang Islam itu. Seni ruang menurutnya memiliki empat kategori, yaitu: (1) unit-unit isi, bangunan-bangunan yang berdiri sendiri atau setengah menempel tanpa ruang interior; (2) arsitektur, struktur dengan ruang interior; (3) lanskaping, hortikultura dan akuakultura; dan (4) desain perkotaan dan
pedesaan (urban and rural design). 56 Keempat kategori dalam seni ruang itu merupakan ekepresi dari ajaran Islam dan ideologinya, sama seperti seni Islam yang lain, sehingga ruang menunjukkan inspirasi dari pandangan Islam tentang dunia dan Tuhan, yaitu tauhid.
Seni ruang yang demikian, menurut Faruqi, memiliki ciri-ciri utama, yaitu (1) Abstraksi. Abstraksi dilakukan dengan metode: hiasan penutup (overlay), transfigurasi bahan, transfigurasi struktur, transfigurasi ruang tertutup, dan transfigurasi fungsi. (2) Unit/modul; (3) Kombinasi suksesif; (4) Pengulangan; (5) Dinamisme; dan (6)
Kerumitan.5 7 Di samping itu, penggunaan arabesk ikut mewarnai dan melengkapi dalam seni ruang Islam.
e. Seni suara Seni suara dalam seni Warn disebut Handasah al-Shawt. Ini berbeda dengan seni musik pada umumnya sebagaimana dikenal di Barat. Sehubungan dengan seni suara, Faruqi membahas tiga hal, yaitu (1) Seni suara dalam masyarakat Islam, (2) Model kreativitas: Lagu Alqur’an, dan (3) Ciri pokok handasah al-Shawt.
1) Seni suara dalam masyarakat Islam memiliki kategori jenis musik yang khusus, yaitu menunjukkan adanya "kesatuan luas" yang menjembatani berbagai tipe dan kategori jenis. Karl Signell menyebutnya sebagai "musik masjid", sebagai "sub jenis musik klasik". Sedang Amnon Shiloah menengarai adanya "kaitan-kaitan erat" dan "interaksi" antara musik religius dan musik seni (art music) dalam bangsa-bangsa Muslim.58 Dalam konteks pertunjukan, handasah al-shawt dapat ditemukan dalam konteks religius maupun non-religius. Lagu Alqur’an atau qira'at dapat ditemukan dalam peristiwa religius, seperti dalam pelaksanaan shalat, upacara pemakaman, pada dua hari raya Islam. Sedangkan dalam konteks non-religius dapat ditemukan dalam pertemuan umum, pertemuan sosial, pesta, acara radio dan televisi. Jenis shawti lainnya adalah syair yang dinyanyikan, improvisasi vokal dan instrumen, dan pantun-pantun yang dimainkan dalam berbagai konteks. (Isma’il, 1999: 188-189). Dalam budaya Islam, pemain sering memainkan atau menyanyikan berbagai jenis musik yang 1) Seni suara dalam masyarakat Islam memiliki kategori jenis musik yang khusus, yaitu menunjukkan adanya "kesatuan luas" yang menjembatani berbagai tipe dan kategori jenis. Karl Signell menyebutnya sebagai "musik masjid", sebagai "sub jenis musik klasik". Sedang Amnon Shiloah menengarai adanya "kaitan-kaitan erat" dan "interaksi" antara musik religius dan musik seni (art music) dalam bangsa-bangsa Muslim.58 Dalam konteks pertunjukan, handasah al-shawt dapat ditemukan dalam konteks religius maupun non-religius. Lagu Alqur’an atau qira'at dapat ditemukan dalam peristiwa religius, seperti dalam pelaksanaan shalat, upacara pemakaman, pada dua hari raya Islam. Sedangkan dalam konteks non-religius dapat ditemukan dalam pertemuan umum, pertemuan sosial, pesta, acara radio dan televisi. Jenis shawti lainnya adalah syair yang dinyanyikan, improvisasi vokal dan instrumen, dan pantun-pantun yang dimainkan dalam berbagai konteks. (Isma’il, 1999: 188-189). Dalam budaya Islam, pemain sering memainkan atau menyanyikan berbagai jenis musik yang
