Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah

PUNGKY PURNOMO WIBOWO NIP. 11853

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulilah ke hadirat Allah SWT dan atas berkat dan limpahan rahmat dan hidayah-Nya, makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Makalah ini Penulis susun dan persembahkan sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan kepemimpinan di Bank Indonesia pada SESPIBI Angkatan XXXI Tahun 2013. Dalam keterbatasan waktu yang tersedia dalam program SESPIBI XXXI, Penulis berusaha untuk menghasilkan makalah yang dapat memberikan kontribusi serta sumbangan pemikiran yang signifikan untuk Bank Indonesia.

Dalam kesempatan ini, Penulis menyampaikan ungkapan terima kasih kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan Pimpinan Satuan Kerja yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk mengikuti SESPIBI XXXI ini. Ucapan terima kasih juga Penulis haturkan kepada Direktur Program SESPIBI XXXI, Pimpinan dan seluruh Staf Departemen Sumber Daya Manusia, Ibu Eni V. Panggabean selaku pembimbing, kawan-kawan yang sangat inspiratif di program SESPIBI XXXI, khususnya Sdri. Yunita Resmi Sari, Sdri. Elisabeth Sukawati, Sdr. Yudi Permana, kawan-kawan di Tim Financial Inclusion yang telah membantu penyediaan data dan referensi guna penyusunan makalah ini, dan para pihak yang tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu, yang telah berkontribusi sehingga makalah ini dapat kami selesaikan.

Akhir kata, Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak.

Jakarta, 27 Juni 2013

ABSTRAK

Peran dan fungsi bank dalam perekonomian yang sangat strategis, membuat posisi perbankan sangat penting untuk mendorong kegiatan ekonomi. Bank dapat mempengaruhi dan menentukan semua aspek kegiatan ekonomi di suatu negara. Ketidakmampuan bank dalam memberikan layanan yang optimal akan menyebabkan kegiatan ekonomi terganggu dan bisa mengakibatkan semua sektor ekonomi tidak bisa bekerja optimal.

Melihat dari perspektif demand dan supply, terlihat fungsi Bank sebagai agent of development dapat dikatakan belum dilakukan secara optimal. Oleh karena itu diperlukan adanya kebijakan insentif yang dapat mengoptimalkan fungsi bank sebagai sebagai agent development. Diakhir tahun 2012 Bank Indonesia mengeluarkan Pengaturan multilicense dan pembukaan jaringan kantor diarahkan untuk mendorong Bank agar meningkatkan efisiensi kegiatan operasionalnya dan daya saing dengan ditunjang oleh permodalan yang kuat. Masih dalam upaya mengoptimalkan fungsi bank sebagai agent development, diawal 2013, Bank Indonesia meluncurkan program branchless banking dalam kerangka besar sebagai salah satu kegiatan financial inclusion. Dengan dukungan inovasi delivery channel Branchless Banking, pangsa pasar untuk unbanked people akan menjadi target bisnis yang

menarik bagi perbankan di Indonesia. Disamping itu, dukungan kondisi geografis dan kondisi masyarakat Indonesia, branchless banking diharapkan akan dapat mendukung perluasan akses layanan jasa keuangan bagi masyarakat.

Dari sini dapat terlihat adanya sinergi dari kedua kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Kedua kebijakan tersebut memiliki tujuan yang saling mendukung dalam rangka menjembatani permasalahan disparitas layanan keuangan perbankan dimana multilicense dan pengaturan pembukaan kantor cabang akan memberikan insentif bagi bank untuk membuka layanan di daerah yang masih minim layanan perbankan dan branchless banking akan memungkinkan bank menjangkau unbanked people dan masyarakat di remote area untuk menerima layanan perbankan. Kedua kebijakan ini juga akan mampu bersinergi untuk mendorong efisiensi operasional bank memperluas jangkauan akses layanan perbankan bagi masyarakat dan meningkatkan peranan Bank dalam penyaluran kredit bagi UMKM.

Berdasarkan analisa kuantitatif dan kualitatif yang telah dilakukan, terdapat beberapa kesimpulan dan saran kepada Bank Indonesia sebagai otoritas yang mengawasi dan mengatur perbankan nasional saat ini dan OJK pada waktunya. Selanjutnya disampaikan juga strategi yang dapat ditempuh oleh perbankan nasional, OJK dan BI untuk menjaga agar tujuan dan pelaksanaan kegiatan branchless banking dapat terlaksana secara benar, tepat dan terukur.

Keyword: Branchless Banking

EXECUTIVE SUMMARY

Bank sebagai lembaga intermediasi sangat berperan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi utamanya bank yang sehat dan efisien. Perbankan yang efisien akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, masih banyak penduduk Indonesia belum berbank baik menabung ataupun mendapat fasilitas pembiayaan.

Berdasarkan hasil survei Bank Dunia, kurang dari 50% penduduk Indonesia memiliki rekening bank pada institusi keuangan formal (bank) dan hanya 17% dari penduduk yang mempunyai akses kredit. Lebih jauh, hasil survei rumah tangga yang dilakukan Bank Indonesia pada tahun 2010 menunjukkan bahwa 62% rumah tangga tidak memiliki tabungan sama sekali. Jumlah kepemilikan rekening masyarakat Indonesia dinilai masih rendah bahkan se-ASEAN.

Disisi lain, sektor UMKM yang merupakan sektor yang terbukti tangguh dalam menghadapi krisis ekonomi kurang mendapat perhatian karena berbagai kendala. Sektor ini diperkirakan memberikan kontribusi sebesar 57,1% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dengan pangsa mencapai 99 persen dari total unit usaha di Indonesia serta menyerap 97.2% dari total tenaga kerja. Ironisnya, pangsa kredit UMKM hanya 20% dari total kredit perbankan. Padahal tiga penelitian yang ada terkait UMKM mengungkapkan potensi pembiayaan perbankan untuk UMK masih cukup tinggi. Dengan menggunakan asumsi bahwa PDB sampai dengan tahun 2018 tumbuh 6,5%, dan potensi usaha Mikro dan Kecil di tahun 2018 diperkirakan mencapai Rp1.588,42 triliun.

Fakta dimaksud mengakibatkan rasio outstanding kredit perbankan (27,49% terhadap GDP), Kredit UMKM (0,67% terhadap GDP) maupun outstanding dana pihak ketiga (36,41% terhadap GDP) terendah dikawasan. Masyarakat Indonesia ternyata lebih banyak memanfaatkan layanan keuangan dari sektor informal atau tidak menabung sama sekali.Fakta ini menjadi kendala untuk percepatan pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan maupun mendukung sustainability pertumbuhan ekonomi.

