14 Alur Hybrid Model

Gambar 3.14 Alur Hybrid Model

25 Meskipun demikian, SVC berbeda dengan debit card. Konsumen harus mengisi saldo kartu tersebut sebelum menggunakan kartu. Hal ini membatasi risiko overdraft, karena konsumen hanya dapat menggunakan dana sesuai dengan

saldo yang diisi.

26 Dalam model ini juga terdapat interoperabilitas antar layanan yang diberikan MNO dan bank. Sebagai contoh, mesin ATM yang dikelola oleh bank dapat menjadi cashpoint bagi e-money yang diselenggarakan MNO .

BAB 4 ANALISA KEBIJAKAN BRANCHLESS BANKING SETELAH MULTI LICENSE (PERLUASAN

JARINGAN KANTOR) DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERBANKAN DAN PEREKONOMIAN NASIONAL

Sebagaimana telah disampaikan pada Bab 1 Pendahuluan, disadari bahwa Bank merupakan komponen yang penting dari sistem keuangan karena fungsi dan perannya dalam perekonomian. Fungsi Bank sebagai lembaga intermediasi khususnya dalam penyaluran kredit mempunyai peranan penting bagi pergerakan roda perekonomian secara keseluruhan dan memfasilitasi pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, Bank memiliki kemampuan untuk menjembatani kepentingan yang berbeda antara deposan dan peminjam dalam hal preferensi likuiditas atau waktu dari uang. Pada level ekonomi makro bank merupakan alat dalam menetapkan kebijakan moneter sedangkan pada level mikro ekonomi bank merupakan sumber utama pembiayaan bagi para pengusaha maupun individu (Konch, 2000). Peran dan fungsi Bank dalam perekonomian yang sangat strategis, membuat posisi perbankan sangat penting untuk mendorong kegiatan ekonomi. Bank dapat mempengaruhi dan menentukan semua aspek kegiatan ekonomi di suatu negara. Ketidakmampuan Bank dalam memberikan layanan yang optimal akan menyebabkan kegiatan ekonomi terganggu dan semua sektor ekonomi tidak bisa bekerja optimal. Untuk dapat berperan optimal dalam perekonomian, Bank perlu untuk bekerja secara efisien. Perbankan yang efisien berkaitan erat dengan sistem keuangan yang efisien. Sektor keuangan yang efisien akan mempengaruhi alokasi sumber daya keuangan dengan cara yang paling efektif dan mengurangi misalokasi sumber daya produktif. Selain itu, perbankan yang efisien akan mendukung dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagai upaya untuk merealisasikan hal tersebut, sebagaimana telah diulas secara mendalam pada Bab 3, maka Bank Indonesia mengeluarkan beberapa kebijakan dalam rangka penguatan ketahanan dan daya saing perbankan, dan dalam rangka penguatan fungsi intermediasi perbankan. Kebijakan untuk penguatan ketahanan dan daya saing perbankan dilakukan melalui penerapan multilicense. Sedangkan kebijakan dalam rangka penguatan fungsi intermediasi perbankan dilakukan melalui mewajibkan bank untuk menyalurkan 20% dari total kredit untuk sektor UMKM; serta melalui perluasan akses masyarakat terhadap layanan keuangan melalui

BB.

4.1 Studi Empiris Kebijakan Multilisence, Perluasan Jaringan Kantor dan BB di Indonesia

4.1.1 Studi Empiris Multilicense terkait Modal Inti, Perluasan Jaringan Kantor dan Tingkat Kejenuhan Bank

4.1.1.1 Analisa Data Envelope Analysis (DEA) Dalam Sub Bab ini, analisa DEA menjawab perumusan masalah pertama mengenai tingkat urgensi dari dikeluarkannya kebijakan multilicense oleh BI (November, 2012) dalam meningkatkan akses keuangan masyarakat terhadap perbankan; khususnya masyarakat yang melakukan usaha dalam bidang UMKM. Studi empiris untuk menganalisis modal inti perbankan dan kegiatan usaha ini dilakukan dengan beberapa pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah

dengan menggunakan metode 27 Data Envelope Analysis (DEA) . Metode DEA yang digunakan dalam analisis ini adalah metode DEA yang dikembangkan oleh

