Dialog agama Hindu dan Budha

b. Dialog agama Hindu dan Budha

Apabila orang berbicara mengenai dialog antar budaya, terlebih yang menyangkut masalah agama, maka satu hal yang harus ditegaskan terlebih dahulu adalah bahwa

5 Sartono Kartodirjo, dkk., Sejarah Nasional Indonesia II, 11-12. O.W. Wolters, Early Indonesian Commerce , 38.

6 O.W. Wolters, Early indonesian Commerce, 39.

Dalam arti, yang satu adalah budaya dari suatu bangsa yang telah maju, sementara yang lain dianggap masih primitif. Dalam kaitannya dengan sub pokok bahasan ini dapat dinyatakan bahwa proses masuknya budaya India yang biasa disebut dengan istilah “’penghinduan” atau “Indianisasi” , yang sudah mulai datang ke Indonesia sejak awal abad pertama Masehi diartikan sebagai pembudayaan dari masyarakat Indonesia yang masih belum berbudaya atau bahkan masih biadab. Demikian juga pada waktu kedatangan agama Islam yang pertama di Indonesia, tidak harus menggunakan terminologi bahwa agama Islam adalah agamanya suatu bangsa yang sudah berkebudayaan tinggi, sementara agama Hindu dan Budha yang sudah berkembang di Indonesia sebagai agamanya masyarakat yang masih primitif atau kafir.

Untuk yang disebutkan pertama yaitu proses Indianisasi di Indionesia, dalam pengertian juga termasuk penyebaran kebudayaan Budha dan Hindu, terdapat dua pendapat para ahli sejarah yang berbeda yaitu: - Pertama adalah proses Indianisasi melalui penaklukan dan kolonisasi orang-orang

India terhadap orang-orang di Indonesia. Dengan kata lain bahwa orang India pada waktu itu secara politik dan pemerintahan memang menguasai orang di Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya koloni orang India itu menjadi pusat penyebaran budaya India. Oleh karena koloni tersebut juga berfungsi sebagi pusat kekuasaan. Oleh karena itu penyebaran kebudayaan Hindu diperkirakan dilakukan oleh para ksatria atau prajurit, sehingga dugaan semacam itu disebut dengan istilah hipotesa ksatria.

- Kedua adalah bahwa dalam koloni tersebut tidak harus diidentikan sebagai pusat kekuasaan yang dilengkapi dengan kesatuan militer (prajurit) yang juga bertugas melakukan penetrasi kebudayaan, akan tetapi dalam koloni-koloni tersebut terdapat golongan pedagang yang justru memegang peranan yang senttral dalam penyebaran kebudayaan India, khususnya agama Hindu. Para pedagang tersebut bukan merupakan utusan para penguasa di India, akan tetapi memang golongan pedagang yang merantau dan bahkan menetap dalam berbagai koloni di berbagai negeri. Di Indonesia mereka itu berhasil menjalin hubungan dengan para penguasa setempat dimana mereka bermukim. Oleh karena para pedagang itu dalam agama Hindu termasuk dalam kasta vaisya, maka pendapat kedua itu disebut dengan istilah hipotesa vaisya . Sementara itu oleh karena itu proses Indanisasi oleh para pedagang - Kedua adalah bahwa dalam koloni tersebut tidak harus diidentikan sebagai pusat kekuasaan yang dilengkapi dengan kesatuan militer (prajurit) yang juga bertugas melakukan penetrasi kebudayaan, akan tetapi dalam koloni-koloni tersebut terdapat golongan pedagang yang justru memegang peranan yang senttral dalam penyebaran kebudayaan India, khususnya agama Hindu. Para pedagang tersebut bukan merupakan utusan para penguasa di India, akan tetapi memang golongan pedagang yang merantau dan bahkan menetap dalam berbagai koloni di berbagai negeri. Di Indonesia mereka itu berhasil menjalin hubungan dengan para penguasa setempat dimana mereka bermukim. Oleh karena para pedagang itu dalam agama Hindu termasuk dalam kasta vaisya, maka pendapat kedua itu disebut dengan istilah hipotesa vaisya . Sementara itu oleh karena itu proses Indanisasi oleh para pedagang