Salah satu faktor yang menjadi penyebab terbatasnya layanan perbankan ke masyarakat diseluruh pelosok adalah terbatasnya infrastruktur karena kondisi alam Indonesia yang berkepulauan. Perhitungan skala ekonomis operasional bank di suatu daerah tersebut menjadi faktor penting seperti tergambar kecilnya indikator jumlah layanan perbankan seperti kantor

cabang dan ATM untuk setiap 1000 km 2 luasan wilayah.

Lebih jauh, masyarakat sendiri masih merasakan hambatan dalam memperoleh layanan jasa keuangan formal dari perbankan. Selain keterbatasan infrastruktur lembaga keuangan Lebih jauh, masyarakat sendiri masih merasakan hambatan dalam memperoleh layanan jasa keuangan formal dari perbankan. Selain keterbatasan infrastruktur lembaga keuangan

Untuk itu, perlu terobosan dan inovasi agar seluruh masyarakat dapat menikmati jasa layanan dari perbankan. Hal ini juga terjadi diberbagai belahan dunia terutama di emerging economies melalui dengan apa yang dinamakan dengan kebijakan keuangan inklusif. Salah satunya melalui penerapan branchless banking. Keuangan Inklusif adalah sebuah kondisi dimana masyarakat memiliki akses yang berkesinambungan terhadap jasa keuangan yang dibutuhkan atau sebuah proses untuk menyediakan jasa keuangan kepada masyarakat luas dan rumah tangga berpenghasilan rendah pada harga yang dapat dijangkau.

Untuk menajwab persoalan dimaksud dan atas dasar fakta dan trend yang terjadi, Bank Indonesia mengeluarkan berbagai kebijakan dengan tujuan meningkatakan jangkauan akses namun tanpa menimbulkan dampak negative yang berlebihan baik bagi perbankan sendiri, masyarakat maupun perekonomin. Kebijakan dimaksud ditekankan kepada penguatan ketahanan, daya saing, sekaligus penguatan fungsi intermediasi perbankan. Kebijakan untuk penguatan ketahanan dan daya saing perbankan dilakukan melalui penerapan aturan ijin berlapis ( multilisence). Sedangkan kebijakan dalam rangka perluasan akses keuangan masyarakat melalui kebijakan branchless banking. Kedua kebijakan ini juga didukung dengan penguatan fungsi intermediasi perbankan dilakukan melalui mewajibkan bank untuk menyalurkan 20 persen dari total kredit untuk sektor UMKM secara gradual.

Namun demikian, kebijakan dimaksud tidak serta merta dapat mencapai tujuan yang diharapkan, banyak kendala yang dihadapi seperti disebutkan diatas. Harapan agar kebijakan ini diharapkan dapat menjangkau unbanked people dan masyarakat remote area untuk menerima layanan perbankan, serta meningkatkan peranan bank dalam penyaluran kredit bagi UMKM bukanlah pekerjaan mudah. Namun hal ini patut dilakukan mengingat berbagai landasan teori mendukung kearah tersebut diantaranya :

• Tujuan negara yang dituangkan dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

• Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dimana implementasi branchless banking diharapkan dapat membantu pemerataan pendapatan masyarakat untuk mengurangi kemiskinan, yang merupakan pengamalan moral politik kenegaraan sila pertama, dimana meningkatkan kesejahteraan umum adalah merupakan tanggung jawab yang suci, dalam membangun dunia baru yang lebih baik berdasarkan keadilan sosial (sila kedua) serta dalam kerangka memperjuangkan kepentingan nasional (sila ketiga), dengan demikian kedaulatan rakyat

(dalam bidang ekonomi) akan semakin tinggi. Karena itu negara wajib mendengarkan suara rakyat (sila keempat) dan memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat dan mengikut sertakan seluruh rakyat dalam (sila kelima) kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya serta secara khusus memperhatikan warga bangsa yang lemah kedudukannya agar tidak terjadi ketidakadilan serta kesewenang-wenangan dari pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. • Pasal 27 ayat (2) UUD 45 menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan

dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. • Pasal 28 ayat (2) UUD 45 yang menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama

guna mencapai persamaan dan keadilan. • Ketahanan Nasional, dimana kemiskinan yang disebabkan salah satunya karena rendahnya akses pada lembaga keuangan. Implementasi BB merupakan salah satu strategi

pengentasan kemiskinan, secara tidak langsung akan meningkatkan ketangguhan masyarakat, otomatis akan meningkatkan ketahanan ekonomi, yang pada gilirannya akan meningkatkan Ketahanan Nasional.

• Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 dimana untuk mewujudkan bangsa yang berdaya saing, dibutuhkan perekonomian domestik yang kuat yang berorientasi dan berdaya saing global, dimana salah satunya adalah melalui pengembangan sektor keuangan. Pengembangan sektor keuangan dilakukan melalui peningkatan kontribusi lembaga jasa keuangan bank dan non-bank dalam pendanaan pembangunan terutama peningkatan akses pendanaan bagi “orang yang kurang beruntung” dimanapun berada. • Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia menyebutkan bahwa untuk memelihara kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional, pelaksanaan pembangunan ekonomi diarahkan kepada terwujudnya perekonomian nasional yang berpihak pada ekonomi kerakyatan, merata, mandiri, andal, berkeadilan, dan mampu bersaing di kancah perekonomian internasional.

• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dimana Bank sebagai badan usaha dalam kegiatannya adalah dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. • Teori Pembangunan untuk Rakyat oleh Ginanjar Kartasasmita menyebutkan bahwa pembangunan dan kebijakan yang berorientasi serta berpihak pada kepentingan rakyat dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam bukunya Pembangunan untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan (1996). Pertumbuhan hanya

akan berkesinambungan dalam jangka panjang jika sumber utamanya berasal dari rakyat sendiri, baik berupa produktifitas rakyat maupun dana yang dihimpun melalui tabungan rakyat. Makin tumbuh dan bekembang pembangunan yang berdasar pada daya rakyat sendiri, maka makin kukuh pula kemandirian suatu bangsa. Kemandirian yang dibangun adalah dengan rasa percaya diri dan dalam keterbukaan pergaulan dengan bangsa lain, bukan dalam keterisolasian yang menyebabkan kemandegan (Kartawan, 2011).

• Teori Pengembangan UMKM oleh Selanjutnya hasil penelitian Syamsul Hadi dan kawan- kawan dari CIReS dalam bukunya Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF menyebutkan bahwa pembangunan Indonesia akan lebih kuat dan mandiri jika dalam prosesnya selalu mengembangkan program pembangunan usaha kecil dan menengah yang komprehensif (Syamsul Hadi dkk, 2004). • Survei Bank Dunia di seluruh dunia menunjukkan bahwa sektor keuangan memiliki peran penting dan signifikan dalam pengentasan kemiskinan, mengurangi perbedaan

pendapatan, dan meningkatkan pertumbuhan perekonomian.