Grigorian dan Manole (2005) dan Wezwel (2010). Metode DEA ini selanjutnya akan dilengkapi dengan analisa tingkat kejenuhan Bank. Dalam penyusunan makalah ini, disampaikan Analisa DEA yang telah dilakukan BI sebelum dikeluarkannya kebijakan multilicense yang diperdalam lebih lanjut dengan memasukan variable biaya tenaga kerja dan ratio biaya tenaga kerja terhadap total biaya. Analisis DEA untuk perbankan Indonesia dilakukan dengan menggunakan kerangka kerja seperti yang tertera pada Gambar 4.1. Analisis tersebut melibatkan dua jenis input, yaitu input nominal dan input rasio. Input nominal yang digunakan adalah biaya tenaga kerja, aktiva tetap, dan dana pihak ketiga. Sedangkan input rasio yang digunakan adalah rasio biaya tenaga kerja terhadap total biaya, rasio aktiva tetap terhadap total aset, dan rasio dana pihak ketiga terhadap total aset. Skor efisiensi suatu bank berada dalam range skor DEA 0 sampai dengan 100. Semakin tinggi skor DEA suatu bank, maka semakin efisien bank tersebut. Metode DEA ini diestimasi untuk 120 bank di Indonesia.

27 DEA adalah merupakan metode yang digunakan untuk mengevaluasi produktivitas dan performa sebuah bank dengan menggunakan pendekatan nonparametrik. Grigorian dan Manole (2005) melakukan penelitian pada sektor

keuangan di Bahrain sedangkan Wezel (2010) melakukan studi empiris mengenai efisiensi perbankan domestik dan asing di Amerika Tengah.

Gambar 4.1. Kerangka Kerja Analisis DEA Perbankan Indonesia

Berdasarkan input nominal dan input rasio, kelompok bank yang paling efisien ditunjukkan oleh skor DEA antara 85-100. Untuk kelompok ini, modal inti perbankan yang efisien adalah sebesar Rp5,6 triliun. Sedangkan untuk level moderate, dengan skor DEA 45-55, modal inti yang dimiliki perbankan pada level ini adalah Rp1 triliun. Selanjutnya, pendekatan kedua untuk menganalisis modal inti ini adalah dengan menggunakan pendekatan pertumbuhan ekonomi. Terdapat dua model yang dianalisis dalam pendekatan ini, yaitu model empiris dan model pertumbuhan. Asumsi yang digunakan dalam estimasi model empiris adalah pertumbuhan ekonomi berada pada kisaran 6–6,5%. Dengan asumsi ini, untuk mencapai pertumbuhan kredit perbankan total sekitar 22–23%, diperlukan rasio modal inti perbankan (rasio Tier-1) sekitar 11–13%. Model estimasi berupa model empiris ini mengacu pada model estimasi yang digunakan oleh Hagerty (2009), Bikker dan Hu (2001), Naceur dan Kandil (2007), dan Aydin (2008) dimana model estimasi merupakan model pertumbuhan kredit dari sisi demand dengan periode data 2003:1 - 2010:3. Hasil simulasi dengan menggunkan model empiris menghasilkan modal inti bank pada Tier-1 sebesar Rp2,12 triliun (untuk analisis pada seluruh bank) dan modal inti sebesar Rp0,95 triliun untuk bank- bank di luar 14 bank besar. Sedangkan untuk pendekatan dengan modal pertumbuhan asumsi yang digunakan adalah: a) Pertumbuhan ekonomi 6–7% dan didukung pertumbuhan kredit minimum 21%; b) Analisis dilakukan pada bank kecil dengan modal kurang dari Rp1 triliun dengan total asset sebesar 10% dari seluruh asset perbankan; c) Bank kecil adalah homogen; d) Fungsi intermediasi 80% dan likuiditas bank yang optimal; e) ROA sebesar 2,7%; f) Laba tahun berjalan yang menjadi modal inti sebesar 50%. Hasil simulasi menunjukkan bahwa modal inti dari 71 bank yang menjadi sampel dalam estimasi ini akan meningkatkan modalnya memiliki modal inti sebesar Rp1 triliun pada tahun 2019/2020. Hasil simulasi dampak dilakukan terhadap

kondisi perbankan apabila kebijakan modal inti ini dilaksanakan. Dampak yang dianalisis dalam hubungannya dengan kegiatan usaha untuk masing-masing kelompok bank. Hasil simulasi menunjukkan bahwa bank pada Tier 1 merupakan kelompok bank yang akan terkena dampak paling signifikan terhadap kebijakan multilicense ini. Sedangkan untuk simulasi mengenai alokasi kredit produktif, apabila ditetapkan alokasi kredit minimal untuk masing-masing kelompok bank, maka terdapat beberapa bank yang saat ini belum memenuhi kriteria persentase minimal kredit produktif untuk masing-masing kelompok. Hasil estimasi menunjukkan bahwa perbankan di Indonesia belum memiliki tingkat modal inti yang efisien. Sehingga terdapat bank yang melakukan berbagai kegiatan usaha namun tidak didukung dengan modal inti yang sesuai. Hal ini menyebabkan perbankan di Indonesia dikatakan belum efisien. Oleh karena itu, perumusan masalah pertama pada Bab 1 telah dijawab dengan analisa tersebut di atas bahwa kebijakan multilicense sangat diperlukan untuk memperbaiki kondisi dan struktur perbankan nasional. Selanjutnya untuk mengatur perbankan di Indonesia dalam rangka meningkatkan efisiensi, maka perbankan Indonesia perlu diatur secara lebih terinci berdasarkan kapasitas yang dimiliki setiap bank. Namun pengaturan ini dapat menyebabkan adanya beberapa bank yang saat ini telah melakukan beberapa kegiatan usaha tidak lagi dapat melakukan kegiatan tersebut karena dianggap memiliki modal yang tidak mencukupi. Oleh karena itu, dalam hal kebijakan pengelompokan perbankan berdasarkan modal inti dan kegiatan usaha, perlu disusun sebuah mekanisme yang memungkinkan bank-bank yang dianggap tidak dapat melakukan suatu aktivitas usaha, untuk menyesuaikan

