Dampak Negatif dari Dikotomi Sistem Pendidikan

2. Dampak Negatif dari Dikotomi Sistem Pendidikan

Persaingan antara sistem pendidikan warisan kolonial dengan sistem pendidikan tradisional Muslim terus berlangsung cukup lama. Dalam kondisi seperti itu, tentu kemenangan akan diperoleh oleh sistem yang sudah dirancang dengan matang. Sementara hal itu merupakan karakteristik utama dari sistem pertama. Sistem pendidikan Barat telah dikenal sebagai sistem yang matang dalam persiapan, dan mampu dalam perekayasaan sosial (Social Engineering). Karenanya, sistem inilah yang memenangi persaingan, yang mengatur, serta mengendalikan warna sosial komunitas Muslim.

Dunia Muslim telah merdeka, namun sebenarnya itu hanya bersifat politis belaka. Sebab bidang-bidang lain, ekonomi, budaya, sistem sosial, dan termasuk sistem pendidikan, penjajahan masih tetap berlangsung dan

dianut oleh bangsa Muslim kebanyakan. Sehingga ketergantungan di bidang pendidikan, yang disadari sebagai faktor terpenting dalam membina umat, hampir tidak dapat dihindarkan dari pengaruh Barat. Ujungnya, krisis identitas pun tidak bisa dihindarkan melanda ummat Muslim. Menurut istilah A. M. Saefuddin, (Saefudin, 1991: 97) ketidakberdayaan umat Islam itu membuatnya bersifat taqiyah. Artinya, kaum muslimin lebih menyembunyikan identitas Islamnya, karena rasa takut dan malu. Sikap seperti ini, menurut A. M. Saifuddin, banyak melanda ummat Islam di segala tingkatan di mana pun berada, baik di infrastruktur, maupun suprastruktur.

Berikut akan diuraikan beberapa permasalahan yang menyelimuti dunia pendidikan Islam, sebagai akibat munculnya dualisme pendidikan tersebut.

Pertama, munculnya ambivalensi orientasi pendidikan Islam. Salah satu dampak negatif adanya dikotomi sistem pendidikan, terutama di Indonesia, adalah munculnya ambivalensi orientasi pendidikan Islam."

Dalam Pendidikan pesantren, masih dirasakan adanya semacam "kekurangan" dalam program pendidikan yang diterapkan. Misalnya, dalam bidang mu’amalah (ibadah dalam arti luas) yang mencakup penguasaan berbagai disiplin ilmu dan keterampilan, terdapat anggapan, bahwa seolah semua itu bukan merupakan bidang garapan Islam, melainkan bidang garapan khusus sistem pendidikan sekuler. Sistem madrasah, apalagi sekolah dan perguruan tinggi Islam, telah membagi Dalam Pendidikan pesantren, masih dirasakan adanya semacam "kekurangan" dalam program pendidikan yang diterapkan. Misalnya, dalam bidang mu’amalah (ibadah dalam arti luas) yang mencakup penguasaan berbagai disiplin ilmu dan keterampilan, terdapat anggapan, bahwa seolah semua itu bukan merupakan bidang garapan Islam, melainkan bidang garapan khusus sistem pendidikan sekuler. Sistem madrasah, apalagi sekolah dan perguruan tinggi Islam, telah membagi

Kedua, kesenjangan antar sistem pendidikan Islam dan ajaran Islam. Sistem pendidikan yang masih bersifat ambivalensi mencerminkan pandangan dikotomis yang memisahkan "ilmu-ilmu agama" dan "ilmu- ilmu dunia" (baca: umum) (Kuntowidjojo, 1991 : 352). Pandangan ini jelas bertentangan dengan konsep ajaran Islam sendiri. Islam memiliki ajaran integralistik. Islam mengajarkan bahwa urusan dunia tidak terpisah dengan urusan akhirat. Dengan lain kata, Islam mengakui adanya ajaran kesatuan dunia akhirat.

Implikasinya, bila merujuk pada ajaran Islam ilmu-ilmu umum seharusnya dipahami sebagai bagian tidak terpisahkan dari ilmu-ilmu agama. Oleh karenanya, bila paham dikotomis dan ambivalen dipertahankan, out put pendidikannya tentu jauh dari cita-cita pendidikan Islam itu sendiri. Ketiga, disintegrasi sistem pendidikan Islam. Hingga saat ini boleh dikatakan, bahwa dalam sistem pendidikan kurang terjadi perpaduan (usaha integralisasi). Kenyataan ini diperburuk oleh ketidakpastian hubungan antara pendidikan umum dan pendidikan agama.

Bahkan hal itu ditunjang juga oleh kesenjangan antara wawasan guru agama dan kebutuhan anak didik, terutama di sekolah umum (Saefudin, 1991 : 352).

Keempat, inferioritas para pengasuh lembaga pendidikan Islam. Usaha untuk menyempurnakan penyelenggaraan pendidikan Islam, sebagaimana pendidikan umum, masih sangat erat kaitannya dengan sistem pendidikan Barat sebagai tolok ukur kemajuan. Dalam kenyataannya, cara pandang semacam ini senantiasa memunculkan pendekatan dengan suatu hipotesis defisit. Sistem pendidikan Islam selalu dipandang sebagai sosok terbelakang (Saefudin, 1991 : 352). Konsekuensinya, perubahan-perubahan yang dilakukan, karena mengikuti pola tersebut, seperti yang ditetapkan umumnya di pesantren dan madrasah, telah menghasilkan bentuk-bentuk yang tidak fungsional. Tidak cukup di situ, para pengasuh pun - terkadang - merasa rendah (inferior). Dan imbasnya melebar pada aktivitas pendidikan yang ditanganinya.

