TEMUAN LAI N

C. TEMUAN LAI N

1. KETERKAI TAN ANTARA KEENAM VI SI DAN KETI GA MI SI Meski tidak diartikulasikan ke dalam pertanyaan riset, pertanyaan lain yang dapat pula diajukan ialah tentang “seberapa jauh keterkaitan antara keenam Visi dan ketiga Misi, yang terdiri dari: Bersikap Konsisten, Bersikap Adil, dan Bersikap Independen“.

a. Bersikap Konsisten

Pada Tabel 20 terpapar sumbangan relatif dari Kompetensi Melakukan Tuntutan, Kompetensi Melakukan Pelayanan Publik, Kompetensi Bertindak Profesional, Kemampuan Menerapkan Standar Kerja, Kemampuan Kerjasama Dengan Semua Elemen Peradilan, dan Kemampuan Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat dengan Bersikap Konsisten. Teknik analisis yang digunakan ialah Linear Multiple Regression dengan metode Stepwise yang mengeksplorasi tiga model:

a. Model I: Predictors: (Constant), KOMPETENSI MELAKUKAN PELAYANAN PUBLIK;

b. Model II: Predictors: (Constant), KOMPETENSI MELAKUKAN PELAYANAN PUBLIK, KOMPETENSI MELAKUKAN TUNTUTAN; dan

c. Model II: Predictors: (Constant), KOMPETENSI MELAKUKAN PELAYANAN PUBLIK, KOMPETENSI MELAKUKAN TUNTUTAN, MENINGKATKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT

Ringkasan Model Hubungan Antara Keenam Visi dan Misi Bersikap

Konsisten

Adjusted

Std. Error

R Square

R Square

of the

Change Statistics

Estimate

Model

F df1 df2 Sig. F

Square

Change

Change

Change

Tabel 21

Koefisien Korelasi Murni ( Parsial) Yang Signifikan Antara Keenam Visi dan

Misi Bersikap Konsisten

Correlations

Model Zero- order Partial Part

1. KOMPETENSI MELAKUKAN PELAYANAN .811 .811 .811 PUBLI K

2. KOMPETENSI MELAKUKAN PELAYANAN .811 .580 .390 PUBLI K

KOMPETENSI MELAKUKAN TUNTUTAN

3. KOMPETENSI MELAKUKAN PELAYANAN .811 .374 .215 PUBLI K KOMPETENSI MELAKUKAN TUNTUTAN .740 .289 .161 MENI NGKATKAN KEPERCAYAAN

MASYARAKAT .777 .235 .129

a Dependent Variable: BERSIKAP KONSISTEN Dengan memanfaatkan hasil analisis Model II, nampak bahwa Misi BERSIKAP

KONSISTEN secara SANGAT SIGNIFIKAN dapat diprediksikan dengan Visi KOMPETENSI MELAKUKAN PELAYANAN PUBLIK (39% ), dan KOMPETENSI MELAKUKAN TUNTUTAN (20% ). Daya prediksi dari gabungan kedua visi ini adalah sebesar 69% ( Adjusted

R 2 = 0,694; df= 1; p ≤ 0.000). Ada sekitar 31% dari realitas BERSIKAP KONSISTEN yang tidak dapat dijelaskan dengan gabungan kedua visi. Tegasnya, untuk mampu bersikap konsisten, yang seharusnya diupayakan adalah peningkatan kompetensi dalam pelayanan publik dan melakukan tuntutan.

b. Bersikap Adil

Pada Tabel 22 di bawah ini pembaca dapat mencermati sumbangan relatif dari keenam Visi, yakni: Kompetensi Melakukan Tuntutan, Kompetensi Melakukan Pelayanan Publik, Kompetensi Profesional, Kemampuan Menerapkan Standar Kerja, Kemampuan Kerjasama Dengan Semua Elemen Peradilan, dan Kemampuan Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat terhadap Misi Bersikap Adil. Teknik analisis yang digunakan Pada Tabel 22 di bawah ini pembaca dapat mencermati sumbangan relatif dari keenam Visi, yakni: Kompetensi Melakukan Tuntutan, Kompetensi Melakukan Pelayanan Publik, Kompetensi Profesional, Kemampuan Menerapkan Standar Kerja, Kemampuan Kerjasama Dengan Semua Elemen Peradilan, dan Kemampuan Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat terhadap Misi Bersikap Adil. Teknik analisis yang digunakan

1. Model I: Predictors: (Constant), KOMPETENSI MELAKUKAN PELAYANAN PUBLIK;

2. Model II: Predictors: (Constant), KOMPETENSI MELAKUKAN PELAYANAN PUBLIK, KOMPETENSI MELAKUKAN TUNTUTAN.

Tabel 22

Ringkasan Model Hubungan Antara Keenam Visi dan Misi Bersikap Adil

Std. Error

R R Square Adjusted R Square

of the

Change Statistics

Estimate

Sig. F Model

R Square

Change

F Change

df1

df2

Change

Tabel 23

Koefisien Korelasi Murni ( Parsial) Yang Signifikan Antara Keenam Visi dan

Misi Bersikap Adil

Correlations

Model Zero- order Partial Part

1. KOMPETENSI MELAKUKAN PELAYANAN

PUBLI K

2. KOMPETENSI MELAKUKAN PELAYANAN PUBLI K

KOMPETENSI MELAKUKAN TUNTUTAN

Dependent Variable: BERSIKAP ADIL

Dengan memanfaatkan hasil analisis Model I, nampak bahwa Misi BERSIKAP ADIL SECARA SIGNIFIKAN dapat diprediksikan dengan Visi KOMPETENSI MELAKUKAN PELAYANAN PUBLIK (82% ). Daya prediksi dari gabungan kedua visi ini adalah sebesar 69.5% ( Adjusted R2= 0,676; df= 1; p ≤ 0.006). Sisanya, sekitar 33.4% dari realitas

BERSIKAP ADIL, tidak dapat dijelaskan dengan visi ini. Tegasnya, jika kompetensi melakukan pelayanan publik ditingkatkan atau diperbaiki, maka para jaksa akan lebih mampu bersikap adil.

c. Bersikap I ndependen

Pada Tabel 24 di bawah ini terpapar sumbangan relatif dari Kompetensi Melakukan Tuntutan, Kompetensi Melakukan Pelayanan Publik, Kompetensi Profesional, Kemampuan Menerapkan Standar Kerja, Kemampuan Kerjasama Dengan Semua Elemen

Bersikap Konsisten. Teknik analisis yang digunakan ialah Linear Multiple Regression dengan metode Stepwise yang mengesplorasi tiga model:

a. Model I: Predictors: (Constant), MENINGKATKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT;

b. Model II: Predictors: (Constant), MENINGKATKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT, KEMAMPUAN MENERAPKAN STANDAR KERJA;

c. Model III: Predictors: (Constant), MENINGKATKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT, KEMAMPUAN MENERAPKAN STANDAR KERJA, KOMPETENSI MELAKUKAN PELAYANAN PUBLIK;

d. Model IV: Predictors: (Constant), MENINGKATKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT, KEMAMPUAN MENERAPKAN STANDAR KERJA, KOMPETENSI MELAKUKAN PELAYANAN PUBLIK, KEMAMPUAN KERJASAMA DENGAN SEMUA ELEMEN PERADILAN; dan

e. Model V: Predictors: (Constant), MENINGKATKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT, KOMPETENSI MELAKUKAN PELAYANAN PUBLIK, KEMAMPUAN KERJASAMA DENGAN SEMUA ELEMEN PERADILAN

Tabel 24

Ringkasan Model Hubungan Antara Keenam Visi dan Misi Bersikap

I ndependen

RR

Adjusted

Std. Error

of the

Change Statistics

Square

R Square

Estimate

F Sig. F

Model

Square

df1 df2

Change

Change

Change

Tabel 25

Koefisien Korelasi Murni ( Parsial) Yang Signifikan Antara Keenam Visi dan

Misi Bersikap I ndependen

Correlations

Model Zero- order Partial Part

1. MENI NGKATKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT

2. MENI NGKATKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT

3. MENI NGKATKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT .770 .333 .205

.686 .251 .150 KOMPETENSI MELAKUKAN PELAYANAN PUBLI K

KEMAMPUAN MENERAPKAN STANDAR KERJA

4. MENI NGKATKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT .770 .294 .173

.686 .154 .088 KOMPETENSI MELAKUKAN PELAYANAN PUBLI K

KEMAMPUAN MENERAPKAN STANDAR KERJA

.765 .248 .145 KEMAMPUAN KERJASAMA DENGAN SEMUA ELEMEN

PERADI LAN

5. MENI NGKATKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT .770 .305 .183 KOMPETENSI MELAKUKAN PELAYANAN PUBLI K

.765 .313 .188 KEMAMPUAN KERJASAMA DENGAN SEMUA ELEMEN

PERADI LAN

a Dependent Variable: BERSIKAP INDEPENDEN Dengan memanfaatkan hasil analisis Model II, nampak bahwa Misi BERSIKAP

INDEPENDEN SECARA SANGAT SIGNIFIKAN dapat diprediksikan dengan Visi KOMPETENSI MENINGKATKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT (41,6% ), dan KEMAMPUAN MENERAPKAN STANDAR KERJA (22,3% ). Daya prediksi dari gabungan kedua visi ini adalah sebesar 63.6% ( Adjusted R2= 0,636; df= 1; p ≥ 0.000). Sisanya, sekitar 30.5% dari realitas BERSIKAP ADIL, tidak dapat dijelaskan dengan gabungan kedua visi ini. Pendeknya, asalkan para jaksa mampu meningkatkan kompetensi membangun kepercayaan masyarakat dan menerapkan standar kerja, niscaya mereka lebih mampu bersikap independen.

