1 Persebaran Jaringan Kantor Bank di Indonesia

Gambar 3.1 Persebaran Jaringan Kantor Bank di Indonesia

Sumber: Statistik Keuangan Daerah Berbagai Provinsi, Bank Indonesia, diolah

Disparitas layanan perbankan juga terjadi di tingkat kecamatan. Tingkat layanan perbankan di tingkat kecamatan yang tertinggi ada di Jakarta, rata-rata setiap kecamatan dilayani oleh 91 kantor bank. Sedangkan di Papua tingkat layanan perbankannya paling rendah, dimana satu kecamatan hanya dilayani oleh kurang dari satu kantor bank atau tidak semua kecamatan tersedia layanan perbankan. Disparitas layanan bank menyebabkan terciptanya kondisi financial exclusion bahkan mengarah kepada financial explotation.

Gambar 3.2 Rasio Jumlah Kantor Bank dengan Jumlah Kecamatan

Sumber: diolah dari data Bank Indonesia,2013.

Disparitas dalam pelayanan jasa keuangan tersebut selanjutnya menimbulkan kenaikan pendapatan dari kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi yang jauh lebih cepat dari pada kenaikan dari kelompok masyarakat terendah dan menengah (Gambar 3.3). Hal ini harus segera diatasi dengan kebijakan serta tindakan yang cepat dan strategik, khususnya dalam memperluas jaringan kantor perbankan nasional tanpa harus meningkatakan biaya overhead cost perbankan secara signifikan bagi perbankan namun dapat menjangkau masyarakat luas ( outreach yang lebih luas).

Gambar 3.3 Pergeseran Distribusi Pendapatan Masyarakat Indonesia

Sumber: diolah dari data Bank Indonesia,2013.

3.2 Faktor yang Mempengaruhi Akses Masyarakat terhadap Jasa Keuangan

3.2.1 Tingkat Pendapatan Masyarakat Masyarakat masih merasakan hambatan 14 dalam memperoleh layanan jasa keuangan

formal dari perbankan. Selain keterbatasan fasilitas lembaga keuangan, juga disebabkan rendahnya penghasilan di pedesaan sehingga pendapatan yang diterima penduduk desa lebih banyak digunakan untuk konsumsi. Berdasarkan hasil survei Bank Dunia 79% masyarakat yang tidak memiliki tabungan karena tidak memiliki uang. Namun demikian, masyarakat berpendapatan rendah adalah active money managers yang sangat membutuhkan akses keuangan terhadap lembaga keuangan khususnya perbankan.

3.2.2 Keterbatasan Ketersediaan Jasa Perbankan Bank umum sebagai lembaga keuangan yang mendominasi sektor keuangan di

Indonesia ternyata hanya melayani sebagian kecil keluarga di Indonesia. Sektor informal lebih banyak melayani masyarakat dibandingkan sektor perbankan. Dalam hal ini, sepertiga dari penduduk Indonesia bahkan tidak memiliki tabungan, dan masuk ke dalam kategori financially excluded atau penduduk yang terpinggirkan dari jasa tabungan. Berdasarkan survei PODES (tahun 2005) dan survei ATF (tahun 2007), jumlah layanan perbankan seperti keberadaan kantor bank komersil dan khususnya BPR (Gambar 3.4) yang seharusnya bisa menyentuh masyarakat kelas bawah masih sangat terbatas. Namun keberadaan bank komersil di daerah pedesaan menurut survei ATF hanya 25,9% walaupun angka tersebut menunjukkan peningkatan dibandingkan survei Bank Dunia yang hanya menunjukan porsi sebesar 16,1%.

