Kesimpulan dan Rekomendasi.

V. Kesimpulan dan Rekomendasi.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari analisis studi dokumen sebagaimana tersebut sebelumnya, adalah sebagai berikut:

1. Berbagai forum dan penelitian yang membahas secara keseluruhan ataupun sebagian dari pelaksanaan profesionalitas, pendidikan, dan pelatihan jaksa menghasilkan kesan yang berbeda di antara kalangan pakar dan masyarakat. Dalam berbagai forum dan penelitian tersebut, dialog langsung tentang penegakan hukum yang tertib dan tidak tumpang tindih mengundang perhatian yang lebih besar dari kalangan masyarakat dibandingkan para pemakalah dalam forum. Pandangan yang cenderung teoritik dan deduktif yang dipresentasikan dalam berbagai forum dan penelitian ditanggapi dengan kebalikannya dari masyarakat. Keterkaitan antara maksud dan tujuan dari pendidikan dan pelatihan jaksa dengan cara mencapainya lebih tergambarkan pada berbagai laporan penelitian dibandingkan pada makalah. Simposium yang me- release hasil penelitian dalam bidang hukum agaknya lebih berbicara banyak bagi penyadaran jaksa dari pada makalah-makalah yang cenderung deduktif.

pokok pembahasan yang sangat sering dinyatakan di dalam berbagai forum. Ini perlu menjadi pokok penting dalam pendidikan dan pelatihan jaksa. Dengan demikian, diharapkan terjadinya transparansi dan akuntabilitas dalam Kejaksaan. Dalam kenyataannya, bahan ajar untuk peserta pendidikan dan pelatihan jaksa tidak terfokus pada pokok pembahasan tersebut.

3. Mengenai pengetahuan yang didapatkan dari pendidikan dan pelatihan jaksa, pengetahuan yang “ based on data” lebih menggambarkan kaitan antara kenyataan yang dijelaskan dan penjelasannya. Sebaliknya, bahan ajar dalam pendidikan dan pelatihan jaksa cenderung aksiomatik-deduktif. Pemberian aksentuasi pada keterampilan dalam olah logika dapat memberi kontribusi untuk meningkatkan daya pikat dari Bahan Ajar. Dengan berpijak pada data, maka peserta pendidikan dan pelatihan jaksa, lebih “hidup” dan menggugah dibandingkan dengan pendapat- pendapat yang aksiomatik. Suasana tersebut semakin berkembang baik jika kebutuhan dialog untuk saling mendengarkan terpenuhi dengan baik pula.

4. Surat Keputusan maupun Petunjuk Pelaksanaan yang menjadi acuan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan jaksa lebih nampak merupakan bentuk legal statement dibandingkan berupa gagasan-gagasan yang dikerucutkan untuk menanggapi tema- tema pendidikan dan pelatihan sesuai dengan integritas, profesionalitas, dan efisiensi dalam menjalankan profesi jaksa.

5. Kompetensi untuk melakukan penuntutan merupakan hal yang sangat relevan dengan kebutuhan pendidikan dan pelatihan jaksa. Kompetensi semacam ini yang mestinya diberi aksentuasi. Berkaitan dengan hal tersebut, sebenarnya standard operation procedure (SOP) sudah memadai bahkan standar profesi jaksa pun sudah diusulkan. Persoalannya terletak pada cara mengimplementasikan.

6. Persoalan langkah operasional dalam menjalankan profesi jaksa menjadi hal yang serius dalam kerangka pendidikan. Memunculkan berbagai gagasan tanpa tindak lanjut akan memandegkan semua upaya kependidikan. Praktik dan learning by doing menjadi hal penting.

7. Tidak terdapatnya keterkaitan yang erat antara pendidikan yang ditempuh oleh jaksa dengan kinerja dan kiprah di masa depan. Hal ini ditambah dengan persoalan pusat pendidikan dan pelatihan jaksa yang tidak didukung dengan pusat data. Agenda- 7. Tidak terdapatnya keterkaitan yang erat antara pendidikan yang ditempuh oleh jaksa dengan kinerja dan kiprah di masa depan. Hal ini ditambah dengan persoalan pusat pendidikan dan pelatihan jaksa yang tidak didukung dengan pusat data. Agenda-

8. Untuk bersikap konsisten, yang seharusnya diupayakan selama proses pendidikan profesi adalah pembentukan kompetensi melakukan pelayanan publik dan melakukan tuntutan. Melalui pemunculan kompetensi melakukan pelayanan publik selama proses pendidikan, para jaksa diharapkan dapat lebih mampu bersikap adil. Dengan catatan bahwa para calon jaksa mampu meningkatkan kompetensi membangun kepercayaan masyarakat dan menerapkan standar kerja, niscaya mereka lebih dipersiapkan untuk memiliki kemampuan bersikap independen.

