Sejarah Perkembangan Filsafat Seni dan Estetika

2. Sejarah Perkembangan Filsafat Seni dan Estetika

Berbicara sejarah perkembangan filsafat seni dan estetika mesti kita bahas secara bersamaan, sebab keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat dalam perkembangan sejarahnya dan tidak bisa kita pisahkan begitu saja. Sehingga seakan-akan pembahasan tentang estetika adalah sama saja dengan membahas filsafat seni. Sejarah perkembangan keduanya dimulai sejak filsafat yunani kuno.

Secara garis besar ada 8 periodisasi dalam perkembangan sejarah estetika, yaitu: Periode Klasik, Periode Skolastik, Periode Renaissance, Periode Aufklarung, Periode Idealis, Periode Romantik, Periode Positivistik, dan Periode Kontemporer

a. Periode Klasik

Periode ini mempunyai beberapa cirri khas mengenai pandangan estetikanya, yaitu: - Bersifat metafisis. Keindahan adalah ide, identik dengan ide

kebenaran, dan ide kebaikan. Keindahan itu mempunyai tingkatan kualitas, dan yang tertinggi adalah keindahan Tuhan.

- Bersifat obyektifitis. Setiap benda yang memiliki keindahan sesungguhnya berada dalam keindahan Tuhan. Alam menjadi indah karena mengambik peranannya atau partisipasinya dalam keindahan Tuhan.

- Bersifat fungsional. Pandangan tentang seni dan keindahan haruslah berkaitan dengan kesusilaan (etika), kebenaran dan keadilan.

Pada periode ini para filosof yang membahas estetika di antaranya adalah Socrates, Plato dan Aristoteles. Dari ketiga filosof ini dapat dikatakan bahwa Sokrates sebagai perintis, kemudian Plato sebagai peletak dasar-dasar estetika dan Aristoteles adalah penerus ajaran Plato. 1). Sokrates (468 – 399 SM)

Jalan pikiran yang digunakan Sokrates sebagai perintis fundamen estetika dalam mencari hakekat keindahan ialah dengan menggunakan cara dialog. Metode dialognya ia namakan maeutika tehnic (seni kebidanan) yang berusaha menolong mengeluarkan pengertian-pengertian atau kebenaran. Sokrates mencoba mencari pengertian umum dengan jalan dialog (Parmono, 2009 : 10)

Dalam dialog-dialognya Sokrates membuka persoalan dengan mempertanyakan sesuatu itu disebut indah dan sesuatu itu disebut buruk. Apakah sesuatu yang disebut indah itu memiliki keindahan? Lantas apakah keindahan itu? Di sini Sokrates mencoba merumuskan arti keindahan dari jawaban-jawaban lawan dialognya.

Menurut Sokrates, keindahan yang sejati itu ada di dalam jiwa ruh). Raga hanya merupakan pembungkus keindahan. Keindahan Menurut Sokrates, keindahan yang sejati itu ada di dalam jiwa ruh). Raga hanya merupakan pembungkus keindahan. Keindahan

Menurut Plato keindahan itu bertingkat. Untuk mencapai keindahan yang tertingi (keindahan absolut) harus melalui fase-fase tertentu (Anwar, Wajiz. 1980).

Fase pertama, orang akan tertarik pada sesuatu benda/tubuh yang indah. Di sini manusia akan sadar bahwa kesenangan pada bentuk keindahan ragawi (inderawi) tidak dapat memberi kepuasan pada jiwa. Tentunya setelah manusia sadar bahwa keindahan dalam benda/tubuh itu hanya pembungkus yang bersifat lahiriah, maka ia tidak lagi terpengaruh oleh hal-hal yang lahiriah. Manusia akan meningkatkan perhatiannya pada tingkah laku hal yang dicintai, yaitu pada norma- norma kesusilaan secara kongkrit.

Fase kedua, kecintaan pada norma moral secara kongkrit ini berkembang menjadi kecintaan akan nora moral secara absolut yang berupa ajaran-ajaran tentang kesusilaan, bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku yang baik.

Fase ketiga, orang akan mengetahui jurang yang memisahkan antara moral dan pengetahuan, dan orang akan berusaha untuk mencari keindahan dalam berbagai pengetahuan. Orang Yunani dulu bercerita tentang buah pikiran yang indah dan adat kebiasaan yang indah. Kalau Fase ketiga, orang akan mengetahui jurang yang memisahkan antara moral dan pengetahuan, dan orang akan berusaha untuk mencari keindahan dalam berbagai pengetahuan. Orang Yunani dulu bercerita tentang buah pikiran yang indah dan adat kebiasaan yang indah. Kalau

Fase keempat, Di sini orang berhasil melihat keindahan mutlak yang sesungguhnya indah, keindahan universal dan maha tinggi. Di sini segala sesuatu berasal dan segala sesuatu harus kembali kepada Tuhan.

