Teologi Profetik Suhermanto Ja’far

D. Teologi Profetik Suhermanto Ja’far

Teologia Religionom merupakan teologi agama-agama yang mengajarkan bagi para pemeluknya konsep keimanan, ritual dan sosial. yang dikenal dengan istilah Prisca teologia atau prisca Philosophia. Teologia Religionom adalah prisca Teologia dan Philosophia. Konsep ini sudah ada jauh sejak jaman Hermes atau Nabi Idris dalam tradisi Islam. Teologi dan Filsafat merupakan misi profetik dari para nabi dan para filosof untuk memberikan

jawaban

dan

membebaskan manusia dari semua

problematikanya. Ini berbeda dengan teologia Religionom yang digagas Th. Sumarthana. Gagasan Th. Sumarthana berpijak pada pengalaman Kristen Protestan terhadap kemajemukan. Konsep awal dari prisca theologia dan philosophia dari Hermes. Konsep ini sama dengan misi profetik nabi-nabi atau konsep Nubuwah dalam Islam. Salah satunya adalah bagaimana orang beriman atau beragama berhadapan dengan kehidupan sosialnya termasuk hubungan antar agama, kepercayaan dan iman. Tetapi misi kenabian atau Nubuwah tidak hanya itu, tetapi juga bagaiman memberikan pembebasan terhadap ketertindasan, keterasingan dan diskriminasi melalui pintu teologi. Jadi pemakaian istilah ini berangkat dari istilah yang dikembangkan oleh Hermes dengan prisca teologia dan Philosophia. Dulu antara agama dan filsafat merupakan satu kesatuan. Agama dengan filsafat mempunyai misi kenabian (Ja’far, 2009).

Pada abad modern ini, termarjinalnya paradigma (shifting paradigm) teologia religoonom menyebabkan adanya mata rantai yang terputus peran dan fungsi teologi agama-agama yang dibawa para nabinya. Peran dan fungsi teologia religoonom agama-agama adalah membawa para pemeluknya pada kedamaian, kesejahteraan, keadilan dan egalitarianisme. Bergesernya paradigma ini membuat teologi religoonom agama-agama menjadi kehilangan élan vital ajarannya yang menyebabkan mandul dalam berkreasi dan menciptakan dialog-dialog dengan situasi social, ekonomi, politik maupun budaya masyarakat pemeluknya.

Teologi sebagai pintu masuk dalam melakukan pembebasan umat justru telah kering dari pemaknaan pembebasannya, sehingga teologi dibatasi pada pemaknaan ilmu atau wacana tentang tuhan secara klasik dan tradisional saja. Teologi dipahami sebagai pembicaraan tentang perbuatan-perbuatan Tuhan, relevansinya dengan makhluk, sifat-sifat dan Zat Tuhan yang dibahas secara onatologis-metafisis, sehingga teologi tidak membumi mampu menjawab tantangan dan problema umat manusia. Peran élan vital teologia religoonom pada akhirnya diambil oleh ideologi-ideologi kiri yang dalam hal ini adalah sosialisme. Akhirnya para pemeluk agama melirik pada ideologi sosialisme sebagai ideologi perjuangannya (Suseno, 1999 : 13-17).

Sosialisme-Marxis merupakan doktrin sosialisme yang paling dominan dan dijadikan pijakan fundamental dalam menganalisa suatu perubahan dunia menuju masyarakat egalitarianisme, hilangnya segala eksploitasi dan penindasan atas manusia. Perjuangan untuk mencapai tatanan masyarakat yang adil dan tanpa kelas oleh sosialisme hampir sepenuhnya dijalankan Marxisme. Kesadaran emansipatoris ini merupakan suatu kekuatan Sosialisme dan Marxisme dalam melihat realitas masyarakat. Kesadaran sosial masyarakat merupakan pengaruh sosialisme yang sangat urgen dalam gerakan pembebasan. Gerakan ini memberikan pengaruh yang besar terhadap lahirnya “Teologi Pembebasan” di Amerika Latin yang dipelopori oleh Guiterez, (Nitiprawiro, 1985 : 55) seorang pendeta dalam dunia Kristen yang selalu gelisah melihat realitas umatnya yang tertindas oleh kekuasan negara maupun kapitalisme dan gerakan pembebasan dalam semangat Islam yang di pelopori