Karya tulis ini akan mencoba mengukur dan menganalisa efektivitas kebijakan yang dikeluarkan yaitu pengaturan multi-license dan pembukaan jaringan kantor serta implementasi BB dalam memperkuat struktur perbankan Indonesia dan pengaruhnya terhadap akses keuangan masyarakat luas. Terdapat empat pokok permasalahan terkait kebijakan multi-license dan branchless banking dimaksud dengan penekanan sebagai berikut:

1. Tingkat urgensi dari dikeluarkannya kebijakan multilicense dan BB dalam meningkatkan akses keuangan masyarakat.

2. Tingkat potensi pembiayaan khususnya untuk UMKM yang besar akan semakin besar.

3. Tingkat efisiensi yang mungkin timbul.

4. Tingkat kebehasilan kebijakan Branchless Banking dalam meningkatkan akses keuangan, dengan penekanan pada probabilitas peningkatan kepemilikan rekening tabungan serta Estimasi Penambahan Rekening Tabungan.

Berbagai metode yang ada akan dimanfaatkan untuk menjawab rumusan permasalahan diatas, baik dengan metode kuantitatif maupun kualitatif seperti Metode Data Envelope Analysis (DEA) dan Matrix BCG untuk menjawab rumusan permasalahan pertama; dan Concentration Ratio

(CR) serta Herfindahl-Hirschman Index (HHI) untuk permasalahan yang ketiga. Prediksi peningkatan pengunaan jasa perbankan akan digunakan pendekatan regresi linear maupun logistik untuk menjawab permasalahan keempat. Sementara itu analia kuatitatif melalui konfirmasi dengan hasil penelitian yang ada dilakukan untuk menajwab permasalahan kedua.

Kajian ini juga diperkuat dengan anlisa SWOT dari penerapan branchless banking dan multilicense sekaligus strategi untuk mengantisipasi ataupun memperkuatnya. Adapun analisa SWOT terkait kedua kebijakan dimaksud antara lain sebagai berikut :

• Strength : seperti perbankan local lebih mengenal nilai-nilai kedaerahan, kemampuan mengembangkan produk yang sesuai dengan karakteristik masyarakat, kemampuan untuk bekerjasama dengan unit ekonomi lokal • Weaknesses : seperti tingkat efisiensi usaha yang masih rendah, tingginya suku bunga pinjaman khususnya kredit UMKM, masih kalahnya profesionalitas SDM, kurangnya inovasi produk dan jasa, pelayanan yang rigid dan formalitas dan kemampuan pengelolaan risiko dibidang mass market masih terbatas. • Opportunity : seperti masih luasnya pangsa pasar, menurunkan risiko likuiditas dengan mperoleh sumber dana retail baru, menurunkan risiko kredit dan melalui diversigikasi risiko dengan peningkatan kredit UMKM khususnya kredit mikro dan efisiensi. • Threat : seperti meningkatnya persiangan dengan ASEAN banking integration, meningkatnya risiko operasional serta risiko reputasi.

Adanya kebijakan branchless banking dan multilicense tentunya perlu diliat efektivitasnya melalui beberapa indicator, diantaranya a) Bertambahnya jumlah layanan bank. b) Tersedianya produk bank yang sesuai, c) Bertambahnya jumlah pemilik rekening d) Tercapainya pemerataan pendapatan masyarakat yang tercermin dari menurunnya Gini Ratio; e) jika keempat indikator sebelumnya dapat terpenuhi, maka diharapkan tingkat kemisikinan akan turun.

Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa k ebijakan multilicense dan pembukaan jaringan kantor dapat menjawab permasalahan disparitas layanan keuangan perbankan dan kebijakan branchless banking akan memungkinkan bank menjangkau unbanked people dan masyarakat di remote area untuk menerima layanan perbankan. Lebih jauh, kebijakan multilicense dan branchless banking akan mampu bersinergi untuk mendorong efisiensi operasional serta dapat meningkatkan penyaluran kredit bagi UMKM sekalgisu memudahkan bank memnuhi kewajiban untuk menyalurkan kredit UMKM sebesar 20%.

Gambar 5.2 Modal Inti Bank Besar di ASEAN ............................................................. 66 Gambar 5.3 CAR Perbankan di Beberapa Negara ASIA Triwulan IV-2011.................... 68 Gambar 5.4 Perkembangan CAR, ATMR, dan Modal Industri Perbankan Nasional ...... 68 Gambar 5.5 Perkembangan ROA dan NIM Industri Perbankan Nasional ...................... 69 Gambar 5.6 BOPO Perbankan di Beberapa Negara Asia Triwulan IV-2011 .................. 69 Gambar 5.7 Perkembangan BOPO Industri Perbankan Nasional .................................. 70 Gambar 5.8 NIM Perbankan di Beberapa Negara ASIA Triwulan IV-2011 .................... 70 Gambar 5.9 LDR Perbankan di Beberapa Negara Asia Triwulan IV-2011 ..................... 72 Gambar 5.10 Rata-Rata Suku Bunga Kredit dan DPK Rupiah ...................................... 73

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fungsi utama bank adalah sebagai lembaga intermediasi, antara pihak yang kelebihan dana ( supply unit) dengan pihak yang membutuhkan dana (demand unit). Dana yang diterima bank dapat disalurkan pada kegiatan-kegiatan produktif, menyerap tenaga kerja, meningkatkan output dan pada akhirnya menggerakkan siklus perekonomian. Oleh karena

itu, pertumbuhan ekonomi suatu negara sangat memerlukan dukungan industri perbankan 1 yang sehat dan efisien.

Dalam proses intermediasi, bank memiliki kemampuan untuk menjembatani kepentingan yang berbeda antara deposan dan peminjam dalam hal preferensi likuiditas atau waktu dari uang. Pada level ekonomi makro bank merupakan sarana transmisi dari kebijakan moneter; sedangkan pada level mikro ekonomi, bank merupakan sumber utama pembiayaan bagi para pengusaha maupun individu (Konch, 2000). Keberadaan masyarakat merupakan faktor penting yang perlu dipertimbangkan oleh perbankan, oleh karena itu, jumlah kantor bank di suatu wilayah harus memperhatikan tingkat populasi dan kepadatan penduduk. Semakin banyak jumlah penduduk di suatu wilayah, maka semakin tinggi kebutuhan mereka terhadap jasa perbankan. Gambar 1.1 menunjukkan jumlah kantor bank dan jumlah bank perkapita di setiap provinsi di Indonesia.