Pengaruh-pengaruh negatif yang diakibatkan oleh sistem dikotomi pendidikan tersebut sangat merugikan dunia pendidikan Islam. Kecenderungan untuk terpukau pada sistem pendidikan Barat, sebagai tolok ukur kemajuan pendidikan nasional, diakui atau tidak telah mempe- ngaruhi sistem pendidikan Islam. Sehingga sistem pendidikan agama Islam menjadi terpecah dalam tiga bentuk. Yakni sistem pesantren, madrasah, dan sistem perguruan tinggi Islam. (Arifin, 1994 : 167). Yang masing-masing memiliki orientasi yang tidak saling memadu. Sistem Pengaruh-pengaruh negatif yang diakibatkan oleh sistem dikotomi pendidikan tersebut sangat merugikan dunia pendidikan Islam. Kecenderungan untuk terpukau pada sistem pendidikan Barat, sebagai tolok ukur kemajuan pendidikan nasional, diakui atau tidak telah mempe- ngaruhi sistem pendidikan Islam. Sehingga sistem pendidikan agama Islam menjadi terpecah dalam tiga bentuk. Yakni sistem pesantren, madrasah, dan sistem perguruan tinggi Islam. (Arifin, 1994 : 167). Yang masing-masing memiliki orientasi yang tidak saling memadu. Sistem

Sistem pendidikan dikotomik semacam ini mesti kita tolak, karena sejarah telah membuktikan, sistem pendidikan Barat menjadi penghalang dalam membandingkan Islam secara utuh di dalam kehidupan umat Islam. Memang, saat ini umat Islam dalam suasana dilema. Yakni kebingungan dalam mengambil sikap dan keputusan. Mengambil keputusan untuk bersikeras menganut sistem pendidikan tradisional berarti menolak kenyataan, bahwa sistem tersebut tidak "jamani". Sebab sistem pendidikan jaman klasik itu tidak lagi mempunyai daya saing dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang deras mengalir dari Barat. Sementara bila harus memutuskan untuk menganut sistem pendidikan hasil olahan para cendekiawan Barat, jelas dirasakan adanya upaya pengetahuan dalam Islam sendiri. Karena pada hakekatnya, sistem pendidikan Barat itu hanya cocok untuk orang-orang Barat saja.

Pada tataran epistemologis, polarisasi pemikiran Islam yang tersekulerkan banyak melanda para pemikir Islam. Hal ini muncul karena adanya asumsi tentang dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Sebab utama adalah adanya arus besar pemikiran Barat sekuler- Pada tataran epistemologis, polarisasi pemikiran Islam yang tersekulerkan banyak melanda para pemikir Islam. Hal ini muncul karena adanya asumsi tentang dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Sebab utama adalah adanya arus besar pemikiran Barat sekuler-

Dalam pada itu, metode berpikir rasional empirik yang bertumpu pada kebenaran sensual, atau paling jauh mencapai kebenaran logik, banyak mewarnai dunia pendidikan Islam. Tidak sedikit teori pendidikan Islam yang dibangun berangkat dari telaah bio-phisik ini. Sedang hasil penelitian yang melandaskan pada telaah bio-phisik yang kemudian dijadikan kerangka pikir ilmu pendidikan Islam tentu saja tidak sampai pada kebenaran hakiki. Karena itu, pada tataran paradigmatik secara operasional penyelenggaraan pendidikan Islam selama ini adalah merupakan Islamic education for the moslem, yaitu pendidikan Islam yang diberlakukan adalah pendidikan agama Islam yang pelaksanaannya menyesuaikan dengan pendidikan modern, dan bukan islamic education for Islamic Education, yaitu pendidikan Islam yang benar-benar dijiwai, dilandasi dan dikembangkan berdasarkan nilai-nilai Islam (Muhadjir, 1996 : 34-35).

Pada tahun 1977 diselenggarakan sebuah Konperensi Dunia yang pertama tentang Pendidikan Muslim di Mekkah. (Bakar, 1994 : 234) Konperensi yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh King Abdul Aziz University ini berhasil membahas 150 makalah yang ditulis oleh sarjana- sarjana dari 40 negara, dan merumuskan rekomendasi untuk pembenahan dan penyempurnaan sistem pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh

umat Islam di seluruh dunia. Salah satu gagasan yang direkomendasikan adalah menyangkut Islamisasi ilmu pengetahuan (Muhaimin, 2001: 34). Gagasan ini antara lain dilantarkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas (1981) dalam makalahnya yang berjudul "Prelinainary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and the Aims of Pducation", dan Ismail R. Al-Faruqi (1986: 125) dalam makalahnya Islamicizing Social Science". Diadakannya konferensi ini, salah satunya adalah usaha untuk menghilangkan dikotomi sistem pendidikan yang ada di seluruh dunia muslim. Kemudian diputuskan bahwa jalan yang harus ditempuh adalah perlu segera dirumuskan sistem terpadu bidang keilmuan. Semua cabang keilmuan harus diintegralisasikan dengan ajaran-ajaran Islam (Hussen, 2000: 23). Ajuan gagasan itu bertitik tolak dari anggapan bahwa sistem pendidikan yang datang dari dunia Barat itu hanya dapat mengembangkan peradaban materialistik belaka. Sistem pendidikan Barat hanya dapat memberikan pengetahuan yang "menggenjot" kemajuan teknologis. Padahal di sisi lain ilmu-ilmu Barat itu, tentu bila tidak diadaptasi dan disterilisasi, dapat menciptakan keraguan dan kebingungan di kalangan intelektual muslim. Di samping itu juga adanya kekhawatiran terusaknya nilai-nilai spiritual dan moral, yang ternyata juga terjadi di dunia Barat.