Seorang sejarawan yang lain yaitu van Leur menjelaskan bahwa Indianisasi tidak bisa dilepaskan atau merupakan bagian dari aktivitas hubungan dagang antara Indonesia dengan India pada waktu itu. Apabila demikian halnya maka harus dipahami bahwa dalam proses Indianisasi tersebut kedua belah pihak memegang peranan yang aktif. Yang dimaksud disini adalah bukan hanya orang-orang India yang datang di Indonesia dan mendirikan koloni sebagai pusat penyebaran kebudayaan India, akan tetapi sebaliknya orang atau pedagang Indonesiapun perlu datang ke India untuk melakukan aktivitas perdagangan. Kedatangan mereka di India itu, yang berarti mereka itu menyaksikan sendiri kebudayaan India, tentu saja menimbulkan kekaguman yang pada gilirannya menimbulkan dorongan untuk mepelajari, menghayati dan akhirnya menjalankan dan menyebarluaskan kebudayaan dan agama India itu. Cara yang ditempuh oleh para pedagang India itu adalah dengan mengundang para Brahmana Hindu ke Indonesia. Peranan para Brahmana Hindu dari India ini sangat penting sekali dalam proses penyebaran agama Hindu, mengingat dalam konsep agama Hindu bahwa seseorang itu hanya bisa dilahirkan menjadi Hindu dan bukan menjadi Hindu. Yang dimaksud di sini adalah bahwa agama Hindu adalah identik dengan atau melekat pada keberadaan bangsa India, sama seperti agama Yahudi itu melekat secara khusus pada bangsa Yahudi. Disamping itu yang berhak untuk mendalami ajaran agama Hindu itu hanyalah golongan Brahmana, yang berarti juga menjadi monopoli mereka. Bagi orang-orang yang bukan bangsa India dan ingin menjadi atau memeluk agama Hindu, maka harus melalaui suatu proses atau upacara tententu, yang hanya bisa dilakukan dan menjadi hak para Brahmana. Upaca itu dalam agama Hindu disebut dengan istilah Vratyastoma, yang di negeri India sesungguhnya merupakan upacara untuk mensucikan atau mengembalikan kedudukan seseorang dalam suatu kasta yang telah hilang (kehilangan kasta dan dikucilkan dari lingkungannya) karena telah melakukan kesalahan atau dosa yang besar. Demikianlah bagi orang-orang Indonesia, terutama dari kalangan istana, baik raja dan seluruh keluarga serta pejabat istana, harus melalui upacara Vratyastoma untuk bisa secara resmi dianggap beragama atau memeluk agama Hindu. Oleh karena itulah para Brahmana Seorang sejarawan yang lain yaitu van Leur menjelaskan bahwa Indianisasi tidak bisa dilepaskan atau merupakan bagian dari aktivitas hubungan dagang antara Indonesia dengan India pada waktu itu. Apabila demikian halnya maka harus dipahami bahwa dalam proses Indianisasi tersebut kedua belah pihak memegang peranan yang aktif. Yang dimaksud disini adalah bukan hanya orang-orang India yang datang di Indonesia dan mendirikan koloni sebagai pusat penyebaran kebudayaan India, akan tetapi sebaliknya orang atau pedagang Indonesiapun perlu datang ke India untuk melakukan aktivitas perdagangan. Kedatangan mereka di India itu, yang berarti mereka itu menyaksikan sendiri kebudayaan India, tentu saja menimbulkan kekaguman yang pada gilirannya menimbulkan dorongan untuk mepelajari, menghayati dan akhirnya menjalankan dan menyebarluaskan kebudayaan dan agama India itu. Cara yang ditempuh oleh para pedagang India itu adalah dengan mengundang para Brahmana Hindu ke Indonesia. Peranan para Brahmana Hindu dari India ini sangat penting sekali dalam proses penyebaran agama Hindu, mengingat dalam konsep agama Hindu bahwa seseorang itu hanya bisa dilahirkan menjadi Hindu dan bukan menjadi Hindu. Yang dimaksud di sini adalah bahwa agama Hindu adalah identik dengan atau melekat pada keberadaan bangsa India, sama seperti agama Yahudi itu melekat secara khusus pada bangsa Yahudi. Disamping itu yang berhak untuk mendalami ajaran agama Hindu itu hanyalah golongan Brahmana, yang berarti juga menjadi monopoli mereka. Bagi orang-orang yang bukan bangsa India dan ingin menjadi atau memeluk agama Hindu, maka harus melalaui suatu proses atau upacara tententu, yang hanya bisa dilakukan dan menjadi hak para Brahmana. Upaca itu dalam agama Hindu disebut dengan istilah Vratyastoma, yang di negeri India sesungguhnya merupakan upacara untuk mensucikan atau mengembalikan kedudukan seseorang dalam suatu kasta yang telah hilang (kehilangan kasta dan dikucilkan dari lingkungannya) karena telah melakukan kesalahan atau dosa yang besar. Demikianlah bagi orang-orang Indonesia, terutama dari kalangan istana, baik raja dan seluruh keluarga serta pejabat istana, harus melalui upacara Vratyastoma untuk bisa secara resmi dianggap beragama atau memeluk agama Hindu. Oleh karena itulah para Brahmana

