Konsep Kesenian Profetik dan Implementas
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perdebatan masalah pornografi dan rencana akan disahkannya RUU Pornografi menjadi UU Pornografi di bulan Juni 2006 telah menjadi wacana yang cukup menarik akhir-akhir ini di negeri Indonesia yang berpenduduk, berbudaya dan beragama heterogen walaupun mayoritas penduduknya beragama Islam. Salah satu isu yang mencuat seiring munculnya wacana RUU Pornografi, adalah dikhawatirkan UU tersebut akan memberangus naturalitas budaya bangsa yang heterogen dan kreativitas karya seni yang membentuk warna kebudayaan bangsa.
Persoalan pro-kontra RUU Pornografi ini perlu ditelisik kembali titik temu dan benang merahnya yang mesti kembali kita bedah dan renungi bersama, yaitu apakah tujuan sebenarnya RUU Pornografi dan juga apakah sebenarnya tujuan sebuah karya seni yang dapat membentuk sebuah kebudayaan yang baik dan adiluhung?
Ridwan Pinat, dalam artikelnya yang berjudul “Men of Ideas” sebuah resensi buku Brian Magee, 1982, Men of Ideas: Some Creators of Contemporary Philosophy, Oxford : Oxford paperback, yang mana di dalamnya membicarakan kupasan-kupasan filsafat yang dilakukan oleh para filosof dan tokoh penulis buku, salah satunya tentang filsafat kesenian yang berisi tujuan dan nilai karya seni, penulis gunakan sebagai sumber narasi Ridwan Pinat, dalam artikelnya yang berjudul “Men of Ideas” sebuah resensi buku Brian Magee, 1982, Men of Ideas: Some Creators of Contemporary Philosophy, Oxford : Oxford paperback, yang mana di dalamnya membicarakan kupasan-kupasan filsafat yang dilakukan oleh para filosof dan tokoh penulis buku, salah satunya tentang filsafat kesenian yang berisi tujuan dan nilai karya seni, penulis gunakan sebagai sumber narasi
Pinat memaparkan, Murdoch salah satu filosof yang terlibat dalam dialog menyatakan bahwa sebenarnya kesenian bisa dianggap satu tehnik disiplin untuk membangkitkan emosi-emosi tertentu, termasuk emosi-emosi yang merangsang sensasi khayalan dan sensasi fisik. Sebagian besar wajah kesenian abad ini, kata Murdoch, dikaitkan dengan sex, dengan berbagai fantasi yang tidak baik. Yang ia maksudkan dengan fantasi tidak baik itu adalah fantasi yang mengundang imaji pornografis, menimbulkan bentuk- bentuk pemanjaan diri sendiri dan yang biasanya menghasilkan berbagai nilai yang salah seperti pemujaan pada kekuasaan, status dan kekayaan.
Fantasi negatif tersebut membuat sementara filosof berbalik memusuhi seni, demikian pula agamawan. Bahkan melalui salah satu bukunya yang berjudul 'The Fire and The Sun', Irish Murdoch secara khusus berbicara tentang sikap permusuhan Plato terhadap seni, padahal Plato sendiri dalam karya-karyanya justru sering menggunakan bentuk-bentuk seni. Atau seperti dikatakan Bryan Magee, jelas terlihat banyak bentuk seni dalam karya-karya Plato. Lantas kenapa Plato, sebagaimana yang dinilai oleh Murdoch, bukan hanya bapak filsafat, melainkan juga seorang filosof terbaik, justru mengambil sikap bermusuhan terhadap seni.
Bertitik tolak dari pertanyaan itulah Murdoch kemudian berangkat menguraikan teorinya mengenai pandangan filsafat terhadap kesenian. Sebagai seorang pakar teori politik, kata Murdoch, Plato takut terhadap
kekuatan emosional yang irrasional dalam seni. Kekuatan untuk menyebarkan berbagai kebohongan yang menarik atau kebenaran-kebenaran subversif. Plato menyepakati sensor yang keras serta pembasmian para pengarang lakon sandiwara. Plato dalam ini lebih sepakat pada agama, dan ia merasa bahwa seni memusuhi agama dan filsafat. Seni menurut Plato merupakan suatu pengganti yang egoistis bagi disiplin agama. Kenyataan bahwa karya Plato sendiri merupakan karya seni yang besar adalah dalam pengertian bahwa ia sendiri secara teoritis tidak mengakuinya. Dikatakannya, terdapat pertengkaran yang sudah berlangsung lama antara filsafat dengan puisi. Dan kita harus ingat, tutur Murdoch, pada masa Plato filsafat baru saja muncul atau lahir dari berbagai bentuk puisi dan spekulasi teologis. Filsafat memang mengalami kemajuan dengan membatasi dirinya sebagai sesuatu yang tersendiri. Pada masa Plato, filsafat memisahkan diri dari kesusastraan. Pada abad ketujuh belas memisahkan diri ilmu alam. Pada abad kedua puluh memisahkan diri dari psikologi.
Menurut Murdoch, Plato berpendapat seni adalah usaha meniru, tetapi peniruan yang buruk. Murdoch berpendapat, memang benar bahwa lebih banyak seni yang buruk daripada seni yang bagus di sekitar kita. Ironisnya orang justru lebih menyukai seni yang buruk itu daripada yang baik. Plato berkeyakinan bahwa seni pada hakikatnya adalah fantasi pribadi, suatu bentuk perayaan terhadap hal-hal tanpa nilai atau suatu bentuk penyelewengan dari hal-hal yang baik.
Murdoch mengatakan bahwa Plato menilai seni sebagai usaha penjiplakan yang remeh terhadap obyek tertentu tanpa mengandung arti penting umum. Pendapat Plato ini menurut Murdoch tidaklah secara keseluruhan berbeda dengan pandangan Sigmund Freud. Freud menilai seni sebagai fantasi seorang seniman yang berbicara langsung kepada fantasi penikmat karya seninya. Seni dalam pandangan Freud adalah satu bentuk hiburan pribadi, satu jembatan untuk memperoleh kepuasan yang tidak sempat didapat dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, kata Murdoch, kita bisa menyaksikan bagaimana sebuah cerita menegangkan atau film yang sentimental dengan mudah bisa merangsang fantasi pribadi para pembaca atau penonton. Pornografi adalah contoh yang ekstrim dari seni tersebut.