14 Beberapa faktor penghambat akses masyrakat terhadap layanan jasa keuangan tersebut antara lain jauhnya jarak tempuh atau lamanya waktu yang diperlukan dari rumah kecabang bank atau ATM terdekat; persyaratan

yang ditetapkan oleh bank khususnya untuk persyaratan identitas sulit dan memerlukan proses yang kompleks; besarnya biaya administrasi bulanan atau saldo minimum yang tinggi; produk seperti tabungan sederhana, kredit investasi atau asuransi kesehatan yang seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan; tingkat pengetahuan keuangan (financial literacy) yang rendah; dan psikologi dan budaya yang belum terbiasa menggunakan layanan perbankan.

Gambar 3.4 Persentase Jumlah Bank Komersial dan BPR di Pedesaan

Sumber : Improving Access to Financial Services in Indonesia, Bank Dunia. 2009

Berdasarkan hasil survei Bank Dunia 2009, menunjukkan bahwa 38% penduduk Indonesia termasuk financially excluded. Presentase penduduk yang masuk financially included namun menabung di sektor informal mencapai 18%, sehingga bila dijumlah dengan yang tidak memiliki perbankan adalah 56% penduduk tidak menggunakan jasa perbankan. Hal ini menutut adanya suatu kebijakan yang bersifat inovatif untuk meningkatkan akses layanan keuangan penduduk kepada perbankan melalui peningkatan kantor atau point-point layanan bank (Gambar 3.5).

Gambar 3.5 Akses kepada Jasa Tabungan

Sumber: meningkatkan akses terhadap jasa keuangan di Indonesia, Bank Dunia. 2009

3.3 Latar Belakang Kebijakan Multilicense dan Perluasan Jaringan Kantor

3.3.1 Inefisiensi Perbankan nasional Perbankan Indonesia masih menunjukkan adanya inefisiensi, dari sisi skala

usaha, dimana struktur perbankan nasional memiliki rentang yang sangat lebar berdasarkan modal inti yang dimiliki. Struktur perbankan Indonesia saat ini didominiasi oleh 18 bank besar, dengan sebagian bank memiliki modal inti

dibawah Rp5 triliun; hal ini mengandung konsekuensi sebagian kecil bank Indonesia yang mampu beroperasi secara efisien. Salah satu indikator inefisiensi adalah nilai net interest margin (selanjutnya disingkat NIM). Saat ini net interest margin perbankan Indonesia masih berada pada kisaran 6 persen atau tertinggi di kawasan ASEAN-5; padahal sektor perbankan yang efisien sangat penting adalah merupakan sangat strategik dalam rangka mendorong perekonomian dan stabilitas sistem keuangan. Perkembangan tersebut apabila dihubungkan dengan adanya rencana pembentukan Masyrakat Ekonomi Asean (selanjutnya disingkat MEA) pada tahun 2020, dimana akan dilakukan penghapusan pembatasan perdagangan jasa untuk semua sektor ekonomi yang tersisa, maka tingkat efisiensi sektor- sektor utama termasuk sektor perbankan menjadi sangat mutlak dalam menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional, sebagai akibat meningkatnya persaingan yang mungkin timbul akibat terbentuknya MEA. Untuk itu perlu segregation pelayanan bank berdasarkan kekuatannya agar efisien dan berdampak positif bagi perbankan sendiri, ekonomi dan stabilitas dalam bentuk kebijakan perijinan berjenjang (multilicense).

3.3.2 Fokus Khusus pada Usaha Kecil, Mikro dan Menengah (UMKM) Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa sebagian besar pendudk Indonesia

berusaha di sektor UMKM, maka perhatian kepada sektor UMKM menjadi suatu hal yang mutlak dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Sektor UMKM merupakan sektor yang terbukti tangguh dalam menghadapi krisis ekonomi yang dialami Indonesia. Pada Krisis Asia 1998, sektor UMKM merupakan sektor yang dapat bertahan dibandingkan dengan sektor yang lebih besar.

Gambar 3.6 Kontribusi UMKM dalam Perekonomian Indonesia

Sumber: diolah dari data Bank Indonesia,2013.

