LATAR BELAKANG

A. LATAR BELAKANG

Aspirasi masyarakat luas yang bertumpu pada idealitas demokrasi, keterbukaan, akuntabilitas publik, dan profesionalisme berdampak pada penilaian terhadap kinerja Kejaksaan yang dinilai lemah dan jauh dari harapan untuk menjawab masalah yang timbul di masa kini dan masa mendatang. Posisi Kejaksaan dalam struktur ketatanegaraan, organisasi Kejaksaan berikut visi, misi, struktur, tugas, wewenang, tata kerja; ketersediaan sumber daya manusia (terutama jaksa), pengawasan (internal dan eksternal) dsb., kesemuanya, merupakan faktor yang menjelaskan kinerja Kejaksaan. Setidaknya, penengaraan ini menjadi landasan rekomendasi dalam laporan hasil audit yang dilakukan PriceWaterHouse Coopers dan The British Institute of International and Comparative Law dengan bantuan Asian Development Bank pada tahun 2001.

Merespon hasil audit tersebut, Kejaksaan Agung, dengan asistensi Komisi Hukum Nasional dan dukungan Partnership for Governance Reform in Indonesia telah melakukan diskusi dan seminar pada tahun 2003. Hasilnya dimaksudkan sebagai masukan bagi pimpinan Kejaksaan dalam menetapkan kebijakan sehingga seminar ini melibatkan akademisi, politisi, organisasi profesi dan publik (termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat) dengan tujuan melakukan pembaruan Kejaksaan.

Disahkannya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menggantikan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan berimplikasi bahwa jaksa adalah pejabat fungsional, yakni sebagai "jabatan yang bersifat keahlian teknis" (pasal 1 angka 4). Dengan demikian, tidak semua pegawai negeri yang bekerja pada lembaga Kejaksaan dan memegang ijazah sarjana hukum adalah jaksa atau dapat diangkat sebagai jaksa. Seorang jaksa harus memenuhi kualifikasi sebagai pegawai negeri, selain kualifikasi khusus yang bersifat keahlian teknis sebagaimana disyaratkan oleh undang-undang tersebut.

Selain Lembaga Kejaksaan merupakan salah satu sub-sistem dalam peradilan pidana, lembaga ini juga mempunyai peran lain dalam hukum perdata dan tata usaha negara, yakni mewakili negara dan pemerintah dalam perkara perdata dan tata usaha negara; bahkan dapat mewakili kepentingan umum. Peran yang demikian krusial dalam Selain Lembaga Kejaksaan merupakan salah satu sub-sistem dalam peradilan pidana, lembaga ini juga mempunyai peran lain dalam hukum perdata dan tata usaha negara, yakni mewakili negara dan pemerintah dalam perkara perdata dan tata usaha negara; bahkan dapat mewakili kepentingan umum. Peran yang demikian krusial dalam

Untuk melaksanakan peranan yang demikian besar diperlukan kualifikasi khusus termasuk yang bersinggungan dengan teknikalitas, di samping kualifikasi umum (lulus sarjana hukum). Kualifikasi khusus inilah yang menjadi alasan mengapa jaksa diberi kualifikasi sebagai pejabat fungsional. Keahlian ini mempersyaratkan kemampuan prima untuk melaksanakan tugas dan wewenang sebagai jaksa yang profesional sehingga profesionalisme jaksa harus ditandai bahkan diteguhkan dengan jabatan fungsional dan fasilitas yang Iebih dibanding pegawai negeri bukan jaksa. Jaksa mendapatkan pensiunan pada usia 62 tahun, mendapatkan tunjangan fungsional, dan kesempatan menduduki jabatan struktural.

Meski jaksa dikualifikasikan sebagai jabatan fungsional, beberapa penelitian justru mengungkap bahwa kualitas jaksa masih jauh dari memuaskan (misal: Laporan Penelitian KHN bekerjasama dengan MaPPI FHUI dan Kejaksaan Agung pada tahun 2004, di dalam Ringkasan Eksekutifnya disebutkan “sebagian besar masyarakat menilai bahwa Kejaksaan belum profesional terutama dalam upaya memberantas korupsi dan kolusi”). Berkaitan dengan hal tersebut, selain untuk mengimplementasikan pelaksanaan hasil-hasil Law Summit III, Kejaksaan Agung telah mencanangkan program-program sebagai upaya perbaikan di bidang pendidikan dan pelatihan, di antaranya:

1. Restrukturisasi pendidikan dan pelatihan, termasuk dalam hal ini ialah sistem seleksi, jenis pendidikan dan pelatihan, maupun pola pembelajaran;

2. Revisi kurikulum pendidikan dan pelatihan, baik pendidikan dan pembentukan jaksa maupun pendidikan dan pelatihan lainnya; dan

3. Pengiriman jaksa untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan di dalam dan luar negeri, termasuk program pascasarjana.