Persoalan Seni dan Kesenian Islam
B. Persoalan Seni dan Kesenian Islam
Media pencapaian kesadaran manusia dalam konsep keagamaan sangatlah beragam. Media tersebut bisa dicapai lewat pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, sistem ekonomi, sistem politik, kesenian, dan kebudayaan. Dari beragamnya media yang ada, media kesenian dapatlah diletakkan sebagai media yang erat sekali kaitannya dengan persoalan kesadaran. Hal tersebut didasarkan kenyataan bahwa kesenian selalu berhubungan dengan emosi, perasaan, jiwa, dan batin seseorang karena seni juga merupakan ekspresi jiwa, ekspresi estetis ekspresi kompleksitas kehidupan manusia. Karena itu, kesenian pastilah membawa pesan, baik secara implisit maupun eksplisit. Pesan inilah yang secara emosional diharapkan mampu menyentuh kesadaran seseorang.
Kesenian, keindahan, estetika, mewujud nilai rasa dalam arti luas dan wajib diwakili dalam kebudayaan lengkap. Kedwisatuan manusia yang terdiri dari atas budi dan badan tidak dapat mengungkapkan pengalamannya secara memadai dengan akal murni saja. Rasa mempunyai kepekaan terhadap kenyataan yang tidak ditemukan oleh akal. Percobaan untuk memahami Kesenian, keindahan, estetika, mewujud nilai rasa dalam arti luas dan wajib diwakili dalam kebudayaan lengkap. Kedwisatuan manusia yang terdiri dari atas budi dan badan tidak dapat mengungkapkan pengalamannya secara memadai dengan akal murni saja. Rasa mempunyai kepekaan terhadap kenyataan yang tidak ditemukan oleh akal. Percobaan untuk memahami
Kesenian selalu melukiskan sebuah unsur atau aspek alam kodrat ditambah tanggapan atau pengolahan manusia. Tamasya alam akan menjadi indah oleh tanggapan rasa estetika. Bahan alam dihias bergaya indah oleh penciptaan indah budi dan rasa sampai memuaskan daya tangkap manusia. Yang indah diidentifikasi sebagai apa yang ketika “dilihat, didengar, dinilai” sebagai baik. Keindahan membawa serta rasa hidup dan kesadaran diri sebagai bagian dalam keseluruhan. Sifat sosial dari kesenian meratakan pengalaman dan perasaan dari seorang seniman kepada orang lain yang berkat kesenian memanusiakan diri lebih sempurna. Sejak dahulu para ahli pikir bergumul untuk memahami khasiat keindahan. Plato melihat dalam kesenian indah tidak lebih dari tiruan alam secara subyektif dan individual. Hasilnya begitu dicurigainya sampai-sampai dalam Negara idealnya para seniman diasingkan. Aristoteles melihat dalam kesenian indah suatu daya manusia yang spesifik. Fungsinya yaitu untuk mengedealisasikan dan menguniversalkan kebenaran, sehingga kebenaran itu menghibur, meriangkan hati dan mencamkan citi-cita mulia lebih dalam dari pada keyakinan rasional belaka. Keindahan menegaskan nilai-nilai menurut cara khusus.
Banyak kecenderungan insani dapat menerima nilai indah. Sedemikian itu dibedakan antara seni rupa (plastic arts) sebagai seni lukis, seni pahat, seni bangun dan seni grafis (seni gambar cetak, kaligrafi), seni suara dan seni tari, seni sastra dan dramatik. Kriteria filsafat untuk apresiasi seni secara umum dirumuskan sebagai kesesuaian setepat mungkin antara unsur ideo-plastik dan fisio-plastik, artinya obyek kesenian semakin indah sanggup mengekspresikan secara serupa (fisioplastik) visi atau pandangan orisinal mengenai suatu nilai atau ideoplastik (Bakker, 2001 :47).