Hasan Hanafi dengan jargon “Kiri Islamnya” dan Asghar Ali Engineer dengan paradigma pemikirannya yang progresif dengan semangat teologi pembebasannya. (Hanafi, 1994 ; lihat juga Engineer, 1995).

Praksis pembebasan dalam agama-agama merupakan gerakan misi baru Perjuangan kaum beriman melalui teologia religionom dalam membebaskan masyarakat tertindas dan Egalitarianisme. Dalam sejarah, gerakan profetis (kenabian) merupakan gerakan revolusi dalam memperjuangkan tatanan sosial kemasyarakatan yang satu tanpa adanya pertentangan klas, adil dan tidak eksplotatif, sebagaimana pada masyarakat kapitalis yang oligarki dan oligopoli.

Ini dapat kita saksikan dalam sejarah bahwa para nabi dan rosul merupakan mujaddid revolusioner sejati. Nabi Musa mampu merefleksikan revolusi pembebasan kaun Bani Israil yang tertindas melawan otoritasme dan bentuk kediktatoran Fir’aun. Para Nabi dan Rasul memperjuangkan bentuk sosialisme religius dengan penekanan pada moral, spiritual. Disamping itu, di sini perjuangan keadilan yang humanis tanpa kekerasan atau lebih dikenal dengan konsep “al-adl wa al-ihsan” (keadilan dan kebajikan) sebagaimana dilaksanakan oleh para Nabi.

Fenomena di atas, tidaklah mungkin akan terselesaikan jika kaum beragama (beriman) hanya memandang teologi yang semula dipahami secara klasik sebagai ilmu yang membicarakan tentang Tuhan kaitannya dengan persoalan-persoalan eskatologis dan melangit. Teologi harus dirubah peran dan fungsinya sesuai dengan dinamika social menjadi teologi kontekstual, Fenomena di atas, tidaklah mungkin akan terselesaikan jika kaum beragama (beriman) hanya memandang teologi yang semula dipahami secara klasik sebagai ilmu yang membicarakan tentang Tuhan kaitannya dengan persoalan-persoalan eskatologis dan melangit. Teologi harus dirubah peran dan fungsinya sesuai dengan dinamika social menjadi teologi kontekstual,

Saat ini bermunculan keinginan para agamawan (khususnya Islam) untuk memecahkan problematika sosial memakai pendekatan teologi religoonom kembali yang dikenal dengan istilah baru teologi profetik. Teologi Profetik, baik dari penggunaan istilah maupun sejarah, metode dan praksisnya masih mengundang perdebatan. Penulis tidak akan menguraikan lebih jauh mengenai perdebatan penggunaan istilah ini, karena pada intinya, segala macam sebutan atau penamaan tersebut akan kembali pada usaha untuk membebaskan umat manusia dari ketertindasan, baik itu kemiskinan, kebodohan maupun diskriminasi (Ja’far, 2009).

Menurut Ja’far kata, “θεος, theos, berarti “Allah, Tuhan“, dan λογια, logia yang berarti “kata-kata,” “ucapan,” atau “wacana”. Teologi berarti wacana yang berdasarkan nalar mengenai agama, spiritualitas dan Tuhan. Dengan demikian, teologi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama. Teologi meliputi segala sesuatu yang Menurut Ja’far kata, “θεος, theos, berarti “Allah, Tuhan“, dan λογια, logia yang berarti “kata-kata,” “ucapan,” atau “wacana”. Teologi berarti wacana yang berdasarkan nalar mengenai agama, spiritualitas dan Tuhan. Dengan demikian, teologi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama. Teologi meliputi segala sesuatu yang

