2 Modal Inti Bank Besar di ASEAN

Gambar 5.2 Modal Inti Bank Besar di ASEAN

Sumber: Bankscope, Bank Indonesia diolah (Desember 2011)

37 Kewenangan sebagai otoritas pengawas dan peraturan perbankan nasional akan diserahkan oleh Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan di awal tahun 2014.

Dibandingkan bank-bank dari negara ASEAN yang lain, modal inti 4 bank - tier 4 di Indonesia relatif kecil. Lebih dari separuh dari 12 Bank terbesar di ASEAN mempunyai modal inti di atas Rp50 Trilyun, bahkan 3 bank dari Singapura mempunyai modal inti lebih dari Rp150 trilyun. Sedangkan 4 bank terbesar di Indonesia modal intinya kurang dari Rp50 Trilyun. Keterbatasan ( weakness) kapasitas modal (Gambar 5.1 dan Gambar 5.2) yang dimiliki bank di Indonesia tentunya akan berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi usaha dan efisiensi operasional; sehingga pada akhirnya akan mengurangi kemampuan bersaing industri perbankan nasional dengan QAB dari Negara-negara lain. Kelemahan ( weakness) ini harus diatasi dan strategi kebijakan untuk meningkatkan kemampuan bersaing perbankan nasional melalui peningkatan modal inti dan melalui strategi peningkatan perluasan jaringan kantor; seperti di antaranya melalui kebijakan branchless banking dan multilicense tersebut.

5.1.3 Capital Adequacy Ratio (CAR) Capital Adequacy Ratio (CAR) merupakan rasio untuk mengukur kemampuan

permodalan yang dimiliki oleh bank untuk untuk mengatasi kemungkinan terjadinya kerugian dalam kegiatan operasional (perkreditan dan perdagangan

surat- surat berharga). 38 Semakin tinggi nilai CAR, di atas nilai minimum, maka semakin besar kemampuan bank untuk mengatasi kemungkinan terjadinya

kerugian. Dari Gambar 5.3 menunjukkan bahwa rata-rata CAR di tujuh negara tersebut berada di atas batas minimal ketentuan dalam BASEL II yakni 8%. Dari ketujuh negara tersebut dapat dilihat bahwa perbankan di India mempunyai CAR yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Sementara itu CAR perbankan Indonesia masih berada di atas nilai minimum dan lebih tinggi dari Malaysia, Singapura, dan Hongkong. CAR dan modal inti industri perbankan nasional sendiri menunjukan trend yang meningkat sampai dengan kuartal 1- 2013 (Gambar 5.4). Hal ini menunjukan bahwa sebenarnya terdapat aspek kekuatan ( strength) bagi perbankan nasional untuk menyalurkan kredit yang lebih besar dari pada tingkat kredit yang disalurkan saat ini, khususnya untuk melakukan penyaluran kredit UMKM yang relatif total nilai kredit per individu peminjamnya lebih kecil dan dapat mempunyai outreach (jangkauan) yang lebih luas terhadap kelompok masyarakat yang bergerak dalam sektor informal (UMK).

38 SE BI No 30/11/KEP/DIR, 30 April 1997

Untuk mempunyai kekuatan dengan jangkauan yang lebih luas tersebut adalah masih “sangat mungkin” dipertimbangkan guna diimplementasikan mengingat CAR yang masih tinggi dan ini sejalan dengan target dari bank sebagai

economic agent yang tentunya berusaha mendapatkan profit dan ROA yang lebih besar melalui penyaluran kredit kepada masyarakat khususnya UMKM (NIM dan ROA perbankan nasional tampak masih sangat tinggi seperti terlihat pada Gambar 5.5). Kondisi ini dapat dipertimbangkan sebagai opportunity (kesempatan) bagi perbankan nasional.

Gambar 5.3 CAR Perbankan di Beberapa Negara Asia Triwulan IV-2011

Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013.