Gambar 1.1 Jumlah Bank Perkapita Maret 2012

Sumber: Statistik Perbankan, Bank Indonesia, diolah.

DKI Jakarta merupakan provinsi dengan rasio jumlah bank perkapita tertinggi. Hal ini disebabkan karena provinsi tersebut merupakan ibukota negara dengan tingkat aktivitas

1 Sampai dengan saat ini sistem keuangan masih didominasi oleh perbankan dengan pangsanya dilihat dari sisi asset mencapai 75,8 persen. Sementara itu, kontribusi lembaga keuangan lainnya seperti asuransi hanya mencapai 10,1

persen, perusahaan pembiayaan sebesar 6,1 persen, dan lembaga keuangan lainnya memiliki pangsa asset kurang dari

5 persen. Dari gambaran tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa sebagian besar masyarakat kita yang “ melek ” lembaga keuangan lebih memilih perbankan, padahal di sisi lain apabila masyarakat membutuhkan pembiayaan atau ingin mencari outlet penempatan dananya, pasar modal atau asuransi dapat dijadikan sebagai pilihan.

ekonomi yang tinggi. Sementara itu, Bali dan DI Yogyakarta memiliki rasio jumlah bank perkapita tertinggi kedua dan ketiga setelah DKI Jakarta. Hal ini disebabkan karena kedua Provinsi tersebut memiliki volume transaksi dan perputaran uang yang cukup tinggi mengingat banyaknya wisatawan asing maupun lokal yang berkunjung. Di sisi lain, banyak Provinsi- Provinsi yang memiliki jumlah penduduk yang banyak namun hanya dilayani dengan sedikit kantor bank, seperti Jawa Barat, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur. Meskipun industri perbankan memiliki perkembangan yang signifikan di Indonesia, akan tetapi, tingkat persebaran bank di Indonesia tidak merata. Gambar 1.2 di bawah ini menunjukkan tingkat kepadatan bank ( bank density) di pulau-pulau besar di Indonesia.

Gambar 1.2 Tingkat Kepadatan Bank di Beberapa Pulau Besar di Indonesia 2011

Sumber: SEKDA-Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik, 2011, diolah.

Kepadatan bank dapat dilihat dari sisi spasial yaitu jumlah bank per kilometer persegi maupun dari sisi ukuran pasar, yaitu jumlah bank per seribu penduduk. Gambar di atas menunjukkan bahwa Jawa adalah pulau dengan jumlah kantor bank per kilometer persegi tertinggi. Setiap dua kilometer persegi wilayah di Jawa dilayani oleh satu kantor bank. Sedangkan, di Maluku, setiap 253 kilometer persegi wilayah hanya dilayani oleh satu kantor bank. Dari sisi ukuran pasar, Sumatera merupakan pulau dengan jumlah kantor bank per seribu penduduk tertinggi. Setiap seribu penduduk mampu dilayani oleh satu kantor bank. Sedangkan di Papua, setiap 17.000 penduduk hanya mampu dilayani oleh satu bank. Untuk dapat berperan optimal dalam perekonomian, bank perlu untuk bekerja secara efisien. Perbankan yang efisien berkaitan erat dengan sistem keuangan yang efisien. Sektor keuangan yang efisien akan mendorong efektivitas alokasi sumber daya keuangan dan mengurangi misalokasi sumber daya produktif. Selain itu, perbankan yang efisien akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Data terakhir yang menunjukkan bahwa perbankan Indonesia masih belum efisien. Salah satu indikator inefisiensi adalah nilai net interest margin. Secara khusus, 14 bank Tier 3 dan Tier 4 dapat memenuhi himbauan BI untuk menurunkan suku bunga dana pihak ketiga yang Kepadatan bank dapat dilihat dari sisi spasial yaitu jumlah bank per kilometer persegi maupun dari sisi ukuran pasar, yaitu jumlah bank per seribu penduduk. Gambar di atas menunjukkan bahwa Jawa adalah pulau dengan jumlah kantor bank per kilometer persegi tertinggi. Setiap dua kilometer persegi wilayah di Jawa dilayani oleh satu kantor bank. Sedangkan, di Maluku, setiap 253 kilometer persegi wilayah hanya dilayani oleh satu kantor bank. Dari sisi ukuran pasar, Sumatera merupakan pulau dengan jumlah kantor bank per seribu penduduk tertinggi. Setiap seribu penduduk mampu dilayani oleh satu kantor bank. Sedangkan di Papua, setiap 17.000 penduduk hanya mampu dilayani oleh satu bank. Untuk dapat berperan optimal dalam perekonomian, bank perlu untuk bekerja secara efisien. Perbankan yang efisien berkaitan erat dengan sistem keuangan yang efisien. Sektor keuangan yang efisien akan mendorong efektivitas alokasi sumber daya keuangan dan mengurangi misalokasi sumber daya produktif. Selain itu, perbankan yang efisien akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Data terakhir yang menunjukkan bahwa perbankan Indonesia masih belum efisien. Salah satu indikator inefisiensi adalah nilai net interest margin. Secara khusus, 14 bank Tier 3 dan Tier 4 dapat memenuhi himbauan BI untuk menurunkan suku bunga dana pihak ketiga yang

perbankan Indonesia masih berada pada kisaran 6% atau tertinggi di kawasan ASEAN+5 2 . Sebagai upaya untuk merealisasikan hal tersebut, maka Bank Indonesia mengeluarkan

beberapa kebijakan dalam rangka penguatan ketahanan, daya saing perbankan, sekaligus penguatan fungsi intermediasi perbankan. Kebijakan untuk penguatan ketahanan dan daya saing perbankan dilakukan melalui penerapan aturan ijin berlapis ( multilisence). Sedangkan dalam rangka penguatan fungsi intermediasi perbankan dilakukan melalui kebijakan yang mewajibkan bank untuk menyalurkan 20% dari total kredit untuk sektor usaha mikro, kecil, dan menengah; dan melalui perluasan akses keuangan masyarakat melalui kebijakan branchless banking (selanjutnya disingkat BB).

1.2. Rumusan masalah Terdapat empat pokok rumusan permasalahan yang coba dibahas terkait dengan kebijakan branchless banking setelah multi license apakah merupakan ancaman dan keuntungan bagi perbankan nasional. Keempat rumusan permasalahan di bawah ini untuk menganalisis sinergi dari kedua kebijakan dimaksud dengan penekanan kepada:

5. 3 Tingkat urgensi dari dikeluarkannya kebijakan multilicense dan BB oleh Bank Indonesia (BI) dalam meningkatkan akses keuangan masyarakat terhadap perbankan; khususnya masyarakat yang melakukan usaha dalam bidang UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah).