Data Kementerian Koperasi dan UKM (2011) menunjukkan bahwa UMKM diperkirakan memberikan kontribusi sebesar 57,1% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) (dengan menggunakan harga konstan tahun dasar 2011). Dari kontribusi sebesar 57,1% tersebut, 32%merupakan kontribusi usaha mikro, dan 10,99% merupakan kontribusi usaha kecil. Pangsa UMKM sendiri mencapai

99 persen dari total unit usaha di Indonesia. Sedangkan dalam hal tenaga kerja, UMKM menyerap 97.2% dari total tenaga kerja di Indonesia (Gambar 3.6). Menyadari peran penting UMKM dalam perekonomian, dan berdasarkan UU

No.20 tahun 2008 15 mengenai Usaha Mikro Kecil dan Menengah, maka Bank Indonesia mengeluarkan PBI No.14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau

Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan UMKM. Dalam ketentuan tersebut bank umum diwajibkan memberikan kredit/pembiayaan kepada UMKM sekurang-kurangnya 20% dari total kredit/pembiayaan bank. Batasan minimum ini akan diimplementasikan secara bertahap sampai dengan tahun 2018.

3.4 Kebijakan Perizinan Berjenjang (Multilicense) Kebijakan Perijinan Berjenjang yang telah disebutkan di atas, mengatur perbankan

nasional dengan melakukan penggolongan ( segregration) perbankan Indonesia berdasarkan modal inti dan mengkaitkannya dalam kegiatan usaha yang boleh dilakukan oleh masing-masing individual bank. Dalam pembahasan mengenai kebijakan multilicense ini, pembahasan difokuskan pada perluasan jaringan kantor bank sebagai akibat dari terbatasnya layanan jasa keuangan oleh bank sebagaimana telah dibahas di atas.

15 Berdasarkan UU No.20 tahun 2008 tentang UMKM, usaha UMKM tersebut didefinisikan sebagai berikut: Usaha Mikro merupakan usaha produktif milik orang perorangan dan/badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria

usaha mikro, dengan kriteria sebagai usaha yang memiliki kekayaan bersih paling banyak sebesar Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak sebesar Rp300.000.000 (tiga ratus juta rupiah); Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil. Kriteria usaha kecil adalah usaha yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000 (dua miliar lima ratus juta rupiah); dan Usaha Menengah merupakan usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tak langsung dari usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sesuai kriteria usaha menengah. Kriteria usaha menengah menurut UU ini adalah usaha yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah).

3.4.1 Modal Inti Dalam upaya untuk memperluas jaringan layanan perbankan di wilayah

Indonesia, salah satu kebijakan yang ditetapkan adalah dengan kebijakan perizinan berjenjang. Perizinan berjenjang terkait produk dan aktivitas disesuaikan dengan kapasitas permodalan setiap bank agar dapat beroperasi secara efisien dan ideal, seperti dalam Gambar 3.7.

Gambar 3.7 Jumlah Bank Menurut Modal Inti

Modal Inti > Rp 30 Trilyun

Tier 4:

4 Bank Tier 3:

Modal Inti Rp 5-30 Trilyun

Modal Inti Rp 1-5 Trilyun

Tier 1:

53 Bank

Modal Inti < Rp 1 Trilyun

Berdasarkan analisis gap diagram dibawah (Gambar 3.8), Bank Indonesia telah merumuskan kebijakan mengenai multilisence dengan beberapa pertimbangan:

a) Perijinan jenis kegiatan usaha bank umum tidak dapat lagi diberikan sama untuk semua bank karena beragamnya kondisi bank; b) Perijinan jenis kegiatan usaha perlu diatur ulang berdasarkan kapasitas yang dimiliki setiap bank sesuai kemampuan modal dan kinerja; c) Penataan perijinan kegiatan usaha bank diharap juga dapat mewujudkan ketahanan struktur perbankan nasional yang kokoh dan berdaya saing; d) Pengaturan perijinan kegiatan usaha bank diarahkan untuk meningkatkan kapasitas tata kelola bank sehingga mempunyai kemampuan dalam mengendalikan risiko; e) Tantangan persaingan yang dihadapi perbankan nasional terutama menghadapi implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. f) Mewujudkan perbankan nasional yang mempunyai daya saing lokal, nasional dan regional serta penyediaan pembiayaan yang efisien; g) Meningkatkan fungsi intermediasi bank khususnya pembiayaan UMKM.