Gambar 5.4 Perkembangan CAR, ATMR dan Modal Industri Perbankan Nasional

Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013

Gambar 5.5 Perkembangan ROA dan NIM Industri Perbankan Nasional

Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013

5.2 Tingkat Efisiensi Bank di Indonesia

5.2.1. Biaya Operasional Pendapatan Operasional Bank Rasio Biaya Operasional – Pendapatan Operasional (BOPO) merupakan rasio

sederhana untuk melihat tingkat efisiensi operasional perbankan. Rasio ini membandingkan jumlah biaya operasional yang dikeluarkan oleh bank dengan pendapatan operasional yang diterima oleh bank atau dengan kata lain melihat alokasi biaya terhadap pendapatan yang diterima. Semakin besar nilai rasio ini, maka bank tersebut dapat dikatakan semakin tidak efisien.

Gambar 5.6

BOPO Perbankan di Beberapa Negara Asia Triwulan IV-2011

Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013

Dari Gambar 5.6 dan Gambar 5.7 menunjukkan perbankan Indonesia memiliki rasio BOPO yang relatif paling tinggi dibandingkan dengan beberapa negara yang lain. Hal ini Dari Gambar 5.6 dan Gambar 5.7 menunjukkan perbankan Indonesia memiliki rasio BOPO yang relatif paling tinggi dibandingkan dengan beberapa negara yang lain. Hal ini

Gambar 5.7 Perkembangan BOPO Industri Perbankan Nasional

Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013

5.2.2 Net Interest Margin (NIM) NIM merupakan rasio untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam

mengelola asset produktif untuk menghasilkan pendapatan bunga bunga bersih. Semakin besar nilai rasio ini menunjukkan bahwa produktivitas asset untuk menghasilkan pendapatan bunga semakin tinggi sehingga kemungkinan

kondisi bermasalah bank tersebut semakin kecil. 39 Gambar 5.8 NIM Perbankan di Beberapa Negara Asia Triwulan IV-2011

*NIM untuk Singapura adalah NIM per Kuartal II Tahun 2011

Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013

Pada Gambar 5.8 di atas, tampak bahwa nilai NIM Indonesia paling besar dibandingkan dengan beberapa negara lain. NIM yang tinggi ini dipicu oleh

39 SE BI No 6/23/DPNP 39 SE BI No 6/23/DPNP

1 pada penelitian ini. Persepsi yang mengedepankan profit dengan kurang memperhatikan jumlah nasabah kecil tersebut dapat dipandang sebagai threat (ancaman) terhadap kelangsungan NIM tinggi itu sendiri karena ke depan dengan karaketristik perbankan yang cenderung memiliki DPK dengan jangka waku yang pendek ( short term liquidity) sehingga ke depan dapat diprediksikan untuk mempertahankan NIM tinggi tersebut perbankan harusnya lebih menjangkau pembiayaan kepada UMKM. Dengan mengambil hasil analisa untuk menjawab perumusan masalah keempat dalam Bab 4, yang menunjukan terdapatnya probabilitas peningkatan yang signifikan dalam penambahan jumlah rekening dan penambahan DPK yang dapat dihimpun oleh industri perbankan nasional serta kesempatan yang besar dalam penyaluran kredit kepada sektor UMKM (hasil analisa masalah untuk perumusan masalah ketiga di Bab 4 Analisa) maka ke depan perbankan nasional dapat disarankan untuk mengunakan kebijakan branchless banking sebagai alternatif kegiatan perluasan kantor kepada sektor UMKM dan hal ini didukung pula dengan kebijakan multilicense yang memperbolehkan perluasan jaringan kantor dangan tidak memperhitungkan pendirian agent (branchless banking) tersebut dalam komponen kecukupan modal intinya. Hal ini merupakan opportunity (kesempatan) bagi industri perbankan nasional.

5.2.3 Loan to Deposit Ratio Loan to Deposit Ratio (LDR) merupakan rasio untuk menilai tingkat likuiditas suatu bank, dengan membandingkan jumlah kredit yang disalurkan terhadap

DPK yang dihimpun 40 .