2. KETERKAI TAN ANTARA PRI NSI P-PRI NSI P PENEGAKAN HUKUM DAN KETI GA MI SI KEJAKSAAN

a. Pengaruh Kedelapan Prinsip Penegakan Hukum Terhadap Misi “Bersikap

I ndependen”

Tabel 26 berikut menunjukkan bagaimana sumbangan prinsip respect for the law, fairness, independence, respect for persons, diligence and efficiency, integrity, accountability and openness/ transparency, dan rensponsibility of tribunal head terhadap misi “bersikap independen”. Dari kedelapan prinsip, hanya prinsip independence (F=

18,120 ; df= 1; p ≤ 0.01 ) yang secara SANGAT SIGNIFIKAN memprediksikan misi “bersikap independen”. Nampaknya sangat masuk akal, peningkatan prinsip independence menjadi hal yang harus dipenuhi agar mereka mampu bersikap independen.

Pengaruh Kedelapan Prinsip Penegakan Hukum terhadap Misi “Bersikap

I ndependen”

Source

Type I I I Sum of

df Mean

F Sig.

Squares

Square

Corrected Model

I ntercept 139,858 1 139,858 39,693 ,000 RESPECT FOR THE LAW

,795 1 ,795 ,226 ,636 FAIRNESS

I NDEPENDENCE

RESPECT FOR PERSONS 1,634 1 1,634 ,464 ,498 DILIGENCE & EFFICIENCY

RESPONSIBILITY OF 10,305 1 10,305 2,925 ,091 TRIBUNAL HEAD

JNS_DOK 166,694 6 27,782 7,885 ,000 Error

Corrected Total

R Squared = ,711 (Adjusted R Squared = ,669)

b. Pengaruh Kedelapan Prinsip Penegakan Hukum Terhadap Misi “Bersikap Adil”

Tabel 27 berikut menunjukkan bagaimana sumbangan prinsip respect for the law, fairness, independence, respect for persons, diligence and efficiency, integrity, accountability and openness/ transparency, dan rensponsibility of tribunal head terhadap misi “bersikap independen”. Dari kedelapan prinsip, terdapat dua prinsip, yakni prinsip

independence (F= 10,727; df= 1; p ≤ 0.01 ) yang SECARA SANGAT SIGNIFIKAN, dan prinsip rensponsibility of tribunal head (F= 7,781; df= 1; p ≤ 0.05 ) yang SECARA

SIGNIFIKAN memprediksikan misi “bersikap adil”. Dengan lain ungkap, kemampuan bersikap adil secara masuk akal berkait dengan penguasaan prinsip independence dan tanggungjawab pada nama baik korp kejaksaan.

Tabel 27

Pengaruh Kedelapan Prinsip Penegakan Hukum terhadap Misi “Bersikap

Adil”

Source

Type I I I Sum of

df Mean

F Sig.

Squares

Square

Corrected Model

I ntercept 137,062 1 137,062 33,781 ,000 RESPECT FOR THE LAW

3,070E-02 1 3,070E-02 ,008 ,931

FAIRNESS 2,867 1 2,867 ,707 ,403

I NDEPENDENCE

RESPECT FOR PERSONS 1,377 1 1,377 ,339 ,562

Squares

Square

DILIGENCE & EFFICIENCY

2,043E-02 1 2,043E-02 ,005 ,944

TRANSPARENCY

RESPONSI BI LI TY OF

TRI BUNAL HEAD

JNS_DOK 464,117 6 77,353 19,065 ,000 Error

Corrected Total

a R Squared = ,779 (Adjusted R Squared = ,746)

c. Pengaruh Kedelapan Prinsip Penegakan Hukum Terhadap Misi “Bersikap Konsisten”

Tabel 28 berikut menunjukkan bagaimana sumbangan prinsip respect for the law, fairness, independence, respect for persons, diligence and efficiency, integrity, accountability and openness/ transparency, dan rensponsibility of tribunal head terhadap misi “bersikap independen”. Dari kedelapan prinsip, terdapat dua prinsip, yakni prinsip

independence (F= 3,956; df= 1; p ≤ 0.05 ) yang SECARA SIGNIFIKAN, prinsip diligence and efficiency (F= 7,363; df= 1; p ≤ 0.05 ) yang SECARA SIGNIFIKAN, dan prinsip responsibility of tribunal head (F= 12,023; df= 1; p ≤ 0.01 ) yang SECARA SANGAT

SIGNIFIKAN memprediksikan misi “bersikap konsisten”. Jadi, konsisten tidaknya seorang jaksa sangat bergantung pada pendalaman terhadap prinsip independensi, ketertiban dan efisiensi dan nama baik korpnya.

Tabel 28

Pengaruh Kedelapan Prinsip Penegakan Hukum terhadap Misi “Bersikap

Konsisten”

Source

Type I I I Sum

df Mean

F Sig.

of Squares

Square

Corrected Model

I ntercept 155,083 1 155,083 55,870 ,000 RESPECT FOR THE LAW

I NDEPENDENCE

RESPECT FOR PERSONS

DI LI GENCE & EFFI CI ENCY

INTEGRITY

ACCOUNTABILITY & TRANSPARENCY ,893 1 ,893 ,322 ,572

RESPONSI BI LI TY OF TRI BUNAL HEAD

JNS_DOK 388,752 6 64,792 23,342 ,000 Error

Corrected Total

R Squared = ,828 (Adjusted R Squared = ,802)

MI SI KEJAKSAAN

a. Pengaruh Kedelapan Prinsip Penegakan Hukum Terhadap Visi “Kompetensi Melakukan Tuntutan”

Tabel 29 berikut menunjukkan bagaimana sumbangan prinsip respect for the law, fairness, independence, respect for persons, diligence and efficiency, integrity, accountability and openness/ transparency, dan rensponsibility of tribunal head terhadap

visi “Kompetensi Melakukan Tuntutan”. Dari kedelapan prinsip, terdapat dua prinsip,

yakni prinsip independence (F= 4.468; df= 1; p ≤ 0.05 ) yang SECARA SIGNIFIKAN, dan prinsip diligence and efficiency (F= 5.908; df= 1; p ≤ 0.05 ) yang SECARA SIGNIFIKAN

memprediksikan misi “Kompetensi Melakukan Tuntutan”.

Tabel 29

Pengaruh Kedelapan Prinsip Penegakan Hukum terhadap Visi “Kompetensi

Melakukan Tuntutan”

Source

Type I I I Sum of

df Mean

F Sig.

Squares

Square

Corrected Model

I ntercept 143.630 1 143.630 29.019 .000 RESPECT FOR THE LAW

I NDEPENDENCE

RESPECT FOR PERSONS

DI LI GENCE & EFFI CI ENCY

TRANSPARENCY RESPONSIBILITY OF

TRIBUNAL HEAD JNS_DOK 277.864 6 46.311 9.357 .000 Error 470.206 95 4.950 Total

Corrected Total

R Squared = .600 (Adjusted R Squared = .541)

b. Pengaruh Kedelapan Prinsip Penegakan Hukum Terhadap Visi “Kompetensi Melakukan Pelayanan Publik”

Tabel 30 berikut menunjukkan bagaimana sumbangan prinsip respect for the law, fairness, independence, respect for persons, diligence and efficiency, integrity, accountability and openness/ transparency, dan rensponsibility of tribunal head terhadap

visi “Kompetensi Melakukan Pelayanan Publik”. Dari kedelapan prinsip, terdapat dua

SIGNIFIKAN, dan prinsip rensponsibility of tribunal head (F= 8.141; df= 1; p ≤ 0.05 ) yang SECARA SIGNIFIKAN memprediksikan misi “Kompetensi Melakukan Pelayanan Publik”.

Tabel 30

Pengaruh Kedelapan Prinsip Penegakan Hukum terhadap Visi “Kompetensi

Melakukan Pelayanan Publik”

Source

Type I I I Sum of

df Mean

F Sig.

Squares

Square

Corrected Model

I ntercept 114.605 1 114.605 44.202 .000 RESPECT FOR THE LAW

FAI RNESS

INDEPENDENCE

5.455 2.104 .150 RESPECT FOR PERSONS

8.187 3.158 .079 DILIGENCE & EFFICIENCY

RESPONSI BI LI TY OF

1 21.107 8.141 .005 TRI BUNAL HEAD

JNS_DOK 153.811 6 25.635 9.887 .000 Error 246.309 95 2.593

Corrected Total

a R Squared = .776 (Adjusted R Squared = .743)

c. Pengaruh Kedelapan Prinsip Penegakan Hukum Terhadap Visi “Kompetensi Profesional”

Tabel 31 berikut menunjukkan bagaimana sumbangan prinsip respect for the law, fairness, independence, respect for persons, diligence and efficiency, integrity, accountability and openness/ transparency, dan rensponsibility of tribunal head terhadap visi “Kompetensi Profesional”. Dari kedelapan prinsip, terdapat dua prinsip, yakni prinsip independence (F= 13.525; df= 1; p≤0.01) yang SECARA SANGAT SIGNIFIKAN, dan prinsip rensponsibility of tribunal head (F= 8.242; df= 1; p≤0.05) yang SECARA SIGNIFIKAN memprediksikan misi “Kompetensi Profesional”.

Tabel 31

Pengaruh Kedelapan Prinsip Penegakan Hukum terhadap Visi “Kompetensi

Profesional”

Source

Type I I I Sum of

df Mean

F Sig.

Squares

Square

Corrected Model

I ntercept 104.900 1 104.900 31.033 .000 RESPECT FOR THE LAW

Squares

Square

I NDEPENDENCE

RESPECT FOR PERSONS

1.262 .373 .543 DILIGENCE & EFFICIENCY

RESPONSI BI LI TY OF

1 27.862 8.242 .005 TRI BUNAL HEAD

JNS_DOK 86.241 6 14.374 4.252 .001 Error 321.128 95 3.380

Corrected Total

a R Squared = .657 (Adjusted R Squared = .606)

d. Pengaruh Kedelapan Prinsip Penegakan Hukum Terhadap Visi “Kemampuan Menerapkan Standar Kerja”

Tabel 32 berikut menunjukkan bagaimana sumbangan prinsip respect for the law, fairness, independence, respect for persons, diligence and efficiency, integrity, accountability and openness/ transparency, dan rensponsibility of tribunal head terhadap visi “Kemampuan Menerapkan Standar Kerja”. Dari kedelapan prinsip, terdapat dua

prinsip, yakni prinsip fairness (F= 5.765; df= 1; p ≤ 0.01 ) yang SECARA SIGNIFIKAN, diligence and efficiency (F= 10.828; df= 1; p ≤ 0.01 ) yang SECARA SANGAT SIGNIFIKAN, dan prinsip responsibnility of tribunal head (F= 6.503; df= 1; p ≤ 0.05 ) yang SECARA SIGNIFIKAN memprediksikan misi “Kemampuan Menerapkan Standar Kerja”.

