4. Sepuluh Provinsi dengan Share Dana Pihak Ketiga dan Kredit Terbesar di

Gambar 4.4. Sepuluh Provinsi dengan Share Dana Pihak Ketiga dan Kredit Terbesar di

Indonesia

Sumber: Bank Indonesia, 2013 Dalam hubungannya dengan kebijakan branchless banking, maka matriks BCG pada Gambar 4.3 diadaptasi menjadi Gambar 4.5. Pada matriks tersebut dapat dilihat bahwa prioritas utama dari kebijakan branchless banking adalah daerah yang berada pada Kuadran IV atau daerah underbanked. Sedangkan prioritas kedua adalah daerah Kuadran III, atau daerah Low Equilibirum Banked. Daerah Medium Equilibrium Banked atau Kuadran I adalah daerah menjadi prioritas

ketiga dalam kebijakan ini.

Gambar 4.5 BCG Matriks Tingkat Kejenuhan Bank di Indonesia dan

Kebijakan Branchless Banking

Dengan hasil dari analisa DEA (Sub Bab 4.1.1.1) dan Analisa BCG Matriks (Sub Bab 4.1.1.2) yang telah dilakukan di atas, dapat diangap sebagai jawaban dari perumusan masalah pertama akan pentingnya kebijakan multilicense dan BB yang saling melengkapi satu sama lain; dimana dengan adanya sinergi kedua Dengan hasil dari analisa DEA (Sub Bab 4.1.1.1) dan Analisa BCG Matriks (Sub Bab 4.1.1.2) yang telah dilakukan di atas, dapat diangap sebagai jawaban dari perumusan masalah pertama akan pentingnya kebijakan multilicense dan BB yang saling melengkapi satu sama lain; dimana dengan adanya sinergi kedua

4.1.2 Studi Empiris Pemetaan, Potensi serta Forecasting Pembiayaan UMKM (BCG Matrix)

4.1.2.1 Analisa Pemetaan dan Potensi Kredit UMKM Dalam menjawab perumusan masalah kedua seperti yang telah dijelaskan di atas, dalam penulisan makalah ini, dilakukan pula pemetaan akses masyarakat yang bergerak dalam bidang UMKM khususnya UMK (Usaha Mikro Kecil) terhadap perbankan. Analisa ini dilakukan untuk melihat apakah ada potensi peningkatan akses keuangan kelompok masyarakat tersebut sebagai akibat kebijakan multilicense dan branchless banking. Dalam hal ini, Pemetaan dengan menggunakan BCG Matrix digunakan pula untuk memetakan kondisi pembiayaan UMKM di Indonesia saat ini. Metode yang digunakan sebelumnya dimodifikasi dengan mengubah sumbu X menjadi kredit UMK per kapita. Pemetaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.6. Berdasarkan analisa tersebut dapat dilihat bahwa di provinsi Lampung, Maluku, Jawa Timur, dan Sumatra Selatan merupakan provinsi yang masuk dalam katagori underbanked untuk pembiayaan UMKM. Sedangkan provinsi Bali, Papua, Kepulauan Riau, DI Yogyakarta merupakan provinsi yang masuk dalam katogori overbanked dalam pembiayaan UMKM.

Gambar 4.6 Pemetaan Kondisi Pembiayaan UMKM di Indonesia

Namun secara umum, pembiayaan UMKM masih dianggap sebagai pembiayaan yang masih memiliki potensi yang sangat besar. Hasil analisis potensi pasar bagi sektor UMKM yang dilakukan dalam penelitian ini dikonfirmasi pula dengan hasil estimasi yang telah dilakukan sebelumnya (tiga penelitian terdahulu). Ketiga penelitian tersebut dijelaskan dengan singkat sebagai berikut.

a. Penelitian: Hasil Riset BTPN Estimasi potensi pasar ini dilakukan dengan menggunakan kajian DPNP tahun 2012. Menurut kajian tersebut, potensi pasar kredit UMK di Indonesia sebesar Rp1500 triliun. Potensi ini mencakup pembiayaan oleh bank konvensional maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Dari potensi pasar sebesar Rp1500 triliun tersebut, baru sekitar Rp281,84 triliun pembiayaan yang telah disalurkan melalui kredit oleh bank umum maupun BPR. Angka ini baru mencakup 18,8 persen dari total potensi yang diperkirakan. Berdasarkan estimasi tersebut, maka masih ada potensi sebesar 81,2 persen atau sebesar Rp1.218,16 yang belum tergarap. Namun estimasi tersebut belum memperhitungkan UMKM yang telah dibiayai melalui Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Secara lengkap estimasi tesebut dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Estimasi Kredit Ritel dengan Alternatif 1 Potensi UMK

Total Kredit (Rp T)

Potensi UMK

Rp 1.500

Kredit UMK oleh BPR dan Bank Umum

Rp 281,84 (18,8%)

Belum tergarap

Rp 1.218,16 (81,2%)