Dalam Islam, hubungan kesenian dengan moralitas dan spiritualitas ternyata telah berlangsung sejak berabad-abad. Kesenian Islam tidak hanya sekedar berkaitan dengan bahan material atau bentuk yang ditampilkan, melainkan juga didasari kesadaran religius kolektif yang menjiwai bahan- bahan material alat bentuknya (Hussein Nasr, 1993: 14). Hanya saja permasalahan yang muncul antara umat Islam dengan produk kesenian adalah beragamnya interpretasi sehingga tidak jarang produk kesenian malah divonis dengan mendasarkan putusannya dengan hukum agama (Ali Audah, 1993: 19). Dari kenyataan tersebut, dapat dilihat bahwa fungsi dan kedudukan kesenian dalam Islam belum digali sebagai salah satu potensi untuk mengembangkan arus kesadaran umat. Bagaimanakah sebenarnya kedudukan kesenian dalam Islam dan sejauh mana peluang kesenian tersebut dalam mengantisipasi transformasi budaya modern.
Para pemikir Islam setuju bahwa karya seni pada dasarnya adalah produk kebudayaan. Karena itu, hadirnya sebuah karya seni dapatlah disebut Para pemikir Islam setuju bahwa karya seni pada dasarnya adalah produk kebudayaan. Karena itu, hadirnya sebuah karya seni dapatlah disebut
Secara teoritik penciptaan karya seni selalu terkait dengan tiga aspek utama yaitu (i) theory of play, (ii) theory of utility dan (iii) theory, magic and religi. Dilihat dari kerangka ini, penciptaan seni selalu didasari tujuan yang mencakup estetik, kepentingan praktis, dan kegunaan yang bersifat substansial. Dilihat dari keberagaman bentuk, refleksi tujuan penciptaan karya seni akhirnya juga sangat beragam. Ada karya seni yang lebih mementingkan estetika bentuk seperti seni patung, arsitektur, dan seni lukis. Namun ada juga karya seni yang menonjolkan semua aspek seperti seni sastra, seni tari, musik, opera, film, dan drama. Berdasarkan konteks itulah, seni dapat dikaji dari dua aspek yaitu identitas dan fungsi (Dananjaya,1983: 80).
Persoalan identitas karya seni Barangkali sudah banyak dibicarakan. Di Indonesia, beberapa bentuk seni rakyat seperti lenong, ludruk, wayang, randai, ketoprak, seudati, secara langsung dapat dikaitkan dengan identitas dan tradisi daerah. Namun secara fungsional, peran kesenian jarang diungkapkan. Padahal secara fungsional seni mempunyai kekuatan yang cukup besar dalam membentuk kesadaran masyarakatnya. Seni bisa dipakai sebagai media pendidikan, media kritik atau sosial kontrol, propaganda, bahkan sebagai media keagamaan. Barangkali kekuatan media seni dibanding Persoalan identitas karya seni Barangkali sudah banyak dibicarakan. Di Indonesia, beberapa bentuk seni rakyat seperti lenong, ludruk, wayang, randai, ketoprak, seudati, secara langsung dapat dikaitkan dengan identitas dan tradisi daerah. Namun secara fungsional, peran kesenian jarang diungkapkan. Padahal secara fungsional seni mempunyai kekuatan yang cukup besar dalam membentuk kesadaran masyarakatnya. Seni bisa dipakai sebagai media pendidikan, media kritik atau sosial kontrol, propaganda, bahkan sebagai media keagamaan. Barangkali kekuatan media seni dibanding
Seni sebagai media keagamaan secara historis sebenarnya sudah dikenal sejak lama. Pada masa Yunani Kuno, masyarakat sudah meletakkan seni sebagai bagian dari ritualitas keagamaan. Bentuk pemujaan kepada para dewa misalnya dilakukan dengan model tarian dan nyanyian. Bentuk-bentuk seni seperti itu ternyata terus berlangsung dan berkembang pada agama- agama lain seperti Budha, Hindu, dan Kristen.