6. Tingkat potensi pembiayaan khususnya untuk UMKM yang besar diprediksi akan semakin mendorong perbankan untuk mengambil potensi tersebut, terutama dengan adanya kebijakan multilicense dan BB tersebut. Tingkat sinergi dari kedua kebijakan tersebut selanjutnya akan berdampak positif; tidak hanya terhadap industri perbankan dan perekonomian nasional; Namun dalam penulisan penelitian ini, akan dilihat lebih jauh apakah terjadi down-side effect atau ancaman yang mungkin timbul apabila tidak terjadi sinergi di antara kedua kebijakan tersebut.

7. Tingkat efisiensi yang mungkin timbul, sebagai akibat adanya sinergi pengaturan multilicense, pembukaan jaringan kantor dan implementasi BB, terhadap kondisi

perbankan dan perekonomian Indonesia. Pengukuran peluang ini dilakukan dengan

2 Asean+5 terdiri dari negara Indonesia, Philipine, Thailand, Malaysia, Singapur dan Brunei, Kamboja,Laos, Myanmar

dan Vietnam. 3 Kebijakan multilicense dan branchless banking (BB) tersebut akan dibahas secara mendalam di Bab 3.

membandingkan down-side effect atau ancaman dan sinergi antara kebijakan multilicense dan BB tersebut.

8. Tingkat kebehasilan kebijakan branchless banking dalam meningkatkan akses keuangan terhadap perbankan, dengan penekanan pada probabilitas peningkatan kepemilikan rekening tabungan serta Estimasi Penambahan Rekening Tabungan. Dalam hal ini apabila tingkat keberhasilan BB tersebut menunjukan hasil yang kurang memuaskan, maka kebijakan BB tersebut dapat dipandang sebagai ancaman ( down- side effect) bagi perbankan nasional.

1.3 Tujuan Penelitian Karya tulis ini akan mengukur dan menganalisa kemampuan pengaturan multilicense dan

pembukaan jaringan kantor serta implementasi BB dalam memperkuat struktur perbankan Indonesia dan pengaruhnya terhadap akses keuangan masyarakat luas sebagai bagian dari program inklusi keuangan, dengan menjawab keempat rumusan permasalahan di atas. Dengan memiliki analisa yang komprehensif dari seluruh permasalahan dalam penelitian ini, karya tulis ini diharapkan mampu menjawab dampak positif berupa keuntungan atau kesempatan maupun ancaman ( down-side effect) yang mungkin timbul dari kebijakan branchless banking dan multilicense terhadap perbankan dan perekonomian nasional. Penulisan penelitian ini mencoba menjelaskan pula critical point yang perlu menjadi perhatian dalam implementasi kedua kebijakan tersebut.

1.4 Metode Analisis Keempat rumusan pokok permasalahan di Sub Bab 1.2 di atas dapat dianalisa dengan

menggunakan 4 analisa kuantitatif 4 . Dua analisa kuantitatif (DEA dan Matrix BCG) yang pertama dilakukan untuk menjawab rumusan permasalahan pertama dan kedua; dan

analisa kuantitatif Concentration Ratio (CR) yang selanjutnya dianalisis lebih jauh dengan menggunakan metode Herfindahl-Hirschman Index (HHI) untuk menjelaskan rumusan permasalahan yang ketiga; sementara rumusan permasalahan keempat dilakukan dengan metode regresi logistik dan lineaer . Alur anisa kuantitatif yang akan dibahas secara mendalam di Bab 4 dalam penulisan penelitian ini, dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:

1. Menjawab rumusan permasalahan pertama (tingkat urgensi dari dikeluarkannya kebijakan multilicense dan BB)

a. Analisa kuantitatif mengenai perlunya diatur produk dan kegiatan perbankan secara lebih terinci berdasarkan kapasitas yang dimiliki oleh bank yang meliputi kapasitas modal inti, skala ekonomi dan struktur organisasi perusahaan dijelaskan

4 Analisa secara menyeluruh dengan menggunkaan analisa kuantitatif dapat diiukuti secara lengkap di Bab 4.

dengan menggunakan 5 Metode Data Envelope Analysis (DEA) .DEA ini menggambarkan pentingnya kebijakan multilicense (perijinan berjenjang),

khususnya dalama pembukaan jaringan kantor bank dalam mendorong optimalnya pelayanan kantor bank kepada masyarakat Indonesia.

b. Sebagai kelanjutan dari hasil yang diperoleh dari Analisa DEA di point 1 tersebut, dilakukan analisa kejenuhan bank ( 6 bank density ) di seluruh wilayah Indonesia

sebagai dasar untuk perlunya dilakukan kebijakan inovatif untuk perluasan pelayanan perbankan (antara lain kebijakan BB). Tingkat kejenuhan tersebut diukur menggunakan teknik Matrix BCG, yang dikembangkan oleh Boston

Consulting Group pada tahun 1970 7 , berdasarkan economic of scale dan financial service coverage 8 .

2. Membahas permasalahan kedua (Tingkat Pemetaan dan Potensi Pembiayaan UMKM Khususnya UMK) Dilakukan dengan Analisa BCG Matriks untuk tingkat kejenuhan layanan perbankan di suatu daerah tertentu. Hal ini dikonfirmasi pula dengan tiga hasil penelitian dari Bank Tabungan Pensiunan Nasional, Kementerian Koperasi dan UMKM serta Bank Indonesia (penelitian berdasarkan household survey tahun 2010) dan forecasting kebutuhan kredit UMKM.

3. Merespon Permasalahan Ketiga (Tingkat Efisiensi dari Sinergi Pengaturan Multilicense and BB)

a. Dalam menjelaskan tingkat efisiensi yang mungkin timbul dari sinergi kebijakan multilicense dan BB, dilakukan perhitungan ukuran penguasaan pangsa pasar kredit dan dana pihak ketiga (DPK) yang dilakukan oleh kelompok bank, yang dikategorikan “besar” berdasarkan peraturan multilicense, terhadap total kredit dan DPK. Ukuran tersebut disebut dengan Concentration Ration (CR).

5 DEA merupakan studi empiris yang dapat digunakan untuk mengevaluasi produktivitas dan performa sebuah bank dengan menggunakan pendekatan non parametik. Grigorian dan Manole (2005) melakukan penelitian pada sektor

keuangan di Bahrain sedangkan Wezel (2010) melakukan studi empiris di Amerika Tengah.