Dalam persoalan seni dan pendidikan Plato menegaskan keduanya tidak saling menegasikan, tetapi keduanya saling menguatkan satu sama lain. Musik, tarian dan nyanyian sangat terpuji karena mengandung nilai pendidikan yang tinggi, dan tanpa banyak kesusahan, seni kini menjadi guru utama kehidupan. Pendapat Plato yang tajam ini disebabkan oleh adanya hubungan harmonis antara seni dan kehidupan. Hal ini membuka adanya pintu perhatian akan kemampuan mendidik pada retorika dan adanya sintesis dalam instruksi dn kesenangan, yang kemudian mewataki teori paedagogik seni. Konsekuensinya konsepsi seni mesti mengandung gabungan antara yang baik, benar dan yang indah (Abdul Kadir, 1974:10).

Dalam bukunya “Republik”, Plato mempunyai pendapat yang tidak begitu ramah terhadap seniman. Negarawan mendapat penghargaan yang lebih tinggi di antara manusia-manusia pencipta atau seniman, sebab mereka menimbang masyarakat berdasar ide kebaikan, keadilan, kebenaran dan keindahan. Seniman hanyalah meniru ide keindahan yang ada di dunia ini yang merupakan Dalam bukunya “Republik”, Plato mempunyai pendapat yang tidak begitu ramah terhadap seniman. Negarawan mendapat penghargaan yang lebih tinggi di antara manusia-manusia pencipta atau seniman, sebab mereka menimbang masyarakat berdasar ide kebaikan, keadilan, kebenaran dan keindahan. Seniman hanyalah meniru ide keindahan yang ada di dunia ini yang merupakan

Keindahan dianggap sebagai sesuatu kekuatan yang memiliki berbagai unsur yang membuat sesuatu hal yang indah. Dalam bukunya “Poetics”, Aristoteles mengatakan, “untuk menjadi indah, suatu makhluk hidup dan setiap kebulatan yang terdiri atas bagian-bagian harus tidak hanya menyajikan sesuatu ketertiban tertentu dalam pengaturannya dari bagian-bagian, melainkan juga merupakan suatu besaran tertentu yang pasti.” Menurut Aristoteles unsur-unsur keindahan dalam alam maupun pada karya manusia adalah sesuatu ketertiban dan suatu besaran dalam ukuran tertentu (The Liang Gie, 1996 : 41).

Menurut Aristoteles, seni adalah kemampuan mencitakan sesuatu hal atas pikiran akal. Seni adalah tiruan (imitasi) dari alam tetapi imitasi yang membawa kepada kebaikan. Walaupun seni itu tiruan dari alam seperti apa adanya tetapi merupakan hasil kreasi (akal) manusia. Seni harus dapat menciptakan bentuk keindahan yang sempurna, yang dapat mengantarkan manusia menuju pada keindahan yang mutlak.

b. Periode Skolastik

Dalam sejarah Filsafat Barat, Abad Pertengahan adalah masa timbulnya filsafat baru. Hal ini dikarenakan kefilsafatan itu dilakukan oleh bangsa Eropa Barat dengan para filosofnya yang umumnya pemimpin gereja atau penganut Kristiani yang taat. Filsafat Abad Pertengahan ini dikenal dengan sebutan Filsafat Skolastik. Dalam masa ini masalah teologi mendapat perhatian utama dari para filosof. Adapun masalah estetika/keindahan, filosof yang terkemuka dan intens membahasnya adalah St, Agustinus (353-430) dan Thomas Aquinas (1225–1274). 1). St, Agustinus (353-430)

Pemikiran kesenian Agustinus sering dinamai neo-platonisme. Pokok pikiran klasik dari Plato mengenai harmoni (keselarasan), keteraturan, keutuhan, dan keseimbangan dalam karya seni dipakai oleh Agustinus. Yang indah merupakan kesatuan objek yang sesuai dengan pengaturan dan perbandingan bagian-bagiannya masing- masing.

Ide keindahan Plato dikenakan pada Tuhan, sehingga keindahan seni dan alam berhubungan erat dengan agama. Karya seni yang indah adalah karya seni yang sesuai dengan 'keteraturan ideal' yang hanya dapat diperoleh dari Terang Ilahi. Inilah sebabnya filsafat Agustinus disebut iluminasi, yang berarti segala sesuatunya berkat anugerah 'cahaya terang' dari Tuhan. Dalam hal ini manusia kurang

memadai usahanya untuk mencapai 'terang' itu. Dalam karya seni yang baik selalu terdapat kecerlangan keteraturan. Inilah sebabnya Agustinus menolak seni sebagai mimesis. Seni itu transendental. Peran Terang Ilahi sangat besar. Bentuk dan keindahan yang sebenamya itu melebihi apa yang tampak. Ia juga tertarik menilai jenis karya fiksi dalam sastra. Ada duajenis cerita fiksi dalam sastra, yang kedua- duanya sebenamya adalah 'kebohongan'. Hanya ada cerita yang 'bohong' tetapi tidak bermaksud menipu, dan yang lain 'kebohongan' yang menipu. Yang lebih dihargai adalah karya fiksi yang meskipun berisi 'kebohongan' tetapi bermaksud baik secara moral dan agama. 2). Thomas Aquinas (1225–1274).

