Demokrasi dan Kerukunan Umat Beragama
2.2.5.4 Demokrasi dan Kerukunan Umat Beragama
Terlalu banyak ujian dalam upaya mewujudkan kerukunan umat beragama di Indonesia. Eksekusi mati terhadap terpidana Tibo cs di Palu, Jum’at pagi telah memicu reaksi keras dari sekelompok massa di Atambua, Nusa Tenggara Timur. Reaksi masyarakat NTT tersebut menunjukkan bahwa tingkat kedewasaan umat beragama di Indonesia masih rendah. Kenyataan tersebut sekaligus mewartakan paradoks politik transisi Indonesia pasca-Orde Baru. Betapa tidak, pemerintahan di era reformasi selalu berikhtiar memperbaiki keadaan bangsa dibandingkan masa sebelumnya. Pemikiran tersebut berangkat dari kenyataan bahwa kondisi sosial politik negara di masa rezim Soeharto tidak ekuivalen bagi proses demokrasi, pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Karena itu, gagasan reformasi diarahkan untuk memperbaiki semua kondisi yang tidak kondusif tadi ke arah yang lebih baik. Akan tetapi, alih-alih memperbaiki keadaan, perkembangan kondisi pasca-Orde Baru justru membuat pelbagai perikehidupan sosial rakyat makin buruk, ditandai dengan menurunnya tingkat daya beli masyarakat, meningkatnya angka pengangguran, maraknya kriminalitas, serta masih rendahnya tingkat partisipasi pendidikan dibandingkan dengan negara tetangga. Titik balik reformasi bukanlah isapan jempol. Harapan-harapan atas perubahan akhirnya berbuah kekecewaan. Di mana-mana muncul frustrasi sosial, eskapisme, pesimisme, atau keputusasaan menghadapi masa depan kehidupan bangsa yang tidak menentu.
Kerusuhan bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) menunjukkan masih rentannya kohesi sosial bangsa. Cita-cita membangun Indonesia yang satu, sebagaimana diformulasikan oleh pendiri negara (The Founding Father and Mothers) seakan sirna ketika desing peluru, hujaman meriam, dan sabetan pedang menyimbahkan darah saudara-saudaranya sendiri. Doktrin perdamaian dan persaudaraan yang dibangun dan dijaga sejak zaman nenek moyang, seperti tradisi pela gandong di Maluku, akhirnya diruntuhkan dan diinjak-injak oleh anak cucunya sendiri dengan wajah angkara murka. Emosi dendam pun mengalahkan rasionalitas perdamaian.
Tragedi Ambon, Halmahera, Poso, Palu, Sampit, Palangkaraya dan beberapa daerah lain tak cuma mewartakan disharmoni masa kini tetapi juga masa depan bangsa. Kerukunan sosial seolah menjadi mimpi ketika sesama anak bangsa sulit mewujudkan titik akur. Celakanya, konflik paling laten di di negeri ini selalu berwarna SARA, terutama konflik berlatar belakang suku dan agama. Masalahnya, konflik antar-suku mungkin bisa diatasi dengan kerangka resep nasionalisme, akan tetapi konflik antar-agama sulit di-therapy dengan hanya mengandalkan jargon kebangsaan. Pasalnya, agama selalu dipandang sebagai entitas supra-nasional.
Padahal, secara teoretis, apa susahnya membangun harmoni sosial, toleransi, dan konsensus. Indonesia bisa belajar dari banyak negara majemuk lainnya. Amerika Serikat, sebagai contoh, adalah negara yang mampu membangun harmoni sosial secara matang. Negeri Paman Sam ini dikenal sebagai bangsa plural. Penduduknya berasal (bermigrasi) dari berbagai bangsa di lima benua plus penduduk “asli” (Indian). Beragam warna kulit, agama, bahasa ibu, tradisi, dan kebiasaan lama akhirnya bercampur menjadi satu dalam semangat Keamerikaan. Walaupun dari dalam terdiri dari banyak entitas, akan tetapi ke luar mereka tampil sebagai bangsa Amerika. Belajar dari Amerika, barangkali kesulitan Indonesia membangun harmoni sosial karena belum dewasanya rakyat kita dalam menjalani proses kehidupan nasional. Bahkan, alih-alih berharap rakyat dewasa berpolitik, lapisan elit sendiri sulit menjalani proses kehidupan sosial yang harmonis dan toleran. Sesama elit masih sering bertikai secara kasar.
Dalam perspektif tersebut, maka kerukunan umat beragama harus dibangun dalam kerangka kohesi sosial yang utuh dan solid. Kerukunan umat beragama akan menjadi cermin masa depan bangsa. Pilihannya hanya dua: mau menjadi “cermin retak” atau “cermin bening”. Pelbagai pertentangan yang muncul harus diatasi dalam kerangka etika demokrasi, bukan malah dalam kerangka “hukum rimba”, sekalipun mengatasnamakan doktrin keyakinan agama masing-masing. Demokrasi kebangsaan harus mengatasi (menjadi “penengah”) semua paham yang ada, termasuk paham keagamaan.