Sumber : DPNP, Kajian Market Competition, Bank Indonesia – 2012 (Hasil diskusi

dengan BTPN)

Studi tersebut juga mengestimasi pertumbuhan pembiayaan UMKM tahun 2018. Dengan mengasumsikan pertumbuhan kredit sebesar 20%, maka pada tahun 2018, jumlah minimum pembiayaan UMKM yang wajib disalurkan oleh perbankan diperkirakan mencapai Rp1.617,13 triliun. Angka ini diperoleh dengan menghitung 20 persen dari total kredit yang disalurkan. Namun studi tersebut juga menggarisbawahi adanya kecenderungan bank untuk menyalurkan kredit kepada usaha Menengah dibandingkan UMK. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang mendorong perbankan untuk menyalurkan kredit kepada UMK.

b. Penelitian dengan Data Kementrian Koperasi dan UKM Alternatif kedua estimasi potensi pasar UMK dilakukan dengan menggunakan data Kementrian Koperasi dan UKM. Berdasarkan data tersebut, potensi usaha mikro dan Kecil pada tahun 2011 masing-masing diperkirakan mencapai Rp761,28 triliun dan Rp261,32 triliun. Sementara total kredit UMK yang sudah disalurkan oleh bank umum dan BPR mencapai 27,56%, yaitu Rp261,45 triliun disalurkan oleh bank umum dan Rp20,39 triliun disalurkan oleh BPR (angka tersebut belum memperhitungkan UMK yang telah dibiayai melalui Lembaga Keuangan Mikro lainnya). Dengan demikian, masih terdapat potensi pembiayaan kredit UMK oleh perbankan sekitar Rp740,71 triliun atau sekitar 72,44%. Hasil estimasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Estimasi Kredit Ritel dengan Alternatif 2 Potensi UMK

Total Kredit (Rp T)

Potensi UMK (data Kemenkop) Rp1.022,55 (100,00%)

Usaha Mikro

Rp761,23

Rp 261,32 Penyaluran Kredit UMK oleh Bank Umum dan BPR

Usaha Kecil

Rp281,84 (27,56%)

Kredit Mikro

Rp112,73

Rp169,11 Belum tergarap

Kredit Kecil

Rp 740,71 (72,44%)

Usaha Mikro

Rp648,5

Usaha Kecil

Rp92,21

c. Penelitian Household Produktif Non-Pegawai Penelitian ketiga estimasi potensi pasar UMK dilakukan dengan menggunakan data Survei Rumah Tangga DPNP. Berdasarkan data survei ini, rumah tangga produktif non-pegawai adalah sebesar 57,63% dari total rumah tangga. Sementara itu, berdasarkan data BPS Agustus 2012, bukan angkatan kerja – sektor rumah tangga mencapai 33,6 juta penduduk. Dengan demikian, proyeksi potensi UMK mencapai 19,4 juta penduduk. Dari 19,4 juta penduduk tersebut, diasumsikan 75% merupakan potensi pangsa usaha Mikro dan 25% merupakan potensi pangsa usaha Kecil (mengacu kembali kepada data Kementrian Koperasi dan UKM, 2011). Besarnya skala UMK per penduduk adalah sebesar jumlah kredit per rekening saat ini, yaitu Rp16,93 juta per 1 unit usaha Mikro dan Rp144,35 juta per 1 unit usaha Kecil (data sampai dengan Desember 2012). Sehingga, besarnya potensi UMK dapat dihitung sebagai berikut: ditambah dengan Usaha Mikro: 75% x 19,4 juta penduduk x Rp16,93 juta = Rp245,88 triliun; Usaha Kecil: 25% x 19,4 juta penduduk x Rp144,35 juta = Rp698,80 triliun; sehingga Total potensi usaha: Rp245,88 triliun + Rp689,80 triliun = Rp944,68 triliun. Dengan memperhitungkan angka penyaluran kredit UMK oleh perbankan (bank umum dan BPR) sebesar Rp281,84 triliun, maka masih terdapat potensi pembiayaan UMK oleh perbankan sebesar Rp622,84 triliun atau 70,17% (belum memperhitungkan UMK yang telah dibiayai melalui Lembaga Keuangan Mikro lainnya).

Ketiga penelitian di atas menunjukkan bahwa potensi pembiayaan perbankan untuk UMK masih cukup tinggi (ketiga alternatif estimasi tersebut dirangkum pada Tabel 4.4). Potensi pasar kredit UMK masih sangat besar dan hanya kurang dari 30% yang baru tergarap, baik melalui pembiayaan oleh bank konvensional maupun BPR. Dengan menggunakan asumsi bahwa PDB sampai dengan tahun 2018 akan tumbuh pada angka yang sama, yaitu 6,5%, dan usaha Mikro dan Kecil memiliki pangsa yang relatif sama, maka potensi usaha Mikro dan Kecil di tahun 2018 diperkirakan mencapai Rp1.588,42 triliun. Walaupun demikian potensi ini lebih rendah dibandingkan dengan prediksi jumlah kredit UMKM yang disalurkan oleh perbankan pada tahun 2018 (Penelitian 1), yaitu Rp1.617,13 triliun (dengan asumsi pertumbuhan kredit 20% per tahun dan semua bank memenuhi ketentuan minimum penyaluran kredit kepada UMKM).