40 Semakin tinggi nilai LDR menunjukkan porsi penyaluran dana dari penghimpunan dana pihak ketiga adalah semakin besar.

Gambar 5.9 LDR Perbankan di Beberapa Negara Asia Triwulan IV-2011

Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013

Berdasarkan Gambar 5.9 di atas, mayoritas negara memiliki rasio LDR yang seimbang berada pada kisaran 70% - 90%. LDR Thailand memiliki nilai yang terbesar dibandingkan dengan enam negara yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa porsi penyaluran dana masyarakat dengan menggunakan dana pihak

ketiga yang dihimpun masih besar 41 . Bank Indonesia berusaha mendorong pencapaian LDR ini dengan mengeluarkan

peraturan GWM (Giro Wajib Minimum) – LDR 42 pada awal 2012. Hal ini diikuti pula dengan penerapan penyampaian informasi tentang seluruh komponen

pembentukan biaya dalam suku bunga dasar kredit (SBDK) sehingga diharapkan dapat memberikan tingkat suku bunga kredit yang lebih rendah kepada masyrakat. Hal ini menunjukan perkembangan yang menggembirakan dimana SBDK dan Suku Bunga DPK Rupiah menunjukan perkembangan yang menurun sampai dengan kuartal 1-2013 (Gambar 5.10). Selanjutnya dengan mengkombinasikannya dengan kebijakan branchless banking, perbankan nasional diharapkan dapat memanfaatkan kebijakan tersebut dengan mempunyai jaringan yang lebih luas dalam menawarkan produk keuangan dengan harga yang lebih terjangkau kepada masyarakat ( opportunity).

41 Nilai penyaluran dana melebihi nilai dana pihak ketiga yang dihimpun, sehingga kemungkinan bank menggunakan

modal sendiri ataupun pinjaman untuk memberikan pinjaman semakin besar. 42

Peraturan GWM-LDR ini mempersyaratkan perbankan nasional untuk menyediakan GWM yang dipelihara di BI lebih besar apabila individu bank tersebut tidak dapat mencapai tingkat LDR yang dipersyaratkan. Di sisi yang lain, individu bank untuk meningkatkan CAR nya melalui peningkatan modal inti apabila LDR yang dicapai telah melebihi batas yang LDR yag dipersyaratkan.

Gambar 5.10 Rata-Rata Suku Bunga Kredit dan DPK Rupiah

Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013

5.3 Analisis SWOT dan Konsepsi Kebijakan dalam Melaksanakan Kebijakan Branchless Banking setelah Penerapan Multilicense Policy

Dalam melakan analisa SWOT di Bab 5.3 ini, SWOT diolah dengan penekanan dari hasil analisa kualitatif dan kuantitatif yang telah dijelaskan di Bab 4 dalam menjawab permasalahan yang telah dirumuskan secara jelas di Bab 1. Selanjutnya analisa, SWOT dapat disampaikan sebagai berikut:

Strength Opportunity

• Nilai-nilai lokal yang dipahami oleh bank-bank • Masih banyak pangsa pasar tersedia baik di lokal dapat menjadi keuntungan dalam

nasional maupun regional (ASEAN). pengembangan kegiatan Branchless Banking.

• Kesempatan untuk memperluas pasar di tingkat • Kemampuan mengembangkan produk

ASEAN seiring dengan adanya ASEAN banking keuangan yang disesuaikan dengan

integration.

karakteristik masyarakat di setiap daerah. • Memperluas jaringan “keagenan” di seluruh • Kemampuan membuat standar pelayanan

pelosok tanah air. nasabah yang disesuaikan dengan • Kesempatan memperoleh sumber dana retail.

karakteristik kegiatan harian yang dilakukan • Memperluas kredit UMKM khususnya kredit masyarakat.

mikro.

• Kemampuan melakukan mitigasi risiko kredit • Memanfaatkan debitur UMKM yang ada menjadi dan risiko operasional dengan memanfaatkan

calon agen.

kelembagaan lokal yang ada di masyarakat. • Menurunkan risiko likuiditas • Kemampuan untuk bekerjasama dengan unit

• Diversifikasi kredit dan menurunkan risiko kredit ekonomi lokal lebih tinggi.

• Kesempatan menurunkan suku bunga kredit • Telah mempunyai debitur UMKM

dengan peningkatan kompetisi. • Kebijakan BB ini akan mampu mengenalkan

• Saluran program bantuan pemerintah yang aman produk perbankan dengan relatif biaya yang

dan efisien rendah sebagai akibat adanya kebijakan • Persaingan yang lebih sempurna.

SBDK. • Kerjasama dengan LKM dan unit usaha lokal.