Bryan Maggee dalam dialognya mempertanyakan, apakah kritik semacam itu hanya berlaku untuk seni yang buruk. Bagaimana halnya dengan seni yang baik? Menjawab pertanyaan ini, Irish Murdoch mengatakan bahwa seorang penikmat seni bisa saja menggunakan hasil seni untuk melayani tujuannya sendiri, dan hanya seni yang bagus sanggup menolak tujuan-tujuan yang tidak baik dengan lebih berhasil. Maksudnya seseorang mungkin saja mengunjungi satu galeri hanya untuk menyaksikan citra (image) yang pornografis, padahal karya seni yang dipamerkan di sana barangkali tidak semuanya bisa menimbulkan citra pornografis. Kemungkinan suatu karya seni ditafsirkan secara tidak baik bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi. Murdoch secara tegas menolak pornografi. Ditandaskannya bahwa pornografi mendatangkan akibat yang benar-benar merusak dan memerosotkan nilai Bryan Maggee dalam dialognya mempertanyakan, apakah kritik semacam itu hanya berlaku untuk seni yang buruk. Bagaimana halnya dengan seni yang baik? Menjawab pertanyaan ini, Irish Murdoch mengatakan bahwa seorang penikmat seni bisa saja menggunakan hasil seni untuk melayani tujuannya sendiri, dan hanya seni yang bagus sanggup menolak tujuan-tujuan yang tidak baik dengan lebih berhasil. Maksudnya seseorang mungkin saja mengunjungi satu galeri hanya untuk menyaksikan citra (image) yang pornografis, padahal karya seni yang dipamerkan di sana barangkali tidak semuanya bisa menimbulkan citra pornografis. Kemungkinan suatu karya seni ditafsirkan secara tidak baik bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi. Murdoch secara tegas menolak pornografi. Ditandaskannya bahwa pornografi mendatangkan akibat yang benar-benar merusak dan memerosotkan nilai
Karya seni bagaimana yang dinilai baik oleh Murdoch? Saya kira, katanya menerangkan, karya seni yang baik adalah karya seni yang mengandung imajinasi, bukan fantasi. Karya itu hendaknya mampu mematahkan kebiasaan kita untuk berfantasi, dan sekaligus mendorong kita berusaha untuk mendapatkan pandangan yang benar tentang hidup dan kehidupan. Kita seringkali tidak berhasil melihat kenyataan dunia yang luas ini, karena pandangan kita dibutakan oleh obsesi, kekhawatiran, rasa iri, kejengkelan dan ketakutan. Kita membangun dunia kecil kita untuk diri kita sendiri, dan kita terkungkung di dalamnya.
Seni yang bagus, karya seni yang besar, kata filosof wanita itu pula, adalah karya seni yang bersifat membebaskan, yang memungkinkan kita untuk melihat dan mendapatkan kesenangan dari sesuatu yang bukan melulu kepuasan kita akan diri kita sendiri. Karya sastra yang baik, tambah Murdoch, adalah karya sastra yang sanggup mendorong serta memuaskan rasa ingin tahu kita, yang mampu membuat kita menaruh perhatian kepada orang lain serta masalah-masalah lain, yang sanggup membuat kita bertenggang rasa dan lapang dada. ([email protected], [email protected]).
Beberapa ulasan para filosof tersebut kalau kita mengembalikan kesenian menuju tujuan dasarnya menurut falsafahnya, yakni kesenian yang baik selalu menghasilkan estetika yang baik pula, dan puncak estetika Platonis adalah keindahan mutlak, yaitu keindahan Tuhan. Kecenderungan
kesenian mengarah kepada hal yang positif memang sangat terasa diungkapkan para bapak-bapak filosof kuno di Yunani. Selebihnya kalau ada estetika Platonis yang menuju keindahan Tuhan, Plato juga menyebut watak dan hukum yang indah. Aristoteles mengatakan, keindahan itu adalah sesuatu yang menyenangkan dan baik. Plotinus bicara tentang ilmu dan kebajikan yang indah. Kemudian orang Yunani membincangkan tentang buah pikiran dan adat kebiasaan yang indah. Dalam pengertian yang luas, keindahan itu tidak hanya terbatas pada seni atau alam, tetapi juga pada moral dan intelektual. Moral yang indah tentulah moral yang baik dan intelek yang indah adalah intelek yang benar. Jadi tentu kita sepakat Bagus, Baik dan Benar adalah serangkai nilai positif yang relasinya selalu bersifat holistik dalam keharmonisan. (Gazalba, 1988: 118).
Menurut Sidi Gazalba “bagus” merupakan bagian dari aspek kesenian dan estetika, “baik” dalam ranah etika dan “benar” lebih condong mengarah kepada Ilmu dan Agama. Tetapi semuanya itu menurut Sidi dalam filsafat pengetahuannya, Agama pada dasarnya melingkupi ketiga-tiganya baik itu bagus, baik dan benar secara holistik dan komprehensif.
Kita perlu menelisik kembali makna-makna kesenian yang positif tersebut yang saat ini terasa sudah tercerabut dari karya-karya seni dan bahkan dalam wacana filsafat seni. Selayaknya agama dan juga filsafat yang mempunyai arah dan tujuannya yang jelas dan pasti, konsep seni dalam filsafat seni mestinya juga dapat dikuak dan didapati arah dan tujuan berkesenian yang mencerahkan. Visi dan misi seni perlu dikembalikan Kita perlu menelisik kembali makna-makna kesenian yang positif tersebut yang saat ini terasa sudah tercerabut dari karya-karya seni dan bahkan dalam wacana filsafat seni. Selayaknya agama dan juga filsafat yang mempunyai arah dan tujuannya yang jelas dan pasti, konsep seni dalam filsafat seni mestinya juga dapat dikuak dan didapati arah dan tujuan berkesenian yang mencerahkan. Visi dan misi seni perlu dikembalikan
Kesenian dalam pendidikan sangat erat hubungannya. Karya seni sering dijadikan alat untuk mendidik siswa dalam pengenalan tentang keindahan. Pendidikan Islam yang berlandaskan pada konsep filsafat Islam mengajarkan bahwa konsep pengetahuan di dalam Islam tidak mengenal batas-batas parsial ataupun dualisme pengetahuan yang memisahkan ilmu- ilmu agama dan ilmu-ilmu dunia. Bagi Islam semua ilmu pengetahuan itu satu dengan lainnya memiliki hubungan sinergisitas yang sangat erat dan tidak bisa dipisah-pisahkan secara mutlak. Sehingga apa yang dirumuskan Sidi Gazalba di atas bahwa Kesenian, Etika, Agama dan Ilmu mempunyai relasi sinergisitas yang tidak terpisahkan adalah benar adanya bagi konsep pendidikan Islam.