Tabel 32

Pengaruh Kedelapan Prinsip Penegakan Hukum terhadap Visi “Kemampuan Menerapkan Standar Kerja”

Source

Type I I I Sum of

df Mean

F Sig.

Squares

Square

Corrected Model

I ntercept 117.112 1 117.112 30.789 .000 RESPECT FOR THE LAW

FAI RNESS

13.006 3.419 .068 RESPECT FOR PERSONS

DI LI GENCE & EFFI CI ENCY

1.254E-02 1 1.254E-02 .003 .954 TRANSPARENCY

RESPONSI BI LI TY OF

1 24.736 6.503 .012 TRI BUNAL HEAD

JNS_DOK 112.731 6 18.788 4.940 .000

Squares

Square

Corrected Total

a R Squared = .655 (Adjusted R Squared = .604)

e. Pengaruh Kedelapan Prinsip Penegakan Hukum Terhadap Visi “Kemampuan Kerjasama Dengan Semua Elemen Peradilan”

Tabel 33 berikut menunjukkan bagaimana sumbangan prinsip respect for the law, fairness, independence, respect for persons, diligence and efficiency, integrity, accountability and openness/ transparency, dan rensponsibility of tribunal head terhadap

visi “Kemampuan Kerjasama Dengan Semua Elemen Peradilan”. Dari kedelapan prinsip, terdapat dua prinsip, yakni prinsip independence (F= 4.513; df= 1; p ≤ 0.05 ) yang SECARA SIGNIFIKAN, dan diligence and efficiency (F= 6.980; df= 1; p ≤ 0.05 ) yang SECARA SIGNIFIKAN, memprediksikan misi “Kemampuan Kerjasama Dengan Semua Elemen Peradilan”.

Tabel 33

Pengaruh Kedelapan Prinsip Penegakan Hukum terhadap Visi “Kemampuan Kerjasama Dengan Semua Elemen Peradilan”

Source

Type I I I Sum of

df Mean

F Sig.

Squares

Square

Corrected Model

I ntercept 155.488 1 155.488 37.776 .000 RESPECT FOR THE LAW

4.492E-03 1 4.492E-03 .001 .974 FAIRNESS

7.222E-03 1 7.222E-03 .002 .967

I NDEPENDENCE

RESPECT FOR PERSONS

DI LI GENCE & EFFI CI ENCY

3.802 .924 .339 TRANSPARENCY RESPONSIBILITY OF

.495 .120 .729 TRIBUNAL HEAD

JNS_DOK 38.657 6 6.443 1.565 .166 Error 391.029 95 4.116

Corrected Total

a R Squared = .563 (Adjusted R Squared = .499)

“Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat”

Tabel 34 berikut menunjukkan bagaimana sumbangan prinsip respect for the law, fairness, independence, respect for persons, diligence and efficiency, integrity, accountability and openness/ transparency, dan rensponsibility of tribunal head terhadap visi “Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat”. Dari kedelapan prinsip, terdapat satu

prinsip, yakni prinsip rensponsibility of tribunal head (F= 12.587; df= 1; p ≤ 0.05 ) yang SECARA SANGAT SIGNIFIKAN memprediksikan misi “Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat”.

Tabel 34

Pengaruh Kedelapan Prinsip Penegakan Hukum terhadap Visi “Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat”

Source

Type I I I Sum of

df Mean

F Sig.

Squares

Square

Corrected Model

I ntercept 111.183 1 111.183 41.551 .000 RESPECT FOR THE LAW

5.106 1.908 .170 RESPECT FOR PERSONS

3.024 1.130 .290 DILIGENCE & EFFICIENCY

1.607E-02 1 1.607E-02 .006 .938 ACCOUNTABILITY &

.971 .363 .548 TRANSPARENCY

RESPONSI BI LI TY OF

1 33.681 12.587 .001 TRI BUNAL HEAD

RESPECT FOR THE LAW

Corrected Total

a R Squared = .728 (Adjusted R Squared = .688)

4. KETEGASAN PI LAHAN DI MENSI ONALI TAS ANTARA SUBSTANSI CODI NG I I DAN CODI NG I V

Tabel 35

Distribusi Keanggotaan Konsep Yang Dibangun Melalui Coding Sheet I I dan I V Pada Himpunan Konsep Faktor/ Komponen I dan I I

FACTOR/ Component Coding Sheet 1 2 DELI VERY TI ME

IV .861 .372

DELI VERY LOCATI ON

IV .857 .284

LEARNI NG I NI TI ATI VE DETERMI NANT

IV .850 .355

WORKFORCE I MPLI CATI ONS

IV .841 .404

DELI VERY PLATFORM

IV .826 .439

PERFORMANCE DETERMI NANTS

IV .819 .425

BASI S I V .812 .487 APPROACH I V .801 .411 CONTEXT I V .777 .549 LEARNI NG SEQUENCE

IV .768 .453

FOCUS I V .768 .371 PURPOSE I V .731 .518 OCCURRENCE I V .729 .478

KETERJABARAN I I .394 .853

TUJUAN I NSTRUKSI ONAL

II .345

KREDI BI LTAS SUMBER

II .297

SI STEMATI KA I I .384 .845

RELEVANSI DENGAN KEBUTUHAN PESERTA DI DI K

II .566

KESESUAI AN DENGAN KONDI SI MASYARAKAT

II .547

KANDUNGAN ETI K

II .518

Memanfaatkan teknik Analisis Faktor, dilakukan pengujian terhadap integritas antar konsep yang membangun Coding Sheet II dan IV (Lihat Tabel 35). Dengan Rotation Sums of Squared Loadings sebesar 37.791% pada Komponen/ Faktor I dan 37.613% pada Komponen/ Faktor II, ditemukan korelasi antara Komponen/ Faktor I dan II sebesar r Faktor I Faktor II = 0.706. Dengan demikian, harus terjadi suatu pengkhususan antara “ketajaman filosofi” (Komponen/ Faktor I) dan “keterarahan penyampaian” (Komponen/ Faktor II). Kedua komponen/ faktor, meski masing-masing dapat direkayasa atau dimanipulasi, hendaknya diintegrasikan sebagai muatan filosofi dan muatan deliveri.

5. KETUMPANGTI NDI HAN YANG RELATI F PADA PI LI HAN DI MENSI ONALI TAS SUBSTANSI CODI NG I DAN CODI NG I I I

Sebagaimana butir C.4., dengan memanfaatkan teknik Analisis Faktor, dilakukan pengujian terhadap integritas antar konsep yang membangun Coding Sheet II dan IV. Dengan Rotation Sums of Squared Loadings sebesar 37.791% pada Komponen/ Faktor I dan 37.613% pada Komponen/ Faktor II, ditemukan korelasi antara Komponen/ Faktor I dan II sebesar r Faktor I Faktor II = 0.706. Nampak pada tabel 36, terjadi pengelompokan dari konsep-konsep pada Coding Sheet III: BERSIKAP ADIL, BERSIKAP KONSISTEN, KOMPETENSI MELAKUKAN TUNTUTAN, KOMPETENSI MELAKUKAN PELAYANAN PUBLIK, KEMAMPUAN MENI NGKATKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT, BERSI KAP I NDEPENDEN, dan KEMAMPUAN MENERAPKAN STANDAR KERJA pada Komponen/ Faktor I. Sementara, dua substansi pada Coding Sheet III yang tersisa, yakni KOMPETENSI BERTINDAK PROFESIONAL dan KEMAMPUAN KERJASAMA DENGAN SEMUA ELEMEN PERADI LAN

ACCOUNTABILITY & TRANSPARENCY, INTEGRITY, INDEPENDENCE, DILIGENCE & EFFI CI ENCY, RESPECT FOR THE LAW, FAI RNESS, RESPONSIBILITY OF TRIBUNAL HEAD dan RESPECT FOR PERSONS sebagai Komponen/ Faktor II. Dengan demikian, dibedakan di sini antara “integritas diri/ karakter” para jaksa (Komponen/ Faktor I) dan “profesionalisme-kompetensi” untuk meningkatkan kualitas kinerja para jaksa (Komponen/ Faktor II). Kedua komponen/ faktor harus dikhususkan dalam hal pembentukan dan pengembangannya.

Tabel 36

Distribusi Keanggotaan Konsep Yang Dibangun Melalui Coding Sheet I dan

I I I Pada Himpunan Konsep Faktor/ Komponen I dan I I

CODI NG SHEETS FACTOR/ Component

BERSI KAP ADI L

III

BERSI KAP KONSI STEN

III

KOMPETENSI MELAKUKAN TUNTUTAN

III

KOMPETENSI MELAKUKAN PELAYANAN PUBLI K

III

MENI NGKATKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT

III

BERSI KAP I NDEPENDEN

III

KEMAMPUAN MENERAPKAN STANDAR KERJA

III

ACCOUNTABI LI TY & TRANSPARENCY

I .250

I NTEGRI TY I .318 .876

I NDEPENDENCE I .294 .821

DI LI GENCE & EFFI CI ENCY

I .391

RESPECT FOR THE LAW

I .308

FAI RNESS I .494 .739

RESPONSI BI LI TY OF TRI BUNAL HEAD

I .035

RESPECT FOR PERSONS

I .568

KOMPETENSI PROFESI ONAL

III

KEMAMPUAN KERJASAMA DENGAN SEMUA ELEMEN PERADI LAN

III

PENUTUP

A. PEMBAHASAN

1. POLA ISI/MUATAN PADA HASIL ANALISIS DESKRIPTIF

Untuk merangkum hasil analisis deskriptif sebagaimana terpapar pada tabel 9, 10,

11 dan 12; digunakan prosedur manajemen data yang disebut OLAP (Online Analytical Processing) Cubes. Melalui OLAP dikalkulasikan total, mean, dan statistik univariat untuk ringkasan variabel sinambung (ke-38 konsep yang diambil dari keempat coding sheet)

dalam kategori variabel tertentu, 35 yang dalam hal ini adalah variabel Jenis Dokumen. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 37 berikut:

Tabel 37

Hasil Kalkulasi OLAP Terhadap Ke- 38 Konsep Pada Keempat Coding Sheet Yang Sudah Dikategorikan Menurut Jenis Dokumen

Coding

Std.