S.M. Naquib Al-Attas menyatakan bahwa tantangan terbesar yang secara diam-diam dihadapi oleh umat Islam pada zaman ini adalah tantangan pengetahuan, bukan dalam bentuk sebagai kebodohan, tetapi pengetahuan yang dipahamkan dan disebarkan ke seluruh dunia oleh

peradaban Barat (Al-Attas, 1994: 65). Dan menurut al-Faruqi bahwa sistem pendidikan Islam telah dicetak di dalam sebuah karikatur Barat, sehingga ia dipandang sebagai inti malaise atau penderitaan yang dialami umat." Ia mengkritik ilmu pengetahuan Barat yang berkembang dewasa ini sebagai telah terlepas dari nilai dan harkat manusia, dari nilai-nilai spiritual dan harkat dengan Tuhan (Agus, 1999: 122). Begitu bersemangatnya, Sayyed Hussen Nasr, juga menganjurkan visinya yang menarik tentang sains Islami baru, yang dijauhkan dari matriks sekular dan humanistik (dari sains modern). la mengkritik apa yang disebutnya sebagai sains Barat karena menyebabkan kehancuran manusia dan alam. Begitu juga dengan Sardar, mengatakan bahwa pencarian sains yang Islami adalah kewajiban paling mendesak yang dihadapi kaum Muslim dewasa ini. Menurutnya, apa yang disebut sains Barat jelas tidak sesuai. Tidak saja karena penerapannya berbahaya tetapi juga karena epistemologinya secara mendasar bertentangan dengan pandangan Islam (Hood Boy, 1996: 132). Dalam posisi yang sama Syed Hossen Nasr, mengatakan: "Saat ini semakin banyak orang menjadi sadar bahwa aplikasi ilmu pengetahuan modern, yang sampai beberapa dekade yang lalu berasal dari Barat dan yang sekarang menyebar ke benua lainnya, telah menyebabkan secara langsung atau tidak langsung malapetaka lingkungan yang belum pernah terjadi sebelumnya, menyebabkan kemungkinan yang sangat nyata akan terjadinya kebangkrutan total tatanan alam" (Nasr, 1993: 71). AI-Faruqi juga mengatakan: ". . .keadaan umat saat ini dikonfrontasikan dengan peradaban Barat (Al-Attas, 1994: 65). Dan menurut al-Faruqi bahwa sistem pendidikan Islam telah dicetak di dalam sebuah karikatur Barat, sehingga ia dipandang sebagai inti malaise atau penderitaan yang dialami umat." Ia mengkritik ilmu pengetahuan Barat yang berkembang dewasa ini sebagai telah terlepas dari nilai dan harkat manusia, dari nilai-nilai spiritual dan harkat dengan Tuhan (Agus, 1999: 122). Begitu bersemangatnya, Sayyed Hussen Nasr, juga menganjurkan visinya yang menarik tentang sains Islami baru, yang dijauhkan dari matriks sekular dan humanistik (dari sains modern). la mengkritik apa yang disebutnya sebagai sains Barat karena menyebabkan kehancuran manusia dan alam. Begitu juga dengan Sardar, mengatakan bahwa pencarian sains yang Islami adalah kewajiban paling mendesak yang dihadapi kaum Muslim dewasa ini. Menurutnya, apa yang disebut sains Barat jelas tidak sesuai. Tidak saja karena penerapannya berbahaya tetapi juga karena epistemologinya secara mendasar bertentangan dengan pandangan Islam (Hood Boy, 1996: 132). Dalam posisi yang sama Syed Hossen Nasr, mengatakan: "Saat ini semakin banyak orang menjadi sadar bahwa aplikasi ilmu pengetahuan modern, yang sampai beberapa dekade yang lalu berasal dari Barat dan yang sekarang menyebar ke benua lainnya, telah menyebabkan secara langsung atau tidak langsung malapetaka lingkungan yang belum pernah terjadi sebelumnya, menyebabkan kemungkinan yang sangat nyata akan terjadinya kebangkrutan total tatanan alam" (Nasr, 1993: 71). AI-Faruqi juga mengatakan: ". . .keadaan umat saat ini dikonfrontasikan dengan

Al-Faruqi, berpendapat bahwa tugas yang paling besar seorang Muslim adalah "memecahkan masalah pendidikan". Selanjutnya ia mengatakan: "Tidak akan ada harapan kebangkitan sejati umat Islam ke- cuali sistem pendidikan dirubah dan kesalahan-kesalahannya diperbaiki... Dualisme yang ada dalam dunia pendidikan Muslim, kemenduaannya dalam bentuk sistem pendidikan Islam dan sekuler harus dihentikan dan dihilangkan. Kedua sistem tersebut harus disatukan dan diintegrasikan. Ilmu pengetahuan harus diislamkan sebagai persyaratan untuk menghilangkan dualisme sistem pendidikan dan sistem hidup Muslim".

Al-Faruqi mengatakan: "Ilmu pengetahuan, menurut tradisi Islam, tidak menerangkan dan memahami realitas sebagai entitas yang terpisah dan independen dari Realitas Absolut (Allah), tetapi melihatnya sebagai bagian yang integral dari eksistensi Allah. Oleh karena itu, Islamisasi ilmu pengetahuan harus diarahkan pada suatu kondisi analisis dan sintesa tentang hubungan realitas yang sedang dipelajari dengan hukum (pola) Tuhan (divine pattern)."