Pendidikan Islam, adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam (Husain dan Ashraf, 1986 : 2), atau "Pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah (Nahlawi, 1995 : 26).
Pendidikan Islam bukan sekedar "transfer of knowledge" ataupun "transfer of training", ....tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi keimanan dan kesalehan; suatu sistem yang terkait secara langsung dengan Tuhan (Achwan, 1991 : 50). Pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Pendidikan merupakan sistem untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspek kehidupan. Dalam sejarah umat manusia, hampir tidak ada kelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai alat pembudayaan dan peningkatan kualitasnya. Pendidikan dibutuhkan untuk menyiapkan anak manusia demi menunjang perannya di masa datang. Upaya pendidikan yang dilakukan oleh suatu bangsa memiliki hubungan yang signifikan dengan rekayasa bangsa tersebut di masa mendatang. Dengan demikian, "pendidikan merupakan sarana terbaik untuk menciptakan suatu generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan ikatan dengan tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh secara intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka atau tidak menyadari adanya perkembangan-perkembangan di setiap cabang pengetahuan manusia" (Conference Book,London,1978 : 15-17).
Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan selalu berkembang, dan selalu dihadapkan pada perubahan zaman. Untuk itu, mau tidak mau pendidikan harus didesain mengikuti irama perubahan tersebut, Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan selalu berkembang, dan selalu dihadapkan pada perubahan zaman. Untuk itu, mau tidak mau pendidikan harus didesain mengikuti irama perubahan tersebut,
Filosofi pendidikan Islam searah dengan seni yaitu hasil ungkapan akal dan budi manusia dengan segala prosesnya. Seni merupakan ekspresi jiwa seseorang. Hasil ekpresi jiwa tersebut berkembang menjadi bagian dari budaya manusia. Seni identik dengan keindahan. Keindahan yang hakiki identik dengan kebenaran. Keduanya memiliki nilai yang sama yaitu keabadian. Benda-benda yang diolah secara kreatif oleh tangan-tangan halus sehingga muncul sifat-sifat keindahan dalam pandangan manusia secara umum, itulah sebagai karya seni. Seni yang lepas dari nilai-nilai ketuhanan tidak akan abadi karena ukurannya adalah hawa nafsu bukan akal dan budi. Seni mempunyai daya tarik yang selalu bertambah bagi orang-orang yang kematangan jiwanya terus bertambah. Di sinilah arti penting mengungkapkan gagasan orisinil konsep Kesenian Profetik ke dalam wacana Filsafat Kesenian dan implementasinya dalam Pendidikan Agama Islam.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di muka, ada 3 permasalahan yang perlu dibahas.
1. Bagaimana paradigma berkesenian kontemporer?
2. Apakah gagasan seni profetik dimungkinkan untuk ikut mewarnai eksistensi seni dalam peradaban manusia?
3. Bagaimana implementasi gagasan kesenian profetik ini di dalam pendidikan Agama Islam?
C. Tujuan dan Kegunaan
Dalam penelitian ini ada 2 tujuan yang ingin dicapai.
1. Melakukan kajian dan analisis falsafati di bidang filsafat kesenian, filsafat Islam kontemporer dan menggagas kajian baru konsep kesenian profetik dan implementasinya dalam pendidikan Islam.
2. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat membuktikan bahwa penerapan wacana konsep kesenian profetik dalam wacana filsafat kesenian dan implementasinya dalam pendidikan Islam dapat dikembangkan.
Penelitian ini ada 2 kegunaan yang ingin dicapai.
1. Lebih memperkaya dan menghasilkan wawasan baru cara berkesenian, dan juga secara langsung maupun tidak langsung dapat mengembangkan wacana alternatif pengetahuan baru di bidang pendidikan.
2. Secara praktis penelitian ini diniatkan untuk menjawab keingintahuan peneliti terhadap nuansa baru bagaimana kita dapat berkesenian dengan bagus, baik dan benar sesuai dengan tujuan dan cita-cita luhur berkesenian dalam filsafat seni yang telah dirumuskan oleh filosof-filosof pada abad Yunani dan Romawi kuno.
D. Tinjauan Pustaka
Konsep atau gagasan, apalagi teori tentang seni profetik adalah sesuatu ide yang dapat penulis katakan baru. Sebab, belum penulis dapatkan referensi konsep maupun teoritisnya di lapangan pustaka. Untuk itu beberapa tinjauan pustaka yang dapat diketengahkan di sini hanya sumber-sumber second, maksudnya bukan sumber utama yang penulis gunakan untuk melandasi ide pemikiran tentang kesenian profetik. Beberapa sumber tersebut adalah sebagai berikut.
Konsep Kuntowidjojo tentang Ilmu Sosial Profetik dalam bukunya Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan.
1991). Kuntowidjojo dalam buku tersebut mengetengahkan sebuah tawaran baru berupa gagasan konsep tentang Ilmu Sosial Profetik (ISP). Ilmu Sosial Profetik menurut Kunto tidak hanya menolak klaim bebas nilai dalam positivisme tapi lebih jauh juga mengharuskan ilmu sosial untuk secara sadar memiliki pijakan nilai sebagai tujuannya. Ilmu Sosial Profetik tidak hanya berhenti pada usaha menjelaskan dan memahami realitas apa adanya tapi lebih dari itu mentransformasikannya menuju cita-cita yang diidamkan masyarakatnya. Ilmu Sosial Profetik kemudian merumuskan tiga nilai penting sebagai pijakan yang sekaligus menjadi unsur-unsur yang akan membentuk karakter paradigmatiknya, yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi. Beberapa ciri pokok Sosiologi profetik adalah sebagai berikut ( http://agsasman3yk.wordpress.com/2010/05/15/sosiologi-profetik/ ): 1991). Kuntowidjojo dalam buku tersebut mengetengahkan sebuah tawaran baru berupa gagasan konsep tentang Ilmu Sosial Profetik (ISP). Ilmu Sosial Profetik menurut Kunto tidak hanya menolak klaim bebas nilai dalam positivisme tapi lebih jauh juga mengharuskan ilmu sosial untuk secara sadar memiliki pijakan nilai sebagai tujuannya. Ilmu Sosial Profetik tidak hanya berhenti pada usaha menjelaskan dan memahami realitas apa adanya tapi lebih dari itu mentransformasikannya menuju cita-cita yang diidamkan masyarakatnya. Ilmu Sosial Profetik kemudian merumuskan tiga nilai penting sebagai pijakan yang sekaligus menjadi unsur-unsur yang akan membentuk karakter paradigmatiknya, yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi. Beberapa ciri pokok Sosiologi profetik adalah sebagai berikut ( http://agsasman3yk.wordpress.com/2010/05/15/sosiologi-profetik/ ):
b. Secara epistemologis, sosiologi profetik berpendirian bahwa sumber pengetahuan itu ada tiga, yaitu realitas empiris, rasio dan wahyu. Ini bertentangan dengan positivisme yang memandang wahyu sebagai bagian dari mitos.