% of Total % of

Sum N Mean

Sheet

Deviation

Sum

Total N

SI STEMATI KA I I I 263 110 2.39 1.150 100.0% 100.0%

DELIVERY PLATFORM

I V 265 110 2.41 1.168 100.0% 100.0%

LEARNING SEQUENCE

I V 266 110 2.42 1.144 100.0% 100.0%

BERSI KAP KONSI STEN

BERSI KAP

I 269 110 2.45 1.122 100.0% 100.0%

I NDEPENDEN

35 Tersedia pada salah satu prosedur manajemen data pada SPSS versi 12.00.

Coding

Std.

% of Total % of

Sum N Mean

Sheet

Deviation

Sum

Total N

NTI LES of DI L_EFI

IV 270 110 2.45 1.089

NTI LES of ACC_TRN

NTI LES of SUMBER

NTI LES of FOKUS

NTI LES of KONTEK

IV 272 110 2.47 1.186

NTI LES of W_I MPLI

NTI LES of S_I NDEP

I 273

NTI LES of OCCUR

IV 273

NTI LES of R_4_LAW

NTI LES of PERMASY

II 274

Coding

Std.

% of Total % of

Sum N Mean

Sheet

Deviation

Sum

Total N

NTI LES of APROC

NTI LES of R_4_PERS

I 275 110 2.50 1.147

NTI LES of I NSTRUK

NTI LES of SKERJA

NTI LES of TUNTUT

NTI LES of DE_TI M

IV 276 110 2.51 1.107

NTI LES of KEBUT

NTI LES of PE_DETER

IV 278 110 2.53 1.029

NTI LES of PROFESI O

NTI LES of JABARAN

NTI LES of PURPOS

IV 280 110 2.55 1.138

Coding

Std.

% of Total % of

Sum N Mean

Sheet

Deviation

Sum

Total N

NTI LES of LI _DETER

IV 280 110 2.55 1.072

NTI LES of KETI K

NTI LES of R_TRHEAD

NTI LES of KONMAS

NTI LES of P_DEPEN

IV 284 110 2.58 1.136

NTI LES of S_ADI L

NTI LES of DE_LOC

IV 286 110 2.60 1.102

NTI LES of I NTEGRT

NTI LES of LAYAN

NTI LES of ELPERAD

III

a. independece, accountability and transparancy, dan diligences and efficiency pada coding sheet I,

b. Kredibilitas Sumber dan Sistematika pada coding sheet II,

c. Bersikap Konsisten pada coding sheet III; dan

d. Delivery Platform, Learning Sequence, Focus, Context Dependence, dan Workplace Implications pada coding sheet IV.

Sisinya, yaitu sekitar 65,8% dari kriteria, yang terdiri dari 25 dimensi dapat dikatakan belum/ atau tidak terpenuhi pada kesemua bahan yang dianalisis. Dengan demikian baru 34,2% persyaratan terpenuhi.

2. MUATAN PRINSIP-PRINSIP ANTAR JENIS DOKUMEN

a. Respect for The Law

Muatan prinsip Respect for The Law sama-sama tidak diberi tekanan di hampir semua jenis dokumen. Terkesan kuat adanya sikap ortodoks yang cenderung menempatkan pernyataan hukum positif sebagai suatu “menara gading” yang kedap untuk dijamah. Hampir semua dokumen berada pada posisi yang “aman” dan jauh dari risiko untuk dipersoalkan. Nampaknya hanya para pemegang otoritas yang berkepentingan dengan implementasi kebijakan sajalah yang berupaya untuk menyentuh, sebagaimana terjadi pada dokumen Konsinyering.

b. Fairness

Muatan dimensi Fairness memiliki tingkatan berbeda antara yang terdapat pada Makalah Peserta dan Notulensi. Meski terkesan kadar muatannya rendah, pada Makalah Peserta terjadi tarik-ulur pandangan di antara pemakalah sehingga tidak muncul satu gambaran yang homogen apalagi seragam. Sebaliknya, pada notulensi muatan dimensi ini relatif tinggi; pun disertai dengan tingkat disputasi yang rendah. Artinya, relatif terdapat kesepakatan perihal pentingnya dimensi ini.

Prinsip independence lebih terkesan sebagai diskursus di antara para pakar hukum seturut dengan kompetensi dan profisiensi mereka dalam substansi hukum. Persoalan independence institusional dijadikan sorotan utama di kalangan para pakar, sehingga terjadi pemaknaan yang bervariasi di antara para pengajar. Terkesan di sini, seolah “hukum memang bersifat langitan”. Kesulitan muncul manakala para akademisi berusaha menerjemahkan pernyataan-pernyataan hukum ke dalam bahan ajar. Yang kemudian terjadi tidak saja kesulitan menerjemahkan, tetapi juga kemunculan multi-interpretasi di kalangan akademisi.

d. Respect For Persons

Dari notulensi, penghormatan (hak) pribadi menjadi sumbu perdebatan yang menghadap-hadapkan antara kalangan pakar, di satu pihak; dan para peserta forum dengar pendapat, di pihak lain. Pada dokumen Makalah Pembicara, selain relatif kurang ada perhatian tentang Respect For Persons, juga tidak terdapat variasi kadar isi. Ini menunjukkan, pada dokumen Makalah Pembicara tidak cukup porsi yang memberikan tempat bagi muatan prinsip ini. Hal yang sebaliknya terjadi pada dokumen lain, utamanya Notulensi.

e. Diligence- Efficiency dan I ntegrity

Ikhwal pengurusan atau penyelenggaraan yang tertib dan tidak saling tumpang tindih dan integritas lebih menjadi concern forum dibandingkan para pemakalah. Di sini tesis yang teoritik-deduktif berhadapan dengan antitesis yang lebih empirik-induktif dari kalangan peserta forum dengar pendapat.

f. Accountability & Transparency

Konfigurasi ini sungguh menarik bahkan relevan sebagai masukan penting bagi pendidikan jaksa, sebab nampak betapa senjang antara bahan yang diajarkan di kelas dan yang dihayati dan disaksikan para peserta didik di lapangan.

g. Responsibility Of Tribunal Head

Evidensi yang didasarkan pada data lebih menggambarkan kaitan antara anggapan tentang kehidupan korp kejaksaan dan kenyataan di lapangan. Bahan ajar cenderung aksiomatik-deduktif manakala dikontraskan dengan hasil penelitian atau studi empiris. Boleh jadi jika bahan ajar diaksentuasi dengan keterampilan olah logika, maka ia akan lebih kontributif bagi peningkatan Bahan Ajar.

Koherensi antara maksud dan tujuan, utamanya pada cara pencapaiannya, lebih tergambar pada laporan penelitian dibandingkan makalah peserta. Simposium yang me- release hasil penelitian dalam bidang hukum agaknya lebih banyak berbicara bagi upaya penyadaran dari pada makalah-makalah yang cenderung deduktif.

i. Keterjabaran

Jalinan fakta-opini yang membangun argumentasi lebih terintegrasi pada bentuk-bentuk legal statement dari pada bentuk-bentuk gagasan yang dikerucutkan sebagai tanggapan atas tema yang dicanangkan. Di sini Surat Keputusan/ Juklak dengan segala rujukannya lebih mengandung penjabaran dibandingkan makalah peserta.

j. Relevansi Dengan Kebutuhan Peserta Didik, Kesesuaian Dengan Kondisi Masyarakat, Kandungan Etik, dan Sistematika

Relevansi ini berkait erat dengan kepiawaian mengemas gagasan ke dalam metode penyampaian. Penguasaan academic writing menjadi hal penting yang dapat direkomendasikan sebagai masukan dalam pendidikan profesi jaksa. Penyampaian gagasan ini juga perlu dikontekstualisasikan sesuai kondisi masyarakat dan kandungan etik, pun harus dikemas ke dalam sistematika yang memadai. Mengaitkan ketiganya, penguasaan academic writing menjadi prasyarat yang sangat menunjang profesi jaksa.

k. Kredibilitas Sumber

Risiko yang besar jika tidak kredibel lebih berlaku pada SK/ Juklak dari pada makalah peserta. Namun justru di sini masalahnya. Sebab tidaklah mungkin kualitas produk hukum pada posisi hilir, sebagaimana halnya SK/ Juklak, dapat dijamin tanpa menyertakan produk hukum pada posisi hulu yang berlangsung selama masa pendidikan profesi. Profesionalitas jaksa diharapkan tidak semata dilandaskan pada kinerja sebagai user atas produk hukum yang ada, tetapi hendaknya juga kompeten untuk mengolah produk atau bahkan menciptakan produk melalui, misal, judicial reviews.

l. Kompetensi Melakukan Tuntutan dan Kompetensi Melakukan Pelayanan Publik

Hal ini sangat relevan dengan kebutuhan pendidikan jaksa sebagaimana dikemas dalam Bahan Ajar. Kompetensi melakukan tuntutan dan melakukan layanan publik semestinya diperdalam dan diberi porsi yang lebih besar mengingat relevansinya dengan pembentukan kompetensi. Yang justru menarik dikupas, khususnya pada kompetensi melakukan layanan publik, ialah bahwa kompetensi ini tidak mendapatkan porsi yang Hal ini sangat relevan dengan kebutuhan pendidikan jaksa sebagaimana dikemas dalam Bahan Ajar. Kompetensi melakukan tuntutan dan melakukan layanan publik semestinya diperdalam dan diberi porsi yang lebih besar mengingat relevansinya dengan pembentukan kompetensi. Yang justru menarik dikupas, khususnya pada kompetensi melakukan layanan publik, ialah bahwa kompetensi ini tidak mendapatkan porsi yang

m. Kompetensi Profesional

Terdapat perbedaan antara muatan pemahaman tentang profesionalitas pada para pakar senior yang sudah “terbukti profesional karena senioritasnya”, di satu pihak; dan data hasil penelitian, di pihak lain. Besaran standard of deviation yang sama-sama 0 pada kedua jenis dokumen menunjukkan komonalitas muatan, sehingga justru kian mempertegas kongklusi tentang perbedaan di antara keduanya.