Gambar 3.8 Analisis Gap Kebijakan Multilisence di Indonesia

1. Ketahanan perbankan

2. Peningkatan

governance

3. Daya saing local,

nasional dan regional

4. Penyediaan

pembiayaan yang

efisien

5. Intermedia, unbanked people

6 Kontribusi pada

Beberapa hal yang menjadi ruang lingkup dalam perijinan berjenjang, antar lain (Gambar 3.9):

a. Target nasabah , sebagai lending indikatif adalah: BUKU 1: Segmen Plafond s.d Rp10M minimal 70%; BUKU 2: Segmen Plafond s.d Rp10M minimal 60%; BUKU 3: Segmen Plafond s.d Rp10M minimal 20% dan maksimal 40%; BUKU

4: Segmen Plafond s.d Rp10M minimal 20% dan maksimal 30%;

b. Izin atas produk/aktivitas dan pembukaan jaringan kantor . Dalam hal ini, semua bank umum kelompok usaha wajib memperoleh izin/persetujuan atas produk/aktivitas tertentu serta pembukaan jaringan kantor (seluruh jaringan kantor);

c. Perluasan produk dan aktivitas . Bank dapat memperluas cakupan produk dan aktivitas dengan produk dan aktivitas BUKU lain sepanjang dapat meningkatkan modal inti sesuai persyaratan;

d. Jumlah Jaringan Kantor . Bank Umum Kelompok Usaha yang mempunyai modal inti lebih tinggi dapat memiliki jumlah jaringan kantor yang lebih banyak berdasar perhitungan theoretical capital;

e. Bank Fokus . Bank dapat menjadi bank focus pada sector ekonomi/kegiatan tertentu dengan persetujuan pengawas.;

f. Kepemilikan perusahaan anak (konglomerasi). BUKU 1: Tidak diperkenankan; BUKU 2: Diperkenankan pada lembaga keuangan di Indonesia. Maksimal sebesar 15% dari modal bank; BUKU 3: Diperkenankan pada lembaga keuangan di Indonesia dan/atau luar negeri. Maksimal sebesar 25% dari f. Kepemilikan perusahaan anak (konglomerasi). BUKU 1: Tidak diperkenankan; BUKU 2: Diperkenankan pada lembaga keuangan di Indonesia. Maksimal sebesar 15% dari modal bank; BUKU 3: Diperkenankan pada lembaga keuangan di Indonesia dan/atau luar negeri. Maksimal sebesar 25% dari

Gambar 3.9 Ruang Lingkup Kegiatan Usaha Bank berdasarkan BUKU

Hal dimaksud diatas dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor berdasarkan Modal Inti Bank. Kebijakan ini dapat dipandang sebagai kebijakan yang inovatif dalam memperluas jaringan kantor ( point-point) layanan perbankan untuk menjawab keterbatasan kesediaan jasa perbankan sebagaimana disampaikan dalam Sub bab 3.2.2 mengenai keterbatasan kesediaan jasa perbankan.

3.5 Latar Belakang Kebijakan Branchless Banking Keuangan Inklusif adalah sebuah kondisi dimana masyarakat memiliki akses yang

berkesinambungan terhadap jasa keuangan yang dibutuhkan (ADB, 2000). Sementara, Leedladhar (2005) berpendapat bahwa inklusi keuangan adalah sebuah proses untuk menyediakan jasa keuangan kepada masyarakat luas dan rumah tangga berpenghasilan rendah pada harga yang dapat dijangkau. Upaya peningkatan inklusi keuangan ini merupakan salah satu target kebijakan diberbagai negara, terutama negara berkembang. Gambar 3.10 menunjukkan tingkat akses keuangan di Asia. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa tingkat akses keuangan di tiga negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia (Cina, India, dan Indonesia) kurang dari 50 persen.