c. Secara metodologis sosiologi profetik jelas berdiri dalam posisi yang berhadap-hadapan dengan positivisme. Sosiologi profetik menolak klaim- klaim positivis seperti klaim bebas nilai dan klaim bahwa yang sah sebagai sumber pengetahuan adalah fakta-fakta yang terindera. Sosiologi profetik juga menolak kecenderungan ilmu sosial yang hanya menjelaskan atau memahami realitas lalu memaafkannya. Sosiologi profetik tidak hanya memahami tapi juga punya cita-cita transformatif (liberasi, humanisasi dan transendensi). Dalam pengertian ini sosiologi profetik lebih dekat dengan metodologi sosiologi kritik (teori kritik). Melalui liberasi dan humanisasi sosiologi profetik selaras dengan kepentingan emansipatoris sosiologi kritik. Bedanya sosiologi profetik juga mengusung transendensi sebagai salah satu nilai tujuannya dan menjadi dasar dari liberasi dan humanisasi.
d. Sosiologi profetik memiliki keberpihakan etis bahwa kesadaran (superstructure) menentukan basis material (structure).
Konsep Ilmu Sosial Profetik ini sangat dimungkinkan untuk kemudian dikembangkan paradigmanya ke seluruh cabang ilmu pengetahuan yang berwacana profetik, seperti salah satunya gagasan kesenian profetik.
Buku Kuntowidjojo. 2006. Maklumat Sastra Profetik. Yogyakarta:
Grafindo Litera Media. Maklumat sastra profetik adalah kelanjutan aplikasi konsep Kuntowidjojo dalam Ilmu Sosial Profetiknya. Sebagai penggagas paradigma sosial profetik Kuntowidjojo secara konsisten mengumumkan bahwa karya-karya sastranya ia maklumatkan sebagai sebuah karya sastra profetik.
Kuntowidjojo menyatakan bahwa Sastra Profetik mempunyai kaidah- kaidah yang memberi dasar kegiatannya, sebab ia tidak saja menyerap, mengekspresikan, tapi juga memberi arah realitas. Kaidah-kaidah Sastra Profetiknya adalah; strukturalisme transendental, sastra sebagai ibadah, dan keterkaitan antar kesadaran. Sastra Profetik adalah juga sastra dialektik, artinya sastra yang berhadap-hadapan dengan realitas, melakukan penilaian dan kritik sosial-budaya secara beradab. Oleh karena itu, Sastra Profetik adalah sastra yang terlibat dalam sejarah kemanusiaan. la tidak mungkin menjadi sastra yang terpencil dari realitas. Akan tetapi, sastra hanya bisa berfungsi sepenuhnya bila ia sanggup memandang realitas dari suatu-jarak, karena itulah lahir ungkapan, "sastra lebih luas dari realitas", "sastra membawa manusia keluar dari belenggu realitas", atau "sastra membangun realitasnya sendiri". la adalah renungan tentang realitas. Realitas sastra adalah realitas simbolis bukan realitas aktual dan realitas historis. Melalui simbol Kuntowidjojo menyatakan bahwa Sastra Profetik mempunyai kaidah- kaidah yang memberi dasar kegiatannya, sebab ia tidak saja menyerap, mengekspresikan, tapi juga memberi arah realitas. Kaidah-kaidah Sastra Profetiknya adalah; strukturalisme transendental, sastra sebagai ibadah, dan keterkaitan antar kesadaran. Sastra Profetik adalah juga sastra dialektik, artinya sastra yang berhadap-hadapan dengan realitas, melakukan penilaian dan kritik sosial-budaya secara beradab. Oleh karena itu, Sastra Profetik adalah sastra yang terlibat dalam sejarah kemanusiaan. la tidak mungkin menjadi sastra yang terpencil dari realitas. Akan tetapi, sastra hanya bisa berfungsi sepenuhnya bila ia sanggup memandang realitas dari suatu-jarak, karena itulah lahir ungkapan, "sastra lebih luas dari realitas", "sastra membawa manusia keluar dari belenggu realitas", atau "sastra membangun realitasnya sendiri". la adalah renungan tentang realitas. Realitas sastra adalah realitas simbolis bukan realitas aktual dan realitas historis. Melalui simbol
Kuntowidjojo, ketika memaklumatkan karya-karya sastranya sebagai sastra profetik secara tidak langsung dia menyatakan bahwa karya seninya adalah sebuah kesenian profetik, sebab sastra adalah salah satu dari bagian karya seni. Berdasarkan argumentasi ini, maka penulis ingin mengeneralisasi gagasan sastra profetiknya menjadi konsep Kesenian Profetik di mana semua karya seni bisa dibuat dan disebut sebagai karya seni profetik dengan kriteria tertentu.
Buku Sidi Gazalba, 1988, Islam dan Kesenian, Relevansi Islam dan
Seni Budaya Karya Manusia, Pustaka Alhusna, Jakarta. Sidi Gazalba dalam konsep Filsafat Islam menyatakan bahwa kedudukan seni dalam Islam adalah dibagian wilayah kebudayaan, sedangkan kebudayaan sendiri bagian dari Dien Islam. Dien Islam itu sempurna. Yang sempurna mengandung nilai 3B (Benar, Baik dan Bagus). Benar ada di wilayah ilmu dan agama (pen. Islam), Baik di wilayah etika dan Bagus di wilayah estetika (seni). Sesuatu yang benar akan sempurna kalau ia juga baik dan bagus. Dan sesuatu yang bagus akan sempurna, kalau ia juga benar dan baik. Sesuatu dikatakan benar kalau sesuatu itu sesuai dengan obyeknya. Sesuatu itu baik, kalau ia Seni Budaya Karya Manusia, Pustaka Alhusna, Jakarta. Sidi Gazalba dalam konsep Filsafat Islam menyatakan bahwa kedudukan seni dalam Islam adalah dibagian wilayah kebudayaan, sedangkan kebudayaan sendiri bagian dari Dien Islam. Dien Islam itu sempurna. Yang sempurna mengandung nilai 3B (Benar, Baik dan Bagus). Benar ada di wilayah ilmu dan agama (pen. Islam), Baik di wilayah etika dan Bagus di wilayah estetika (seni). Sesuatu yang benar akan sempurna kalau ia juga baik dan bagus. Dan sesuatu yang bagus akan sempurna, kalau ia juga benar dan baik. Sesuatu dikatakan benar kalau sesuatu itu sesuai dengan obyeknya. Sesuatu itu baik, kalau ia
Berdasar konsep tersebut, yang penulis sepakati darinya adalah bahwa seni mesti mempunyai wajah bermakna dan bertujuan yang bagus/indah, baik dan benar. Seni tidak bebas nilai. Seni Islam syarat dengan nilai, etika atau moral.