Weakness

Threat

• Tingkat efisiensi usaha yang masih rendah • ASEAN banking integration memudahkan bank- menjadi hambatan dalam pengembangan

bank asing (ASEAN) untuk masuk dan beroperasi usaha bagi perbankan nasional (comfort

di Indonesia di Indonesia

menawarkan kredit yang cocok • Tingginya net interest margin (NIM)

• Masuknya pemain asing non bank • Tingginya suku bunga pinjaman khususnya

• Salah strategy akan menjadi backfire karena kredit UMKM

keterbatasan kemampuan SDM dan salah • Masih

kalahnya profesionalitas SDM penggunaan sistem informasi. perbankan nasional

• Meningkatnya risiko operasional • Kurangnya inovasi produk dan jasa

• Meningkatnya risiko reputasi. • Tidak adanya produk yang cocok untuk masyarakat kecil. • Terlalu fokus pada nasabah besar • Pelayanan yang rigid dan formalitas • Kurangnya persaingan, pasar tidak sempurna

khusunya sektor UMKM • Kemampuan pengelolaan risiko dibidang

mass market masih terbatas.

5.3.1 Penguatan Strategi SWOT dan Konsepsi Kebijakan

Dengan membahas penguatan strategi SWOT di atas, dalam Sub Bab 5.3.1 ini, disampaikan pula penguatan strategi dalam sinergi kebijakan branchless banking dan multilicense guna meningkatkan tingkat akses masyarakat terhadap layanan keuangan yang dapat diusulkan untuk masing-masing Aspek SWOT sebagai berikut:

1. Aspek Strength: yang harus dilakukan oleh perbankan nasional adalah melakukan standarisasi pelayanan yang didasarkan pada nilai-nilai lokal dari setiap kantor layanan (“agen”) sebagai “extended arms” (kepanjangan tangan) dari Bank. Strategi ini dapat meningkatkan daya saing sekaligus memitigasi risiko yang mungkin timbul baik dari technology risk maupun operational risk. Hal ini dapat dilakukan oleh Bank Indonesia selaku regulator dengan mempersyaratkan peraturan atau kebijakan Branchless Banking yang mengedepankan peraturan yang detail dalam Standard Operating Procedure (SOP) untuk pengawasan dan pengaturan kegiatan agen.

2. Aspek Weaknesses: yang harus dilakukan adalah dengan meningkatkan efisiensi operasional seperti memanfaatkan dukungan teknologi. Hal ini harus didukung dengan bisnis model yang tepat pula; serta ditunjang pula dengan peningkatan kemampuan risk management dibidang mass market. Dengan menyadari bahwa saat ini kegiatan Branchless Banking ini masih dalam proses uji coba ( pilot project), hal ini harus dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh BI melalaui kebijakan dengan memberikan bentuk business model yang paling cocok untuk kegiatan BB guna mendorong peningkatan akses keuangan masyarkat khususnya di pedesaan lebih cepat.

3. Aspek Opportunity: yang perlu dilakukan adalah melakukan penetrasi pasar domestik yang masih sangat luas dengan meningkatkan kemampuan teknologi dan SDM serta memanfaatkan unit-unit usaha lokal sebagai agen. Proses Pilot Project BB yang sedang dilakukan oleh BI dengan melibatkan 5 (lima) bank yang telah disebutkan di atas harus dapat dilakukan secara mendalam dan lebih detail dalam waktu yang lebih cepat, mengingat besarnya pangsa pasar dan tingginya animo masyarakat berdasarkan temuan pilot project. Peraturan BB selanjutnya harus segera dikeluarkan mengingat MEA yang akan segera dilaksanaka di 2015.

4. Aspek Threat: yang harus dilakukan pertama kali adalah menjadi yang pertama, terjun terlebih dahulu mengembangkan branchless banking sehingga mampu menjadi technical barrier bagi bank-bank asing dari ASEAN (adanya MEA di 2015). Hal ini terutama harus didukung dengan kebijakan dan kegiatan peningkatan edukasi keuangan, pedlindungan nasabah ( consumer protection) dan marketing campaign yang cocok degan melibatkan seluruh stakeholder (perbankan, masyarakat, regulator dan kementerian terkait).