Dari ketiga negara tersebut, India memiliki tingkat akses keuangan tertinggi dengan tingkat sebesar 48 persen.

Gambar 3.10

Tingkat Akses Keuangan di Berbagai Negara di Asia

Sumber: World Bank Composite Measure of Access to Finance 2007 Report; WRI population data; UNCTAD population data; AFI analysis and AFI -Tokyo, dalam Hannig (2009).

Secara umum, Honohan (2004) mengklasifikasikan hambatan-hambatan yang dihadapi masyarakat dalam mengakses jasa keuangan dalam 3 kelompok utama, yaitu: Hambatan harga ( price barriers); Hambatan informasi (information barrier); dan Hambatan desain produk dan jasa ( product and service design barriers). Di Indonesia sendiri, sektor perbankan memiliki pangsa pasar hingga mencapai 80% dari seluruh

total pangsa pasar lembaga keuangan, namun, jumlah populasi 16 unbanked , seperti yang telah disebutkan di Sub bab 3.2.2 sebelumnya.

Kondisi tersebut bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di berbagai belahan dunia, menyikapi hal ini, berbagai negara telah menerapkan beberapa instrumen untuk meningkatkan inklusi keuangan. Diantaranya melalui m obile banking, agent banking (atau lazim dikenal sebagai branchless banking), state bank reforms, pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro ( Microfinance), dan perlindungan konsumen (consumer protection) melalui peningkatan transparansi, keadilan, dan “melek” finansial (financial literacy) konsumen. Sejalan dengan hal tersebut, kerangka dasar pembangunan dan program-program pro rakyat yang dicanangkan pemerintah sejak awal, didasarkan

16 Hasil survei World Bank (2010) menunjukkan bahwa 32 persen penduduk Indonesia tidak memiliki tabungan, baik di lembaga keuangan formal maupun di lembaga keuangan informal dan dapat dikelompokkan sebagai financially

excluded dari segi tabungan. Dari segi pinjaman, hanya 60 persen penduduk yang memiliki akses terhadap kredit (yang terdiri dari 17 persen penduduk yang meminjam di lembaga keuangan bank dan 43 persen meminjam di lembaga keuangan non-bank informal), sementara sekitar 40 persen penduduk Indonesia tidak memiliki akses terhadap pinjaman ( financially excluded dari sisi kredit).

kepada empat pilar utama: pro-growth, pro-job, pro-poor, dan pro-environment dapat dipandang sebagai hal yang sangat tepat dan sesuai dengan kerangka dasar pemerataan hasil pembangunan guna mempercepat pencapaian keadilan sosial dan

pengurangan kemiskinan. 17 .

3.5.1 Alternatif Model Branchless Banking

Gambar 3.11 Model Branchless Banking (BB)

Sumber: diolah dari beberapa referensi model branchless banking BB sebagai bagian dari program FI adalah saluran distribusi yang digunakan

untuk memberikan jasa keuangan dan sistem pembayaran secara terbatas melalui unit khusus pelayanan keuangan (agen) tanpa harus melalui pendirian kantor fisik bank. Bank Indonesia pada tahun 2012 mengeluarkan kebijakan BB sebagai tindak lanjut kebijakan multilicense, yang telah dibahas di Sub Bab 3.4 di atas, sebagai salah satu strategi peningkatan inklusi keuangan di Indonesia. Dalam aplikasi BB tersebut terdapat dua model yang umum digunakan yakni bank based model dan non-bank based model. Selain itu terdapat juga hybrid model yang merupakan perpaduan antara bank based dan non-bank based model.