Proses Indianisasi yang identik juga terjadi dalam penyebaran agama Budha di Indonesia, yaitu melalui pada pendeta atau biksu yang dengan sengaja menyebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan, dengan tujuan khusus untuk menyebarluaskan ajaran Budha. Namun demikian pada gilirannya kedatangan mereka itu mengundang arus balik biksu setempat (biksu orang Indonesia asli) yang berdatangan ke India. Sekembalinya dari India mereka membawa kitab suci, relik, dan kesan khusus serta kekaguman atas kebudayaan yang mereka saksikan. Pengalaman dan apresiasi budaya asing itu, khususnya yang berkaitan dengan agama Hindu, dalam perkembangannya di Indonesia menghasilkan seni agama Budha yang bercorak nasional, yang di Indonesia salah satunya yang paling menonjol dapat disaksikan dari bentuk dan ragam hias candi Borobudur.

Dengan demikian kembali perlu ditegaskan bahwa lebih diterima secara luas pendapat yang lebih menonjolkan peranan hubungan dagang antara Indonesia dan India merupakan faktor yang terpenting dalam proses masuknya pengaruh budaya India. Disamping itu karena proses Indianisasi kebudayaan Indonesia bukan identik dengan proses penaklukan atau penjajahan, dan juga seperti telah disebutkan di muka bahwa keduanya harus dianggap kebudayaan dalam tingkat perkembangan yang setaraf, maka istilah lain yang lebih halus adalah proses penyuburan kebudayaan Indonesia. Dalam proses penyuburan tersebut unsur budaya Indonesia lama masih nampak dominan atau menonjol dalam semua lapisan masyarakat. Sebagai contoh walaupun dalam ajaran agama Hindu di India dengan tegas disebutkan kedudukan setiap orang dalam kasta tertentu, akan tetapi dalam prakteknya di Indonesia tidaklah demikian halnya. Teori tentang kasta dalam agama Hindu memang diakui oleh orang-orang Indonesia yang bisa dikatakan telah memeluk agama Hindu, akan tetapi dalam pelaksanaannya sistem kasta India yang berhubungan langsung dengan kelahiran seseorang, merupakan ajaran atau dogma yang harus ditaati di Indonesia. Demikian juga amatlah sulit untuk menyatakan bahwa seni bangunan candi di Indonesia merupakan tiruan candi di India. Harus Dengan demikian kembali perlu ditegaskan bahwa lebih diterima secara luas pendapat yang lebih menonjolkan peranan hubungan dagang antara Indonesia dan India merupakan faktor yang terpenting dalam proses masuknya pengaruh budaya India. Disamping itu karena proses Indianisasi kebudayaan Indonesia bukan identik dengan proses penaklukan atau penjajahan, dan juga seperti telah disebutkan di muka bahwa keduanya harus dianggap kebudayaan dalam tingkat perkembangan yang setaraf, maka istilah lain yang lebih halus adalah proses penyuburan kebudayaan Indonesia. Dalam proses penyuburan tersebut unsur budaya Indonesia lama masih nampak dominan atau menonjol dalam semua lapisan masyarakat. Sebagai contoh walaupun dalam ajaran agama Hindu di India dengan tegas disebutkan kedudukan setiap orang dalam kasta tertentu, akan tetapi dalam prakteknya di Indonesia tidaklah demikian halnya. Teori tentang kasta dalam agama Hindu memang diakui oleh orang-orang Indonesia yang bisa dikatakan telah memeluk agama Hindu, akan tetapi dalam pelaksanaannya sistem kasta India yang berhubungan langsung dengan kelahiran seseorang, merupakan ajaran atau dogma yang harus ditaati di Indonesia. Demikian juga amatlah sulit untuk menyatakan bahwa seni bangunan candi di Indonesia merupakan tiruan candi di India. Harus