n. Kemampuan Menerapkan Standar Kerja

Sebenarnya standard of operation procedure (SOP) sudah memadai. Mean yang relatif tinggi (29,13) pada Surat Keputusan/ Juklak menegaskan sinyalemen ini; meski harus tetap diingat bahwa nilai standard of deviation di sini relatif besar. Artinya tidak semua Surat Keputusan/ Juklak berlaku sebagai SOP. Namun, perbandingan mean Surat Keputusan/ Juklak dan Makalah Peserta lebih tepat dibaca bahwa masalah substansial terletak pada bagaimana mengimplementasikan SOP ke dalam praktik.

o. Kemampuan Kerjasama Dengan Semua Elemen Peradilan

Ikhwal ini –kemampuan bekerjasama dengan elemen-elemen peradilan lain-- sama- sama tidak didalami ( mean= 25.25). Artinya, ikhwal ini masih merupakan daerah permasalahan yang tak disentuh, tak bertuan, atau enggan dibicarakan karena berisiko tinggi. Disputasi tentang pembagian kekuasaan negara barangkali menjadi akar masalahnya.

p. Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat, Bersikap Konsisten, Bersikap Adil, dan Bersikap I ndependen

Agenda pembicaraan yang dipesankan kepada para pemakalah agaknya bergeser dalam realisasinya di forum. Karena kesenjangan, selain pengayaan yang dimunculkan, forum dialog semacam ini menjadi sangat penting dan perlu ditingkatkan frekuensinya. Hal ini diperlukan khususnya berkait dengan persoalan “Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat“, “Bersikap Konsisten“, “Bersikap Adil“, dan “Bersikap Independen“.

q. Purpose

Kontras kadar muatan Purpose antara Makalah Peserta dan Makalah Pembicara menunjukkan perbedaan tingkat ketajaman dalam sasaran dan bagaimana cara

Makalah Peserta.

r. Approach

Masalah “pendekatan” atau Approach menjadi soal yang lebih muncul dalam dialog dibanding pada teks makalah. Dalam dialog (Notulen) muatan pendekatan lebih akomodatif dibandingkan dengan muatan pendekatan dalam makalah.

s. Occurrence

Keberpijakan pada data yang lebih kontekstual dan relevan dengan kehidupan sehari-hari nampak lebih mengena dan menggugah dibandingkan dengan pendapat-pendapat yang aksiomatik-deduktif. Hal ini muncul ketika dibuat perbandingan antara muatan pada dokumen Notulensi dan Laporan Penelitian, di satu pihak; dan Makalah Peserta, di pihak lain.

t. Focus

Bahwa Focus pada Laporan Penelitian lebih intensif dibandingkan Bahan Ajar perlu dipertanyakan. Semestinya, karena menyangkut peserta didik, bahan ajar hendaknya lebih fokus. Faktanya, yang terjadi adalah sebaliknya.

u. Basis

Orientasi basis lebih jelas muncul pada dokumen Laporan Penelitian dibanding Makalah Peserta. Persoalan bagaimana mempertautkan antara data dan asumsi menjadi hal yang penting untuk diperhatikan kalau yang hendak dicapai adalah efektivitas.

v. Learning Sequence dan Delivery Platform

Persoalan tindak lanjut menjadi hal krusial. Banyak pembicaraan yang kadang tidak perlu didengar, tetapi banyak dibutuhkan dialog untuk saling mendengarkan. Hal ini, selain berfungsi mempertautkan orientasi, juga membentuk platform bersama. Dari sini ditunjukkan, bibit-bibit gagasan yang tercatat dalam notulensi nampaknya lebih menggugah ke arah proses pembelajaran profesi dibandingkan dengan yang terdapat dalam Makalah Peserta.

w . Learning I nitiative Determinant dan Context

Perbandingan muatan tentang sejauh mana telah terjadi learning initiative determinant menunjukkan bahwa langkah yang lebih operasional menjadi hal yang seharusnya lebih serius diberi tekanan dalam kaitan dengan kerangka pendidikan. Demikian pula, Perbandingan muatan tentang sejauh mana telah terjadi learning initiative determinant menunjukkan bahwa langkah yang lebih operasional menjadi hal yang seharusnya lebih serius diberi tekanan dalam kaitan dengan kerangka pendidikan. Demikian pula,

x. Person Dependency dan Delivery Location

Kontras dalam hal person dependency dan delivery location menunjukkan, kepakaran menjadi penting berkait dengan adagium the right man on the right place. Hal ini tidak hanya menyangkut kompetensi, tetapi juga justifikasi tempat di mana proses pendidikan dikerjakan/ berlangsung. Artinya, pertanyaan tentang siapa yang menggagas menjadi hal penting terkait dengan upaya kependidikan. Di sini, peneladanan dan modelling menjadi faktor penting untuk dijadikan pertimbangan.

y. Delivery Time dan Performance Determinants

Penyelenggaraan forum dan pendalaman data menjadi soal yang serius. Jadi, bukan forum yang asal mengundang banyak orang, tetapi yang memungkinkan terjadinya dialog yang tulus, pun menyangkut persoalan praktikalitas dan kinerja.

z. Workforce I mplications

Keterkaitan pendidikan yang ditempuh dan kinerja serta kiprah di masa depan perlu lebih didukung dengan data. Aganda masa depan bukan pengulangan atau replikasi masa lalu. Oleh sebab itu bacaan terhadap trends menjadi hal yang lebih penting dibandingkan dengan pengulangan atas kebiasaan yang sedang berjalan.

3. TEMUAN

a. Beberapa Prediktor dari Misi Bersikap I ndependen, Adil dan Konsisten

Proporsi sebesar 69% dari misi BERSIKAP KONSISTEN dapat diprediksikan dengan visi KOMPETENSI MELAKUKAN PELAYANAN PUBLIK, dan KOMPETENSI MELAKUKAN TUNTUTAN. Jadi, untuk bersikap konsisten, yang seharusnya diupayakan selama proses pendidikan profesi adalah pembentukan kompetensi melakukan pelayanan publik dan melakukan tuntutan. Sedangkan proporsi 69,5% dari misi BERSIKAP ADIL dapat diprediksikan dari visi KOMPETENSI MELAKUKAN PELAYANAN PUBLIK. Dengan memunculkan kompetensi melakukan pelayanan publik selama proses pendidikan, maka para jaksa diharapkan dapat lebih mampu bersikap adil. Sementara itu, terdapat 63,6% dari misi BERSIKAP INDEPENDEN dapat diprediksikan dengan visi KOMPETENSI MENI NGKATKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT, dan KEMAMPUAN MENERAPKAN Proporsi sebesar 69% dari misi BERSIKAP KONSISTEN dapat diprediksikan dengan visi KOMPETENSI MELAKUKAN PELAYANAN PUBLIK, dan KOMPETENSI MELAKUKAN TUNTUTAN. Jadi, untuk bersikap konsisten, yang seharusnya diupayakan selama proses pendidikan profesi adalah pembentukan kompetensi melakukan pelayanan publik dan melakukan tuntutan. Sedangkan proporsi 69,5% dari misi BERSIKAP ADIL dapat diprediksikan dari visi KOMPETENSI MELAKUKAN PELAYANAN PUBLIK. Dengan memunculkan kompetensi melakukan pelayanan publik selama proses pendidikan, maka para jaksa diharapkan dapat lebih mampu bersikap adil. Sementara itu, terdapat 63,6% dari misi BERSIKAP INDEPENDEN dapat diprediksikan dengan visi KOMPETENSI MENI NGKATKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT, dan KEMAMPUAN MENERAPKAN

Prediktor-prediktor atas misi Bersikap Independen, Adil, dan Konsisten memiliki karakteristik generik yang melingkupi hampir semua tindakan peran atau artificial person sebagaimana terjadi manakala seseorang berada dalam sebuah korporasi, di mana terdapat tiga kelas umum dari tindakan, yakni: legislation, judication, dan execution. Yang dimaksud ialah kreasi kebijakan atau status (untuk legislation), kreasi proses yang dirancang untuk menguatkan kebijakan dan status (untuk judication), dan penguatan kebijakan dan status melalui penunjukan seorang menjadi sosok mercenary agent, officer atau pelaku tindakan sehubungan dengan kepentingan korporasi ( execution). Setiap tindakan koorporasi melibatkan liabilitas yang saling terpisah, sehingga setiap tindakan harus dipastikan benar-benar terpisah. Sementara derajat dari setiap tindakan perlu diikat ke dalam seperangkat kebijakan yang mengikat karakter dari setiap kelas tindakan untuk mencegah terjadinya ketumpang-tindihan dan kerusakan sistem.

Ikatan di sini menjadi jaminan dari keterlaksanaan jabatan terhadap kemungkinan pengrusakan baik terhadap integritas pribadi pelakunya maupun properti. Ikatan ini diterapkan baik ke dalam konsepsi jabatan, ke dalam takaran tentang produk dari jabatan sehingga setiap langkah atau tahapan senantiasa dapat dipertanggungjawabkan secara hukum yang meliputi:

i. konsepsi atau legislasi dari status,

ii. penguatan atau enforcement dari status, dan

iii. setiap proses yang berlangsung di antara legislasi dan penguatan (enforcement). Ikatan tidak diberlakukan pada korporasinya karena akan mengakibatkan efek

gambling terkait dengan perilaku yang akan diproduksi oleh para pelaku/ pejabat. Secara matematik, pengikatan pada satu status, proses enforcement atau pelaku/ pejabat tidak mungkin saling ditransfer atau dipertukarkan; sementara kebijakan yang menggerakkan seluruh sistem dapat ditransfer ke antar subsistem. Dalam peri bahasa, ” the bet on one horse in a race is transferable to another horse in that race”.