Thomas Aquinas adalah pengagum Aristoteles. Menurutnya, keindahan itu terdaat dalam 3 kondisi, yaitu: 1). Integrity or perfection (keutuhan atau kesempurnaan). 2). Proportion or harmony (perimbangan atau keserasian). 3). Brightness or clarity (kecermelangan atau kejelasan).

Menurutnya juga, hal-hal yang cacat (tidak utuh, tidak sempurna) adalah jelek, sedangkan hal-hal yang berwarna cemerlang atau terang adalah indah. Tiga unsur keindahan itu oleh para ahli modern disebut kesatuan, perimbangan dan kejelasan.

c. Periode Renaissans

Zaman Renaissans (kebangkitan kembali budaya Graeco- Roman di Italia dan Eropa) terjadi sekitar tahun 1500, meskipun Zaman Renaissans (kebangkitan kembali budaya Graeco- Roman di Italia dan Eropa) terjadi sekitar tahun 1500, meskipun

Manusia menyadari bahwa ia hidup di dunia dan harus menguasai dunia setelah memahaminya. Begitu pula, manusia harus memahami siapa dirinya. Semua itu dapat dicapai apabila manusia mengadakan observasi dan penelitian dengan analisis logis terhadap berbagai kenyataan duniawi. Inilah sebabnya manusia Renaisans menjadi kritis terhadap segala hal, dan mempertanyakan kembali berbagai kebenaran yang terdahulu.

Semangat Renaisans ini muncul dengan terjadinya perkenalan Italia terhadap warisan budaya klasik mereka, Graeco-Roman, melalui Perang Salib, dan pelarian orang-orang Yunani di Eropa.. Pandangan kritis Yunani terhadap lingkungan hidupnya ini sesuai dengan semangat yang muncul di zaman Renaisans.

Seni keagamaan di zaman Abad Pertengahan berganti menjadi seni profan (bukan sakral) dan sekuler (bukan religius). Pergantian ini disebabkan oleh perubahan masyarakat. Di Abad Pertengahan, masyarakat terbagi menjadi tiga kelompok besar, yakni penganut gereja, kaum bangsawan (penganut feodalisme), dan petani. Kehidupan intelektual terutama dipegang oleh kaum gereja, sehingga Seni keagamaan di zaman Abad Pertengahan berganti menjadi seni profan (bukan sakral) dan sekuler (bukan religius). Pergantian ini disebabkan oleh perubahan masyarakat. Di Abad Pertengahan, masyarakat terbagi menjadi tiga kelompok besar, yakni penganut gereja, kaum bangsawan (penganut feodalisme), dan petani. Kehidupan intelektual terutama dipegang oleh kaum gereja, sehingga

Renaisans menyebar ke seluruh Eropa dari Italia. Renaisans inilah awal zaman modern Eropa Semangat memahami dan menguasai alam, memahami dan menguasai manusia dan kehidupannya, sejak itu ' berkembang terus. Semangat inilah yang mendorong terjadinya berbagai penjelajahan Eropa ke semua penjuru dunia.

Dalam pandangan estetika kaum Renaisans banyak mempelajari kembali pandangan estetika Yunani dan Romawi Kuno. Pandangan Plato dan Aristoteles menjadi kajian pokok, sehingga melahirkan berbagai tafsir dan pandangan baru. Berbeda dengan beberapa zaman sebelumnya, sejak zaman Renaisans muncullah pandangan estetika dari para senimannya sendiri, di samping para filosof seni. Antara pandangan estetika dan praktek kesenian terdapat hubungan. Pada masa-masa sebelumnya, hanya para ahli filsafat saja yang mengemukakan pandangan estetika yang dengan sendirinya amat erat kaitannya dengan pandangan filsafat pada umumnya. Dan Dalam pandangan estetika kaum Renaisans banyak mempelajari kembali pandangan estetika Yunani dan Romawi Kuno. Pandangan Plato dan Aristoteles menjadi kajian pokok, sehingga melahirkan berbagai tafsir dan pandangan baru. Berbeda dengan beberapa zaman sebelumnya, sejak zaman Renaisans muncullah pandangan estetika dari para senimannya sendiri, di samping para filosof seni. Antara pandangan estetika dan praktek kesenian terdapat hubungan. Pada masa-masa sebelumnya, hanya para ahli filsafat saja yang mengemukakan pandangan estetika yang dengan sendirinya amat erat kaitannya dengan pandangan filsafat pada umumnya. Dan

Pada zaman Renaisans terdapat dua kelompok pandangan, yaitu yang berpijak pada Plato dan pada Aristoteles. Pada dasarnya kaum Platonis menempatkan keindahan di dalam sukma, sedangkan penganut Aristotelian menempatkan ide keindahan dalam kualitas fisik benda seni ( Sumardjo, 1983 : 282).