Untuk lebih menunjukan unsur Indonesia yang masih menonjol dari kebudayaan Hindu di Indonesia, dapat diketahui dari keadaan masyarakat dan kerajaan Mataram kuno yang berkembang antara abd 8 dan 11 Masehi. Dari sisa peninggalan jaman kerajaaan Mataran kuno dapat diperkirakan bahwa masyarakat pada masa itu adalah suatu masyarakat Indonesia yang telah menyerap unsur budaya India baik yang bercorak Hindu maupun Budha. Namun demikian juga harus diakui masyarakat jaman Mataram juga merupakan kelanjutan perkembangan masyarakat sebelumnya. Kebudayaan yang asli sama sekali tidak punah dan masih nampak jelas, akan tetapi warna budaya asing (Hindu Budha) juga jelas nampak dipermukaan. Sebagai bukti dari berita Cina tahun 640 disebutkan bahwa ibukota (istana) kerajaan Mataram dikelilingi oleh pagar kayu, sedangkan kraton tempat tinggal raja merupakan bangunan bertingkat dua dan beratap daun nipah. Sementera itu juga disebutkan bahwa penduduk kerajaan itu sudah mengenal ilmu perbintangan (astronomi). Pagar kayu, rumah tingkat dua yang identik dengan rumah khas Indonesia dengan tiang-tiang tinggi adalah bangunan khas Indonesia (Jawa). Demikian juga pengenalan ilmu astronomi bukan merupakan hal aneh bagi orang- orang indonesia jaman itu, khususnya di kalangan kaum nelayan/pelaut.

Dari prasasti Tuk Mas dan Sojomerto abad 7 dapat diketahui bahwa Jawa Tengah telah terpengaruh oleh kebudayaan India, khususnya Hindu karena prasasti itu dibuat oleh para penganut agama Hindu. Namun demikian candi yang banyak dibangun pada jaman kerajaan Mataram adalah candi Budha Mahayana. Petunjuk yang lain yaitu dari kitab suci Holing (Kalingga?), sebuah kerajaan di Jawa Tengah abad 7, yang dibawa ke Cina dapat diketahui bahwa agama Budha yang berkembang di Jawa Tengah pada waktu itu adalah Budha Hinayana. Namun demikian candi tertua di Jawa Tengah yang mendahului munculnya candi Budha adalah seni bangunan agama Hindu. Hal itu dapat ditunjukan dengan adanya bangunan candi Hindu yang terdapat di Dieng. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa baik Dari prasasti Tuk Mas dan Sojomerto abad 7 dapat diketahui bahwa Jawa Tengah telah terpengaruh oleh kebudayaan India, khususnya Hindu karena prasasti itu dibuat oleh para penganut agama Hindu. Namun demikian candi yang banyak dibangun pada jaman kerajaan Mataram adalah candi Budha Mahayana. Petunjuk yang lain yaitu dari kitab suci Holing (Kalingga?), sebuah kerajaan di Jawa Tengah abad 7, yang dibawa ke Cina dapat diketahui bahwa agama Budha yang berkembang di Jawa Tengah pada waktu itu adalah Budha Hinayana. Namun demikian candi tertua di Jawa Tengah yang mendahului munculnya candi Budha adalah seni bangunan agama Hindu. Hal itu dapat ditunjukan dengan adanya bangunan candi Hindu yang terdapat di Dieng. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa baik

Sehubungan dengan proses Indianisasi (Hindu dan Budha) yang telah berjalan sejak abad-abad pertama Masehi sampai akhir abad 15, maka pada masa awal penyebaran agama Islam di Indonesia yang penduduknya terdiri dari berbagai suku, terutama di daerah pantai dan pusat kekuasaan telah terdapat beraneka ragam organisasi pemerintahan dengan berbagai penguasa dan kerjaan yang silih berganti, struktur ekonomi, dan keadaan sosial budaya. Hanya suku bangsa yang hidup di daerah pedalaman yang terpencil masih tetap menjalankan hidup mereka dalam warna kebudayaan yang asli, dan belum mengalami percampuran dengan kebudayaan dari luar seperti India, Arab, Persia, Cina dan sebagainya. Namun demikian pengaruh tersebut, bahkan pengaruh budaya Hindu dan Budha, hanya merupakan lapisan tipis permukaan yang memperhalus atau menyuburkan kebudayaan Indonesia Asli. Disamping itu pengaruh budaya dan agama Hindu serta Budha lebih mengenai golongan elite dan bangsawan daripada masyarakat umum di luar istana. Oleh karena dapat dimengerti jika masyarakat umum yang bertempat tinggal jauh dari pusat kekuasaan masih tetap berada dalam kehidupan yang dilatarbelakangi oleh kebudayaannya sendiri (asli).