Apa itu seni Islam? Gazalba menyatakan bahwa definisi Seni Islam adalah ciptaan bentuk yang mengandung nilai estetik yang berpadu dengan nilai etik Islam. Dengan demikian seni Islam sebagai karya dilahirkan oleh akhlaq Islamiyah dan dinilai dengan akhlaq Islamiyah juga. Akhlaq adalah sikap rohaniah yang melahirkan laku perbuatan manusia terhadap Allah, manusia dengan manusia, terhadap diri sendiri dan makhluk lain yang sesuai dengan suruhan dan larangan serta petunjuk Alqur’an dan hadits (Gazalba, 1988 : 122).
Seni Islam adalah seni yang melahirkan karya-karya seni yang bersifat baik dan positif yang sesuai dengan etika dan akhlaq Islam. Seni Islam tidak mentolerir seni yang negatif, maksudnya yang mengandung nilai-nilai amoral, asusila, kekerasan, pornografi, pornoaksi, fitnah, ketidakbenaran, Seni Islam adalah seni yang melahirkan karya-karya seni yang bersifat baik dan positif yang sesuai dengan etika dan akhlaq Islam. Seni Islam tidak mentolerir seni yang negatif, maksudnya yang mengandung nilai-nilai amoral, asusila, kekerasan, pornografi, pornoaksi, fitnah, ketidakbenaran,
Buku A. Khudori Soleh, 2004, Wacana Baru Filsafat Islam,
Pustaka Pelajar, Yogjakarta. Buku Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam khususnya dalam bab pemikiran M. Iqbal (1877-1938 M) halaman 299-315, penulis jadikan salah satu pijakan untuk melandasi gagasan kesenian profetik yaitu konsep pemikiran Iqbal mengenai seni dan keindahan yang mengikuti arus konsep seni fungsional.
Teori estetika ekspresi dibagi menjadi dua, yaitu teori estetika subyektif dan teori estetika obyektif. Teori estetika subyektif diamini oleh beberapa filosof; Freud, Robert Vischer, Lipps, Volkelt, Schiller, Herbert Spencer, Karl Groos, Konkad Lange dan Croce. Menurut kelompok ini, meski dengan sedikit perbedaan sudut pandang, apa yang disebut keindahan sangat ditentukan oleh pihak penanggap, subyek yang melihat, karena pengaruh emosi, empati atau yang lain terhadap sebuah obyek. Kebalikannya adalah teori estetika obyektif yang menyatakan bahwa keindahan terletak pada kualitas obyek, ada pada tenaga kehidupannya sendiri, lepas dari pengaruh subyek yang menanggap. Teori ini antara lain diberikan oleh Plotinus. Menurutnya, dunia ini indah karena merupakan ekspresi kehidupan ruh universal, dan semua makhluk hidup adalah indah karena ia mengekspresikan kehidupannya sendiri (Syarif, 1993:101-102, The Liang Gie, 1996:49).
Menurut Syarif (Syarif, 1993:99), teori estetika Iqbal masuk dalam kategori teori estetika obyektif, sebab bagi Iqbal, keindahan adalah kualitas Menurut Syarif (Syarif, 1993:99), teori estetika Iqbal masuk dalam kategori teori estetika obyektif, sebab bagi Iqbal, keindahan adalah kualitas
Gagasan Iqbal dalam pemikiran filsafat disebut sebagai estetika vitalisme, yakni keindahan merupakan ekspresi ego-ego dalam kerangka prinsip-prinsip universal dari suatu dorongan hidup yang berdenyut di balik kehidupan, sehingga harus juga memberikan kehidupan baru atau memberikan semangat hidup bagi lingkungannya (Mudhaffir, 1988:100, Bagus, 1996:1159, Tim Rosda, 1995:365-5). Lebih jauh Iqbal menginginkan bahwa ego-ego tersebut harus mampu memberikan “hal baru” dalam kehidupan. Dengan mencontoh sifat-sifat Tuhan dalam penyempurnaan kualitas dirinya, manusia harus mampu menjadi manusia terbaik seperti yang dikehendaki Tuhan. Di sinilah hakekat pribadi dan kebanggaan manusia di hadapan Tuhan (Iqbal, 1987:8).
Iqbal menolak konsep dan gerakan seni anti-fungsionalisme seperti konsep atau gerakan “seni untuk seni” (L’art pour L’art) yang dipelopori kaum romantisme; Flaubert, Gauter, Baudelaire, Walter Peter, Oscar Wilde,
Pushkin dan Edgar Allan Poe yang menyatakan bahwa seni tidak mempunyai tujuan di luar dirinya, karena ia adalah tujuan itu sendiri (Syarif, 1993:114- 115). Iqbal juga menolak konsep “bentuk untuk bentuk” yang berasal dari membedakan kandungan dan bentuk seni yang menyatakan bahwa kandungan seni tidak mempunyai nilai estetika, tetapi hanya sekedar alat untuk menimbulkan efek artistik. Apa yang disampaikan lewat seni, baik atau buruk, benar atau salah, sesuai dengan hukum atau tidak, tidak menjadi masalah dan tidak berpengaruh pada nilai seni; yang penting adalah bagaimana penyampaiannya, pada bentuknya (Soleh, 2004:307). Bagi Iqbal, seni tanpa kandungan emosi, kemauan dan gagasan-gagasan tidak lebih dari api yang telah padam. Sesuai dengan konsep-konsep tentang kepribadian, kemauan adalah sumber utama dalam pandangan seni Iqbal, sehingga seluruh isi seni—sensasi, perasaan, sentimen, ide-ide, ideal-ideal—harus muncul dari sumber ini. Seni tidak sekedar gagasan intelektual atau bentuk-bentuk estetika melainkan pemikiran yang dibumbui emosi dan mampu menggetarkan manusia. Tegasnya, dalam pandangan Iqbal, seni adalah ekspresi-diri sang seniman (Syarif, 1993:133).