Sejalan dengan Faruqi, di atas Syed M. Naquib al-Attas mengatakan: "Sains kontemporer tumbuh dan berkembang dari sebuah filsafat yang sejak periode paling awalnya telah mengukuhkan pandangan bahwa segala sesuatu muncul terwujud dari sesuatu lainnya. Segala yang ada adalah kemajuan, perkembangan atau evolusi dari potensi laten di dalam materi yang bersifat kekal. Alam yang dilihat dari perspektif ini adalah suatu alam semesta yang tidak tergantung pada apapun dan kekal (tidak diciptakan); suatu sistem yang berdiri sendiri, dan berkembang menurut hukumnya sendiri. Penolakan terhadap realitas dan keberadaan Tuhan sudah tersirat dalam filsafat ini... Dengan demikian, pengakuan kita terhadap wahyu, sebagai satu-satunya sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran terakhir yang berkenaan dengan makhluk dan Khaliq-nya, memberikan landasan bagi suatu kerangka rnetafisika. Dalam kerangka inilah filsafat sains kita kembangkan sebagai sistem terpadu yang menerangkan realitas dan kebenaran itu dengan suatu cara yang tidak dapat dilakukan oleh metode-metode sekular filsafat dan sains modern"(Al-Attas, 1995: 27).

Gerakan pencarian epistemologi Islam ini tampak semakin nyata ketika pada tahun 1984 terbit majalah Afkar/ Inquiry. Di situ banyak dibahas masalah-masalah di sekitar epistemologi Islam. Bahkan beberapa penulis di antaranya telah maju selangkah dengan membahas dari sudut pandang Islam- temuan-temuan mutakhir sains modern dalam berbagai bidang, seperti biologi, antropologi, masalah lingkungan dan sebagainya.

Dari kelompok ini bisa dicatat nama-nama Ziauddin Sardar, Munawar Ahmad Anees, Parvez Mansoor, Gulzar Haider, Meryll Wynn Davies yang juga adalah redaksi di majalah tersebut." Mereka menyatakan bahwa dikotomi harus diakhiri dengan mengintegrasikan sistem pendidikan yang akan menghilangkan distingsi antara pengetahuan lama dan baru, dan meniadakan antagonisme. Apa solusi yang ditawarkan? Para pakar pendidikan Muslim untuk mengatasi soal dikotomi, adalah perlu dirumuskannya sistem pendidikan terpadu, di samping perlu diciptakan dan dikembangkan epistemologi Islam. Melalui usaha tersebut diharapkan dapat ditemukan metode-metode pengetahuan yang mampu membantu para sarjana Muslim dalam mengatasi masalah moral dan etika. Yang tentunya di samping adanya upaya peninjauan kembali kerangka teoritis sistem pendidikan yang memadukan ciri-ciri terbaik sistem tradisional dan sistem modern.

Ziauddin Sardar" memberikan solusi untuk menghilangkan dikotomi itu yakni dengan cara meletakkan epistemologi dan teori sistem pendidikan yang bersifat mendasar. Menurutnya, untuk menghilangkan sistem pendidikan dikotomis di dunia Islam perlu dilakukan usaha-usaha berikut: Pertama, dari segi epistemologi, umat Islam harus berani mengembangkan kerangka pengetahuan masa kini yang terartikulasi sepenuhnya. Ini berarti kerangka pengetahuan yang dirancang harus aplikatif, tidak sekadar "menara gading" saja. Kerangka pengetahuan dimaksud setidaknya dapat menggambarkan metode-metode dan Ziauddin Sardar" memberikan solusi untuk menghilangkan dikotomi itu yakni dengan cara meletakkan epistemologi dan teori sistem pendidikan yang bersifat mendasar. Menurutnya, untuk menghilangkan sistem pendidikan dikotomis di dunia Islam perlu dilakukan usaha-usaha berikut: Pertama, dari segi epistemologi, umat Islam harus berani mengembangkan kerangka pengetahuan masa kini yang terartikulasi sepenuhnya. Ini berarti kerangka pengetahuan yang dirancang harus aplikatif, tidak sekadar "menara gading" saja. Kerangka pengetahuan dimaksud setidaknya dapat menggambarkan metode-metode dan

Kedua, perlu ada suatu kerangka teoritis ilmu dan teknologi yang menggambarkan gaya-gaya dan metode-metode aktivitas ilmiah dan teknologi yang sesuai tinjauan dunia dan mencerminkan nilai dan norma budaya muslim. Ketiga, perlu diciptakan teori-teori sistem pendidikan yang memadukan ciri-ciri terbaik sistem tradisional dan sistem modern. Sistem pendidikan integralistik itu secara sentral harus mengacu pada konsep ajaran Islam, misalnya, konsep tazkiah al-nafs, tauhid, dan sebagainya. Di samping itu, sistem tersebut juga harus mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat muslim secara multidimensional masa depan. Dan yang terpenting lagi, pemaknaan pendidikan, mencari ilmu "talabul ilmi", sebagai pengalaman belajar sepanjang hidup.

Sejalan dengan pendapat Sardar, al-Faruqi sebagaimana dikutip Amrullah Ahmad (1991: 66), mengatakan bahwa dikotomi sistem pendidikan Islam yang telah menjadikan "malaise" penyakit umat Islam itu hanya dapat disembuhkan dengan "injeksi" epistemologis. Namun sebaliknya, Sardar mengatakan, dikotomi sistem pendidikan dan ilmu merupakan persoalan rumit, karenanya tidak mudah diselesaikan. Artinya, perlu langkah hati-hati. la berpendapat, dari pada mengislamkan disiplin ilmu yang telah berkembang di lingkungan sosial, etik, dan kultural Barat, lebih baik para pakar muslim memikirkan bagaimana menciptakan Sejalan dengan pendapat Sardar, al-Faruqi sebagaimana dikutip Amrullah Ahmad (1991: 66), mengatakan bahwa dikotomi sistem pendidikan Islam yang telah menjadikan "malaise" penyakit umat Islam itu hanya dapat disembuhkan dengan "injeksi" epistemologis. Namun sebaliknya, Sardar mengatakan, dikotomi sistem pendidikan dan ilmu merupakan persoalan rumit, karenanya tidak mudah diselesaikan. Artinya, perlu langkah hati-hati. la berpendapat, dari pada mengislamkan disiplin ilmu yang telah berkembang di lingkungan sosial, etik, dan kultural Barat, lebih baik para pakar muslim memikirkan bagaimana menciptakan