Pada agama Hindu dan Kristen, dapat disebutkan bahwa antara seni dengan prosesi ritual merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Setiap prosesi keagamaan selalu diiringi musik, nyanyi, dan tari. Bahkan lukisan naturalistik mengenai Kristus dalam agama Kristen dikategorikan sebagai seni keagamaan (Ali Audah, 1993: 21). Dari kenyataan tersebut menjelaskan bahwa keberadaan seni sebagai media dalam membentuk arus kesadaran keagamaan cukup Besar.
Pada era modernisasi, kesenian dengan dimensi tersebut merupakan seni yang bersifat statis. Berubahnya pandangan masyarakat yang lebih meni- tikberatkan pada kepentingan individualistis, hedonistik, dan material Pada era modernisasi, kesenian dengan dimensi tersebut merupakan seni yang bersifat statis. Berubahnya pandangan masyarakat yang lebih meni- tikberatkan pada kepentingan individualistis, hedonistik, dan material
Pada seni modern seperti film, situasi tersebut terlihat semakin nyata. Film-film Indonesia yang hadir pada periode 90-an umumnya hanyalah film yang banyak menonjolkan tubuh wanita atau eksploitasi seks. Film-film jenis tersebut dibuat karena memang itulah film yang laku di pasaran dan menguntungkan, sedangkan film-film yang dibuat secara serius yang penuh dengan ajaran moral secara finansial sering mendatangkan kerugian. Sebut misalnya, film Cut Nyak Dien, Wali Sanga, Atheis. Karena itu, persoalan keberhasilan sebuah produk seni pada dasarnya tidak hanya dapat dilihat dari bentuk seni itu sendiri, melainkan ditentukan pula oleh tingkat apresiasi masyarakatnya.
Dalam tradisi Islam, persoalan seni sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang asing atau tabu untuk dikembangkan. Meskipun secara dogmatis Islam tidak pernah menjadikan produk seni sebagai alat ritual, secara implisit persoalan seni dalam Islam telah terefleksi dalam bahasa dan isi Qur'an. Qur'an memang Bukan produk seni, namun menurut para pengamat seni, Qur'an justru merupakan Bentuk seni yang luar biasa. Hal tersebut misalnya dapat dilihat dari komentar Ismail al-Faruqi, that the Qur'an is the first work Dalam tradisi Islam, persoalan seni sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang asing atau tabu untuk dikembangkan. Meskipun secara dogmatis Islam tidak pernah menjadikan produk seni sebagai alat ritual, secara implisit persoalan seni dalam Islam telah terefleksi dalam bahasa dan isi Qur'an. Qur'an memang Bukan produk seni, namun menurut para pengamat seni, Qur'an justru merupakan Bentuk seni yang luar biasa. Hal tersebut misalnya dapat dilihat dari komentar Ismail al-Faruqi, that the Qur'an is the first work
Penegasan bahwa Qur'an dipandang sebagai sebuah seni, kiranya tidak berlebihan. Unsur kata dan struktur kalimat Qur'an banyak yang bersifat multi interpretasi. Artinya, kata dan kalimat Qur'an memuat makna yang perlu direinterprestasi atau reijtihad. Persoalan ini pula yang melahirkan konsep reduksi Qur'an yang diumpamakan sebagai makro dan mikrokosmos. Semua huruf dalam Qur'an sebanyak 28 oleh Ibn Al-Arabi dinyatakan masing- masing sesuai dengan salah satu Asma Allah. Asma itu pun disamakan pula dengan peringkat ontologis atau kosmologis tertentu (lih. Brakinsky, 1993: 8). Contoh reduksi yang Berkaitan dengan interpretasi ditegaskan F. Schoun sebagai Berikut.