Teologi, dalam arti yang praktis dan simple (bukan filosofis, bukan naturalis, bukan mitologis, dan bukan pula metafisis), pada dasarnya adalah usaha sadar untuk mendengarkan bisikan wahyu atau sabda yang dinyatakan oleh Tuhan dalam sejarah, menyerap pengetahuan tentangnya dengan menggunakan metode-metode keilmuan dan untuk merefleksi tuntutan- tuntutan langkahnya pada tindakan (Rahner dan Vorgrimler, 1965 : 456-458) Dalam rumusan Segundo (1974), pernyataan wahyu atau sabda dalam sejarah dimengerti sebagai dampak dari sabda dan dogma yang diimani, dalam praksis sejarah.

Asghar Ali Engineer, seorang pemikir radikal yang mengembangkan pemikiran-pemikiran Islam dengan karakter yang kuat, berpendapat bahwa, teologi adalah kumpulan ajaran-ajaran yang disusun secara koheren untuk memahami hubungan-hubungan antara Tuhan, manusia dan alam semesta. Sementara itu, ia juga sejalan dengan pandangan Hassan Hanafi, seorang pemikir radikal lainnya yang mengungkapkan bahwa teologi mestinya dipahami sebagai suatu refleksi atas iman dalam situasi majemuk, dimana seharusnya tidak ada kesenjangan antara suatu yang sifatnya transenden dengan persoalan sosial kemasyarakatan (Shimogaki, 1993). Menurutnya ada dua alasan yang menerangkan tujuan kehadiran agama. Yang pertama adalah, Asghar Ali Engineer, seorang pemikir radikal yang mengembangkan pemikiran-pemikiran Islam dengan karakter yang kuat, berpendapat bahwa, teologi adalah kumpulan ajaran-ajaran yang disusun secara koheren untuk memahami hubungan-hubungan antara Tuhan, manusia dan alam semesta. Sementara itu, ia juga sejalan dengan pandangan Hassan Hanafi, seorang pemikir radikal lainnya yang mengungkapkan bahwa teologi mestinya dipahami sebagai suatu refleksi atas iman dalam situasi majemuk, dimana seharusnya tidak ada kesenjangan antara suatu yang sifatnya transenden dengan persoalan sosial kemasyarakatan (Shimogaki, 1993). Menurutnya ada dua alasan yang menerangkan tujuan kehadiran agama. Yang pertama adalah,

Sebelum berbicara teologi Profetik secara mendetail, kita perlu memahami apa yang dimaksud Kuntowidjojo sebagai penggagas Ilmu Sosial Profetik dalam karya-karyanya mengenai ilmu Sosial Profetik. Gagasan ini oleh Kuntowidjojo pertama-tama dimaksudkan sebagai ‘alternatif’ terhadap gagasan yang dilontarkan oleh Moeslim Abdurrahman, mengenai pentingnya merumuskan teologi baru yang disebutnya sebagai Teologi Transformatif. Teologi Transformatif muncul berangkat dari analisis Moeslim Abdurrahman dimulai dari bidikannya terhadap realitas ketimpangan sosial yang dihadapi umat Islam yang diakibatkan oleh proses modernisasi. Perubahan ini dilakukan karena istilah teologi dalam masyarakat kita dipahami sebagai istilah yang masih ontologis, yaitu sebagai ilmu yang membahas persoalan ketuhanan (tawhid) yang tidak boleh diperbincangkan secara mendalam.