6 Bank density mengukur kepadatan bank di suatu wilayah berdasarkan jangkauan layanan dan proporsi jumlah penduduk yang dilayani. Tingkat kejenuhan tersebut dapat dihitung dengan menggunakan perbandingan total jumlah

kantor bank di suatu wilayah dengan luas wilayah untuk melihat kepadatan bank dari sisi spasial jangkauan pelayanan. Disamping itu, tingkat kejenuhan bank juga dapat dilihat dengan membandingkan jumlah kantor bank dengan jumlah penduduk untuk melihat kepadatan dari sisi jangkauan pasar pelayanannya. 7

Matriks ini didasarkan pada teori siklus produk (life cycle theory). BCG Matrix merupakan matriks 2x2 dengan variabel pangsa pasar monopoli sebagai sumbu axis dan tingkat pertumbuhan pasar sebagai sumbu ordinat. Model analisis ini dapat digunakan juga untuk memetakan industri perbankan per provinsi di wilayah Indonesia yang memiliki banyak pelaku pasar dengan persaingan monopolistik. Pengembangan model analisis ini untuk industri perbankan dilakukan 8 dengan penyesuaian variabel pada sumbu X dan sumbu Y. McKinnon (1973) dan Levine (1977) menyatakan bahwa persaingan yang sangat ketat akibat penumpukan jumlah

bank pada suatu wilayah dapat menimbulkan kejenuhan bank (bank saturation). Sehingga pendirian bank dalam suatu wilayah harus melihat aspek density ratio atau jumlah bank per jumlah penduduk (ritonga et al, 2004) bank pada suatu wilayah dapat menimbulkan kejenuhan bank (bank saturation). Sehingga pendirian bank dalam suatu wilayah harus melihat aspek density ratio atau jumlah bank per jumlah penduduk (ritonga et al, 2004)

dianggap bahwa pada sektor perbankan, keempat kelompok BUKU 9 (Bank Umum Kegiatan Usaha) bank sebagai kelompok yang berkompetisi dalam sektor

perbankan di Indonesia, maka HHI sektor perbankan di Indonesia dapat dikukur. Nilai HHI ini diharapkan dapat menjawab tngkat efisiensi yang dapat timbul, sebagai akibat adanya sinergi pengaturan multilicense dan implementasi BB, sebagaimana dirumuskan dalam perumusan masalah kedua di atas.

4. Menjelaskan tingkat keberhasilan Branchless Banking dalam meningkatkan probabilitas kepemilikan rekening tabungan dan estimasi peningkatan jumlah rekening tabungan tersebut, dengan melakukan analisa sebagai berikut:

a. Untuk menghitung probabilitas kepemilikan rekening tabungan akan digunakan model regresi logistik dengan melibatkan enam variabel prediktor sebagai indikator kepemilikan rekening.

b. Model regresi linear digunakan untuk melakukan estimasi peningkatan rekening tabungan jika ada penambahan layanan jasa keuangan. Dasar perhitungan dengan menggunakan model regresi linier dari setiap zona kejenuhan bank.

9 Kebijakan Multilicense menggolongkan perbankan di Indonesia menjadi 4 (empat) sebagai Bank Umum Kegiatan Usaha 1 s.d. 4. Penjelasan tentang hal ini dapat diikuti dengan lengkap di Bab 3.

1.5 Alur Pikir KEBIJAKAN PEMBUKAAN

KANTOR

PELUANG

CABANG

TINGKAT

DISPARITAS KEBIJAKAN

LAYANAN

PERBANKAN

PENINGKATAN PERTUMBUHAN

KINERJA DAN

BRANCHLESS

MASYAKARAT EKONOMI

PERBANKAN

INDONESIA AKSES LAYANAN

PERBANKAN

SECARA SPASIAL DI DAERAH

BANKING

PERBANKAN

KEBIJAKAN MULTILICENSE

TANTANGAN

Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, maka dapat dibuat alur pikir seperti gambar diatas. Terdapat disparitas (perbedaan) layanan keuangan perbankan di Indonesia, terutama layanan keuangan yang masih terpusat di Pulau Jawa. Permasalahan spasial ini mendorong Bank Indonesia untuk dapat meningkatkan layanan perbankan terutama di daerah luar Jawa. Kebijakan multilicense dan BB merupakan kebijakan yang tepat untuk keluar dari permasalah tersebut. hal ini disebabkan karena untuk membuka bank baru, terutama di luar Jawa, membutuhkan biaya yang besar. Dengan adanya branchless banking dan multilicense diharapkan kinerja dan akses layanan perbankan meningkat, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan pertumbuhan ekonomi nasional.

Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853

1.6 Pola Pikir

KEBIJAKAN BANK INDONESIA :

1. MULTILICENSE

2. BRANCHLESS BANKING (BB)

Obyek Metoda Peningkatan

Subyek

(I) Performance (kinerja perbankan): Profitabilitas,

Seluruh bank

Peraturan

Legisasi dengan Perijinan

Efisiensi dan Stabilitas Sistem

di Indonesia

Perundangan;

yang meliputi

berjenjang;

Keuangan.

MASYAKARAT EKONOMI

Memperluas akses layanan

melalui

LAYANAN

struktur;. sub struktu dan

banking(BB)

perluasan

melalui bank &

perbankan dan penyaluran

PERBANKAN

non bank-based

Edukasi dan

Masyarakat.:

Sosialisasi

dengan meningkatnya

Pengaruh Lingkungan atau Lingkungan strategis:

• Global: Masyarakat Dunia • Regional: Masyarakat Ekonomi Asean • Nasional: Industri perbankan dan keuangan nasional

PELUANG : menjangkau unbanked people dan masyarakat di remote area untuk menerima layanan perbankan, serta meningkatkan peranan Bank dalam penyaluran kredit bagi UMKM tantangan dan kendala: (i)

potensi munculnya kepadatan tingkat layanan perbankan disegmen UMKM yang menjadi pemicu antara efisiensi pemain lain atau mematikan pemain lain

(ii) penurunan resiko kredit UMKM (TAMBAL SULAM KREDIT) (iii) Jumlah penduduk yang tersebar di luar Jawa

8 (iv) Ketidakstabilan kondisi lingkungan

Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853

Pola pikir kajian ini dapat dijelaskan melalui bagan pola pikir diatas. Perluasan jaringan layanan perbankan dapat dilakukan melalui kebijakan multilicense (perijinan berjenjang) dan BB. Kebijakan ini bertujuan untuk memperluas basis nasabah dan memperluas jaringan unit layanan keuangan dengan melakukan beberapa metode. Kebijakan ini juga didukung dengan lingkungan strategis yaitu lingkungan tingkat regional (Masyarakat Ekonomi ASEAN) dan nasional. Selanjutnya, peluang kebijakan ini diharapkan dapat menjangkau unbanked people dan masyarakat di remote area untuk menerima layanan perbankan, serta meningkatkan peranan bank dalam penyaluran kredit bagi UMKM. Adapun tantangan untuk kedua kebijakan ini adalah terdapat potensi munculnya kepadatan tingkat layanan perbankan di segmen UMKM. Secara umum dapat disebutkan, bahwa dampak jangka pendek dari kedua kebijakan tersebut adalah peningkatan performance, profitabilitas, efisiensi dan Stabilitas Sistem Keuangan yang saat ini telah terjaga dengan baik (Gambar 1.3), yang pada nantinya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Secara lebih khusus Bagan 1.5 dan 1.6 tersebut akan dijelaskan secara lebih mendalam di bab- bab selanjutnya dalam penulisan makalah ini.