Kiranya jelas dari pembahasan ini, komposisi prediktor-prediktor atas misi Bersikap Independen, Adil, dan Konsisten menyiratkan kritik yang tajam terhadap fakta,

Nampak di sini institusionalisasi korporasi di bawah korporasi lainnya (dalam contoh: kejaksaan sebagai salah satu kementerian dari lembaga eksekutif presiden) sama sekali tidak menjawab persoalan efisiensi dan efektivitas kelembagaan. Yang terjadi justru sebaliknya: dependensi, ketidakadilan, dan inkonsistensi. Yang dibutuhkan bukan subordinasi kelembagaan tetapi penciptaan kebijakan yang menjamin terbentuknya tindakan yang independen, adil, dan konsisten.

b. Pengaruh Prinsip- Prinsip Penegakan Hukum terhadap Ketiga Misi Kejaksaan

i. Satu-satunya prediktor dari misi ”bersikap independen” adalah prinsip independence. Artinya, peningkatan prinsip independence menjadi hal yang harus dipenuhi agar para jaksa mampu bersikap independen.

ii. Dua prediktor dari misi “bersikap adil” adalah prinsip independence dan prinsip rensponsibility of tribunal head. Artinya, kemampuan bersikap adil dapat dibentuk dengan cara meningkatkan pemahaman tentang prinsip independence dan tanggungjawab pada nama baik korp kejaksaan.

iii. Tiga prediktor dari visi “bersikap konsisten” adalah prinsip independence, prinsip diligence and efficiency, dan prinsip responsibility of tribunal head. Jadi, konsisten

tidaknya seorang jaksa sangat bergantung pada pendalaman prinsip independensi, ketertiban dan efisiensi dan nama baik korpnya.

c. Pengaruh Prinsip- Prinsip Penegakan Hukum terhadap Keenam Visi Kejaksaan

i. Dua prediktor dari visi “Kompetensi Melakukan Tuntutan” adalah prinsip independence dan prinsip diligence and efficiency.

ii. Dua prediktor dari visi “Kompetensi Melakukan Pelayanan Publik” adalah prinsip fairness dan prinsip rensponsibility of tribunal head.

iii. Dua prediktor dari visi “Kompetensi Profesional” adalah prinsip independence dan prinsip rensponsibility of tribunal head.

36 Online Documents: http: / / website.lineone.net/ ~ el-osman/ SocialContract.htm 36 Online Documents: http: / / website.lineone.net/ ~ el-osman/ SocialContract.htm

v. Dua prediktor dari visi “Kemampuan Kerjasama Dengan Semua Elemen Peradilan” adalah prinsip independence dan diligence and efficiency.

vi. Satu-satunya prediktor dari visi “Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat” adalah prinsip rensponsibility of tribunal head.

d. Rangkuman Prediktor dan Kriteria Substansi Kejaksaan

Pada Tabel 38 berikut ter-rangkum kesembilan kriteria dari substansi kejaksaan sebagaimana direpresentasikan pada coding sheet III berikut prediktornya. Berangkat dari sini dapat dijelajah beberapa butir bahasan sebagai berikut:

Tabel 38

Kedelapan Kiteria Kejaksaan beserta Prediktornya

NO PREDI KTOR KRI TERI A

1 Prinsip I ndependence

Bersikap Adil

2 Prinsip Rensponsibility Of Tribunal Head

1 Prinsip I ndependence

Bersikap I ndependen

1 Prinsip I ndependence

Bersikap Konsisten

2 Prinsip Diligence And Efficiency

3 Prinsip Rensponsibility Of Tribunal Head

1 Prinsip I ndependence Kemampuan Kerjasama Dengan Semua Elemen

2 Prinsip Diligence And Efficiency

Peradilan

1 Prinsip Fairness

Kemampuan Menerapkan Standar Kerja

2 Prinsip Diligence And Efficiency

3 Prinsip Rensponsibility Of Tribunal Head

1 Prinsip Fairness

Kompetensi Melakukan Layanan Publik

2 Prinsip Rensponsibility Of Tribunal Head

1 Prinsip I ndependence

Kompetensi Melakukan Tuntutan

2 Prinsip Diligence And Efficiency

1 Prinsip I ndependence

Kompetensi Profesional

2 Prinsip Rensponsibility Of Tribunal Head

1 Prinsip Rensponsibility Of Tribunal Head

Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat

Terkait dengan bahasan tentang kaitan antara “bersikap independen, adil, dan konsisten” dengan prinsip Independence, Rensponsibility Of Tribunal Head, di satu pihak, dan Diligence And Efficiency pada sosok jaksa; tidaklah mudah untuk mengkontekstualisasikan ke dalam makna organisasi, kecuali membatasi pengertian organisasi sebagai construct dan konsep. Organisasi bukanlah konsep, tetapi construct. Sebagai construct, organisasi adalah resonansi simbolik yang mempertautkan sekian Terkait dengan bahasan tentang kaitan antara “bersikap independen, adil, dan konsisten” dengan prinsip Independence, Rensponsibility Of Tribunal Head, di satu pihak, dan Diligence And Efficiency pada sosok jaksa; tidaklah mudah untuk mengkontekstualisasikan ke dalam makna organisasi, kecuali membatasi pengertian organisasi sebagai construct dan konsep. Organisasi bukanlah konsep, tetapi construct. Sebagai construct, organisasi adalah resonansi simbolik yang mempertautkan sekian

tentang organisasi di mana ia menjadi anggotanya: 37

a) Karakter narcissistic cenderung menggagas organisasi sebagai kebersamaan sehingga organisasi dipahami sebagai koleksi individu yang menyediakan orang-orang apresiasif. Prinsip Rensponsibility Of Tribunal Head sulit direalisasikan karena mereka sulit untuk mengakomodasikan diri ke dalam organisasi, cenderung impulsif, tidak berdisiplin, dan tidak dapat diprediksikan. Hal ini menggambarkan tentang aplikasi dari prinsip

b) Karakter yang obsesif, di pihak lain, menunjukkan unsur-unsur, seperti: lebih birokratis, lebih impersonal dan terstandardisasi, lebih suka mengeliminasi hal-hal tak terduga dengan cara-cara yang prosedural. Kemampuan bersikap independen, adil, dan konsisten tidak dapat termanifestasikan pada karakter yang rendah dalam prinsip Independence, Rensponsibility Of Tribunal Head, tetapi ekstrim pada prinsip Diligence And Efficiency ini.

c) Sementara itu, karakter konformist cenderung mengidealisasikan organisasi dan diri mereka sendiri dengan organisasi serta menekan perbedaan antara diri mereka dan individualitas mereka dengan organisasi. Biasanya mereka rendah dalam prinsip Independence dan Diligence And Efficiency, tetapi tinggi dalam Rensponsibility Of Tribunal Head. Biasanya mereka adalah pemain tim, mau berkorban, meski kadang bertindak irasional dan immoral ketika berada di tengah kerumunan.

d) Para “heroic individualists” cenderung mendekati organisasi sebagai sarana untuk mendapatkan kehormatan, prestasi, dan kemenangan. Biasanya mereka ekstrim tinggi dalam prinsip Independence dan Diligence And Efficiency, tetapi rendah dalam Rensponsibility Of Tribunal Head. Mereka mau berkorban sejauh hal itu berakibat pada popularitas dan nama baik. Mereka umumnya adalah pencari kecemerlangan dan keberbedaan (keunikan) dibanding dengan orang/ anggota lain.

37 Yiannis Gabriel dan Howard S. Schwartz, “Organizations, from concepts to constructs:

Psychoanalytic theories of character and the meaning of organization”. Diakses 6/ 9/ 05 pada Online Documents: http: / / www.sba.oakland.edu/ ispso/ html/ 1998GabrielSchwartz.htm.

sebagai suatu komunitas normatif, yang melegitimasikan pluralitas kepentingan dan pandangan. Mereka mengadopsi model-model warga yang memberikan sumbangan terhadap kesejahteraan bukan karena mereka harus melakukan, tetapi karena mereka melihat nilai dari tindakan ini. Biasanya mereka tinggi baik dalam prinsip Independence, Diligence And Efficiency, maupun Rensponsibility Of Tribunal Head. Mereka mau bertindak altruistik tanpa melakukan pengorbanan diri yang melodramatik.

Dari bahasan ini mungkin relevan untuk mencari formula yang memungkinkan terjadinya kompatibilitas antara jabatan sebagai jaksa dan kualifikasi karakter, personalitas, dan kompetensi dasar psikologik yang relevan.

Keempat prinsip, yakni: Independence, Diligence And Efficiency, dan Responsibility Of Tribunal Head, setelah ditambah dengan penguatan prinsip Fairness; gilirannya akan berpengaruh terhadap Kemampuan Kerjasama Dengan Semua Elemen Peradilan, Kemampuan Menerapkan Standar Kerja, Kompetensi Melakukan Pelayanan Publik, Kompetensi Melakukan Tuntutan, Kompetensi Profesional, dan Kemampuan Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat.