Kuntowidjojo menghendaki bahwa kita harus secara sadar memilih arah, sebab dan subyek dari ilmu sosial yang kita bangun. Ilmu sosial tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, melainkan juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. Sebagai contoh, Kuntowidjojo sendiri menetapkan bahwa bagi masyarakat Islam, transformasi sosial dilaksanakan berdasarkan cita-cita etik dan Profetik yang diderivasi dari misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam Alqur’an Surat Ali-Imran ayat 110, yang berbunyi :

Artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

Beranjak dari sifat keilmuan dan transformasinya yang sarat nilai profetis (transenden) seperti disebutkan di atas, meminjam gagasan Ja’far, penulis ingin menghadapkan gagasan Ilmu Sosial Profetik ini dengan bentuk- bentuk pengetahuan lain yang hampir serupa. Penghadapan ini penting untuk menindaklanjuti pendekatan terhadap proyek Ilmu Sosial Profetik, terutama yang menyangkut pertanyaan: bagaimanakah kita menerjemahkan Ilmu Sosial Profetik tersebut secara lebih praktis? Karena sikap eksklusif baginya merupakan sikap yang a-historis dan tidak realistis. Semua peradaban, bahkan agama menurutnya mengalami proses meminjam dan memberi satu sama lain dalam interaksinya. Sehingga Ilmu Sosial Profetik sendiri dalam elaborasi praktisnya tidak perlu ditutup dari kemungkinan meminjam bentuk pengetahuan atau praxis lain yang telah ada (Ja’far, 2009).

Pemikiran Kuntowidjojo dalam Ilmu Sosial Profetik ini berangkat dari pemikiran Iqbal dan Garaudy. Yang ingin diambil oleh Kunto dari kedua pemikir itu (Iqbal dan Garaudy) adalah sisi “realitas keNabian” (prophetic reality) yang telah menjadi bagian penting dalam proses kesejarahan umat manusia. Artinya, realitas “perjuangan” Nabi lebih membumi dan masuk pada kancah zaman dan pergolakan sejarah manusia (Iqbal, 1981 : 123).

Ilmu sosial, dengan paradigma profetis, harus melakukan pembebasan seperti apa yang pernah dilakukan oleh para Nabi. Jika kita perhatikan, sejarah Nabi-Nabi itu memiliki kadar kedalaman ilmiah yang tinggi, yaitu bagaimana cara kerja, pikir dan sikap mereka dalam memahami realitas. Para Nabi melakukan “pembebasan sosial” (liberating) di mana ketidakadilan dan penindasan begitu menghantui kehidupan masyarakat. Mereka tetap berangkat dari substansi ajaran agama (transedensi) yang itu harus “diaktivasi” dalam realitas kesejarahan manusia. Ada tiga unsur yang menjadi bagian dari kerangka kerja ilmiah dalam memahami realitas, yaitu liberasi, emansipasi, dan transendensi. Tapi, gagasan mengenai sosiologi profetik yang akan dikaji dalam tulisan ini baru beranjak dari upaya mengembangkan ilmu sosiologi yang multi-disiplin, tidak menafikan adanya kepentingan “nilai” (prophetic as

a value), dan berkewajiban untuk melakukan pembebasan dan perubahan sosial. Ja’far berbeda dengan Kuntowidjojo, dia lebih setuju menggunakan istilah “teologi profetik” karena diilhami gerakan-gerakan keNabian yang selalu hadir ditengah-tengah umat sebagai seorang mujaddid revolusioner a value), dan berkewajiban untuk melakukan pembebasan dan perubahan sosial. Ja’far berbeda dengan Kuntowidjojo, dia lebih setuju menggunakan istilah “teologi profetik” karena diilhami gerakan-gerakan keNabian yang selalu hadir ditengah-tengah umat sebagai seorang mujaddid revolusioner

Menurut Ja’far, pendasaran Ontologis disini dimaksudkan bahwa gerakan profetik yang dilandasi iman merupakan hakikat perjuangan para Nabi

Sementara pendasaran epistemologisnya bahwa gerakan profetik merupakan panggilan iman yang bersumberkan pada perintah Allah yang tidak terbatas pada Nabi-Nabi yang diturunkan Allah semata, tetapi juga harus diteruskan sampai saat ini. Sedangkan penekanan axiologis didasarkan atas bahwa misi gerakan profetik adalah mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan dari segala bentuk penindasan,

sebagaimana

dijelaskan

Alqur’an.

diskriminasi dan memperjuangkan keadilan menuju egalitarianisme sebagaimana yang dilakukan oleh para Nabi. Gerakan Profetik merupakan gerakan moral menuju pencerahan umat manusia, sebagaimana dapat kita saksikan dalam sejarah peradaban manusia. Allah akan mengutus para Nabinya untuk memperbaiki kehidupan masyarakat.