Gagasan seni Iqbal yang mengikuti faham fungsional seni tentunya juga mempunyai kriteria fungsional seni, beberapa kriteria fungsional seni Iqbal adalah; Seni harus menciptakan kerinduan pada hidup abadi, seni harus membina manusia, dan seni harus membuat kemajuan sosial. Disebutkan dalam fungsi seni Iqbal yang ketiga, yaitu seni harus membuat kemajuan sosial, Iqbal menyatakan bahwa seorang seniman adalah mata bangsa, bahkan Gagasan seni Iqbal yang mengikuti faham fungsional seni tentunya juga mempunyai kriteria fungsional seni, beberapa kriteria fungsional seni Iqbal adalah; Seni harus menciptakan kerinduan pada hidup abadi, seni harus membina manusia, dan seni harus membuat kemajuan sosial. Disebutkan dalam fungsi seni Iqbal yang ketiga, yaitu seni harus membuat kemajuan sosial, Iqbal menyatakan bahwa seorang seniman adalah mata bangsa, bahkan
Buku, Muhammad Iqbal, 1966, Pembangunan Kembali Alam
Pikiran Islam (The Reconstruction of Religious Thought In Islam), alih bahasa Osman Raliby, Jakarta: Bulan Bintang. Etika Profetik Iqbal yang menjadi landasan konsep Ilmu Sosial Profetik Kuntowidjojo wajib penulis paparkan sebagai pijakan utama gagasan kesenian profetik di samping konsep Ilmu Sosial Profetiknya Kuntowidjojo.
Iqbal memaknai etika kenabian (profetik) sebagai etika transformatif. Iqbal menceritakan kata-kata Abdul Quddus, seorang mistikus Islam dari Ganggah, “Muhammad dari jaziratul Arab telah mi’raj ke langit yang setinggi-tingginya dan kembali. Demi Allah, aku bersumpah bahwa jika sekiranya aku sampai mencapai titik itu, pastilah aku sekali-kali tidak hendak kembali lagi”, ujarnya. Sang mistikus tampaknya tidak memiliki kesadaran sosial. Baginya keasyikan dan keterlenaan dalam pengalaman mistis adalah tujuan, sehingga ia tidak hendak kembali dan melihat realitas, menghadapi kenyataan. Nabi bukanlah seorang mistikus. Nabi adalah seorang manusia pilihan yang sadar sepenuhnya dengan tanggung jawab sosial. Kembalinya sang Nabi adalah kreatif. Sehebat apapun pengalaman spiritual yang dijalaninya, seorang nabi tidak pernah terlena. Ia kembali memasuki lintasan ruang dan waktu sejarah, hidup dan berhadapan dengan realitas sosial Iqbal memaknai etika kenabian (profetik) sebagai etika transformatif. Iqbal menceritakan kata-kata Abdul Quddus, seorang mistikus Islam dari Ganggah, “Muhammad dari jaziratul Arab telah mi’raj ke langit yang setinggi-tingginya dan kembali. Demi Allah, aku bersumpah bahwa jika sekiranya aku sampai mencapai titik itu, pastilah aku sekali-kali tidak hendak kembali lagi”, ujarnya. Sang mistikus tampaknya tidak memiliki kesadaran sosial. Baginya keasyikan dan keterlenaan dalam pengalaman mistis adalah tujuan, sehingga ia tidak hendak kembali dan melihat realitas, menghadapi kenyataan. Nabi bukanlah seorang mistikus. Nabi adalah seorang manusia pilihan yang sadar sepenuhnya dengan tanggung jawab sosial. Kembalinya sang Nabi adalah kreatif. Sehebat apapun pengalaman spiritual yang dijalaninya, seorang nabi tidak pernah terlena. Ia kembali memasuki lintasan ruang dan waktu sejarah, hidup dan berhadapan dengan realitas sosial
Keneth Boulding, seorang filosof dan ekonom besar AS, mempopulerkan istilah agama profetik dan agama kependetaan. Pada mulanya agama-agama besar seperti Islam, Yahudi dan Kristen bersifat profetik, menggerakkan perubahan-perubahan besar. Agama menjadi kekuatan transformatif. Tapi kemudian, setelah melembaga, agama lalu menjadi rutin, dan bahkan menjadi kekuatan konservatif, bersifat kependetaan.
Etika profetik seperti inilah yang mendasari lahirnya Ilmu Sosial Profetik Kuntowidjojo. Ilmu Sosial Profetik dimunculkan sebagai alternatif kreatif di tengah konstelasi ilmu-ilmu sosial yang cenderung positivistis dan hanya berhenti pada usaha untuk menjelaskan atau memahami realitas untuk kemudian memaafkannya. Ilmu sosial seyogyanya menjadi kekuatan intelektual dan moral. Karenanya, ilmu sosial seharusnya tidak berhenti hanya menjelaskan realitas atau fenomena sosial apa adanya, namun lebih dari itu, melakukan tugas transformasi. Jadi, tujuannya lebih pada usaha untuk proses transformasi sosial. Ilmu sosial tidak boleh tinggal diam, value neutral, tapi berpihak. Dengan semangat inilah Ilmu Sosial Profetik digulirkan. Ilmu Sosial Profetik ingin tampil sebagai ilmu sosial yang tidak hanya menjelaskan realitas sosial dan mentransformasikannya, tapi sekaligus memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan dan untuk tujuan apa. Ilmu Sosial Profetik tidak sekedar merubah demi perubahan itu sendiri tapi merubah Etika profetik seperti inilah yang mendasari lahirnya Ilmu Sosial Profetik Kuntowidjojo. Ilmu Sosial Profetik dimunculkan sebagai alternatif kreatif di tengah konstelasi ilmu-ilmu sosial yang cenderung positivistis dan hanya berhenti pada usaha untuk menjelaskan atau memahami realitas untuk kemudian memaafkannya. Ilmu sosial seyogyanya menjadi kekuatan intelektual dan moral. Karenanya, ilmu sosial seharusnya tidak berhenti hanya menjelaskan realitas atau fenomena sosial apa adanya, namun lebih dari itu, melakukan tugas transformasi. Jadi, tujuannya lebih pada usaha untuk proses transformasi sosial. Ilmu sosial tidak boleh tinggal diam, value neutral, tapi berpihak. Dengan semangat inilah Ilmu Sosial Profetik digulirkan. Ilmu Sosial Profetik ingin tampil sebagai ilmu sosial yang tidak hanya menjelaskan realitas sosial dan mentransformasikannya, tapi sekaligus memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan dan untuk tujuan apa. Ilmu Sosial Profetik tidak sekedar merubah demi perubahan itu sendiri tapi merubah
E. Kerangka Teori
Pemakaian teori dalam penelitian kualitatif agak berbeda dengan jenis penelitian kuantitatif. Kerangka teoretis dalam penelitian kualitatif ini semata- mata bukan untuk menguji maupun membuktikan teori, tetapi sebagai alat untuk memaknakan realitas dan data yang tengah dihadapi dan dikaji agar mampu menganalisis dengan penuh kritik (Strauss, 1990: 23).