kegiatannya ataupun jumlah modalnya 28 .

4.1.1.2 Analisa Tingkat Kejenuhan Bank (Bank Density) Sesuai dengan perumusan masalah pertama di Bab 1 dan tujuan penelitian dalam penulisan makalah ini, maka analisa DEA ini harus dilengkapi lebih jauh dengan analisa tentang pembukaan jaringan kantor. Dalam pembukaan jaringan kantor bank, perlu dipertimbangkan beberapa faktor agar keberadaan bank dapat memberikan manfaat yang optimal dan mendorong distribusi kantor

28 Sebagai contoh bagi bank yang produk dan jenis usahanya melampaui yang diperkenankan oleh BUKU dimana bank tersebut berada dapat meningkatkan modal intinya sehingga berada pada BUKU yang lebih tinggi dengan

cakupan dan aktivitas usaha yang lebih luas, atau secara bertahap menghentikan produk dan aktivitasnya sesuai dengan aktivitas yang diperkenankan untuk BUKU dimana bank tersebut berada.

layanan bank yang lebih merata. Diharapkan melalui analisa ini akan menguatkan jawaban untuk rumusan permasalahan pertama yang telah dijelaskan melalui metode DEA. Disparitas kantor layanan bank antar wilayah dapat mempengaruhi aksesibilitas masyarakat terhadap perbankan. Jika dibiarkan dengan skema kebijakan yang berlaku, dapat diduga layanan bank masih terkonsentrasi di pusat-pusat aktivitas ekonomi. Sehingga diperlukan insentif agar bank tertarik membuka layanan di wilayah underbanked. Jika perbankan bersedia masuk zona underbanked, maka fungsi bank sebagai agent of development dan agent of services dapat lebih optimal. Rincian detail tentang analisa ini dapat diikuti di Lampiran 1. Seperti yang telah disebutkan di atas, analisa kuantitatif DEA, yang dilakukan untuk menjawab perumsusan masalah pertama yang menjadi alasan kuat dan strategik untuk mengeluarkan kebijakan multilicense, dilengkapi dengan analisa

tingkat kejenuhan bank ( 29 bank density ) dalam suatu daerah terkait dengan tingkat persaingan bank di daerah tersebut. McKinnon (1973) dan Levine (1997)

menyatakan bahwa persaingan yang sangat ketat akibat penumpukan jumlah bank pada suatu wilayah dapat menimbulkan kejenuhan bank ( bank saturation). Sehingga pendirian bank dalam suatu wilayah harus melihat aspek density ratio

atau jumlah bank per jumlah penduduk. 30 Analisa tingkat kejenuhan bank dalam Sub Bab 4.1.1 ini merupakan hasil analisa yang telah dilakukan BI

(November, 2012) dalam rangka penyusunan kebijakan multilicense dengan ditambahkan variabel deposito dan giro sebagai komponen dari DPK (Dana

Pihak Ketiga) untuk masing-masing Provinsi. Terdapat dua cara menghitung bank density. Kedua cara tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut:

1. Kepadatan dari sisi spasial jangkauan pelayanan, yang diformulasikan dengan:

2. Kepadatan dari sisi jangkauan pasar pelayanan, yang diformulasikan dengan:

29 Bank density mengukur kepadatan bank di suatu wilayah berdasarkan jangkauan layanan dan proporsi jumlah penduduk yang dilayani. Kepadatan bank dapat dihitung dengan menggunakan perbandingan total jumlah kantor

bank di suatu wilayah dengan luas wilayah untuk melihat kepadatan bank dari sisi spasial jangkauan pelayanan. Selain itu, kepadatan bank juga dapat dilihat dengan membandingkan jumlah kantor bank dengan jumlah penduduk untuk melihat kepadatan dari sisi jangkauan pasar pelayanannya.