Dengan demikian, dapat dirangkum pada Tabel 39, prediktor-prediktor yang dapat dijadikan panduan untuk penajaman dan perbaikan kurikulum kejaksaan berikut:

Tabel 39 Kedelapan Kiteria Kejaksaan beserta Prediktornya PREDI KTOR KRI TERI A

Prinsip Diligence And Efficiency

1 Bersikap Konsisten

2 KOMPETENSI MELAKUKAN TUNTUTAN

3 KEMAMPUAN MENERAPKAN STANDAR KERJA

4 KEMAMPUAN KERJASAMA DENGAN SEMUA ELEMEN PERADI LAN

Prinsip Fairness

1 Kompetensi Melakukan Layanan Publik

2 KEMAMPUAN MENERAPKAN STANDAR KERJA Prinsip I ndependence

1 Bersikap

I ndependen

2 BERSI KAP ADI L

3 BERSI KAP KONSI STEN

4 KOMPETENSI MELAKUKAN TUNTUTAN

5 KOMPETENSI PROFESI ONAL

6 KEMAMPUAN KERJASAMA DENGAN SEMUA ELEMEN PERADI LAN

Prinsip Rensponsibility Of Tribunal

1 Bersikap Adil

Head

2 BERSI KAP KONSI STEN

3 KOMPETENSI MELAKUKAN LAYANAN PUBLI K

4 KOMPETENSI PROFESI ONAL

5 KEMAMPUAN MENERAPKAN STANDAR KERJA

6 MENI NGKATKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT

Uji terhadap keterpilahan antara dimensionalitas pada coding II dan IV membawa ke pemahaman tentang perlunya pembedaan antara “ketajaman filosofi” (Komponen/ Faktor I) dan “keterarahan penyampaian” (Komponen/ Faktor II). Yang hendaknya dihindarkan ialah pencampuradukan antara tujuan “mempertajam arah filosofi” dan penegasan tentang “keterarahan penyampaian”. Kedua komponen ini independen satu sama lain; dalam arti bahwa tujuan filosifis tertentu dapat dikemas ke dalam berbagai bentuk penyampaian; sebaliknya cara penyampaian tertentu tidak dengan sendirinya diasumsikan sudah menggambarkan filosofi tertentu. Aplikasinya dalam program kurikulum, kedua komponen/ faktor dapat direka-kembangkan menjadi paket-paket yang bervariasi sejauh memiliki kejelasan dalam tujuan filosofisnya.

f. Ketumpangtindihan Relatif Antara Dimensionalitas Coding I Dan

Coding I I I

Uji terhadap keterpilahan antara coding I dan III menghasilkan ketumpangtindihan relatif antara keduanya, di mana enam konsep, yakni BERSIKAP ADIL, BERSIKAP KONSISTEN, KOMPETENSI MELAKUKAN TUNTUTAN, KOMPETENSI MELAKUKAN PELAYANAN PUBLIK, KEMAMPUAN MENINGKATKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT, BERSIKAP INDEPENDEN, dan KEMAMPUAN MENERAPKAN STANDAR KERJA pada Coding Sheet III mengelompok menjadi satu Komponen/ Faktor. Sementara, dua substansi pada Coding Sheet I, yakni KOMPETENSI PROFESIONAL dan KEMAMPUAN KERJASAMA DENGAN SEMUA ELEMEN PERADILAN bergabung dengan substansi Coding Sheet I, yakni: ACCOUNTABILITY & TRANSPARENCY, INTEGRITY, INDEPENDENCE, DILIGENCE & EFFICIENCY, RESPECT FOR THE LAW, FAIRNESS, RESPONSIBILITY OF TRIBUNAL HEAD dan RESPECT FOR PERSONS. Dengan demikian, dalam proses penyusunan program kurikuler perlu dibedakan antara faktor/ komponen “integritas diri/ karakter” para diri para pelaku (calon jaksa) dan faktor “profesionalisme-kompetensi” yang kelak berpengaruh terhadap kualitas kinerja para jaksa saat mereka bertugas dalam profesionalitas mereka. Para pengelola pendidikan profesi jaksa perlu membedakan antara tindakan membentuk karakter/ integritas diri dan tindakan mengembangkan profesionalitas. Pencampuran antara keduanya niscaya menciptakan kekaburan yang gilirannya mendatangkan sikap distrust secara personal bahkan mistrust secara institusional.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari analisis studi dokumen sebagaimana tersebut sebelumnya, adalah sebagai berikut:

1. Berbagai forum dan penelitian yang membahas secara keseluruhan ataupun sebagian dari pelaksanaan profesionalitas, pendidikan, dan pelatihan jaksa menghasilkan kesan yang berbeda di antara kalangan pakar dan masyarakat. Dalam berbagai forum dan penelitian tersebut, dialog langsung tentang penegakan hukum yang tertib dan tidak tumpang tindih mengundang perhatian yang lebih besar dari kalangan masyarakat dibandingkan para pemakalah dalam forum. Pandangan yang cenderung teoritik dan deduktif yang dipresentasikan dalam berbagai forum dan penelitian ditanggapi dengan kebalikannya dari masyarakat. Keterkaitan antara maksud dan tujuan dari pendidikan dan pelatihan jaksa dengan cara mencapainya lebih tergambarkan pada berbagai laporan penelitian dibandingkan pada makalah. Simposium yang me- release hasil penelitian dalam bidang hukum agaknya lebih berbicara banyak bagi penyadaran jaksa dari pada makalah-makalah yang cenderung deduktif.

2. Integritas, profesionalitas, dan efisiensi dalam menjalankan profesi jaksa, merupakan pokok pembahasan yang sangat sering dinyatakan di dalam berbagai forum. Ini perlu menjadi pokok penting dalam pendidikan dan pelatihan jaksa. Dengan demikian, diharapkan terjadinya transparansi dan akuntabilitas dalam Kejaksaan. Dalam kenyataannya, bahan ajar untuk peserta pendidikan dan pelatihan jaksa tidak terfokus pada pokok pembahasan tersebut.

3. Mengenai pengetahuan yang didapatkan dari pendidikan dan pelatihan jaksa, pengetahuan yang “ based on data” lebih menggambarkan kaitan antara kenyataan yang dijelaskan dan penjelasannya. Sebaliknya, bahan ajar dalam pendidikan dan pelatihan jaksa cenderung aksiomatik-deduktif. Pemberian aksentuasi pada keterampilan dalam olah logika dapat memberi kontribusi untuk meningkatkan daya pikat dari Bahan Ajar. Dengan berpijak pada data, maka peserta pendidikan dan pelatihan jaksa, lebih “hidup” dan menggugah dibandingkan dengan pendapat- pendapat yang aksiomatik. Suasana tersebut semakin berkembang baik jika kebutuhan dialog untuk saling mendengarkan terpenuhi dengan baik pula.

4. Surat Keputusan maupun Petunjuk Pelaksanaan yang menjadi acuan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan jaksa lebih nampak merupakan bentuk legal statement 4. Surat Keputusan maupun Petunjuk Pelaksanaan yang menjadi acuan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan jaksa lebih nampak merupakan bentuk legal statement

5. Kompetensi untuk melakukan penuntutan merupakan hal yang sangat relevan dengan kebutuhan pendidikan dan pelatihan jaksa. Kompetensi semacam ini yang mestinya diberi aksentuasi. Berkaitan dengan hal tersebut, sebenarnya standard operation procedure (SOP) sudah memadai bahkan standar profesi jaksa pun sudah diusulkan. Persoalannya terletak pada cara mengimplementasikan.

6. Persoalan langkah operasional dalam menjalankan profesi jaksa menjadi hal yang serius dalam kerangka pendidikan. Memunculkan berbagai gagasan tanpa tindak lanjut akan memandegkan semua upaya kependidikan. Praktik dan learning by doing menjadi hal penting.

7. Tidak terdapatnya keterkaitan yang erat antara pendidikan yang ditempuh oleh jaksa dengan kinerja dan kiprah di masa depan. Hal ini ditambah dengan persoalan pusat pendidikan dan pelatihan jaksa yang tidak didukung dengan pusat data. Agenda- agenda yang akan dilakukan oleh Kejaksaan di masa depan pun menjadi pengulangan atau replikasi masa lalu.

8. Untuk bersikap konsisten, yang seharusnya diupayakan selama proses pendidikan profesi adalah pembentukan kompetensi melakukan pelayanan publik dan melakukan tuntutan. Melalui pemunculan kompetensi melakukan pelayanan publik selama proses pendidikan, para jaksa diharapkan dapat lebih mampu bersikap adil. Dengan catatan bahwa para calon jaksa mampu meningkatkan kompetensi membangun kepercayaan masyarakat dan menerapkan standar kerja, niscaya mereka lebih dipersiapkan untuk memiliki kemampuan bersikap independen.

9. Prediktor-prediktor atas misi Bersikap Independen, Adil, dan Konsisten memiliki karakteristik generik seperti: legislation, judication, dan execution. Setiap tindakan korporasi hendaknya melibatkan liabilitas yang saling terpisah, sehingga setiap tindakan harus benar-benar saling terpisah. Derajat dari setiap tindakan perlu diikat ke dalam seperangkat kebijakan yang mengikat karakter dari setiap kelas tindakan untuk mencegah terjadinya ketumpang-tindihan dan kerusakan sistem. Sebuah ikatan, yang menjamin keterlaksanaan jabatan terhadap kemungkinan pengrusakan baik terhadap integritas pribadi pelaku maupun properti, harus diterapkan baik ke 9. Prediktor-prediktor atas misi Bersikap Independen, Adil, dan Konsisten memiliki karakteristik generik seperti: legislation, judication, dan execution. Setiap tindakan korporasi hendaknya melibatkan liabilitas yang saling terpisah, sehingga setiap tindakan harus benar-benar saling terpisah. Derajat dari setiap tindakan perlu diikat ke dalam seperangkat kebijakan yang mengikat karakter dari setiap kelas tindakan untuk mencegah terjadinya ketumpang-tindihan dan kerusakan sistem. Sebuah ikatan, yang menjamin keterlaksanaan jabatan terhadap kemungkinan pengrusakan baik terhadap integritas pribadi pelaku maupun properti, harus diterapkan baik ke

10. Korp kejaksaan tidak seharusnya dimengerti sebagai konsep, tetapi construct. Sebagai construct, korp kejaksaan adalah resonansi simbolik yang mempertautkan sekian banyak karakter psikologik dari para anggota. Pengalaman individu tentang organisasinya termanifestasi dalam corak emosi mereka, seperti: loyalitas, komitmen, tanggungjawab, kebanggan, ketakutan, kontemplasi, dan kebencian. Setiap karakter, dalam bahasan ini personil jaksa, merepresentasikan variasi pengalaman tentang organisasi. Dengan demikian, perlu dicari formula yang memungkinkan terjadinya kompatibilitas antara jabatan jaksa dan kualifikasi karakter, personalitas dan kompetensi dasar psikologik yang relevan.

11. Dalam kurikulum yang diberlakukan ada kecenderungan untuk mencampuradukkan antara tujuan “mempertajam arah filosofi” dan penegasan tentang “keterarahan penyampaian”. Semestinya, tujuan filosofis tertentu dapat dikemas ke dalam berbagai bentuk penyampaian; sebaliknya, cara penyampaian tertentu tidak dengan sendirinya diasumsikan sudah menggambarkan filosofi tertentu. Kedua komponen/ faktor ini dapat direka-kembangkan menjadi paket-paket yang bervariasi sejauh memiliki kejelasan dalam tujuan filosofisnya.