Penganut Plato di Italia adalah Marsilio Ficino, Picodella Mirandola, Cattani, Leon Battista Alberti, Castaglione, Nobili, Batussi, dll. Kaum Platonis ini juga tidak sama pandangan estetikanya. Tokoh yang menonjol dari kaum Plato ialah Ficino (1433-1499) yang berpendapat bahwa sifat karakteristik seni adalah kemampuannya melepaskan diri dari hal-hal Kebendaan. Dalam kontemplasi, jiwa meninggalkan hal-hal badani dan menyatu dalam ide bentuk, sehingga terjadi pengalaman keindahan. Pengalaman inilah yang kemudian diungkapkan dalam wujud benda seni.

Dalam formula lain, Michelangelo boleh dikatakan agak platonis pula, dengan pernyataannya bahwa gerak dan kemuliaan tubuh (keindahan) terletak pada kecermatan observasi berdasarkan hitungan aritmatika tertentu. Sementara itu, Marato menegaskan adanya simbol dan makna dalam warna.

Kaum Aristotelian di lain pihak lebih beragam lagi pandangannya, sehingga menimbulkan debat estetika pada zamannya.

Kaum Aristotelian menekankan keindahan jasmani. Tokoh utama golongan ini ialah Alberti (1409-1472), yang menyatakan bahwa seni adalah harmoni antara unsur-unsurnya, dan setiap perubahan dalam unsur terkecil dapat merusak seni tersebut.

Kaum Plato bersifat subjektif, maka kaum Aristotelian bersifat objektif, yakni menekankan objek benda seni yang menimbulkan keindahan. Alberti melahirkan persoalan sense of beauty sebagai kemampuan seseorang untuk dapat melihat keindahan benda. Di antara kaum Aristotelian ini lahirlah pandangan hedonis (kenikmatan). Agostino Niro, misalnya, menunjukkan keindahan alami pada keindahan tubuh Joan dari Aragon yang dipujanya. Sementara itu, Castelvetro menyatakan bahwa seni itu harus memberikan hiburan berupa kesenangan, kegembiraan, rekreasi (Sumardjo, 1983:283).

Persoalan Aristotelian yang sering diperdebatkan adalah masalah mimesis (imitasi, peniruan), seni dan sejarah, masalah universal dan khusus dalam seni, masalah fungsi seni. Tentang 'benda seni' terdapat pandangan menarik dari Campanella, bahwa materi seni atau hal-hal eksternal seni itu netral, tidak dengan sendirinya indah atau tidak indah. Suatu objek mungkin indah bagi seseorang karena unsur kekejamannya dan pada lain orang karena penderitaan si korban. Seekor anjing dapat tampak begitu indah bagi pemiliknya, tetapi menakutkan bagi orang lain. Secangkir urine tampak indah bagi seorang dokter karena dia bisa melihat gambaran kesehatan sempurna Persoalan Aristotelian yang sering diperdebatkan adalah masalah mimesis (imitasi, peniruan), seni dan sejarah, masalah universal dan khusus dalam seni, masalah fungsi seni. Tentang 'benda seni' terdapat pandangan menarik dari Campanella, bahwa materi seni atau hal-hal eksternal seni itu netral, tidak dengan sendirinya indah atau tidak indah. Suatu objek mungkin indah bagi seseorang karena unsur kekejamannya dan pada lain orang karena penderitaan si korban. Seekor anjing dapat tampak begitu indah bagi pemiliknya, tetapi menakutkan bagi orang lain. Secangkir urine tampak indah bagi seorang dokter karena dia bisa melihat gambaran kesehatan sempurna

Kaum Pedagogi dalam masalah fungsi seni berpendapat bahwa seni yang baik adalah kalau seni itu mendidik. Seni harus memberikan kegunaan dalam kehidupan praktis manusia (Sumardjo, 1983:284). Dalam hal ini seni harus merupakan studi alam yang akan menambah kekayaan dan meninggikan kemuliaan manusia (pendapat Piccalomini).

Persoalan sejarah dan seni diungkapkan oleh Fracastaro, yang menyatakan bahwa seni menekankan ide universal, sedangkan sejarah terbatas pada hal-hal khusus saja. Beda antara sejarah dan seni bukan pada objeknya, tetapi pada cara mengungkapkannya. Seni berusaha menangkap ide universal dari objeknya, yang dituangkan secara imajiner.

Persoalan terakhir kaum Aristotelian adalah masalah imitasi. Apakah mimesis atau imitasi dalam seni itu hanya terbatas pada hal- hal yang 'baik'? Apakah benda 'jelek' atau kenyataan jelek tak dapat dipandang indah dalam seni? Kejelekan dan keburukan juga objek imitasi seni, karena seni terletak pada kerja imitasinya, dan bukan pada apa yang ditirunya.

d. Periode Aufklarung

Aufklarung (pencerahan) merupakan gerakan lanjutan dari renaissans. Dalam periode ini masih terlihat pengaruh rasionalisme Descartes dan Empirisme Francis Bacon dalam pembahasan estetika. Pada masa ini Alexander Gotlieb Baumgarten, seorang filosof Jerman (1714-1762) untuk pertama kalinya memperkenalkan istilah “estetika” sebagai ilmu tentang seni dan keindahan. Ia membedakan pengetahuan menjadi 2 macam (The Liang Gie, 1996:41), yaitu: 1). Pengetahuan intelektual (intellectual knowledge). 2). Pengetahuan inderawi (sensory knowledge).