Gambar 1.3 Indeks Stabilitas Sistem keuangan

BAB 2 LANDASAN PEMIKIRAN DAN OPERASIONAL

2.1 Landasan Pemikiran Sesuai Pembukaan UUD 1945, Pemerintah Negara Republik Indonesia, tujuan negara

adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selanjutnya, agar tujuan bernegara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 dapat tercapai, diperlukan suatu strategi pembangunan nasional yang tepat, terukur serta terarah.

Gambar 2.1

Kerangka Kerja Kebijakan Keuangan Inklusif (Financial Inclusion)

KERANGKA KEUANGAN INKLUSIF Tujuan Untuk mencapai kesejahteraan ekonomi melalui pengurangan kemiskinan, pemerataan pendapatan & stabilitas sistem

Utama keuangan di Indonesia dgn menciptakan sistem keuangan yg dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat

Pemerataan Pengurangan Stabilitas Sistem Pendapatan Kemiskinan Keuangan

Masyarakat yang berdaya beli dan produktif Sistem Keuangan yang m udah d iakses

Kelompok Pekerja

Migran dan Penduduk Daerah Terpencil

Kelompok

Sasaran Sangat Miskin Miskin Bekerja /

Produktif Hampir Miskin Miskin ir Tidak Miskin

Produk / Jasa Keuangan

Ketahanan

Intermediasi Keuangan Publik • Tabungan Efisiensi • Subsidi

• Kredit • Insentif Fiskal

Saluran

• Asuransi

Lembaga Keuangan Pemerintah • Bantuan Sosial

• Dana Pensiun (Bank & Lembaga • BLT •

Remitansi

• Reksa dana , dll Keuangan Non Bank) • Jamkesmas , dll

Pilar Keuangan Inklusif

Strategi Edukasi Fasilitas Pemetaan Kebijakan Fasilitas Perlindungan Keuangan Keuangan Informasi / Peraturan Intermediasi Publik Konsumen Keuangan Pendukung & Distribusi

• Edukasi Pelajar , TKI, • Multilicensing • TabunganKu • Mediasi Perbankan Contoh dan masyarakat • Financial Identity • Kebijakan • Branchless banking • Transparansi Produk

Program lain Number (FIN) B ranchless banking • Kredit “ Start - Up ” • Kampanye Bersama • Credit Rating

• Kebijakan kredit start - up • Sertifikasi tanah

Sumber: Kantor Wakil Presiden RI, Strategi Nasional Keuangan Inklusif (Revisi), 2012

Namun demikian, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum tersentuh oleh jasa layanan sektor keuangan formal. Salah satu upaya mengatasi hal ini, di beberapa Negara, khususnya negara yang tergabung dalam G20, dengan melaksanakan program

financial inclusion (selanjutnya disingkat FI) atau kebijakan keuangan inklusif.

Framework besar kegiatan FI Indonesia dapat digambarkan secara garis besar pada Gambar 2.1. Dalam Gambar 2.1 dapat diikuti bahwa salah satu program dalam keuangan inklusif (FI) adalah kebijakan BB yaitu kegiatan layanan jasa perbankan dan sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh bank dan telco tanpa melalui kantor bank tapi menggunakan teknologi dan pihak ketiga (agen) sehingga dapat meningkatkan akses keuangan masyarakat dan kelompok miskin produktif) dan UMKM.

2.2 Paradigma Nasional

2.2.1 Pancasila sebagai Landasan Ideal Pancasila sebagai Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

pandangan hidup bangsa Indonesia adalah suatu nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, yang mencerminkan moral dan akhlak manusia Indonesia dan diyakini kebenarannya serta kesaktiannya. Dalam hal ini, implementasi branchless banking diharapkan dapat membantu pemerataan pendapatan masyarakat untuk mengurangi kemiskinan, yang merupakan pengamalan moral politik kenegaraan sila pertama, dimana meningkatkan kesejahteraan umum adalah merupakan tanggung jawab yang suci, dalam membangun dunia baru yang lebih baik berdasarkan kemanusian yang adil dan beradab ( sila kedua) serta dalam kerangka memperjuangkan kepentingan nasional ( sila ketiga), dengan demikian kedaulatan rakyat (dalam bidang ekonomi) akan semakin tinggi. Karena itu negara wajib mendengarkan suara rakyat ( sila keempat) dan memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat dan mengikut sertakan seluruh rakyat dalam ( sila kelima) kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya serta secara khusus memperhatikan warga bangsa yang lemah kedudukannya agar tidak terjadi ketidakadilan serta kesewenang- wenangan dari pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah.

2.2.2 UUD NKRI Tahun 1945 sebagai Landasan Konstitusional Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945

merupakan sumber dari segala sumber hukum positif di Indonesia. Sebagai sebuah negara hukum, maka seluruh penyelenggaraan negara diatur menurut hukum yang berlaku. Dalam sistem hukum, maka semua orang memiliki kedudukan yang sama dan setara tanpa diskriminasi. Sehingga semua orang menjadi terlindungi sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD NKRI 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia.

Optimalisasi BB merupakan perwujudan dari amanat tujuan nasional yang tercantum dalam Pembukaan UUD NKRI 1945 tersebut yakni memajukan kesejahteraan umum yang berdasarkan keadilan sosial. Selanjutnya pada Pasal

27 ayat (2) menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Amanat pasal 28 ayat (2) menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, salah satu caranya adalah dengan berbank. Dengan demikian pelaksanaan branchless banking sesuai dengan dasar konstitusional.