12. Dalam proses penyusunan program kurikuler perlu dibedakan antara faktor/ komponen “integritas diri/ karakter” para diri para pelaku (calon jaksa) dan faktor “profesionalisme-kompetensi” yang kelak berpengaruh terhadap kualitas kinerja para jaksa saat mereka bertugas dalam profesionalitas mereka. Selain itu, para pengelola pendidikan profesi jaksa perlu membedakan antara tindakan membentuk karakter/ integritas diri dan tindakan mengembangkan profesionalitas.

Rekomendasi yang dapat diberikan berdasarkan kesimpulan dari analisis studi dokumen sebagaimana tersebut sebelumnya, adalah agar pengelola kependidikan profesi jaksa melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Memanfaatkan berbagai forum dan hasil penelitian tentang pelaksanaan profesionalitas, pendidikan, dan pelatihan jaksa sebagai sarana dialog yang efektif antara kalangan pakar, jaksa dan masyarakat, utamanya ikhwal (a) perlunya penegakan hukum yang tertib dan tidak tumpang tindih, dan (b) perlunya empirisasi pandangan yang cenderung teoritik dan deduktif.

2. Mengkhususkan pokok bahasan mengenai integritas, profesionalitas, dan efisiensi dalam menjalankan profesi jaksa. Dalam kaitan ini, para pengelola pendidikan profesi jaksa perlu membedakan antara tindakan kependidikan yang membentuk karakter/ integritas diri para peserta didik dan tindakan mengembangkan profesionalitas para calon profesional jaksa.

3. Pokok bahasan dalam pendidikan dan pelatihan jaksa hendaknya lebih menitikberatkan pada pengetahuan yang “ based on data”, yakni pengetahuan yang menggambarkan kaitan antara kenyataan yang dijelaskan dan penjelasannya. Bahan ajar dalam pendidikan dan pelatihan jaksa perlu dikoreksi, utamanya dalam hal kecenderungan yang aksiomatik-deduktif. Sebagai pengayaan, harus dilakukan aksentuasi pada keterampilan dalam olah logika dari pokok bahasan yang terkandung dalam bahan ajar. Berkaitan dengan hal ini diperlukan penambahan jam pelajaran berupa studi kasus.

4. Meski sudah dilaksanakan, masih perlu diterbitkan Surat Keputusan maupun Petunjuk Pelaksanaan yang menjadi acuan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan jaksa yang lebih memuat gagasan-gagasan yang dikerucutkan guna merespon tema-tema pendidikan dan pelatihan yang membentuk integritas, profesionalitas, dan efisiensi dalam menjalankan profesi jaksa.

5. Pokok bahasan yang diajarkan dalam pendidikan dan pelatihan jaksa perlu ditambahkan porsi tentang bagaimana mengimplementasikan standard operation procedure (SOP) dan standar profesi jaksa.

kerangka pendidikan dan pelatihan jaksa agar berbagai gagasan yang diajarkan dalam pusat pendidikan dan pelatihan jaksa ditindaklanjuti. Praktik dan learning by doing menjadi hal penting.

7. Perlu dikaitkan antara pendidikan yang ditempuh para calon jaksa dan orientasi kinerja serta kiprah di masa depan. Pusat pendidikan dan pelatihan jaksa perlu lebih didukung dengan data. Agenda-agenda yang akan dilakukan oleh Kejaksaan di masa depan bukan pengulangan atau replikasi masa lalu.

8. Untuk membentuk sikap konsisten, yang seharusnya diupayakan selama proses pendidikan profesi adalah pembentukan kompetensi melakukan pelayanan publik dan melakukan melakukan tuntutan.

9. Untuk membentuk sikap adil, yang harus diupayakan adalah pembentukan kompetensi melakukan pelayanan publik selama proses pendidikan.

10. Untuk mampu bersikap independen, yang harus ditekankan ialah kompetensi membangun kepercayaan masyarakat dan menerapkan standar kerja.

11. Komposisi prediktor-prediktor atas misi Bersikap Independen, Adil, dan Konsisten mensyaratkan agar secara institusional kejaksaan tidak berada di bawah payung eksekutif. Penjelasannya, institusionalisasi korporasi di bawah korporasi lainnya sama sekali tidak menjawab persoalan efisiensi dan efektivitas kelembagaan, tetapi malahan berakibat ke inefektivitas dan inefisiensi.

12. Perlu dicari formula yang memungkinkan terjadinya kompatibilitas antara jabatan jaksa dan kualifikasi karakter, personalitas, dan kompetensi dasar psikologik yang relevan dari para calon jaksa.

13. Muatan tujuan “mempertajam arah filosofi” dan penegasan tentang “keterarahan penyampaian” dalam kurikulum harus ditangani secara terpisah. Tujuan filosofis tertentu dapat dikemas ke dalam berbagai bentuk penyampaian; sebaliknya, cara penyampaian tertentu tidak dengan sendirinya diasumsikan sudah menggambarkan filosofi tertentu. Kedua komponen/ faktor ini dapat direka-kembangkan menjadi paket-paket kurikulum yang bervariasi sejauh memiliki kejelasan dalam tujuan filosofisnya.

faktor/ komponen “integritas diri/ karakter” para diri para pelaku (calon jaksa) dan faktor “profesionalisme-kompetensi” yang kelak berpengaruh terhadap kualitas kinerja para jaksa saat mereka bertugas dalam profesionalitas mereka.

Administrative Review Council A Guide To Standards Of Conduct For Tribunal Members, September 2001. Diakses 18/ 07/ 2005 pada Online Documents: http: / / law.gov.au/ arc .

Crown Prosecutor Service, “Statutory Duties and Powers”. Diakses 18/ 07/ 2005 pada Online Documents: http: / / www.cps.gov.uk/ legal/ section1/ chapter_a.html

Davis, Dr. Elizabeth. (2002). “Classroom Assessment Report”. Diakses 18/ 07/ 2005 pada Online Documents: http: / / www.saumag.edu/ assessment/ reports2002/ CI / EnglishMethodsDav is/ SCORI NGGUI DETeachingLiteratue.

Fielding and Lee, “User’s Experiences of Qualitative Data Analysis”, dalam Kelle U. (1995) Computer-aided Qualitative Analysis, London, Sage.

Gabriel, Yiannis, Howard S. Schwartz, “Organizations, from concepts to constructs: Psychoanalytic theories of character and the meaning of organization”. Diakses 6/ 9/ 05 pada Online Documents: http: / / www.sba.oakland.edu/ ispso/ html/ 1998GabrielSchwartz.htm .

Gagné, R. M., Briggs, L. J., & Wager, W. W. (1992). Principles of I nstructional Design (edisi ke-4). Fort Worth, TX: Harcourt Brace Jovanovich College Publishers.

Harkins, Arthur M. (2003). “The Futures of Career And Technical Education in

a Continuous I nnovation Society”. Journal of Vocational Education Research, Vol. 27,

I ssue 1. Diakses 26/ 07/ 05 pada Online Dociments: http: / / scholar.lib.vt.edu/ ejournals/ JVER/ v27n1/ .

Kaiser-Messmer, G., “Application-oriented Mathematics Teaching: A Survey of the Theoretical debate.” Dalam M. Niss, W. Blum, & I . Huntley (Eds.)., dalam Teaching of Mathematical Modelling and Applications. Chichester: Ellis Horwood, 1991.

Krippendorff, K. (1980). Content Analysis, an introduction to its methodology, London, Sage.

Lindkvist, K. (1981). “Approaches to Textual Analysis”, Dalam Rosengren KE (ed) (1981) Advances in Content Analysis, Beverly Hills, Sage, 23-41.

Lonkila, M. (1995). “Grounded Theory as an Emerging Paradigm for Computer-Assisted Qualitative Data Analysis”, dalam Kelle U. (1995) Computer-aided Qualitative Analysis, London, Sage.

Markoff J, G. Shapiro, S.R. Weitman. (1974). “Toward the integration of content analysis and general methodology”, dalam Heise D.R., Sociological Methodology 1975, San Francisco, Jossey-Bass.

Proposals”, dalam jurnal Public Communication and Behaviour, Volume I I .

O'Bannon, B. (2002). “Planning for I nstruction”. Diakses 18/ 07/ 2005 pada Online Documents: http: / / edtech.tennessee.edu/ ~ bobannon .

Online Documents: http: / / website.lineone.net/ ~ el-osman/ SocialContract.htm Pfaffenberger, B. (1988). Microcomputer applications in qualitative research,

Newbury Park, Sage.

Springer, Alexander P. (1998). “Political Justice? Assessing the Role of Colombian Courts” (Paper for presentation at LASA's 98 Meeting, Palmer House Hilton, Chicago, I L, Sept. 26-28, 1998). Diakses 18/ 07/ 2005 pada Online Documents: http: / / darkwing.uoregon.edu/ ~ caguirre/ springerpr.html .

Stone PJ, DC Dunphy, MS Smith and DM Ogilvie. (1966). The General

I nquirer, Cambridge Mass, MI T Press.

Suhardono, Edy. (2001). “‘Content Analysis’”. (Modul Workshop Kerjasama Lembaga Studi Perubahan Sosial (LSPS) Surabaya-PUSHAM Ubaya, Candra Wilwatika, Pandakan, Jawa Timur, 3-7 SEPTEMBER 2001.

The Beep Knowledge System (2005). “eEconomy – work and skills”. Diakses 26/ 07/ 05 pada Online Documents: http: / / www.beepknowledgesystem.org/ .

Tim Kejaksaan Agung, KHN dan MAPPI UI , “Penelitian Pembaharuan Kejaksaan, Pembentukan Standar Minimum Profesi Jaksa”. [ Ringkasan Eksekutif (Executive Summary)] , 2003.

Undang-undang No 33 dan 34 Tahun 2004.

Weber , R.P. (1990). Basic Content Analysis, Beverly Hills, Sage.