Penulis dengan pendekatan multidisipliner mencoba mengetengahkan beberapa teori yang diharapkan dapat membangun gagasan (konsep) baru atau memodifikasi teori berdasarkan pada data yang telah dikumpulkan dan dianalisis. Beberapa kerangka teori yang penulis ketengahkan mencakup: teori induk Parsons mengenai sistem sosial (social system), teori aksi (action theory), dan teori fungsional. Pemakaian teori-teori di atas dengan pertimbangan bahwa satu dengan lainnya saling melengkapi atau menunjang. Komplementasi itu dapat menunjukkan misalnya hubungan sistem kebudayaan (dari sistem Parsons) sebagai sistem symbol kreasi seni, yang relasinya bersifat horizontal sebagai perilaku manusia yang telah membudaya di dalamnya adalah hasil tindakan aktif- Penulis dengan pendekatan multidisipliner mencoba mengetengahkan beberapa teori yang diharapkan dapat membangun gagasan (konsep) baru atau memodifikasi teori berdasarkan pada data yang telah dikumpulkan dan dianalisis. Beberapa kerangka teori yang penulis ketengahkan mencakup: teori induk Parsons mengenai sistem sosial (social system), teori aksi (action theory), dan teori fungsional. Pemakaian teori-teori di atas dengan pertimbangan bahwa satu dengan lainnya saling melengkapi atau menunjang. Komplementasi itu dapat menunjukkan misalnya hubungan sistem kebudayaan (dari sistem Parsons) sebagai sistem symbol kreasi seni, yang relasinya bersifat horizontal sebagai perilaku manusia yang telah membudaya di dalamnya adalah hasil tindakan aktif-
a. Teori Sistem
Berdasarkan ide yang diketengahkannya dalam The Social System (Parsons, 1951), Parsons menerangkan seluruh pengertian perilaku manusia (sistem bertindak) merupakan sistem yang hidup, sehingga terdapat sistem-sistem yang saling tergantung yaitu sistem kebudayaan (cultural system), sistem sosial (social system), sistem kepribadian (personality), dan sistem organisme perilaku (behavioural organism). Masing-masing sistim itu mampu memperlakukan sebagai sistim yang mempunyai prasyarat fungsional sistim bertindak (action system). Istilah Parsons yang terkenal menggunakan skema AGIL, yaitu empat fungsi primer yang dapat dirangkaikan dengan seluruh sistem yang hidup. Sistem organisme perilaku memenuhi kebutuhan yang bersifat penyesuaian (Adaptation), diberi singkatan A; sistem kepribadian memenuhi kebutuhan pencapaian tujuan (Goal attainment), disingkat G; sistem sosial adalah sumber integrasi (Inter gration), disingkat I; dan sistem kebudayaan mempertahankan pola-pola yang ada dalam sistem (Latent pattern-maintenance), disingkat L (Ritzer, 1996: 99-100).
Berangkat dari teori Parsons yang cukup kompleks ini, maka sebagaimana sistem yang lain, sistem kebudayaan yang secara konseptual ditegaskan sebagai sistem simbol, empat kebutuhan fungsional (AGIL) itu harus terpenuhi juga. Dalam sistem kebudayaan kebutuhan adaptation dipenuhi melalui sub-sistem simbol kognitif (Cognitive symbolization) yang bentuk kongkritnya berwujud ilmu pengetahuan atau dasar perilaku kognitif; goal attainment melalui simbol ekspresif (expressive symbolization), bentuk kongkritnya berupa perbuatan ekspresif dalam karya seni dan komunikasi simbolik yang lain; integration dipenuhi melalui beberapa simbol moral (Moral symbolization), bentuk kongkritnya berupa ketentuan normatif dalam etika, adat sopan-santun atau tata- krama pergaulan; dan latent pattern-maintenance diselesaikan melalui simbol konstitutif (Constitutive symbolization) yang bentuk kongkritnya berupa kepercayaan atau dasar dan inti perilaku berkesenian. (Waters, 1994: 142-151; Bachtiar, 1985: 66).
Prinsip karya seni dengan konsepnya yang disebut living form dan expressive oleh Langer (1953: 40-46), merupakan ekspresi pengalaman manusia berupa bentuk simbolis, berisi perasaan, dan betul-betul komunikatif. Sudiarja (1983: 69-81) ketika membahas teorinya Langer, mengemukakan bahwa makna simbol ekspresif (seni) sebagai suatu abstraksi, merupakan bentuk kreasi, memiliki vitalitas artistik yang utuh. Berbagai macam bentuk simbol seni tidak hanya menyampaikan "makna" atau meaning untuk dimengerti, tetapi lebih sebagai suatu "pesan" atau import untuk diresapkan. Pengertian "makna" kadang- kadang hanya diartikan sebagai suatu persoalan atau masalah yang hanya dapat
"dimengerti" atau "tidak dimengerti" saja, seperti misalnya dalam bahasa. Tetapi pengertian "pesan" harus ditangkap secara lebih dalam dan luas, terutama dalam memahami "pesan" terhadap simbol ekspresif atau seni, orang biasanya dapat tersentuh secara mendalam dari hakikat "pesan" itu.