3.5.1.1 Bank Based Model dan Non Bank Based Model

17 Velix V. Wanggai, Meneguhkan Arah Pembangunan Yang berkeadilan: Safari Ramadhan Presiden SBY, Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, 2012,

Dalam model ini, penyelenggara layanan adalah Bank. Bank menciptakan produk dan jasa keuangan, namun pendistribusian produk dan layanan tersebut dilakukan melalui retail agent yang mengelola semua atau hampir semua

interaksi dengan nasabah. 18 Bank berperan penuh mulai dari proses perizinan awal, pelaksanaan operasional, pengelolaan financial dan sistem. Sementara,

perusahaan telco berperan menyediakan jaringan/saluran infrastruktur untuk melakukan transaksi layanan perbankan. Perusahaan telco mendapatkan fee

dari penggunaan jaringan oleh nasabah 19 . Adapun jenis saluran distribusi layanan dibagi menjadi dua yakni melalui retail

agent dan mobile banking yang disediakan oleh bank, dengan penjelasan sebagai berikut:

a. Retail Agent (bank based model) Retail agent berinteraksi dengan nasabah dalam menyedikan jasa layanan keuangan (Tabel 3.3) . Nasabah dapat melakukan penyetoran simpanan atau penarikan uang dan bahkan transfer dana. Dalam proses penyediaan jasa, retail agent melakukan komunikasi langsung dengan bank dengan menggunakan telepon genggam maupun terminal Point of Sale (POS) dalam

bentuk EDC dan lainnya 20 .

19 Lyman et all, CGAP Focus Note No.38, 2006 Setiap nasabah mempunyai hubungan kontraktual langsung dengan lembaga keuangan formal (bank) meskipun

nasabah melakukan transaksi melalui retail agent atau MNO. Hubungan kontraktual ini dapat berupa account based maupun one off transaction. Layanan yang disediakan merupakan layanan jasa keuangan standar seperti: 20 tabungan/simpanan, kredit dan remmitance/transfer.

Di beberapa negara, retail agent dapat menangani prosedur pembukaan rekening dan dalam beberapa kasus dapat mengidentifikasi dan menyediakan jasa pinjaman untuk nasabah. Retail agent mengecek dokumen identitas nasabah dan proses transaksi, mendebit atau mengkredit rekening nasabah jika itu adalah pembelian atau transfer dana antar rekening. Catatan elektronik dari transaksi akan ditransfer langsung ke bank atau dikelola oleh agent proses pembayaran yang menyelesaikan transaksi di antara rekening nasabah dan rekening penerima.

Tabel 3. 3 Bank Based Model

NASABAH

RETAIL AGENT

BANK

Tahap 1: Nasabah

Tahap 3: Bank meminta jasa

Tahap 2: Retail agen

mengkredit dan keuangan

mengecek ID nasabah dan

memproses transaksi

mendebit rekening bank

melalui infrastruktur bank

nasabah dan pihak lain

(POS) atau payment

untuk transaksi

processing agent

Contoh pihak lain: Ditawarkan:

Contoh Jasa

Contoh Retail Agen:

termasuk retail agen Mendeposit atau me- social (LSM, MFIs, dll),

Outlet retail, organisasi

(untuk deposit atau narik dana dari akun e- kantor pos

penarikan dana), money nasabah;

penerima transfer dana transfer dana; pem-

(nasabah lain, perusa- bayaran tagihan/ pa-jak;

haan listrik, dirjen pajak) pengajuan dan pencairan pinjaman pembukaan rekening dan pengajuan apli-kasi credit card

Sumber: Lyman et all, CGAP Focus Note No.38, 2006

Dalam penunjukan retail agent oleh bank, ada dua jenis agen yang digunakan yaitu: 1). Super Agent: merupakan badan hukum dimana bank menjalin kerjasama untuk distribusi layanan keuangan. Badan hukum ini umumnya memiliki jaringan yang luas dan bisnis yang sudah berjalan. Super Agent yang dapat digunakan oleh bank diantaranya PT. Pos Indonesia, perusahaan distributor yang memiliki jaringan luas, dan perusahaan telekomunikasi; 2). Sub Agent: merupakan jaringan dari super agent yang tersebar di seluruh wilayah. Transaksi face to face dengan nasabah akan berlangsung dengan sub-agen.