Aspek partisipasi hadirin juga memperlihatkan adanya homogenitas dalam seni suara masyarakat Islam. Tidak ada penikmatan yang dipaksakan atau pendidikan khusus untuk dapat mengapresiasinya. Handasah al-Shawt juga memiliki ekstensi historis. Ciri-ciri dan bahan-bahan Handasah al-Shawt pada abad ini telah dimainkan pada abad terdahulu. Sebagaimana dikemukakan oleh Baron d'Erlanger, bahwa baik melodi maupun ritme, ciri musik Arab zaman sekarang dianggap sebagai "gema" musik periode pra-Islam. George Sawa mencatat adanya kesinambungan antara abad pertengahan dan sekarang. Begitu juga Amnon Shiloah, menunjukkan adanya sistem modal (penggunaan nada) yang sudah ada sejak zaman Safi al-Din (abad 7 H/13 M) dan Abd al-Qadir (w. 8391- 1435 H) digunakan sebagai dasar yang masih dipakai sampai sekarang (Isma’il, 1999: 191-192).
Hal lain yang tidak lepas dari perhatian Faruqi adalah bahwa shawti dalam masyarakat Islam menunjukkan adanya homogenitas interregional. Terdapat beberapa perbedaan mengenai teori musik, instrumen, jenis dan dalam praktek, namun tetap memiliki sifat yang menyatukan budaya musik bangsa Muslim. Perbedaan tersebut karena adanya adaptasi terhadap selera regional dan ketersediaan bahan (Isma’il, 1999: 193).
Sepanjang berkaitan dengan handasah al-shawt, lagu Alqur’an sangat penting bagi umat Islam. Qira’ah adalah jenis suara artistik yang paling banyak diapresiasi dalam kehidupan umat Islam, tanpa memandang latar belakang mereka.
2) Model kreativitas: Lagu Alqur’an. Meskipun umat Islam tidak pernah menganggapnya sebagai musiqa, lagu Alqur’an adalah jenis handasah al-shawt yang dapat didengar hampir dalam setiap konteks, karena lagu Alqur’an merupakan jenis handasah al-shawt yang paling menyebar dalam budaya Islam. Dengan demikian Alqur’an merupakan prototipe ekspresi artistik dalam handasah al- shawt (Isma’il, 1999: 194-195). Sebagai prototip handasah al- shawt, lagu Alqur’an menjadi pusat silinder konsentris yang mempengaruhi jenis/model seni handasah al-shawt yang lain, kemudian memiliki bentuk tersendiri setelah mengalami adaptasi regional tanpa harus kehilangan ciri aslinya sebagai seni Islam. Model handasah al-shawt yang muncul kemudian adalah seperti lagu-lagu yang terkait dengan panggilan shalat (adzan) atau haji dan bacaan syair (berbentuk tahmid atau pujian untuk Nabi Muhammad S.A.W) yang berirama. Di samping itu dapat ditemukan juga na'tiyah (Afganistan); marhaban, barzanji, rebanah (kompang, hadrah), dan rodat (Malaysia); marsiya dan soz (Pakistan); dan naat, miraciye, dan mevlit (Turki) (Isma’il, 1999: 190). Bentuk-bentuk tersebut setelah diadakan improvisasi 2) Model kreativitas: Lagu Alqur’an. Meskipun umat Islam tidak pernah menganggapnya sebagai musiqa, lagu Alqur’an adalah jenis handasah al-shawt yang dapat didengar hampir dalam setiap konteks, karena lagu Alqur’an merupakan jenis handasah al-shawt yang paling menyebar dalam budaya Islam. Dengan demikian Alqur’an merupakan prototipe ekspresi artistik dalam handasah al- shawt (Isma’il, 1999: 194-195). Sebagai prototip handasah al- shawt, lagu Alqur’an menjadi pusat silinder konsentris yang mempengaruhi jenis/model seni handasah al-shawt yang lain, kemudian