Pengetahuan intelektual itu disebut juga pengetahuan tegas, sedangkan pengetahuan inderawi dianggap sebagai pengetahuan kabur. Estetika adalah ilmu tentang pengetahuan inderawi yang tujuannya adalah keindahan. Tujuan keindahan adalah menyenangkan dan menimbulkan keinginan. Manifestasi keindahan tertinggi tercermin pada alam sehingga tujuan utama dari seni adalah mencontoh alam.

filsafat, Idealisme mempengaruhi pandangan estetika di Jerman. Immanuel Kant merupakan filosof pertama yang mengemukakan teori estetika dari pandangan obyektif. Dari sini penyelidikan estetika berubah dari penelaahan ontologis beralih ke bidang ilmu jiwa yang sebelumnya telah dirintis oleh rasionalisme dan empirisme. Filosof- filosof yang

Sejalan dengan

perkembangan perkembangan

Estetika Kant berdasarkan pada ajaran bahwa manusia itu mempunyai pengetahuan tentang “nature di luar dirinya” dan “dirinya di dalam nature”. Pada yang pertama, manusia mencari kebenaran, dan pada yang kedua, manusia mencari kebaikan yang pertama. Kebaikan yang pertama ini merupakan pure reason dan kebaikan yang kedua merupakan practical reason (free will). Di samping itu, masih ada lagi yaitu kemampuan untuk memberi keputusan (judgement) yang membentuk putusan tanpa pamrih dan menghasilkan kenikmatan tanpa keinginan. Keindahan dalam seni mempunyai hubungan erat dengan kemampuan manusia dalam menilai karya seni yang bersangkutan. Kemampuan ini disebutnya dengan istilah “cita rasa” (taste).

Immanuel Kant membedakan adanya dua macam keindahan, yaitu keindahan bebas (pulchcritudevoga) dan keindahan bersyarat yang semata-mata tergantung (pulchritudo adhaerens) (Abdul Kadir, 1974:37).

Keindahan bebas tidak mempunyai konsep preposisi tentang bagaimana seharusnya benda itu. Contoh bunga sebagai keindahan natural, ada perbedaan dalam penilaian tentang selera terhadap bunga itu, bagi botani dan bukan botani. Keindahan yang semata-mata tergantung membuthkan konsep demikian serta penyempurnaan benda Keindahan bebas tidak mempunyai konsep preposisi tentang bagaimana seharusnya benda itu. Contoh bunga sebagai keindahan natural, ada perbedaan dalam penilaian tentang selera terhadap bunga itu, bagi botani dan bukan botani. Keindahan yang semata-mata tergantung membuthkan konsep demikian serta penyempurnaan benda

Immanuel Kant membagi analisa tentang estetika menjadi dua, yaitu analisa keindahan dan analisa keagungan. Pada analisa tentang keindahan, Kant memaparkannya dalam empat pertimbangan, yaitu berdasarkan pada segi kualitas, kuantitas, hubungan dan modalitas. Pertimbangan dari segi kualitas, keindahan adalah kesenangan total yang terjadi tanpa konsep. Pertimbangan dari segi kuantitas, keindahan berwujud tanpa konsep, sebagai obyek dari pemuasan hidup yang mendesak. Keindahan merupakan suatu kesenangan yang menyeluruh. Pertimbangan segi hubungan, putusan selera keindahan bersandar pada prinsip-prinsip dasar yang bebas dari daya tarik dan emosi, serta bebas dari konsep kesempurnaan, Hal ini berarti bahwa keindahan ialah konsep tentang adanya tujuan pada obyek tetapi tujuan itu tidak terwujud dengan tegas. Dan yang terakhir, pertimbangan dari segi modalitas, putusan selera menurut kesenangan yang timbul dari obyek tertentu. Kesenangan merupakan keharusan subyektif tetapi berwujud dalam bentuk obyektif ketika diserap oleh indera manusia. Keindahan ialah apa yang diakui sebagai obyek pemuasan darurat yang tidak berkonsep (Wajiz Anwar, 1980:23).

Analisa tentang keagungan terdapat perbedaan antara keindahan dan keagungan. Keindahan termasuk putusan selera Analisa tentang keagungan terdapat perbedaan antara keindahan dan keagungan. Keindahan termasuk putusan selera

Bagi Immanuel Kant, alam merupakan sumber utama bagi pengalaman estetik (Dick Hartoko, 1984:12-13). Kant membedakan putusan estetik dari putusan kognitif semata-mata di satu pihak dan putusan moral di lain pihak. Pengalaman estetik itu tidak hanya ingin tahu (bersifat kognitif) tetapi mengikutsertakan daya-daya lain di dalam diri kita, seperti misalnya kemauan, daya penilaian emosi, bahkan seluruh diri kita (Dick Hartoko, 1984:8). Dalam hal mempertahankan pengalaman estetik berbeda dengan mempertahankan pengalaman moral. Kita dalam keyakinan moral sanggup mempertaruhkan nyawa dari suatu perbuatan jahat, lebih baik mati daripada berbuat serong. Dalam pengalaman estetik walaupun menyangkut seluruh diri kita, namun untuk mempertaruhkan nyawa tentu kita tidak akan sanggup mempertaruhkannya (ibid). 2). Hegel (1770-1831)