Menurut Syed All Asyraf Ahmad, 1991: 65), dikotomi sistem pendidikan yang ada di negara-negara Muslim itu bisa dilebur dalam satu sistem. Namun ada syarat utama yakni fondasi filosofis harus Islam. Bersamaan dengan itu, kandungan materi (subyek kurikulum) religius harus tetap ada untuk spesialisasi. Setiap pelajar harus memiliki semua pengetahuan dasar yang diperlukan sebagai seorang muslim. Dan agar memenuhi tuntutan sebagai sistem pendidikan modern, semua pengetahuan yang termuat di dalamnya harus diatur dan disusun atas prinsip kesinambungan, urutan dan integrasi.

Situasi dikotomi pendidikan yang semakin kritis itu perlu upaya konsep pemecahannya. Dan untuk memperoleh kembali identitas peradaban dan intelektualitas Islam digelontorkanlah gebrakan Islamisasi semua ilmu pengetahuan dalam ilmu-ilmu sosial (Barzinji, 1998: 50).

Gagasan awal paradigma Islamisasi ilmu pengetahuan rupanya lebih melihat pemikiran dan pandangan non-muslim, terutama pandangan ilmuwan Barat, sebagai ancaman yang sangat dominan dan orang-orang Islam harus berlindung menyelamatkan identitas dan otentisitas ajaran agamanya. Karena itu ia cenderung menggali teks dalam rangka mengendalikan perubahan sosial, dan perlu merumuskan ukuran-ukuran normatif di bidang pengetahuan agar ditemukan corak yang lebih "khas Islam".

Islamisasi pengetahuan berarti mengislamkan atau melakukan pengkudusan/penyucian terhadap ilmu pengetahuan produk non-muslim (Barat) yang selama ini dikembangkan dan dijadikan acuan dalam wacana pengembangan sistem pendidikan Islam, agar diperoleh ilmu pengetahuan yang bercorak "khas Islami". Namun kendati sudah berjalan lebih satu dasawarsa, hasil konkrit dari upaya ini belum dapat dirasakan. Dan bah- kan, upaya Islamisasi ilmu ini telah ditentang oleh Mohammed Arkoun, seorang guru besar Islamic Studies pada Universitas Sorbone Perancis. Dia mengatakan bahwa merupakan kesalahan bila ada keinginan dari para cendekiawan muslim untuk melakukan Islamisasi ilmu dan teknologi, sebab hal ini dapat menjebak kita pada pendekatan yang menganggap Islam hanya semata-mata sebagai ideologi.

Pervez Hoodbhoy, seorang fisikawan muda Universitas Quad-i- Azam, Pakistan, mengatakan: "Meskipun selama beberapa abad telah beredar argumen-argumen bersemangat yang menegaskan mengapa sains Islam harus ada, dan meskipun sejumlah besar konferensi internasional telah dilaksanakan demi terbentuknya sains Islam, secara umum usaha- usaha untuk menciptakan sains yang diberkahi dan dilengkapi dengan sebuah epistemologi baru telah gagal. Secara tegas dapat dikatakan hanya sedikit manfaat pencarian ini. Sains Islam tidak mengarah ke pembuatan mesin atau instrumen sains, sintesis senyawa kimia atau obat-obatan yang baru, rencana percobaan baru, atau penemuan hal-hal yang sampai sekarang belum diketahui dengan fakta fisik yang dapat diuji. Malah

sebaliknya, para pelaku sains Islam telah mengarahkan penelitian mereka kepada masalah-masalah yang terletak di luar wilayah sains yang umum, misalnya, masalah-masalah yang tidak dapat dibuktikan seperti kecepatan Surga, temperatur Neraka, komposisi kimia Jin, rumusan untuk menghitung derajat kemunafikan, penjelasan tentang Isra' Mi'raj berdasarkan teori relativitas dan sejumlah contoh-contoh lain yang digambarkan dalam artikel Mereka menyebutnya sains Islam. Masih menjadi tanda tanya, apakah penemuan-penemuan yang disebut sains Islam ini sesuai dengan Tauhid Islam. Tetapi bila menurut kriteria teori- teori ilmiah, jelas sekali tidak memenuhi syarat (Hoodbhoy, 1996: 139).

Fazlur Rahman, misalnya dengan jelas menolak gagasan Islamisasi pengetahuan. Dia mengatakan: "Selama masalah ini masih menyangkut Islamisasi ilmu pengetahuan, saya menyimpulkan bahwa kita seharusnya tidak perlu susah payah membuat rencana dan bagan bagaimana menciptakan ilmu pengetahuan yang Islami. Lebih baik kita manfaatkan waktu, energi dan uang untuk berkreasi (Fadjar, 1998: 166)."

Sejalan dengan para pakar di atas, Kuntowidjojo (1994: 100) yang sosial Barat. Bagaimana nasib ilmu yang belum diislamkan? Bagaimana nasib Islam tanpa ilmu?". Dengan ungkapan seperti ini, Kunto tidak bermaksud menolak Islamisasi Ilmu; tapi selain membedakan antara ilmu sosial profetik dengan Islamisasi ilmu itu sendiri, juga bermaksud menghindarkan pandangan yang bersifat dikotomis dalam melihat ilmu- ilmu Islam dan bukan Islam.