30 Ritonga et al (2004)

Semakin besar nilai bank density dari sisi spasial menunjukkan semakin padat jumlah kantor bank di setiap kilometer persegi wilayah. Sedangkan, semakin besar bank density dari sisi jangkauan pasar pelayanan, maka semakin banyak penduduk yang dilayani oleh bank di suatu wilayah. Kedua hal tersebut mengindikasikan tingkat persaingan yang tinggi di sektor perbankan. Tingkat persaingan yang tinggi dapat mengarah pada kejenuhan sektor perbankan di wilayah tersebut. Pengukuran tingkat kepadatan bank dapat pula dilihat dengan menggunakan pendekatan BCG matriks. Metode ini dikembangkan oleh Boston Consulting Group pada tahun 1970. Matriks ini didasarkan pada teori siklus produk ( life cycle theory). BCG Matrix merupakan matriks 2x2 dengan variabel pangsa pasar monopoli sebagai sumbu aksis dan tingkat pertumbuhan pasar sebagai sumbu ordinat. Model analisis ini dapat digunakan juga untuk memetakan industri perbankan per provinsi di wilayah Indonesia yang memiliki banyak pelaku pasar dengan persaingan monopolistik. Pengembangan model analisis ini untuk industri perbankan dilakukan dengan penyesuaian variabel pada sumbu X dan sumbu Y. Matriks yang dibentuk melalui analisis ini dapat dilihat pada Gambar

Gambar 4.2 BCG Matriks Tingkat Kejenuhan Bank di Indonesia

Selanjutnya Matriks BCG pada Gambar 4.3 menunjukkan matriks BCG untuk kepadatan bank di setiap provinsi di Indonesia. Matriks tersebut dibentuk dengan menggunakan pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Selanjutnya Matriks BCG pada Gambar 4.3 menunjukkan matriks BCG untuk kepadatan bank di setiap provinsi di Indonesia. Matriks tersebut dibentuk dengan menggunakan pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Gambar 4.3 BCG Matriks untuk Tingkat Kepadatan Bank di Indonesia

No 1 Propinsi

2 Aceh Sumatera Utara UNDERBANKED EQUILIBRIUM

4 3 Riau Sumatera Barat

MODERAT

5 Jambi

10 9 Kepulauan Riau Kepulauan Bangka Belitung Lampung Bengkulu Sumatera Selatan 12 11 DKI Jakarta

13 Jawa Tengah Jawa Barat

15 14 16 DI. Yogyakarta 17 Jawa Timur Banten

18 Bali 19 Nusa Tenggara Barat

20 Kalimantan Barat Nusa Tenggara Timur

22 21 Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan

24 23 Kalimantan Timur Sulawesi Utara

26 25 Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah

28 27 29 Gorontalo Sulawesi Tenggara

30 Sulawesi Barat Maluku Utara 31

33 32 Papua Maluku EQUILIBRIUM OVERBANKED Papua Barat

RENDAH

Sumber: Data PDRB Provinsi atas dasar harga berlaku 2010 dari BPS Data Penduduk hasil Sensus 2010 dari BPS

Data DPK dan Kredit per Desember 2011 dari SEKDA

Berdasarkan Gambar 4.3, masih banyak provinsi di Indonesia yang berada di area underbanked. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya provinsi yang berada di kuadran kiri atas, yaitu sebanyak tiga belas provinsi. Ketiga belas provinsi tersebut memiliki akses yang rendah terhadap pelayanan jasa perbankan, namun potensi pertumbuhan ekonomi dan economies of scale yang dimiliki cukup tinggi. Sementara itu, terdapat sepuluh provinsi yang berada di area overbanked (kuadran kanan bawah) dengan pelayanan jasa perbankan yang tinggi namun memiliki pertumbuhan ekonomi yang rendah. Masing-masing terdapat lima provinsi baik yang berada pada area low equilibrium banked dengan akses pelayanan jasa perbankan dan pertumbuhan ekonomi yang rendah maupun middle equilibrium banked dengan akses pelayanan jasa perbankan dan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Provinsi untuk setiap katagori dalam matriks pada Gambar 4.3 dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Status Persaingan Usaha Tingkat Provinsi

No

Underbanked

Equilibrium Rendah

Equilibrium Moderat

Kalimantan Timur

2 Jambi

Sulawesi Tenggara

Sumatera Utara

Kepulauan Riau

3 Papua Barat

DI Yogyakarta *)

Riau

Bali

4 Sulawesi Barat

Jawa Tengah *)

Kalimantan Tengah

Sulawesi Utara

5 Sulawesi Selatan

Kalimantan Barat

Kalimantan Selatan