memiliki bentuk tersendiri setelah mengalami adaptasi regional tanpa harus kehilangan ciri aslinya sebagai seni Islam. Model handasah al-shawt yang muncul kemudian adalah seperti lagu-lagu yang terkait dengan panggilan shalat (adzan) atau haji dan bacaan syair (berbentuk tahmid atau pujian untuk Nabi Muhammad S.A.W) yang berirama. Di samping itu dapat ditemukan juga na'tiyah (Afganistan); marhaban, barzanji, rebanah (kompang, hadrah), dan rodat (Malaysia); marsiya dan soz (Pakistan); dan naat, miraciye, dan mevlit (Turki) (Isma’il, 1999: 190). Bentuk-bentuk tersebut setelah diadakan improvisasi
Perkembangan selanjutnya, dinilai Faruqi semakin kurang sesuai dengan ciri utama yang terdapat dalam lagu Alqur’an, meskipun tema-tema religius ada di dalamnya. Jenis ini adalah qasidah (Malaysia); ghazal (Iran-Asia Tengah dan India); ilahi, nefes dan suhul (Turki); muwasysyah dini (Masyriq); nasyid (Asia Tenggara); dan wak'a ad dini (Husna, Afrika Barat) (Isma’il, 1999 : 198). Jenis ini merupakan komposisi panjang yang sudah memiliki aturan yang dimainkan oleh kelompok pemain laki-laki dan/atau perempuan, yang menyanyi bersama, baik dengan iringan instrumen atau tidak. Liriknya kadang berbahasa arab, tetapi bahasa setempat juga dipakai.
Perkembangan terakhir handasah al-shawt adalah adanya ciri kebebasan dan tema-tema sekuler. Seni jenis ini jika dihubungkan dengan kegiatan-kegiatan tercela, seperti pengguna alkohol, obat bius, campur laki-laki dan perempuan yang rawan susila, menyebabkan Faruqi menolak dan mengecamnya sebagai hiburan dan ekspresi estetik.
3) Ciri pokok handasah al-Shawt. Handasah al-shawt Islam memiliki ciri-ciri yang sama dengan ciri-ciri jenis seni Islam yang lain, yaitu enam ciri utama. Enam ciri utama itu pada pokoknya adalah berusaha untuk mengadakan stilisasi, abstraksi, dan denaturalisasi, agar ekspresi estetika Islam dan para penikmat seni Islam akan diantarkan kesadarannya pada ide transenden.
Pemikiran al Faruqi tentang estetikanya dapat dijadikan titik awal bagi usaha perumusan dan pengembangan "seni Islam". Sebagaimana diketahui, bahwa umat Islam belum memiliki lembaga yang secara formal dan sistematis merumuskan dan melakukan kajian tentang seni secara utuh, sehingga umat Islam belum memiliki konsep yang mapan dan applicable, baik secara filosofis (estetika atau filsafat seni Islam, yang merumuskan nilai keindahan sesuai ajaran Islam), teoritis (sejarah, struktur dan klasifikasi: apakah ada seni Islam atau seni Muslim), praktis (kajian tentang teknik-teknik perbidang) dan apresiatif (kritik seni yang mengkaji perkembangan seni Islam dalam hubungannya dengan perkembangan masyarakat Muslim).
Faruqi, dalam karya monumentalnya The Cultural Atlas of Islam, telah melakukan pembahasan yang sangat mendasar dan merumuskan secara komprehensif tentang "bagaimana estetika Islam itu" dan "apa seni Islam itu". Pengklasifikasiannya terhadap produk estetis dilakukan secara konsisten dengan dasar pandangan tauhid Faruqi, dalam karya monumentalnya The Cultural Atlas of Islam, telah melakukan pembahasan yang sangat mendasar dan merumuskan secara komprehensif tentang "bagaimana estetika Islam itu" dan "apa seni Islam itu". Pengklasifikasiannya terhadap produk estetis dilakukan secara konsisten dengan dasar pandangan tauhid