Menurut Hegel, seluruh bidang keindahan merupakan suatu moment (unsur dialektis) dalam perkembangan roh (geist, spirit) menuju kesempurnaan. Kedudukannya diambang antara yang jasmani Menurut Hegel, seluruh bidang keindahan merupakan suatu moment (unsur dialektis) dalam perkembangan roh (geist, spirit) menuju kesempurnaan. Kedudukannya diambang antara yang jasmani

indah” dari momen keseimbangan penyentuhan atau peralihan itu. Dengan demikian muncullah kategori-kategori estetis, seperti “yang sublim” (roh “menang” atas materi), “yang lucu” atau “yang humor” (arti “menang” atas nilai), “yang jelita” atau gracious (nilai “mengalahkan” arti). Tentu saja semua itu di dalam batas keindahan itu sendiri. Malahan yang sublim mempunyai unsur tragis. Sedang yang lucu dan yang jelita, yang pertama dianggap mewakili kepriaan dan yang kedua sifat kewanitaan (Mudji Sutrino,1993:48).

yang

Bagi Hegel, seniman adalah jenius, selain yang bersangkutan memiliki bakat alami, bakat itu harus direnungi dan dikembangkan lewat kerja praktek dan penguasaan ketrampilan menampilkan sesuatu. Jika jenius harus dapat menampilkan sesuatu yang original maka artinya sama saja dengan menampilkan yang obyektif. Agar dapat original dan obyektif, yang bersangkutan harus memiliki kebebasan dalam mencipta. Kebebasan itu ditunjukkan oleh kemampuannya Bagi Hegel, seniman adalah jenius, selain yang bersangkutan memiliki bakat alami, bakat itu harus direnungi dan dikembangkan lewat kerja praktek dan penguasaan ketrampilan menampilkan sesuatu. Jika jenius harus dapat menampilkan sesuatu yang original maka artinya sama saja dengan menampilkan yang obyektif. Agar dapat original dan obyektif, yang bersangkutan harus memiliki kebebasan dalam mencipta. Kebebasan itu ditunjukkan oleh kemampuannya

Kebenaran dan keindahan menurut Hegel adalah satu dan dari hal yang sama. Kebenaran adalah idea itu sendiri, adanya ada dan pada idea itu sendiri, serta dapat dipikirkan. Manifestasinya keluar, bukan hanya kebenaran saja tetapi juga keindahan. Bagi Hegel keindahan adalah sesuatu yang transendental.

e. Periode Romantik

Aliran Romantik merupakan reaksi terhadap rasionalisme yang mendewakan rasio. Kini perasaan menjadi dominan. Kalau sebelumnya seniman tunduk pada kaidah-kaidah yang ketat, kini seniman berdaulat dengan merdeka, meluapkan secara spontan dan otomatis emosi-emosinya. Aliran ini dirintis oleh J.J Rousseau yang hidup pada pertengahan abad ke-18. Rousseau bertitik tolak pada suatu pandangan dasar bahwa alam murni itu baik dan indah sehingga segala sesuatu yang dekat pada alam murni juga baik dan indah (Dick Hartoko, 1984).

Dalam hal seni Rousseau berpendapat bahwa bakat alam hendaknya dikembangkan secara bebas, jangan sampai diatur oleh macam-macam teori dan guru. Asalkan emosi yang spontan diluapkan maka hasilnya pasti indah.

Pada tingkat awal, gerakan Romantik berada pada pemikiran Schelling dan bentuk-bentuk baru kesusastraan baru di Jerman dan Inggris pada tahun 1890-1891. Ada 4 hal yang menjadi pusat perhatian dari penulis-penulis Estetika pada periode ini, yaitu: ekspresi, imajinasi, organisasi dan simbolisasi.

Salah sesorang filosof besar pada periode ini adalah Athur Schopenhauer dan Nietzche. Menurut Schonpenhauer, hakekat yang terdalam dari kenyataan adalah kehendak (karsa). Dalam diri manusia, kehendak yang bersifat itu, tidak dapat dipuaskan. Sebagai akibatnya, manusia mengalami kesengsaraan. Untuk mengatasi keadaan itu tersedia dua jalan dalam mengatasinya yaitu: etis dan estetis. Jalan etis adalah dengan berbuat dan bertingkah laku baik, sedangkan jalan estetis dengan menikmati kesenian, khususnya musik. Akan tetapi, musik hanya dapat dinikmati sementara dalam melupakan kesengsaraan.