Dengan gagasannya ini, Kunto merumuskan sebuah cara berfikir dengan sebuah paradigma baru. Dalam sebuah wawancara dengan Jurnal Ulumul Qur'an, mengatakan: "Karena Islam, dalam sejarahnya memang telah memainkan peran yang cukup penting dalam mata rantai peradaban dunia, hal ini juga membuktikan bahwa paradigma Islam itu bersifat terbuka. Dengan demikian Islam tidak sekadar mewarisi, tetapi juga melakukan enrichment dalam substansi dan bentuknya. Melalui inilah Islam akhirnya mampu menyumbangkan warisan-warisannya sendiri yang otentik. Karl Marx dan para pengikutnya saja telah menyumbangkan sebuah paradigma. Sebagai salah satu pewaris dalam mata rantai kemanusiaan, kita pun punya hak yang sama. Ini berarti bahwa ilmu sosial profetik itu untuk semua orang. Dan memang Islam sendiri adalah rahmatan li al-`alamin, tidak khusus li al-muslimin".

Pada titik inilah Kunto mengedepankan perlunya menjadikan Alqur’an sebagai paradigma dalam perumusan teori, khususnya dalam ilmu sosial. Apa yang dimaksud "paradigma" oleh Kunto adalah seperti dipahami oleh Thomas Kuhn, bahwa realitas sosial itu dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang pada gilirannya akan menghasilkan mode of knowing tertentu pula. Dengan mengikuti pengertian ini, paradigma Alqur’an, bagi Kunto, berarti "suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana Alqur’an memahaminya". Konstruksi pengetahuan ini dibangun oleh al- Qur'an agar kaum muslim memiliki "hikmah" yang atas dasar itu dibentuk Pada titik inilah Kunto mengedepankan perlunya menjadikan Alqur’an sebagai paradigma dalam perumusan teori, khususnya dalam ilmu sosial. Apa yang dimaksud "paradigma" oleh Kunto adalah seperti dipahami oleh Thomas Kuhn, bahwa realitas sosial itu dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang pada gilirannya akan menghasilkan mode of knowing tertentu pula. Dengan mengikuti pengertian ini, paradigma Alqur’an, bagi Kunto, berarti "suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana Alqur’an memahaminya". Konstruksi pengetahuan ini dibangun oleh al- Qur'an agar kaum muslim memiliki "hikmah" yang atas dasar itu dibentuk

Menurut Kuhn (Sardar, 2002: V), ilmu bergerak melalui tahapan- tahapan yang akan berpuncak pada kondisi normal dan kemudian "membusuk" karena digantikan oleh ilmu atau paradigma baru. Demikian seterusnya. Paradigma baru mengancam paradigma lama yang sebelumnya juga menjadi paradigma baru, sehingga terjadilah proses benturan dan perang antar paradigma. Salah satu kasus yang bisa ditunjuk sebagai contoh perang paradigma itu adalah perdebatan tentang status ilmu: bebas nilai atau penuh kepentingan. Sebagaimana kasus krusial dalam pembahasan ini, antara yang pro dan kontra tentang "Islamisasi Ilmu Pengetahuan".

Kuhn menunjukkan bagaimana ilmu telah menjadi simbol kultural yang diperebutkan, dan memperlihatkan perlunya sebuah sintesis baru `pasca normal' untuk melampaui berbagai perdebatan lama. Ilmu bukan lagi persoalan pembuktian-pembuktian oleh para pakar keilmuan semata, melainkan sebuah dialog antar semua pihak yang terlibat dalam suatu masalah.

Kunto, juga menyarankan agar umat Islam perlu mengubah cara berfikir dan bertindaknya, dari pola ideologi ke pola keilmuan. Islam sebagai konsep normatif, memang dapat dijabarkan sebagai sebuah ideologi sebagaimana yang diketengahkan selama ini. Hanya saja, kata Kunto, ideologi itu justru lebih bersifat subyektif, normatif dan tertutup. Untuk itulah, Kunto menawarkan alternatif berupa penjabaran Islam normatif menjadi teori-teori. Maksudnya Islam perlu dipahami sebagai dan dalam kerangka ilmu. Sebab, pola keilmuan akan lebih menjanjikan sifat yang obyektif, faktual dan terbuka. Sehingga, lewat kerangka ilmu itu, terutama yang empiris, umat Islam akan lebih bisa memahami realitas sebagaimana Alqur’an memahaminya. Dengan cara itu, umat akan dapat melakukan transformasi sosial berdasarkan cita-cita etik dan profetik searah yang ditunjuk Alqur’an, yaitu humanisasi, liberasi dan transen- densi.

Realisasi gagasan ini, Kunto menawarkan pendekatan sintetik analitik dalam memahami Alqur’an. Suatu pendekatan yang memberlakukan Alqur’an sebagai konsep-konsep dan kisah- kisah sejarah atau amsal agar dengan mengacu kepada hal itu, manusia dapat melakukan transformasi psikologis, sekaligus memberlakukan al- Qur'an sebagai data atau dokumen dari Tuhan yang berisi postulat teoritis dan teologis sekaligus. Dengan pendekatan seperti ini, demikian Kunto, ayat- ayat Alqur’an sesungguhnya merupakan pernyataan-pernyataan normatif Realisasi gagasan ini, Kunto menawarkan pendekatan sintetik analitik dalam memahami Alqur’an. Suatu pendekatan yang memberlakukan Alqur’an sebagai konsep-konsep dan kisah- kisah sejarah atau amsal agar dengan mengacu kepada hal itu, manusia dapat melakukan transformasi psikologis, sekaligus memberlakukan al- Qur'an sebagai data atau dokumen dari Tuhan yang berisi postulat teoritis dan teologis sekaligus. Dengan pendekatan seperti ini, demikian Kunto, ayat- ayat Alqur’an sesungguhnya merupakan pernyataan-pernyataan normatif