9. Prediktor-prediktor atas misi Bersikap Independen, Adil, dan Konsisten memiliki karakteristik generik seperti: legislation, judication, dan execution. Setiap tindakan korporasi hendaknya melibatkan liabilitas yang saling terpisah, sehingga setiap tindakan harus benar-benar saling terpisah. Derajat dari setiap tindakan perlu diikat ke dalam seperangkat kebijakan yang mengikat karakter dari setiap kelas tindakan untuk mencegah terjadinya ketumpang-tindihan dan kerusakan sistem. Sebuah ikatan, yang menjamin keterlaksanaan jabatan terhadap kemungkinan pengrusakan baik terhadap integritas pribadi pelaku maupun properti, harus diterapkan baik ke dalam konsepsi jabatan, takaran atau tolok produk dari jabatan; sehingga setiap langkah atau tahapan senantiasa dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Komposisi prediktor-prediktor atas misi Bersikap Independen, Adil, dan Konsisten menyiratkan kritik tajam terhadap fakta, misalnya, bahwa secara institusional kejaksaan berada di bawah payung eksekutif. Di sini institusionalisasi korporasi di bawah korporasi lainnya (dalam contoh: kejaksaan sebagai salah satu kementerian dari lembaga eksekutif presiden) sama sekali tidak menjawab persoalan efisiensi dan efektivitas kelembagaan.

10. Korp kejaksaan tidak seharusnya dimengerti sebagai konsep, tetapi construct. Sebagai construct, korp kejaksaan adalah resonansi simbolik yang mempertautkan sekian banyak karakter psikologik dari para anggota. Pengalaman individu tentang organisasinya termanifestasi dalam corak emosi mereka, seperti: loyalitas, komitmen, tanggungjawab, kebanggan, ketakutan, kontemplasi, dan kebencian. Setiap karakter, dalam bahasan ini personil jaksa, merepresentasikan variasi pengalaman tentang organisasi. Dengan demikian, perlu dicari formula yang memungkinkan terjadinya 10. Korp kejaksaan tidak seharusnya dimengerti sebagai konsep, tetapi construct. Sebagai construct, korp kejaksaan adalah resonansi simbolik yang mempertautkan sekian banyak karakter psikologik dari para anggota. Pengalaman individu tentang organisasinya termanifestasi dalam corak emosi mereka, seperti: loyalitas, komitmen, tanggungjawab, kebanggan, ketakutan, kontemplasi, dan kebencian. Setiap karakter, dalam bahasan ini personil jaksa, merepresentasikan variasi pengalaman tentang organisasi. Dengan demikian, perlu dicari formula yang memungkinkan terjadinya

11. Dalam kurikulum yang diberlakukan ada kecenderungan untuk mencampuradukkan antara tujuan “mempertajam arah filosofi” dan penegasan tentang “keterarahan penyampaian”. Semestinya, tujuan filosofis tertentu dapat dikemas ke dalam berbagai bentuk penyampaian; sebaliknya, cara penyampaian tertentu tidak dengan sendirinya diasumsikan sudah menggambarkan filosofi tertentu. Kedua komponen/ faktor ini dapat direka-kembangkan menjadi paket-paket yang bervariasi sejauh memiliki kejelasan dalam tujuan filosofisnya.

12. Dalam proses penyusunan program kurikuler perlu dibedakan antara faktor/ komponen “integritas diri/ karakter” para diri para pelaku (calon jaksa) dan faktor “profesionalisme-kompetensi” yang kelak berpengaruh terhadap kualitas kinerja para jaksa saat mereka bertugas dalam profesionalitas mereka. Selain itu, para pengelola pendidikan profesi jaksa perlu membedakan antara tindakan membentuk karakter/ integritas diri dan tindakan mengembangkan profesionalitas.

Rekomendasi yang dapat diberikan berdasarkan kesimpulan dari analisis studi dokumen

sebagaimana tersebut sebelumnya, adalah agar pengelola kependidikan profesi jaksa melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Memanfaatkan berbagai forum dan hasil penelitian tentang pelaksanaan profesionalitas, pendidikan, dan pelatihan jaksa sebagai sarana dialog yang efektif antara kalangan pakar, jaksa dan masyarakat, utamanya ikhwal (a) perlunya penegakan hukum yang tertib dan tidak tumpang tindih, dan (b) perlunya empirisasi pandangan yang cenderung teoritik dan deduktif.