Kehendak itu jika memilukan atau kehendak untuk hidup itu menyedihkan, maka seni adalah hiburan yang terbaik dan merupakan tempat istirahat yang terjamin. Seni dapat membangkitkan kekuatan Kehendak itu jika memilukan atau kehendak untuk hidup itu menyedihkan, maka seni adalah hiburan yang terbaik dan merupakan tempat istirahat yang terjamin. Seni dapat membangkitkan kekuatan

f. Periode Positivistik

Dalam periode ini estetika dipelajari secara empiris dan ilmiah berdasarkan pengalaman-pengalaman riil dalam kehidupan sehari-hari. Estetika dibahas dalam hubungannya dengan ilmu lain, misalnya psikologi dan matematika. Para filosof yang membahas estetika di antaranya Fechner, George Birkhof, A. Moles dan Edward Bullough. 1). Gustaf T. Fechner (1801-18887)

Fechner berpendapat bahwa estetika yang dikembangkan oleh para filosof sebelumnya sebagai estetika “dari atas” (The Liang Gie,1976). Ia menambahkan bahwa sebaiknya estetika itu dihampiri “dari bawah” dengan menggunakan pengamatan secara empiris dan percobaan secara laboratorium terhadap sesuatu hal yang nyata. Metode yang dipakainya adalah metode eksperimental. Tujuan yang ingin dicapai adalah berusaha untuk menemukan kaedah-kaedah/dalil- dalil mengapa orang lebih menyukai sesuatu yang indah tertentu, dan kurang menyukai yang lain. 2). A. Moles

Moles melakukan percobaan-percobaan yang menunjukkan bahwa proses-proses dalam otak manusia dipengaruhi oleh sifat-sifat structural dari pola-pola perangsang, misalnya: sesuatu yang baru, sesuatu yang rumit dan sesuatu yang mengagetkan. Sifat-sifat yang Moles melakukan percobaan-percobaan yang menunjukkan bahwa proses-proses dalam otak manusia dipengaruhi oleh sifat-sifat structural dari pola-pola perangsang, misalnya: sesuatu yang baru, sesuatu yang rumit dan sesuatu yang mengagetkan. Sifat-sifat yang

Bullough menerapkan psikologi introspeksi dan teori sikap dengan melakukan penyelidikan terhadap apa yang dinamakan kesadaran estetis (aesthetic consciousness) (ibid). Psikoanalisa dengan teori-teorinya memberikan penjelasan bahwa karya seni sebagaimana halnya dengan impian dan mitologi yang merupakan perwujudan dari keinginan manusia yang paling dalam. Keinginan ini memperoleh kepuasan lebih besar dalam bentuk seni daripada dalam realitas kehidupan biasa. Penggunaan hasil-hasil dari ilmu jiwa anak (child psychology) dianggap dapat memberikan keterangan-keterangan yang memadai mengenai pertumbuhan dorongan-dorongan batin dalam menciptakan seni. Dorongan batin ini mencakup semua dinamika kejiwaan yang tidak bersifat intelektualistis, misalnya hasrat untuk meniru, kecenderungan untuk memamerkan, kesediaan untuk menyenangkan pihak lain, keinginan bermain-main, pemanfaatan energi yang berlebihan dan peluapan perasaan yang ada dalam diri setiap orang. Dalam periode Positivistik ini walaupun pembahasan estetika sudah bersifat ilmiah, tidak berarti pendekatan secara filsafati sudah tidak dipergunakan lagi.

g. Periode Kontemporer (abad 20-sekarang)

Dalam periode ini, muncul sejumlah pandangan estetika dalam waktu yang relatif bersamaan dan sampai kini masih banyak pengikutnya. Pandangan estetika yang banyak ini (multi-isme) tumbuh pada awal abad 19 dan menjadi lebih semarak lagi pada abad 20. Berikut ini dibahas 7 pandangan yang menonjol dalam periode ini. 1). Seni untuk Seni (l’art pour l’art)

Semboyan L’art pour L’art yang termasyhur ini pertama kali dipergunakan oleh seorang filosof Victor Cousin (1792-1867). Pandangan ini menganggap bahwa seni merupakan deklarasi artistik yang independen sebagai suatu tanggungjawab profesional. Seniman ditempatkan sebagai suatu pribadi yang bebas dan terpisah dari kepentingan masyarakat. Tujuan seni hanya untuk seni, tidak mengabdi kepada kepentingan poitik, ekonomi, sosial dan agama. Pandangan ini merupakan suatu reaksi terhadap kondisi pada waktu itu untuk mengembalikan kemurnian status seni. 2). Realisme

Realisme menganggap bahwa karya seni harus menampilkan kenyataan yang sesungguhnya, seperti sebuah gambar reproduksi (seperti foto). Salah seorang tokoh dari pandangan ini ialah Nicolay C. Chernyshevski dengan karyanya The Aesthetic relation or Art to Reality (1865).

3). Sosialisme (tanggungjawab sosial) Suatu pandangan yang sangat bertentangan dengan pandangan seni untuk seni, bahwa seni merupakan kekuatan sosial dan refleksi dari kenyataan sosial. Seniman adalah bagian dari masyarakat dan mempunyai tanggungjawab sosial.