2.2.3 Ketahanan Nasional sebagai Landasan Konseptual Sudah jamak diketahui bahwa dalam mencapai tujuan nasional, bangsa

Indonesia menghadapi berbagai tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar bangsa Indonesia. Karena itu bangsa Indonesia membutuhkan Ketahanan Nasional yang tangguh, salah satunya melalui pendekatan kesejahteraan. BB dapat sebagai sarana agar setiap orang memperoleh haknya dalam mendapatkan layanan penuh dari lembaga keuangan secara tepat waktu, aman, nyaman, dan terjangkau, tanpa mengurangi harkat dan martabatnya. Dalam konteks Ketahanan Nasional, maka ancaman kemiskinan yang juga disebabkan rendahnya akses pada lembaga keuangan, dapat dikurangi melalui implementasi BB. Karena itu BB merupakan salah satu strategi pengentasan kemiskinan, yang secara tidak langsung akan meningkatkan ketangguhan masyarakat, dan selajutnya secara otomatis akan meningkatkan ketahanan ekonomi, yang pada gilirannya akan meningkatkan Ketahanan Nasional.

2.3 Peraturan Perundang-undangan sebagai Landasan Operasional

2.3.1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Dalam arah RPJPN 2005-2025 disebutkan bahwa untuk mewujudkan bangsa

yang berdaya saing, dibutuhkan perekonomian domestik yang kuat yang berorientasi dan berdaya saing global, dimana salah satunya adalah melalui pengembangan sektor keuangan. Pengembangan sektor keuangan dilakukan melalui peningkatan kontribusi lembaga jasa keuangan bank dan non-bank yang berdaya saing, dibutuhkan perekonomian domestik yang kuat yang berorientasi dan berdaya saing global, dimana salah satunya adalah melalui pengembangan sektor keuangan. Pengembangan sektor keuangan dilakukan melalui peningkatan kontribusi lembaga jasa keuangan bank dan non-bank

2.3.2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia menyebutkan bahwa untuk memelihara kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional dan pelaksanaan pembangunan ekonomi diarahkan kepada terwujudnya perekonomian nasional yang berpihak pada ekonomi kerakyatan, merata, mandiri, andal, berkeadilan, dan mampu bersaing di kancah perekonomian internasional. Sehingga menjadi tugas bagi Bank Indonesia sebagai Bank Sentral (saat ini juga otoritas pengawas dan pengaturan perbankan) untuk mendukung semua upaya dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional. Sesuai UU BI, tugas utama Bank Indonesia disebutkan dalam Pasal 8, yaitu:

a) Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; b) Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan c) Mengatur dan mengawasi Bank. Sementara, terkait pengaturan dan pengawasan bank, diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi perbankan nasional sebagai: a) Lembaga kepercayaan masyarakat dalam penghimpunan dan penyaluran dana; b) Pelaksana kebijakan moneter; c) Lembaga yang ikut berperan dalam membantu pertumbuhan ekonomi serta pemerataan. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut pendekatan yang dilakukan adalah dengan menerapkan: a) Kebijakan untuk memberikan keleluasaan berusaha (deregulasi); b) Kebijakan prinsip kehati-hatian bank ( prudential banking); dan c) Pengawasan bank yang mendorong bank tetap mengacu kepada prinsip kehati-hatian. Berdasarkan Pasal 16 ayat (2) dan Pasal

29 beserta penjelasannya, selanjutnya diatur kewenangan Bank Indonesia dalam pengaturan dan pengawasan bank 10 .

2.3.3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Bank sebagai badan usaha dalam kegiatannya adalah dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dalam kegiatannya, perbankan

(1) Kewenangan memberikan izin ( right to license), yaitu kewenangan untuk menetapkan tatacara perizinan dan pendirian suatu bank; (2) Kewenangan untuk mengatur ( right to regulate), yaitu kewenangan untuk menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek usaha dan kegiatan perbankan; (3)Kewenangan untuk mengawasi ( right to control), yaitu kewenangan melakukan pengawasan bank melalui pengawasan langsung (on-site supervision) dan pengawasan tidak langsung ( off-site supervision); (4) Kewenangan untuk mengenakan sanksi (right to impose sanction), yaitu kewenangan untuk menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan terhadap bank apabila suatu bank kurang atau tidak memenuhi ketentuan.

dihimbau dan diwajibkan untuk ikut membantu proses peningkatan taraf hidup rakyat melalui bisnis yang dilakukan. Perbankan dengan fungsi utamanya sebagai penghimpun dana dan penyalur pinjaman kepada masyarakat, memiliki peranan yang strategis untuk melakukan hal tersebut. Untuk mewujudkannya secara lebih efisien, salah satunya melalui penerapan BB.

2.4 Landasan Operasional Perbankan

2.4.1 Jenis Bank Secara umum, jenis Bank berdasarkan fungsinya menurut Undang-Undang No.

7 Tahun 1992 yang telah diamandemen dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 adalah: No

Jenis

Keterangan

1 Bank Umum

Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sifat jasa yang diberikan adalah umum, artinya dapat memberikan seluruh jasa perbankan yang ada.

2 Bank Perkreditan BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan Rakyat (selanjut-nya usaha secara konvensional atau berdasarkan

prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak

disingkat BPR)

memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Kegiatan BPR jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan kegiatan bank umum selain itu cakupan wilayah BPR juga lebih sempit dibandingkan dengan cakupan wilayah bank umum.

2.4.2 Produk dan Kegiatan Usaha Bank Berdasarkan UU, produk dan kegiatan usaha bank dapat dibedakan menjadi

beberapa jenis, antara lain: No

Jenis

Keterangan

1 Penghimpunan Dana Dilakukan dalam bentuk tabungan, giro maupun

deposito.

2 Penyaluran Dana

Dilakukan dalam bentuk penyaluran dana pihak ketiga yang disimpan di bank melalui penyaluran kredit.

3 Trade Finance

Berkaitan dengan perdagangan internasional atau ekspor impor.

4 Treasury

Kegiatan inti dalam bank yang berfungsi dan bertanggung jawab untuk mengelola risiko

likuiditas, risiko suku bunga, risiko nilai tukar, risiko kredit (dalam penempatan dana selain pada

kredit dan pembelian surat berharga / investasi), risiko kepatuhan ( compliance risk) yang terkait dengan treasury, dan risiko operasional yang terkait dengan fungsi treasury.

5 Keagenan dan Ker-ja Keagenan produk keuangan dalam bentuk sama

instrumen investasi yang diterbitkan oleh penerbit asing di dalam dan luar negeri, antara lain agen

reksadana, agen penjualan Surat Berharga Negara (selanjutnya disingkat SBN), bank kustodian, dan wali amanat.

6 Sistem Pembaya-ran Antara lain penyelenggara kartu kredit, penerbitan kartu Auto Teller Machine (selanjutnya disingkat

ATM), penerbitan kartu debet, kliring, inkaso, transfer, dan e-money.

7 E-banking

Jasa dan produk bank secara langsung kepada nasabah melalui elektronik dan saluran

komunikasi interaktif. Beberapa media E-banking, antara lain internet banking, SMS atau m-banking, phone banking, dan ATM.

2.5 Landasan Teori