Fatihah dikatakan menampung hakikat segenap Alqur’an, maka seluruh fatihah itupun dirangkum seluruh basmalah, sedangkan basmalah terkandung di dalam hurufnya yang pertama “ba”, dan huruf “ba” itu pun di dalam noktah di bawahnya, adapun noktah itu sesuai dengan titik pertama dari midad (tinta) Ilahi yang jatuh dari Kalam Terala. Inilah ar-Ruh atau prototype jagat raya. (Schoun, 1981: 61).
Adanya interpretasi dan reduksi tersebut memang menegaskan bahwa Qur'an terlahir sudah dalam bentuk karya seni. Kata dan struktur kalimat- kalimat Qur'an tidak saja mengandung makna eksplisit, tetapi juga implisit. Dengan kata lain, makna Qur'an adalah makna yang hidup. Persoalannya, apakah bentuk Qur'an dapat diletakkan sebagai bentuk kesenian Islam? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut ternyata masih diperdebatkan. Sebagian kritikus seni menegaskan bahwa persoalan kesenian adalah
persoalan kebudayaan. Dengan demikian, ia berada di luar agama. Pandangan tersebut misalnya ditegaskan Hussein Nasr dalam bukunya Islamic Art and Spirituality (1993) bahwa tidak seorang pun dapat menemukan cikal bakal seni Islam di dalam ilmu pengetahuan yuridis dan teologi, baik keduanya berhubungan erat dengan hukum IIahi maupun masalah penegasan dan pembelaan prinsip-prinsip keimanan Islam. Beberapa penulis yang ahli tentang ilmu hukum (fiqh) seperti Baha Al-Din Al-Amili yang dikenal sebagai orang yang cinta akan keindahan dan seni, dalam risalahnya tentang teologi (kalam) atau ilmu hukum (fiqh) menjelaskan bahwa masalah seni dan estetika Islam tidaklah dikenal. Karena itu, jika Qur'an dianggap bernilai seni, hal tersebut tidak bisa disebut sebagai bentuk kesenian Islam. Qur'an ada berasal dari tidak ada dan ia adalah ciptaan Tuhan (QS: 2:117,6:101-102). Dalam surat tersebut Allah menegaskan bahwa Ia (Allah) menciptakan segalanya dari tidak ada menjadi ada, dan manusia menciptakan dari ciptaan Allah, dari yang sudah ada (lihat pula uraian Ali Audah,1993:14). Jika Qur'an penuh dengan muatan estetik, hal tersebut hanyalah isyarat bahwa Qur'an dapat dipakai sebagai inspirasi produk sebuah kebudayaan atau tradisi Islam, termasuk di dalamnya produk kesenian.
Produk seni juga mempunyai dua dimensi makna yaitu dimensi lahir (surface structure) dan dimensi batin (deep structure). Dimensi lahir adalah dimensi struktur atau bentuk seni yang secara langsung memancarkan nilai estetiknya, sedangkan dimensi batin adalah dimensi yang secara implisit Produk seni juga mempunyai dua dimensi makna yaitu dimensi lahir (surface structure) dan dimensi batin (deep structure). Dimensi lahir adalah dimensi struktur atau bentuk seni yang secara langsung memancarkan nilai estetiknya, sedangkan dimensi batin adalah dimensi yang secara implisit
Secara teologis, tidak ada penegasan terhadap kesenian Islam, para ahli sepakat bahwa sebuah karya seni dapat dikategorikan sebagai seni Islam apabila karya seni tersebut bersumber pada realitas batin (haqa'iq) Qur'an yang juga merupakan realitas dasar kosmos dan realitas substansi Nabawi. Secara ekstrim Hussein Nasr (1993: 17) mendefinisikan bahwa karya seni dapat dikategorikan sebagai seni Islam bukan hanya karena diciptakan oleh seorang muslim, tetapi juga karena dilandasi wahyu Ilahi. Seni Islam melarutkan realitas-realitas batin wahyu Islam dalam dunia bentuk, dan karena ia keluar dari batin Islam, menuntun manusia masuk ke ruang batin Ilahi. Seni Islam adalah buah dari spiritualitas Islam dilihat dari sudut pandang asal kejadiannya dan sebagai sebuah bantuan, yang melengkapi dan membantu kehidupan spiritual dari titik realisasi yang menguntungkan atau kembali ke sumber. Contoh seni Islam menurut Hussein Nasr adalah karya Jalal Al-Din Rumi (sebagaimana yang sudah dibahas di depan) yang disebutnya sebagai penyair dan sufi agung Persia. Tradisi sufi dalam karya- karya Rumi dianggap sebagai jalan mencapai kesadaran menuju sumber keesaan, yaitu Tuhan. Bentuk- bentuk bahasa yang bersifat simbolistis tidak hanya indah dalam realitas sastra, secara batin juga memberikan satu kekuatan spiritual. Hal tersebut bisa dilihat dari contoh puisinya berikut.