b. Mobile Financial Services (non-bank based model)

Layanan Mobile Financial Services (MFS) yang disediakan adalah mobile banking, yang merupakan pengembangan dari layanan perbankan. Alur branchless banking dengan menggunakan bank based model digambarkam Gambar 3.12. Penerapan bank based model di Indonesia dapat dijumpai dalam layanan mobile banking yang ditawarkan oleh sebagian besar bank yang beroperasi saat ini. Layanan mobile banking ini merupakan sarana penunjang transaksi bagi nasabah yang telah

mempunyai rekening di bank tersebut 21 .

Saat ini layanan mobile banking masih terbatas pada pengecekan saldo, transfer dana, pembelian barang dan bayar tagihan. Sedangkan untuk pembukaan rekening, penambahan simpanan dan pembukaan rekening tidak dapat dilakukan dalam mobile banking.

Gambar 3.12 Alur Bank-based Model

Adapun penyelenggaran MFS (Tabel 3.4) melalui non-bank model adalah skema penyelenggaraan BB dimana seluruh proses perizinan dan operasional dilakukan oleh institusi non-bank. Institusi tersebut menyediakan jasa perbankan yang paling dasar dan bank tidak terlibat langsung dalam operasional bisnis. Nasabah tidak memiliki hubungan kontraktual dengan bank dan produk yang ditawarkan berupa electronic money (E-money). E-money merupakan nilai uang yang diukur dengan mata uang yang disimpan dalam bentuk elektronik dan dapat digunakan melakukan transaksi pembayaran yang diterima oleh entitas lain selain

penerbit. 22

Tabel 3.4 23 Non-bank Based Model

NASABAH

RETAIL AGENT

NONBANK

BANK

Tahap 1: Nasabah

Tahap 2: Retail

Tahap 3: Non-

Tahap 4: Bank

meminta jasa

agen mengecek

bank meregister (secara umum)

keuangan atau

ID nasabah dan

transaksi,

menyimpan dana

penjualan via hand

memproses

mengupdate

dari penerbitan e-

phone atau smart

transaksi mewakili akun e-money

money non-bank,

card

non-bank, via

(virtual) milik

mewakili

hand phone atau

nasabaj dan

nonbank. Bank

smart card reader

pihak lain untuk tidak memiliki

transaksi. Non-

hubungan dengan bank mengelola

nasabah/retail

akun nasabah

23 The Bank for International Settlements (BIS, 1996), European Union (2008) Lyman et all, CGAP Focus Note No.38, 2006

Contoh Jasa

Contoh Retail

Contoh pihak

*ini merupakan

Ditawarkan:

Agen:

lain: termasuk

praktek dari

Mendeposit/menarik Department

retail agen (untuk operator mobile

dana dari akun e-

Store ,

deposit,

phone di Filipina

money nasabah

supermarket, penarikan dana, dan Kenya

(cash in and cash

penjual

atau pembelian

out); pembelian

pulsa, usaha

barang),

barang;transfer

komersial lainnya

penerima transfer

dana;pencairan

dana (nasabah

pinja-

lain, perusahaan

man/pembayaran

listrik, dirjen

angsuran dan pajak.

pajak)

Nasabah hanya bertransaksi dengan agen dengan menukarkan uang tunai atau mentransfer sejumlah nilai uang dalam bentuk electronic record (rekening virtual). Rekening virtual ini disimpan dalam server non- bank seperti operator telekomunikasi dan atau penerbit stored value card. Saldo dalam rekening tersebut dapat digunakan untuk bertransaksi. Selain itu, non-bank based model dapat berupa jaringan pembayaran ( network payments) dimana nasabah bahkan pemerintah

dapat melakukan pembayaran kepada pihak ketiga 24 . Alur BB dengan menggunakan non-bank based model dapat dilihat dalam Gambar 3.13.