Menurut Kunto, perlu reorientasi kesadaran agar konsep-konsep normatif dapat dipahami secara empiris. Kesadaran yang dikehendaki adalah bentuk kesadaran ilmiah untuk memformulasikan konsep-konsep normatif menjadi konsep-konsep teoritis. Hal ini memerlukan obyek- tifikasi dan konseptualisasi agar tingkat kesadaran teologis kita pada tingkat normatif, dapat menjadi lebih historis dan kontekstual. Di sinilah, Kunto ingin menekankan agar teologi kita bisa fungsional secara empiris, maka kita harus menderivasikan konsep-konsep normatif menjadi teoritis. Caranya lewat upaya konseptualisasi ke dalam bahasa ilmu, bahasa yang obyektif, karena hanya melalui bahasa ilmulah, kita dapat berdialog dan berkomunikasi dengan realitas secara obyektif. Dengan kata lain, kita melakukan proses yang oleh Kunto dinamakan theory construction perumusan teori-teori ilmu, yaitu dengan menderivasikan premis-premis dari konsep-konsep normatif. Kunto yakin bahwa tanpa melalui proses teoretisasi ini, bukan hanya tidak mampu dalam memahami realitas sosial dalam perspektif Islam, tetapi juga membuat kita "terombang-ambing" dalam menyikapi arus perubahan sosial yang begitu dahsyat. Di sinilah Kunto berspekulasi tentang "Paradigma Islam tentang Transformasi Sosial". la berkeyakinan bahwa perlunya itu semua, karena penerjemahan ideologi Islam dalam kenyataan, berarti mengubah masyarakat sesuai dengan cita-cita dan visi Islam mengenai transformasi sosial. Suatu teori Menurut Kunto, perlu reorientasi kesadaran agar konsep-konsep normatif dapat dipahami secara empiris. Kesadaran yang dikehendaki adalah bentuk kesadaran ilmiah untuk memformulasikan konsep-konsep normatif menjadi konsep-konsep teoritis. Hal ini memerlukan obyek- tifikasi dan konseptualisasi agar tingkat kesadaran teologis kita pada tingkat normatif, dapat menjadi lebih historis dan kontekstual. Di sinilah, Kunto ingin menekankan agar teologi kita bisa fungsional secara empiris, maka kita harus menderivasikan konsep-konsep normatif menjadi teoritis. Caranya lewat upaya konseptualisasi ke dalam bahasa ilmu, bahasa yang obyektif, karena hanya melalui bahasa ilmulah, kita dapat berdialog dan berkomunikasi dengan realitas secara obyektif. Dengan kata lain, kita melakukan proses yang oleh Kunto dinamakan theory construction perumusan teori-teori ilmu, yaitu dengan menderivasikan premis-premis dari konsep-konsep normatif. Kunto yakin bahwa tanpa melalui proses teoretisasi ini, bukan hanya tidak mampu dalam memahami realitas sosial dalam perspektif Islam, tetapi juga membuat kita "terombang-ambing" dalam menyikapi arus perubahan sosial yang begitu dahsyat. Di sinilah Kunto berspekulasi tentang "Paradigma Islam tentang Transformasi Sosial". la berkeyakinan bahwa perlunya itu semua, karena penerjemahan ideologi Islam dalam kenyataan, berarti mengubah masyarakat sesuai dengan cita-cita dan visi Islam mengenai transformasi sosial. Suatu teori

Cita-cita transformasi Islam menurut Kunto adalah, "Bahwa cita- cita itu, berakar pada misi ideologis amar ma'ruf dan nahiy munkar. Yang pertama berarti humanisasi, dan yang kedua lebih liberasi (pembebasan). Setiap gerakan Islam ke arah transformasi sosial pasti melibatkan unsur humanisasi, liberasi dan transendensi. Karena itu, agar terancang lebih sistematis dan ilmiah, suatu gerakan sosial, harus dimotivasikan dan didasarkan pada teori sosiai. Tetapi karena teori sosial Islam, sedang dibangun, kita perlu melihat perkembangan teori sosial Barat khususnya yang berkaitan dengan transformasi sosial.

Istilah "transformasi" yang dipakai Kunto, lebih tepat kita sebut "perubahan sosial" seperti sering muncul dalam khazanah ilmu sosial Dur- kheimian maupun Parsonian.

Tiga muatan nilai inilah humanisasi, liberasi dan transendensi yang mengkarakteristikkan ilmu sosial profetik. Dengan kandungan nilai-nilai, humanisasi, liberasi dan transendensi, ilmu sosial prafetik diarahkan untuk rekayasa masyarakat menuju cita-cita sosial-etiknya di masa depan. Paradigma profetik sebagaimana penjelasan Kunto, di atas, tetap menjadi acuan penulis dalam memotret dunia pendidikan Islam yang segera membutuhkan penanganan serius dalam kaitannya dengan isu krusial tentang dikotomi ilmu pengetahuan, termasuk kesenian. Hanya saja, paradigma profetik di sini tidak sepenuhnya setia dengan gagasan awal

Kunto dalam memotret ilmu-ilmu sosial yang dirasakannya telah kehilangan ruh-ruh mendasarnya, meskipun bukan berarti lepas sama sekali.

Dalam konteks pengembangan pendidikan Islam dan kesenian, ketiga nilai profetik (humanisasi, liberasi dan transendensi) tetap menjadi acuan penulis sebagai kerangka acuan kajian filosofis. Karena sebagaimana yang dikatakan oleh Kunto: "Bahwa setiap gerakan Islam ke arah transformasi sosial pasti melibatkan unsur humanisasi, liberasi dan transendensi. Karena itu, agar terancang lebih sistematis dan ilmiah., suatu gerakan sosial, harus dimotivasikan dan didasarkan pada teori sosial. Tetapi karena teori sosiai Islam, sedang dibangun, kita perlu melihat perkembangan teori sosial Barat khususnya yang berkaitan dengan transformasi sosial".