Tabel 4.4 Rangkuman Estimasi Potensi Pembiayaan UMK

Jumlah

Jumlah Pembiayaan

UMK oleh Bank Umum

Pembiayaan UMK

Potensi UMK

1 Hasil Riset BTPN

2 Koperasi dan UKM

Pendekatan RT

Alternatif

Produktif Non-

Analisis potensi kredit UMKM juga dilakukan dengan menggunakan BCG Matrix yang digunakan untuk mengukur tingkat kejenuhan kredit. Dalam analisis ini, pertumbuhan PDRB kembali menjadi sumbu Y, namun pada analisis ini sumbu X menunjukkan potensi UMK. Empat kuadran dalam analisis ini adalah: a) Kuadran 1: potensi tinggi, economic of scale tinggi; b)Kuadran 2: potensi tinggi, economic of scale rendah; c) Kuadran 3: potensi rendah, economic of scale rendah; d) Kuadran 4: potensi rendah, economic of scale tinggi. Hasil analisis yang dilakukan dapat diikuti dalam Gambar 4.7, menujukkan provinsi yang memiliki potensi tinggi dan economic of scale tinggi adalah Papua Barat dan Kalimantan Timur. Sedangkan provinsi yang termasuk ke dalam kuadran potensi rendah dan economic of scale rendah adalah provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat dan Papua.

Berdasarkan analisa BCG Matrix untuk pemetaan potensi pembiayaan UMKM di atas, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya kebijakan branchless banking, yang memungkinkan bank untuk memberikan layanan keuangan tanpa harus membangun Berdasarkan analisa BCG Matrix untuk pemetaan potensi pembiayaan UMKM di atas, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya kebijakan branchless banking, yang memungkinkan bank untuk memberikan layanan keuangan tanpa harus membangun

Gambar 4.7 Pemetaan Kondisi UMK di Indonesia

4.1.2.2 Studi Empiris Forecasting Total Kredit dan Kredit UMKM di Indonesia Melalui dua kebijakan tersebut, branchless banking dan multilicense, diharapkan

perbankan Indonesia dapat menjadi sektor perbankan yang lebih kuat dan dapat meningkat outreach kepada masyarakat. Perbankan diharapkan dapat menjangkau unbanked people dan meningkatkan penyaluran kredit ke sektor UMKM. Namun dengan adanya kedua kebijakan tersebut, maka muncul pula downside effect (ancaman) yang menyertainya. Dengan adanya kedua kebijakan tersebut, terdapat potensi munculnya kepadatan tingkat layanan perbankan di segmen UMKM. Hal ini disebabkan pangsa UMKM yang sebelumnya menjadi pasar bagi Bank Perkreditan Rakyat (BPR), bank dalam katagori BUKU 1 dan lembaga keuangan mikro. Untuk menganalisis hal tersebut lebih jauh lagi, maka dikembangkan sebuah model untuk menentukan kapan saatnya pangsa kredit UMKM tersebut telah jenuh dan potensi yang ada telah dapat terpenuhi. Model estimasi dilakukan dengan melakukan forecasting sederhana untuk jumlah total kredit. Untuk memperoleh hasil forecasting yang baik, maka beberapa model diestimasi perbankan Indonesia dapat menjadi sektor perbankan yang lebih kuat dan dapat meningkat outreach kepada masyarakat. Perbankan diharapkan dapat menjangkau unbanked people dan meningkatkan penyaluran kredit ke sektor UMKM. Namun dengan adanya kedua kebijakan tersebut, maka muncul pula downside effect (ancaman) yang menyertainya. Dengan adanya kedua kebijakan tersebut, terdapat potensi munculnya kepadatan tingkat layanan perbankan di segmen UMKM. Hal ini disebabkan pangsa UMKM yang sebelumnya menjadi pasar bagi Bank Perkreditan Rakyat (BPR), bank dalam katagori BUKU 1 dan lembaga keuangan mikro. Untuk menganalisis hal tersebut lebih jauh lagi, maka dikembangkan sebuah model untuk menentukan kapan saatnya pangsa kredit UMKM tersebut telah jenuh dan potensi yang ada telah dapat terpenuhi. Model estimasi dilakukan dengan melakukan forecasting sederhana untuk jumlah total kredit. Untuk memperoleh hasil forecasting yang baik, maka beberapa model diestimasi

forecast nilai total kredit sampai dengan tahun 2020. Nilai kredit UMKM diasumsikan sebesar 20% dari nilai total kredit ( threshold 20% tersebut diatur dalam kebijakan multilicense). Hasil estimasi nilai total kredit dan kredit UMKM dapat dilihat pada Gambar 4.8.