Teologi Profetik merupakan panggilan iman seseorang yang diangkat Nabi oleh Allah untuk melakukan perubahan-perubahan, baik struktur Teologi Profetik merupakan panggilan iman seseorang yang diangkat Nabi oleh Allah untuk melakukan perubahan-perubahan, baik struktur

Gagasan teologi profetik diilhami oleh misi keNabian yang disinggung dalam Alqur’an surat al-A’raf : 157 yang berbunyi :

Artinya : (yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, Artinya : (yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya,

Berdasarkan teks ayat di atas, maka teologi profetik merupakan sebuah panggilan iman dalam membebaskan masyarakat dan problema sosial. Ayat di atas jelas bahwa sseorang Nabi mempunyai misi suci yaitu, Amar Ma’aruf, Nahi Mungkar (konseling); mengatakan yang Halal dan Haram (Muadib); Pembebasan dan pencerahan (Revolusioner).

Misi suci para Nabi, pertama: sebagai seorang konseling adalah mengajak manusia untuk berbuat baik dan mencegah kemungkaran. Misi suci ini merupakan gerakan profetik yang membawa manusia pada kedamaian dan ketentraman umat manusia dalam kehidupan masyarakat. Kedua, sebagai seorang muadib adalah mengajarkan kepada umat manusia untuk melakukan pekerjaan yang halal dan meninggalkan yang haram. Misi suci ini merupakan tugas para Nabi untuk menyempurnakan akhlak manusia. Ketiga, sebagai seorang revolusioner adalah berjuang membebaskan masyarakat dari segala bentuk penindasan dan diskriminasi yang dilakukan oleh para penguasa. Misi suci merupakan perjuangan para Nabi yang terpenting karena hampir semua Nabi berjuang melakukan pembebasan masyarakat dari ketertindasan menuju pencerahan. Nabi Ibrahim melakukan perjuangan revolusioner dalam membebaskan masyarakat dari bentuk paganisme raja Namrud, Nabi Musa melakukan perjuangan Revolusi dalam membebaskan bani Israil dari hegemoni tiran yang dictator fir’aun, Nabi Isa melakukan gerakan Revolusi spiritual atas hegemoni materialisme masyarakat Romawi dan rosulullah

Muhammad melakukan gerakan revolusi moral atas kejahilan masyarakat Quraisy (Ja’far, 2009).

Gerakan profetik para Nabi ini didasarkan atas panggilan iman yang tinggi, sehingga gerakan profetik para Nabi mendapat pendasaran teologi yang kuat. Keberhasilan perjuangan para Nabi karena adanya penekanan teologis dalam memperjuangkan harkat dan martabat manusia. Untuk itu, Teologi Profetik merupakan sebuah keniscayaan yang harus diperjuangan oleh para penerus Nabi di era sekarang dengan memperjuangkan hak-hak masyarakat yang terampas oleh kekuasaan; memperjuangkan egalitarianisme dan keadilan serta berjuang melakukan pembebasan melalui pintu teologi sebagai gerakan Profetik. Ini adalah pendasaran ontologis, epistemologis dan axiologis dari teologi profetik.

Teologi Profetiknya Ja’far ini bagi penulis juga relevan digunakan sebagai landasan dasar teologis untuk mendesain gagasan Seni Profetik disamping landasan Ilmu Sosial Profetik Kuntowidjojo.