2. Mengkhususkan pokok bahasan mengenai integritas, profesionalitas, dan efisiensi dalam menjalankan profesi jaksa. Dalam kaitan ini, para pengelola pendidikan profesi jaksa perlu membedakan antara tindakan kependidikan yang membentuk karakter/ integritas diri para peserta didik dan tindakan mengembangkan profesionalitas para calon profesional jaksa.

3. Pokok bahasan dalam pendidikan dan pelatihan jaksa hendaknya lebih menitikberatkan pada pengetahuan yang “ based on data”, yakni pengetahuan yang menggambarkan kaitan antara kenyataan yang dijelaskan dan penjelasannya. Bahan ajar dalam pendidikan dan pelatihan jaksa perlu dikoreksi, utamanya dalam hal 3. Pokok bahasan dalam pendidikan dan pelatihan jaksa hendaknya lebih menitikberatkan pada pengetahuan yang “ based on data”, yakni pengetahuan yang menggambarkan kaitan antara kenyataan yang dijelaskan dan penjelasannya. Bahan ajar dalam pendidikan dan pelatihan jaksa perlu dikoreksi, utamanya dalam hal

4. Meski sudah dilaksanakan, masih perlu diterbitkan Surat Keputusan maupun Petunjuk Pelaksanaan yang menjadi acuan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan jaksa yang lebih memuat gagasan-gagasan yang dikerucutkan guna merespon tema-tema pendidikan dan pelatihan yang membentuk integritas, profesionalitas, dan efisiensi dalam menjalankan profesi jaksa.

5. Pokok bahasan yang diajarkan dalam pendidikan dan pelatihan jaksa perlu ditambahkan porsi tentang bagaimana mengimplementasikan standard operation procedure (SOP) dan standar profesi jaksa.

6. Langkah operasional dalam menjalankan profesi jaksa perlu dijadikan bagian dalam kerangka pendidikan dan pelatihan jaksa agar berbagai gagasan yang diajarkan dalam pusat pendidikan dan pelatihan jaksa ditindaklanjuti. Praktik dan learning by doing menjadi hal penting.

7. Perlu dikaitkan antara pendidikan yang ditempuh para calon jaksa dan orientasi kinerja serta kiprah di masa depan. Pusat pendidikan dan pelatihan jaksa perlu lebih didukung dengan data. Agenda-agenda yang akan dilakukan oleh Kejaksaan di masa depan bukan pengulangan atau replikasi masa lalu.

8. Untuk membentuk sikap konsisten, yang seharusnya diupayakan selama proses pendidikan profesi adalah pembentukan kompetensi melakukan pelayanan publik dan melakukan melakukan tuntutan.

9. Untuk membentuk sikap adil, yang harus diupayakan adalah pembentukan kompetensi melakukan pelayanan publik selama proses pendidikan.

10. Untuk mampu bersikap independen, yang harus ditekankan ialah kompetensi membangun kepercayaan masyarakat dan menerapkan standar kerja.

11. Komposisi prediktor-prediktor atas misi Bersikap Independen, Adil, dan Konsisten mensyaratkan agar secara institusional kejaksaan tidak berada di bawah payung eksekutif. Penjelasannya, institusionalisasi korporasi di bawah korporasi lainnya sama 11. Komposisi prediktor-prediktor atas misi Bersikap Independen, Adil, dan Konsisten mensyaratkan agar secara institusional kejaksaan tidak berada di bawah payung eksekutif. Penjelasannya, institusionalisasi korporasi di bawah korporasi lainnya sama

12. Perlu dicari formula yang memungkinkan terjadinya kompatibilitas antara jabatan jaksa dan kualifikasi karakter, personalitas, dan kompetensi dasar psikologik yang relevan dari para calon jaksa.

13. Muatan tujuan “mempertajam arah filosofi” dan penegasan tentang “keterarahan penyampaian” dalam kurikulum harus ditangani secara terpisah. Tujuan filosofis tertentu dapat dikemas ke dalam berbagai bentuk penyampaian; sebaliknya, cara penyampaian tertentu tidak dengan sendirinya diasumsikan sudah menggambarkan filosofi tertentu. Kedua komponen/ faktor ini dapat direka-kembangkan menjadi paket-paket kurikulum yang bervariasi sejauh memiliki kejelasan dalam tujuan filosofisnya.

14. Dalam proses penyusunan program kurikuler perlu dibedakan antara faktor/ komponen “integritas diri/ karakter” para diri para pelaku (calon jaksa) dan faktor “profesionalisme-kompetensi” yang kelak berpengaruh terhadap kualitas kinerja para jaksa saat mereka bertugas dalam profesionalitas mereka.