Estetikus terbesar yang termasuk dalam pandangan ini adalah Tolstoy (1882-1910). Di dalam karyanya yang terkenal What is Art (1898), Tolstoy mengulas persoalan seni dan keindahan secara lebih luas. Menurutnya, dalam arti subyektif, apa yang dinamakan keindahan adalah apa yang memberikan kita suatu kenikmatan atau kesenangan. Sedangkan dalam arti obyektif, keindahan adalah suatu yang absolut dan sempurna karena kita menerima manifestasi dari kesempurnaan tersebut. Bagi Tolstoy seni adalah seni yang dapat memindahkan perasan arus hidup manusia secara sama dan seirama. Nilai-nilai agama dianjurkan dalam ekspresi seni karena persepsi keagamaan tidak lain adalah gejala pertama dari manusia dengan dunia sekitarnya. Tolstoy telah membahas estetika dari sudut kekristenan yang penuh kritik terhadap kepincangan social, negara, gereja dan kebodohan kaum bangsawan (Hassan Shadily, 1980). 4). Ekspresionisme

Estetikus Benedetto Croce (1866-1952) telah meninggalkan pengaruh besar pada abad ke-20 ini. Pandangannya ditulis dalam bukunya Aesthetic as Science of Expression and Generale Linguistic

(1902). Menurut Croce, estetika adalah ilmu tentang image atau sebagai pengetahuan intuitif dan bersifat obyektif. Bagi Croce, keindahan tergantung pada keinginan imajinasi, yaitu kemampuan seseorang untuk memahami serta mengalami hasil kegiatan intuisi dalam bentuknya yang murni. Croce termasuk penganut “seni untuk seni”. Seni tidak benar kalau dicampuri oleh berbagai kepentingan, misalnya ilmu pengetahuan, hiiburan ataupun moral.

Croce termasuk filosof seni dalam deretan filsafat idealisme. Segala sesuatu merupakan aktivitas pikiran, segala sesuatu adalah ideal belaka. Makna materi tergantung pada makna idealnya. Bagi Croce, wilayah estetika adalah wilayah pengetahuan intuitif, bukan wilayah pengetahuan logis (ilmiah). Intuisi mempakan sebuah imaji yang berada dalam pikiran subjek. Jadi, oleh Croce, seni dimasukkan dalam kategori ilmu pengetahuan. Benda seni itu tidak ada. Seni terdapat dalam pemikiran imajinatif subjek penanggapnya. Benda seni hanyalah objek fisik belaka, bukan estetika itu sendiri. Benda seni hanyalah titik tolak subjek seni untuk menumbuhkan kembali estetika pada diri subjek. Keindahan berada dalam diri subjek masing-masing, bukan dalam objek seni itu sendiri (Jacob, 1983:305-306).

Croce menyamakan intuisi dengan ekspresi, dalam arti apa yang diekspresikan seniman adalah intuisi. Jadi, seni adalah perasaan intuitif, yang harus dibedakan dengan pengetahuan logis. Karya seni bukan ekspresi kalau dipenuhi muatan pengetahuan logis ilmiah.

Pandangan Croce yang penting adalah bahwa benda seni bukanlah seni. Benda seni menjadi seni hanya dalam tanggapan subjek penanggapnya masing-masing. Seni terletak dalam diri masing-masing subjek. 5). Naturalisme

Pandangan estetika naturalisme dari para filosof Amerika lebih menekankan pada ketenangan hidup untuk kelangsungan budaya manusia. Salah satu tokohnya George Santayana. Dia berpendapat bahwa nilai keindahan terletak pada hasrat alami untuk mengalami keselarasan sosial dan untuk merenungkan keindahan yang menciptakan moralitas, seni, dan agama yang ada dalam imajinasi dan berusaha untuk mewujudkannya secara kongkret dengan tindakan, kombinasi dari esensi-esensi dan semata-mata ideal. Estetika berhubungan dengan pencerapan nilai-nilai. Keindahan sebagai nilai intrinsik dan diobyektifkan, artinya sebagai kualitas yang ada pada suatu benda. 6). Marxisme

Marxisme telah memberikan pengaruh kepada para estetikus terutama di negara-negara sosialis dan komunis. Prinsip dasar estetikanya ialah seni dan semua kegiatan manusia yang tertinggi merupakan budaya “super struktur” yang ditetapkan oleh kondisi sejarah masyarakat, terutama kondisi ekonomi. Estetikus Rusia George

V. Plekaniv dalam bukunya Art and Social Live (1912), V. Plekaniv dalam bukunya Art and Social Live (1912),

Pandangan mengenai kekuatan otonomi sebagai kualitas obyektif yang ada dalam dirinya sendiri telah dicetuskan oleh para filosof eksistensialisme. J.P. Sartre membedakan antara obyek estetik dengan benda-benda lainnya di dunia. Perbedaannya terletak pada “ekspresi dunia”, bahwa setiap benda estetik secara personal adalah “ada dalam dirinya sendiri” (pour soi). Dalam hal ini Sartre telah memberikan jalan bagi adanya suatu konsep tentang “kebenaran otentik” dari eksistensi seni.