Anggur dalam peragian ibarat Pengemis yang meminta ragi kita,
Langit dalam revolusi ibarat Pengemis yang mengusik kesadaran kita,
Anggur mabuk karena kita, Bukan kita yang mabuk karenanya; Tubuh menjadi ada karena kita, bukan sebaliknya (dikutip dari matsnawi I, 1.811)
Secara simbolis, karya di atas menegaskan bahwa eksistensi manusia di hadapan Allah ditentukan atas kesadaran dan usaha manusia sendiri. Sumber inspirasi spiritual dari puisi di atas diyakini dari firman Allah yang menyatakan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib seseorang jika orang tersebut tidak mau merubah nasibnya sendiri. Barangkali karena adanya pandangan bahwa sumber seni Islam adalah Qur'an, maka berkembang pengertian bahwa seni Islam adalah seni yang mengadopsi ayat-ayat Qur'an sebagai medianya. Hal inilah yang oleh para tokoh tradisional seni Islam disebutnya sebagai nilai spiritual, hikmah, dan kearifan (T. Burckhardt, dalam Hussein Nasr, 1993:18). Semuanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dengan kata lain, bentuk seni Islam, seperti yang diulas Hussein Nasr (1993:18) bukan hasil dari semacam rasionalisasi, empirisisme, atau penglihatan intelektual akan pola-pola dasar dunia teresterial, melainkan penglihatan yang mendasarkan spiritualitas atau scientia sacra yang hanya dapat dicapai berdasarkan cara-cara yang disediakan oleh tradisi. Dominasi seni Islam dengan terminologi tersebut kemudian melahirkan bentuk-bentuk seni kaligrafi, lukis, sastra, dan musik.
Di Indonesia, bentuk seni Islam dengan terminologi itu berkembang dalam model-model seni berjanji (pujian kepada Rasulullah), salawatan, dziba', tarebangan, samroh, tanjidor, orkes gambus, irama padang pasir, dan Di Indonesia, bentuk seni Islam dengan terminologi itu berkembang dalam model-model seni berjanji (pujian kepada Rasulullah), salawatan, dziba', tarebangan, samroh, tanjidor, orkes gambus, irama padang pasir, dan
Melihat kenyataan tersebut kiranya perlu dipertanyakan apakah seni Islam secara eksplisit harus mengekspresikan Qur'an. Sumber ajaran Islam memang Qur'an, tetapi bukan berarti bahwa kalimat-kalimat Qur'an harus dihadirkan secara eksplisit. Sebagai sebuah sistem, nilai-nilai Islam pada dasarnya dapat dikemas dalam berbagai bentuk tanpa harus mengekspresikan sumber nilai-nilai tersebut secara langsung. Puisi Rumi di atas barangkali dapat dijadikan contoh bahwa nilai spiritualitas, yang dihadirkan justru ada di balik simbolisme makna dan sumber makna tersebut adalah Qur'an. Yang terpenting adalah bagaimana mengemas nilai-nilai Islam dalam terminologi profetik tersebut mampu diletakkan sebagai ruh dalam setiap produk kesenian seperti seni musik, teater, film, tari. Inilah hakekat seni profetik Islam.