b. Teori Aksi
Fenomena proses inkulturasi yang terjadi di daerah ini adanya hasil tindakan aktif-kreatif atau aksi manusia atau individu sebagai aktor. Untuk memaknakan gejala itu, dipahami dengan teori aksi atau tindakan (action theory) yang dikembangkan oleh Parsons dengan mengikuti karya Weber (Ritzer, 1985: 52-58). Menurut Parsons dengan mengemukakan konsep voluntarism, yaitu kesukarelaan individu atau aktor melakukan tindakan (volunteering/or action) dalam arti menetapkan cara atau alat dari sejumlah alternatif yang tersedia, dalam rangka mencapai tujuan (Waters, 1994: 40-42). Aktor dalam hal ini seniman, adalah pelaku aktif dan kreatif, serta mempunyai kemampuan menilai dan memilih dari alternatif tindakannya. Seniman yang kebanyakan mempunyai kebebasan, pasti masih juga dibatasi oleh kondisi, norma, dan nilai-nilai serta situasi penting lainnya dalam berkarya, seperti kondisi situasional lingkungan budaya, tradisi, agama, tetapi dibalik itu aktor adalah manusia aktif, kreatif dan evaluatif. Beberapa asumsi dasar tindakan aktif, kreatif dan evaluatif ini menurut Parsons (Ritzer, 1980: 92) antara lain:
1. Tindakan manusia atau aksi muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek, dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai obyek.
2. Sebagai subyek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan- tujuan tertentu. Jadi tindakan manusia atau aksi bukan tanpa tujuan.
3. Dalam bertindak, manusia menggunakan cara, tehnik, prosedur / metode, serta instrumen yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut.
4. Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tak dapat diubah dengan sendirinya atau circumstances.
5. Manusia memilih, menilai dan mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang dan yang telah dilakukannya.
6. Ukuran-ukuran, aturan-aturan atau prinsip-prinsip moral diharapkan timbul pada saat pengambilan keputusan.
7. Studi antar hubungan sosial memerlukan pemakaian tehnik penemuan yang bersifat subyektif seperti metode verstehen, imajinasi, sympathetic reconstruction atau seakan-akan mengalami sendiri (vicarious experience).
c. Teori Fungsional
Kesadaran religiusitas atau persoalan agama dan masyarakat tak luput dari pembicaraan kaum fungsionalis. Parsons (1967), termasuk pengikut fungsionalis, memandang sumbangan agama terhadap kebudayaan berdasarkan arti pentingnya, yaitu sesuatu yang mentransendensikan pengalaman (referensi transendental); sesuatu yang berada di luar dunia empiris (O'Dea, 1995: 7). Berdasarkan pandangan seperti itu, maka fenomena kesadaran religiusitas dalam realitas sosial ini dipahami dengan konsep fungsional dari kerangka teori fungsionalisme struktural. Teori ini
memandang bahwa masyarakat sebagai suatu sistem sosial, terdiri dari bagian-bagian yang satu dengan lainnya saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan (equilibrium). Perubahan dari salah satu bagian akan mempengaruhi kondisi sistem keseluruhan (Ritzer, 1980: 25-30). Dalam hal ini agama termasuk “ritual” seniman berkarya seni di dalamnya sebagai salah satu bentuk perilaku manusia yang telah terlembaga, adalah bagian dari keseluruhan sistem sosial/ dan berfungsi bagi masyarakat khususnya sebagai pengintegrasi. Maka persoalan kesadaran religiusitas yang ada dalam realitas sosial ini, dari pandangan fungsionalis akan muncul pertanyaan, bagaimana fungsi lembaga agama dapat meningkatkan kesadaran religiusitas seniman, sehingga dapat memelihara atau mempertahankan keseimbangan seluruh sistem sosial? Dengan konsep fungsi yang biasa dipakai dalam teori fungsionalisme struktural, maka pertanyaan "fungsional" itu jawabannya adalah, aksioma teori ini ialah segala sesuatu yang tidak berfungsi (disfungsi) akan lenyap dengan sendirinya. Karena kesadaran religiusitas yang ada sejak dulu sampai sekarang masih cukup tinggi, maka dapat dikatakan bahwa agama mempunyai fungsi, atau bahkan memerankan sejumlah fungsi.
Berdasarkan ketiga teori yakni; teori sistem, teori aksi dan teori fungsional, kita dapat memahami bahwa kesenian dengan karya seninya layak mempunyai nilai-nilai, makna dan tujuan berkesenian. Seni untuk seni yang bebas nilai ditepis dalam teori-teori tersebut. Di samping beberapa teori tersebut berpijak dari beberapa konsep seperti Seni untuk masyarakat, konsep seni Islam Sidi Gazalba, Ilmu Sosial Profetik dan Sastra Profetiknya
Kuntowidjojo yang dilandasi etika profetik Iqbal, serta gerakan teologi profetik, penulis dengan optimis menyatakan bahwa gagasan Seni Profetik dan implementasinya dalam pendidikan Islam ini sangat relevan untuk digali dan dikembangkan.
Karya seni untuk masyarakat dalam kritik seni pada umumnya disebut tendenszkunst, yaitu “seni berpihak” atau seni bertendensi atau juga l’art engagee (seni berisi). Seni untuk masyarakat ini sering dipertentangkan atau berseberangan dengan l’art pour l’art atau “seni untuk seni” (Ratna, 2007 : 360).
Sebagai medium komunikasi, semua bentuk ekspresi jelas mengandung tujuan. Komunikasi yang bermakna ditunjukkan melalui relevansinya dalam menghubungkan antara pengirim dan penerima, penulis dan pembaca, subyek dan obyek. Perbedaannya, seberapa jauh tujuan-tujuan tersebut dapat dikategorikan sebagai memiliki tendensi tertentu, sehingga mendominasi nilai-nilai estetikanya. Dengan menunjuk bahasa sebagai medium komunikasi utama, maka justru dalam bahasalah terkandung tujuan- tujuan tersebut sebab bahasa telah mewakili jamannya, bukan semata-mata pengarangnya. Dengan mempertimbangkan bahwa karya seni mesti bermanfaat, maka pada dasarnya semua karya seni mesti mengandung tendensi tertentu. Dengan kata lain, tidak ada karya seni yang diciptakan semata-mata demi kepentingan karya seni itu sendiri (Ratna, 2007 : 361).
Menurut Kutha Ratna, pada dasarnya seni untuk seni tidak berbeda dengan seni untuk masyarakat, dengan syarat karya seni itu ditujukan untuk Menurut Kutha Ratna, pada dasarnya seni untuk seni tidak berbeda dengan seni untuk masyarakat, dengan syarat karya seni itu ditujukan untuk