Islam adalah agama yang menghendaki perubahan, ia datang bukan untuk melegitimasikan status quo; sebaliknya, ia lahir dalam konteks sosio-politik Makkah yang pincang untuk merubahnya menjadi tatanan yang tidak eksploitatif, adil dan egaliter. Banyak pemikir Muslim juga non muslim yang mengidentifikasikan Islam sebagai agama pembebasan. Tercatat nama-nama pemikir Islam modernis seperti Jamaluddin al- Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Sayyed Qutb dan Muhammad Rasyid Ridha. Sementara, di kalangan pemikir kontemporer, tercatat pula nama-nama seperti Ali Syari'ati, Asghar Ali Engineer, Paulo Freire, A. Ezzati, Murtadha Muthahari, Mahmud Muhammad Thaha,

Hassan Hanafi, Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammed Arkoun, hingga pemikir muslim Indonesia seperti Haji Misbah, HOS Tjokroaminoto, Nurcholish Madjid, Kuntowidjojo, K. H. Abdurrahman Wahid dan Jalaluddin Rahmat. Kesemuanya berpijak pada dasar yang kurang lebih sama, bahwa Islam adalah rahmatan lil al`alamin, antitesis dari segala sistem yang menindas.

Sayyid Qutb (Mansur, 1994: 143) misalnya menegaskan, bahwa Islam adalah aqidah revolusioner yang aktif, yang merupakan suatu proklamasi pembebasan manusia dari perbudakan manusia. Meminjam istilah yang pernah diwacanakan oleh Muhammed Arkoun, bahwa kebebasan merupakan data khas Islam, karena agama Islam adalah agama yang memproklamirkan diri sebagai agama pembebasan. Maka, sesungguhnya pendidikan Islam sebagai sarana transformasi nilai-nilai keislaman juga seharusnya mampu memproses manusia-manusia pembebas. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa pendidikan dalam Islam juga berperan sebagai praktek pembebasan." Islam telah mengajarkan kepada umat manusia bagaimana kebebasan berpikir itu sesuai dengan ortodoksi keagamaan. Dan sebagai implikasinya, Islam mendefinisikan kebenaran sebagai ha1 yang umum dan mencakup kaum muslim maupun non-muslim (Arkoen, 1994: 175). Yang perlu digarisbawahi adalah sesungguhnya misi Islam yang paling besar adalah pembebasan manusia (Kuntowidjojo, 1991: 164).

Dalam konteks dinamika dunia modern, misi Islam yang utama berarti harus membebaskan manusia dari kungkungan bermacam aliran pemikiran dan filsafat yang menganggap manusia tidak mempunyai kemerdekaan dan hidup dalam absurditas. Dunia modernlah yang telah menciptakan sistem-sistem yang membelenggu manusia; yang berupa sistem-sistem produksi karena ketergantungannya kepada hasil rekayasa teknologi, sistem-sistem sosial dan ekonomi, maupun sistem-sistem lain yang menyebabkan manusia tidak dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang merdeka dan bermartabat mulia. Sekali lagi, Islam harus mengambil inisiatif melakukan revolusi untuk merombak semua tatanan yang membelenggu, yaitu sebuah misi revolusioner bagi pembebasan manusia.

Dengan kebebasan, Islam memiliki komitmen yang tinggi dan bahkan mernberikan tempat terhormat kepada pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi. Jangkauan misi Islam menurut Mohammed Arkoen adalah: "Mampu menyatukan kebebasan-kebebasan dan peraturan- peraturan, individualisme dan kolektivisme, ilmu dan agama, rasionalisme dan efektivitas, jiwa dan materi, wahyu dan nalar, kehidupan ini dan yang lain, dunia misteri dan dunia meraba, stabilitas dan evolusi, masa lalu dan masa kini, pelestarian dan pembaharuan, Islam dan kemanusiaan".

Semestinya, semangat pembebasan lebih menggiatkan kinerja pendidikan Islam, sehingga mampu mengambil prakarsa yang mengarah kepada kondisi-kondisi pembebasan meskipun tetap menjaga keterpaduan

dengan norma-norma agama. Menurut Asghar Ali Engineer, seluruh kandungan Alqur’an berintikan semangat pembebasan manusia dari eksploitasi dan penindasan. Teologi pembebasan dalam Islam mendapatkan kekuatannya dari ajaran-ajaran Alqur’an. Orang-orang yang tidak berjuang untuk membebaskan orang-orang yang tertindas dan lemah tidak mengaku benar-benar beriman dengan hanya beriman secara verba1 (Enggeneer, 1993: 97). Pandangan ini didasarkan kepada ayat Alqur’an: Apakah manusia itu mengira bahwa dirinya dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi". (Q. S. al-Ankabut: 2).

Maka, untuk bisa melahirkan sosok-sosok pembebas, nilai kebebasan harus sudah tercermin dalam proses pendidikan semenjak dini, ketika seorang anak sudah mulai mengenal huruf-huruf Alqur’an. Hal ini sangat mungkin jika pendidikan Islam dikembangkan dengan pendekatan seni budaya masyarakat yang demokratis dan dialogis.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mengapa pendidikan Islam seringkali hanya berkutat pada romantisme pemikiran klasik. Hanya sebatas mengkaji karya-karya klasik atau warisan tradisi masa lalu tanpa mempertautkan dengan realitas aktual? Pertanyaan kritis ini sekaligus memunculkan suatu image, yang dalam kenyataannya, pendidikan Islam masih terkesan ketinggalan zaman. Inilah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.